Diamond Sparkle

Author : Sanao Mikaru

Warning : Contain Sho-ai [boy x boy], spoiler alert, tidak sama dengan versi canon, dan ke-ooc-an karakter.

Pair : DraNaru, surprise pairing, yang lain akan menyusul. (slow building relationship) :D

Rating : T

Summary : Naruto yang berumur satu tahun ditemukan oleh Lucius Malfoy. Naruto Malfoypun menjadi diamond di tengah-tengah keluarga Malfoy dan tentunya salah satu diamond yang ada di negeri sihir.

Key: "bla bla bla" = percakapan

'bla bla bla' = pikiran

`bla bla bla` = telepati

~Flash back = flashback


Diamond Sparkle

Chapter 3 : Bittersweet Cherry

Draco berjalan keluar dari kamar mandi. Kedua tangannya memegang sebuah handuk yang kemudian ia sampaikan di atas kepalanya. Dengan perlahan, kedua tangannya bergerak mengeringkan rambutnya.

Sebenarnya ada cara lain yang lebih instan, cepat, dan mudah, yang dapat ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Cara itu menggunakan sihir. Namun cara manual yang ia lakukan saat ini lebih ia senangi dibandingkan cara instan itu. Sebuah kenangan itulah yang membuat ia menyenangi cara manual ini.

~Flash back [Naruto-enam tahun dan Draco-tujuh tahun]

"Aniue... Jangan tidur!" tangan kecil menepuk pundaknya. Draco hanya berdehem pelan.

Tidak kuasa menahan kantuk yang menghampirinya, Draco menutup mulutnya yang terbuka dengan tangan kanannya. Matanya yang tertutup kembali terbuka, memerlihatkan kedua matanya yang sayu akibat kantuk yang menyerangnya.

"Aniue... Sudah kubilang jangan tidur!" kali ini rengekan kecil itu dibarengi oleh tangan kecil yang menggapai wajahnya dan mencubit pipi kanannya.

"Aniue..." –-tarik-

Sebuah kedutan kecil muncul di dahi Draco. Tapi, tetap saja ia tidak bisa menahan rasa kantuknya, sehingga ia hanya membalas panggilan yang mirip rengekan itu dengan sebuah deheman kecil.

Tidak terima dengan sikap cuek yang diberikan Draco pada dirinya, Naruto mengulangi tingkahnya lagi. "Aniue..." –-tarik-

Sekarang sebuah kedutan besar menemani kedutan awal di dahi Draco.

Ketika tangan kecil itu akan menarik pipinya lagi, Draco menghentikannya dengan tangannya. Masih dalam keadaan setengah tidur, ia merenggut kecil.

"Karena kamu mengeringkan rambut 'selambat' ini, aku jadi mengantuk. Dan siapapun orang yang rambutnya kamu keringkan, pasti akan tertidur. Jadi, jangan salahkan aku bila aku tertidur." Draco berbicara dengan nada aku-benar-dan-kamu-salah miliknya. Mencoba menutupi kenyamanan yang ia rasakan semenjak Naruto mengeringkan rambutnya.

Seringkali Draco menutupi kenyaman yang Naruto timbulkan dengan mengatakan kekurangan-kekurangan yang Naruto miliki [dan semua itu hanyalah karangan yang Draco buat] , salah satu contohnya ia mengatakan Naruto lamban.

Meskipun Draco menyayangi adiknya, ia masih merasa gengsi bila ia mengatakan gerakan yang dibuat oleh Naruto, membuatnya sangaaat nyaman.

Intinya sih, ia gengsi mengakui Naruto dapat membuatnya nyaman. Kenyaman yang Naruto ciptakan, memiliki ruang tersendiri di dalam hati Draco. Terkadang Draco heran, memikirkan Naruto. Memikirkan, mengapa begitu mudahnya Naruto bisa membuat dirinya nyaman. Bahkan melebihi kenyamanan yang dihadirkan oleh Lucius dan Narcissa.

Lucius sering berkata kepada Draco, Malfoy tidak akan pernah merasa nyaman 100% penuh dengan kehadiran orang lain. Untuk orang tua sekitar 95% kenyamanan yang tertangkap, dengan saudara sekitar 80% kenyamanan. Dengan pasangan sekitar 93% kenyamanan, teman sekitar 80%. Memang semua itu tergantung kepada individu masing-masing. Tapi, jarang sekali merasakan 100% kenyamanan bersama orang lain.

Naruto... Dia... mampu menembus 97%...

Saat ini, Naruto sudah mencapai angka tersebut. Dan Draco tidak bisa membayangkan, bagaimana nantinya...

'Apa Naruto akan melampaui angkanya yang sekarang?' Dan itulah yang kini sukses membuat Draco pusing tujuh keliling. Yang berakhir dengan ia memutuskan untuk menyembunyikan rasa nyaman tersebut di balik kata-kata 'tajamnya'.

Sementara Draco tenggelam sejenak dalam pikirannya, Naruto mengulang-ulang kembali kata-kata yang Draco ucapkan di benaknya, dan perlahan memerhatikan kata-kata itu dengan seksama.

Ia telah mengetahui sifat kakaknya yang sangat keras kepala, dan ia sangat mengerti dan maklum mengapa kakaknya bersikap seperti itu. Terkadang ada saat-saatnya di mana ia tak dapat menghapuskan setitik kekesalan yang timbul karena Draco.

Untuk saat ini agar rasa kesalnya tidak bertambah, Naruto memutuskan untuk tidak menanggapi omongan Draco dan terus mengeringkan rambut kakaknya.

Naruto berhenti sejenak untuk memikirkan kata-kata yang akan ia ucapkan kepada kakaknya. Setelah menemukan kata-kata yang menurutnya simpel dan bisa dimengerti oleh kakaknya yang gampang salah paham itu. Ia membuka mulutnya dan berkata, "Aku paling tidak suka bila Aniue mengeringkan rambut dengan sihir. Angin yang dihasilkan sangat tidak baik untuk rambut dan kepala."

Menurut Draco, Naruto menjelaskan kelakuannya itu dengan nada khas segala tahu miliknya.

'Hmm.. segala tahu?' Draco hanya menyunggingkan seringaian kecil. Tidak jarang baginya mendapati Naruto dengan nada itu.

Karena nada itu dikeluarkan oleh Naruto di setiap kali ia merasa kesal karena Draco.

Bagi Naruto, ia tidak dapat melihat seringaian Draco. Tapi Naruto dapat merasakannya.

Naruto pun menghela napas kesal. Tangannya memukul pundak kanan kakaknya itu. "Jangan mengejekku Aniue!" nada itu sukses menghapus nada segala tahu miliknya dengan nada Aniueeeeeeeee-aku-kesal-padamu!

Membayang pipi Naruto yang memerah karena kesal, dan berimajinasi seakan-akan ada asap yang keluar dari kepalanya. Asap yang sangat mirip dengan asap yang dikeluarkan oleh kereta api, sukses membuat Draco tertawa.

Namun, pukulan yang diberikan Naruto padanya, membuatnya memutuskan untuk menahan tawa yang akan meledak saat ini juga.

Menahan tawa itu sangatlah susah, apalagi menahan tawa yang murni berasal dari kejadian yang menghibur.

Untuk menahan tawa, Draco harus mengerutkan dahi, mengembungkan pipi dan tangan kanannya membekap mulutnya, agar tidak ada satupun suara yang berhasil keluar dari mulutnya.

Tidak lama kemudian mereka berduapun tertawa. Berawal dari Draco yang menahan tawa, dan Naruto yang tertawa keras setelah melihat Draco yang tersedak karena menahan tawanya.

~End Flash back~

Draco melihat sekeliling kamar, mencari seseorang yang selalu berada di sana. Setelah melihat orang yang dicarinya tidak ada, ia memanggil namanya.

"Naruto?" bisiknya pelan.

Biasanya ketika ia keluar dari kamar mandi Naruto akan menyapanya, lalu ia akan berbicara tentang apa yang dimasak mamah dan house elves. Kemudian, ia akan menarik tangan Draco dan berkata.

"Ayolah Aniue... Jangan lelet... Aku sudah lapar. Ayo kita makan!"

Dan Draco akan membalasnya dengan nada malas dan panjang yang sengaja ia buat untuk membuat Naruto jengkel.

"Humm... Kamu memang selalu lapar Naruto... Dan tidak usah terburu-buru, makanan-makanan itu tidak akan kemana-mana."

Naruto menoleh ke arahnya, tangan Naruto melepas tangan Draco. Lalu, ia menempatkan tangan di pinggang, dan menyipitkan matanya, menambah efek kesal miliknya. "Aku tahu itu Aniue. Tapi bagaimana kalau papah memakan bagian kita? Bagaimana kalau mamah melupakan menu favoritku? Bagaimana kalau-"

"Stop!" Draco memandang Naruto yang masih melihat tiga jari yang sudah dikeluarkan dari kepalan tangannya. Bisa ia bayangkan gerigi otak Naruto yang bergerak cepat memikirkan... a) berbagai alasan mengapa mereka harus cepat-cepat sarapan pagi dan b) alasan mengapa Draco menghentikan omongannya dengan paksa [atau lebih tepatnya berteriak].

"Hmm?" Naruto mengangkat satu alisnya tanda bingung. Dan Draco menyimpulkan, bahwa Naruto memikirkan kedua alasan yang ia pikirkan.

Melihat Naruto yang masih tampak kebingungan. Draco mengambil napas panjang. Lalu menatap Naruto dengan tatapan serius.

"Naruto, papah tidak akan memakan bagian kita. Biasanya juga, ketika kita sampai di ruang makan, papah sudah selesai makan. Dan kita akan melihat papah duduk santai dengan koran terbuka di kedua tangannya dan secangkir kopi panas di dekatnya. Lagipula mamah pun akan memperingati papah tentang pola makannya jika ia mengambil porsi makanmu. Lalu jika mamah melupakan menu favoritmu, kita akan memohon mamah untuk membuatkan menu favoritmu satu hari ini penuh."

Naruto yang mendengar penjelasan dari Draco mulai tersenyum, matanya berbinar-binar mengetahui Draco akan membantunya mengambil kembali porsi makannya. Melihat senyumnya, reflek membuat Draco pun ikut tersenyum.

Draco mengulurkan tangannya pada Naruto. "Ayo, kita ke ruang makan."

Senyuman Naruto belum pudar, malah senyumannya itu semakin melebar. Ia segera menggenggam tangan Draco, anggukan antusias darinya menjawab ajakan kakaknya.

Melihat anggukan semangat yang diberikan adiknya itu, sukses membuat Draco tersenyum lagi, walaupun hanya senyuman kecil. ( :] )

Bersama-sama mereka berjalan menuju ruang makan dengan bergandengan tangan...

~End Flash back~

Melihat Naruto yang tidak ada di kamarnya, sontak membuat hati Draco menjadi gusar. Khawatir bila adik tersayangnya marah akibat perbuatannya tadi.

Hubungannya dan Naruto saat ini membuatnya menggelengkan kepala. "Mungkin memang lebih baik seperti ini, Naruto sudah memberiku ruang untuk menyendiri. Dan aku menghargai itu. Dia memang adik yang pengertian." Ia menganggukan kepala, tanda yakin dengan perkataannya.

Setelah beberapa saat, Draco menyadari ada yang salah dari kata-kata yang ia ucapkan tadi. "Adik yang pengertian?" Kata-kata itu terdengar sangat salah di telinganya. Karena sekarang Naruto itu...

'Bukan adikku tapi dia... Aukh! Aku pusing sekali memikirkannya!' Draco menjambak-jambak rambutnya.

Kontrol sifat Malfoy yang perfect, arrogant, cunning, individual and so on, sering terbang keluar jendela disaat ia memikirkan Naruto.

Setelah puas menjambak rambutnya, ia membiarkan tangan kanannya menyentuh dan membenarkan poninya yang mulai turun dan menggangu pandangan matanya.

Mata silvernya memandang langit yang terlihat dari jendela kamarnya. Draco benar-benar bingung memikirkan hubungan antara dirinya dan Naruto sekarang.

'Setiap kali aku memikirkan Naruto.. Semuanya sangat membingungkan, baik sebelum aku mengetahui bahwa dia bukan adikku maupun setelah aku mengetahui itu semua.'

'Entah mengapa sebelum aku mengetahui kenyataan bahwa Naruto bukan adikku, perasaanku sudah mengatakan 'ada yang aneh tentang hubungan ini', persis kata mamah... Secara tidak sadar aku dan Naruto menjalin ikatan yang lebih dari sekedar batas hubungan kakak dan adik. Perasaan aneh yang muncul jauh di masa lalu itulah yang membuatku sangat tertarik pada Naruto. Hidupku selalu berfokus pada Naruto. Ia bagaikan magnet dan aku tidak bisa tidak ataupun berhenti memikirkan dia.' Draco mengurut dahi dengan kedua jarinya, mencoba meluruskan kembali dahinya yang telah mengkerut itu.

'Fiuh... Aku ini berpikir apa sih? Aku dan Naruto kan masih anak kecil.. Masalah tunangan itu bisa diatur saat aku dan Naruto sudah besar.' Draco menganggukan kepalanya, puas pemikirannya dapat menghasilkan hasil yang sempurna [menurutnya XD].

'Dan mengenai tingkahku tadi pagi, seharusnya aku tidak mendiamkannya seperti itu.' Sejenak, Draco memejamkan mata.

'Naruto... Diakan tidak tahu aku adalah tunangannya. Bahkan, ia tidak tahu papah dan mamah bukan orang tua kandungnya.'

Apa yang akan terjadi, jika Naruto mengetahui semua ini. Apa dia akan melakukan, apa yang aku lakukan padanya sekarang. Menjauhinya... Menjauhiku...

Draco menghela napas. Tidak terbayangkan saat dimana Naruto akan menjauhinya. Dan jika saat itu tiba, ia [dirinya] akan sangat-sangat rapuh.

Draco keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang makan. Ia hanya melihat Narcissa sedang berbincang dengan Lucius, sedangkan Naruto masih tidak terlihat batang hidungnya di sekitar ruangan. Draco menghela napas...lagi.

Sesekali, ketika ia menyuapkan makanan, ia melirik ke arah Narcissa dan Lucius. 'Apa yang sedang dibicarakan mamah dan papah?' lalu pandangannya kembali jatuh pada sebuah kursi yang masih belum juga ditempati oleh Naruto.

Memikirkan Naruto, membuat ia berpikir kembali.

'Jadi, apa yang seharusnya aku lakukan sekarang? Meminta maaf atau menjauh?'

Mungkin aku akan berbicara dengannya ketika aku bertemu dengannya.


Ia terus mencari keberadaan Naruto. Di kamarnya... tidak ada. Kamar mandi... no. Di perpustakaan... nope. Di ruang makan... jelas-jelas dia tidak ada.

'Apa Naruto tidak sarapan pagi?' Draco mulai benar-benar mengkhawatirkan Naruto.

Draco mulai berlari, ia berharap bisa menemukan Naruto secepatnya dan meminta maaf padanya [walau sebenarnya sifat Malfoynya enggan meminta maaf pada Naruto]. Kali ini [dan mungkin untuk selamanya], membuat Naruto salah satu pengecualian. Karena semua logis Malfoy miliknya akan terbang keluar jendela bila bersangkutan dengan Naruto.

Taman... not here. Dapur... hmm... empty.

Draco semaking gelisah, ia harus menemukan Naruto secepat yang ia bisa, karena ia sekarang [dari tadi], telah tenggelam dalam lautan 'guilty'miliknya.

'Naruto... Ayolah... Di mana kamu berada?'

Ia sudah menengok ke sana-sini mencoba menangkap warna rambut pirang-gold milik Naruto di sekeliling rumah. Lelah mulai menyaingi Draco dan memaksa Draco untuk mengambil napas dalam dan berelaksasi sejenak.

Setelah ia rasa cukup untuk beristirahat, ia mencari Naruto lagi.


"Lizzy..." bisik Naruto lembut.

Tiba-tiba muncul satu house elf di hadapannya. Lizzy adalah house elf yang diberikan Lucius kepadanya. Enggan memperlakukan house elf sebagaimana pureblood pada umumnya. Ia memberikan house elf kesayangannya itu, baju yang layak pakai.

Melihat senyuman Lizzy yang ditunjukan padanya, membuat Naruto tersenyum simpul. "Ya.. Tuan Naruto... Apa perintahmu tuan... Tuan Naruto?" mendengar kata tuan, sukses melunturkan senyuman Naruto.

Ia membuang napas panjang, pandangannya segera menuju pada sosok Lizzy yang berdiri sedikit membungkuk di hadapannya, matanya ragu untuk bertemu langsung dengan pandangannya.

Senyum simpatik muncul di wajah Naruto.

Tidak ingin mengagetkan Lizzy, Naruto berkata dengan nada yang lembut. "Lizzy, jangan memanggilku dengan panggilan tuan. Itu membuatku... tidak enak." Ia tidak berniat untuk berkata tajam [bagi Naruto, itu tajam XD] Namun untuk berhadapan dengan house elf, lebih baik berkata jujur apa adanya. Mereka lebih menghargai itu.

Mendengar perkataan Naruto, sontak membuat Lizzy semakin membungkukan badannya, tanda hormat yang sering house elf berikan kepada tuan mereka. Telinga panjangnya gemetar. Naruto membayangkan, mata hitam Lizzy pun membesar dan terdapat genangan air mata di sana, tanda takut bila ia harus dihukum.

"Tuan... ma-maafkan... tuan..." Naruto segera mengangkat kepala Lizzy dengan lembut, takut membuat house elf ini histeris.

"Lizzy, aku sudah bilang... Aku lebih senang, bila temanku memanggil namaku tanpa embel-embel tuan atau kata-kata formal lainnya. Lizzy juga temanku, dan ia akan memanggilku dengan namaku kan?" Mata Naruto memandang mata house elf itu, sekelibat pemikiran muncul di benaknya.

"A..apa mungkin Lizzy tidak ingin berteman denganku?" Nada ketakutan yang sengaja dibuat olehnya, sukses membuat house elf itu terkejut.

Dengan nada terbata-bata, Lizzy berkata, "Te-tentu saja.. Aku adalah te-teman... Tuan..."

Naruto memicingkan mata, sebagai penambah efek semata. "Kalau kamu benar-benar temanku. Kamu pasti memanggilku dengan namaku, tanpa embel-embel tuan."

"Kau memanggilku tuan. Bila, ada tamunya papah. Ok." Naruto mengedipkan matanya.

Melihat tuannya tidak marah pada tingkahnya membuat Lizzy tersenyum kecil. Tingkah tuannya ini selalu membuatnya kaget. Semula ia menyangka ia akan diperlakukan buruk seperti tuannya [sebelum tuan Naruto] memperlakukan dirinya. Ia sangat bersyukur dimiliki oleh tuan yang sangat baik. Bahkan tuan Naruto memperlakukannya seperti teman. Teman adalah posisi yang sangat tinggi yang bisa house elves raih dari tuannya.

"Baiklah Naruto." Ucap Lizzy dengan sedikit membungkukkan badannya.

Senyuman kecil terlihat di wajah Naruto, dan Lizzy bangga karena ia dapat membuat 'teman'nya tersenyum. "Lizzy, maukah kamu mengambilkan makanan untukku? Aku... belum sarapan pagi..." tangan Naruto menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Lizzy segera menjawab. "Tentu saja Naruto" lalu poof Lizzy menghilang.

Setelah Lizzy menghilang, Naruto membiarkan tangannya jatuh ke bunga mawar terdekat darinya.

Sekarang ini, ia sedang berada di taman di mana beragam jenis bunga mawar tumbuh. Harus ia akui, ia menyukai aroma bunga-bunga mawar ini, aroma bunga ini dapat membuat hati tentram dan membuat pikirannya jernih walau dalam sekejap. Dan mungkin orang lain akan menganggapnya girlish bila mereka mengetahui ia menyukai aroma bunga mawar. 'Apalagi aniue... Pasti dia akan menggodaku, kalau ia tahu aku menyukai aroma mawar.'

Mengingat Draco, membuat pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi. Mata birunya memandang kosong bunga mawar ungu yang ia sentuh dengan lembut. Takut bila sentuhannya dapat membuat kelopak bunga ungu itu terjatuh.

Dengan perut kosong dan emosi yang meluap, sukses membuat matanya bergelinang air mata. Ia mengingat-ingat tingkah lakunya beberapa hari terakhir, mungkin ia tidak sengaja ataupun lupa telah membuat kakaknya jengkel.


Dahinya mengkerut, ia benar-benar tidak ingat kalau ia telah membuat Draco marah. Kata-kata... tidak ada. Tingkah... tidak ada.

Dan kali ini ia benar-benar bingung. Naruto yakin ia tidak melakukan hal yang membuat Draco marah.

Kali ini Naruto menyentuh mawar kuning yang berada di samping kirinya. Perlahan air mata yang berlinang kini turun ke pipinya.

Tubuh hangat yang dekat namun terasa jauh...

Bahu tegak, tangan mengepal kuat, dagu yang terangkat...

Pandangan dingin yang Draco lempar padanya sebelum ia membalikkan tubuhnya.

Sosok yang menjauh... Sosok yang tidak sekalipun menengok ke belakang...

Tidak ada tangan yang mensupport tubuhnya... Tidak menanyakan keadaannya... Tidak ada tatapan yang menyiratkan permintaan maaf...

Dan... Tidak peduli...

-sama seperti... biru... hitam... dan merah... tomoe... berputar...-

Apakah Draco kesal? Marah? Sangat marah? Sehingga ia nampak tidak peduli...

Apa Draco... Membenciku?

Benci...

Lalu.

Tidak peduli...

Tidak! Jangan... bzzzt... tinggalkan... bzzzt... aku!

Perut kosong Naruto memanggilnya dari lamunannya. Naruto segera mengelap air matanya, sehingga hanya tampak mata yang sedikit merah, yang biasa disebabkan karena iritasi.

Poof! Lizzy muncul di hadapan Naruto dengan membawa makanan dan minuman lalu menyimpannya di samping Naruto yang masih memerhatikan bunga mawar kuning yang ia sentuh.

"Tu.. Naruto..." Lizzy sedikitt ragu untuk memanggil nama Naruto. Ia mengetahui, tuannya sedang bersedih hati. Lizzy hanya bisa berdoa, agar apapun kesusahan yang sedang dihadapi Naruto, bisa teratasi dengan lancar.

Naruto yang kembali tersadar dari lamunannya, segera memandang Lizzy. "Ya?" suaranya terdengar kecil. Dan Naruto tidak perduli untuk memperkeras suaranya, ia tidak punya tenaga lain untuk itu, dan ia yakin Lizzy pasti menangkap suaranya.

Lizzy hanya melihat sarapan yang ia taruh di samping Naruto. Naruto mengikuti arah pandang Lizzy dan menemukan makanan dan minuman yang sudah tersedia di sampingnya. Senyuman simpul ia arahkan kepada Lizzy. "Terima kasih Lizzy..."

Lizzy mengangguk kecil, lalu ia menghilang dengan bunyi poof yang mengiringinya.

Dengan cepat Naruto segera melahap makanan, hingga beberapa menit kemudian ia telah menghabiskan makanannya. Walaupun terkadang ia batuk karena tersedak.

Setelah selesai, Lizzy muncul dan mengambil piring dan gelas. Dengan ucapan terima kasih dari Naruto, Lizzy pun menghilang.

Naruto melihat jam saku miliknya. 'Jam setengah dua belas...' Naruto sudah lama menghilang, pasti saat ini mamah sedang mengkhawatirkan dirinya. Naruto menghela napas kesal, 'Aku tidak tahu apa salahku sehingga aniue bersikap seperti itu padaku. Mungkin aku akan bertanya padanya apa salahku, saat aku bertemu dengannya.'

"Naruto! Naruto! Kamu di mana nak?" suara Narcissa menarik perhatian Naruto. Ia segera berdiri dari tempat duduknya.

Bisa ia lihat, wajah Narcissa yang panik, dan matanya yang menunjukan khawatir. Sehingga tanpa basa-basi, Naruto menghampiri Narcissa.

"Ada apa mah?" tanyanya lembut.

Mendengar suara Naruto, Narcissa segera memandang anaknya itu dan memeluknya erat. Naruto memandang mamahnya dengan bingung. 'Mungkin aku telah membuatnya terlalu khawatir.'

"Kemana saja kamu nak? Mama mencarimu dari tadi. Mama takut terjadi hal yang mengerikan padamu." Bisik Narcissa lembut. Perlahan ia melepaskan pelukannya, dan memandang langsung mata biru milik anaknya itu.

"A..aku ada di taman ini mah. Ma-maafkan aku.. Aku telah membuat mamah khawatir." Naruto mengepalkan tangannya.

"Kamu sudah makan, Naruto?"

"Ya mah. Tadi Lizzy membawakanku makanan. Mah... aku..."

Melihat tangan anaknya mengepal, Narcissa segera memegang tangan Naruto hingga tangannya perlahan tidak mengepal.

"Naruto... Ada apa?"

"Umm...''

Naruto memainkan lengan baju miliknya, sedikit enggan menanyakan masalah ini kepada Narcissa. 'Tapi... kalau tanya langsung pada aniue... Aku takut aniue marah lagi padaku.' Naruto melihat ke arah Narcissa.

"Mamah, apa mamah tahu mengapa Aniue marah padaku?"

Mata Narcissa terbelalak kaget, "Marah padamu?"

Naruto mengangukkan kepalanya. "Ya, umm... Sikap Aniue tadi pagi... dingin." Naruto menceritakan kejadian tadi pagi. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus-elus belakang lehernya, tanda khas Naruto saat ia mengalami tekanan ataupun malu.

Narcissa mengalihkan pandangannya ke arah bunga mawar kuning yang disentuh Naruto. Dia sudah menyangka semua ini terlalu cepat untuk Draco, tapi ia tidak berpikir Draco akan menjauhi Naruto seperti ini.

"Untuk saat ini, mama hanya menyarankan biarkanlah dulu kakakmu itu. Mama yakin kakakmu saat ini sedang tidak enak hati dan tanpa sengaja ia melampiaskan semuanya padamu."

Naruto mengangguk pelan. "Makasih ya mah..." Narcissa tersenyum kecil, meskipun Draco bersikap seperti ini pada Naruto, ia berharap hubungan persaudaan mereka tidak akan putus.

"Ya. Mama ke dalam dulu ya..."

"Oke mah... Aku masih ingin di sini." Senyuman menghiasi wajah Naruto.


"Duuh.. Di mana sih Naruto itu! Aku sudah mencarinya kemana-mana." Draco tampak sangat lelah, napasnya memburunya [o.o], tangannya mencengkram bajunya. 'Satu... Dua... Tiga... Empat... Li-' Draco mencoba mengatur napasnya.

'Hmm... Mungkin aku akan bertanya pada Lizzy, Diakan house elfnya Naruto. Dia pasti [mungkin] mengetahui di mana Naruto sekarang.'

"Lizzy."

Poof! Lizzy muncul di hadapan Draco, dia membungkukkan badannya lalu menatap Draco, tapi tidak menatap matanya. Karena itu adalah hal yang taboo bagi house elf untuk menatap mata tuannya, kecuali Naruto [karena dia akan merengek 0.0].

"Y..ya.. Tuan Draco."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Draco memutuskan untuk langsung bertanya. "Lizzy, apa kamu tahu di mana Naruto sekarang?"

"U..um.." Lizzy tidak tahu harus berbuat apa. Melihat wajah Naruto tadi, Lizzy bisa menebak karena Dracolah Naruto menjadi sedih. Lizzy tidak ingin memberitahukan di mana keberadaan Naruto. Tapi, kalau dia tidak memberitahu Draco...

Melihat keragu-raguan Lizzy, Draco segera berkata, "Lizzy. Di mana Naruto? Aku... ingin... berbicara padanya."

Lizzy masih menundukan kepalanya. Melihat hal itu, Draco menghela napas panjang. "Lizzy, aku ingin meminta maaf pada Naruto." Sebenarnya Draco sangat enggan mengatakan itu pada house elf, tapi bagaimana lagi, dia ingin segera meminta maaf pada Naruto.

Melihat Draco yang nampak putus asa, akhirnya Lizzy memberitahukan Draco, tempat Naruto berada. Draco mengangguk tanda terima kasih dan langsung berlari menuju taman.

"Huff.. Mengapa tadi aku tidak memeriksa taman bagian ini."


Sesampai di taman, Draco segera mencari Naruto. 'Lizzy bilang, dekat mawar ungu.. Hmm..'

Rambut pirang-gold Naruto sangat mencolok dengan background ungu. "Na..." sebelum Draco memanggil Naruto. Naruto sudah berbicara dengan mamah. Draco semakin mendekat mencoba mendengarkan apa yang dibicarakan mamah dan Naruto.

"Mamah, apa mamah tahu mengapa Aniue marah padaku?"

Mata Narcissa terbelalak kaget, "Marah padamu?"

Naruto mengangukkan kepalanya. "Ya, umm... Sikap Aniue tadi pagi... dingin." Naruto menceritakan kejadian tadi pagi. Tangan kanannya ia gunakan untuk mengelus-elus belakang lehernya, tanda khas Naruto saat ia mengalami tekanan ataupun malu.

Narcissa mengalihkan pandangannya ke arah bunga mawar kuning yang disentuh Naruto. "Untuk saat ini, mama hanya menyarankan biarkanlah dulu kakakmu itu. Mama yakin kakakmu saat ini sedang tidak enak hati dan tanpa sengaja ia melampiaskan semuanya padamu."

Naruto mengangguk pelan. "Makasih ya mah..."

"Ya. Mama ke dalam dulu ya..."

"Oke mah... Aku masih ingin di sini." Senyuman menghiasi wajah Naruto.

Entah mengapa melihat Naruto membicarakan dirinya pada mamah membuat sebuah gejolak kecil [namun berbahaya] di hatinya. Dan tanpa sadar ia menggertakan giginya.

'Ia mengadu pada mamah!' gertakan itu sangat kuat, sampai-sampai giginya sakit [o.o walah]. Draco segera meninggalkan taman, berlari menuju dapur, berniat mengambil air putih untuk ia minum. Berharap air putih dapat meredam amarahnya, namun kilatan api masih terpancar panas di mata silver itu.


Duduk lama di kursi taman membuat Naruto lelah, otot kaki dan punggungnya serasa tersusun dari batu bata. Ia memutuskan untuk berdiri dan berjalan ke dapur, berniat mengambil dessert yang biasa dibuatkan Narcissa.

"Hmm.. Mungkin pudingnya masih ada di meja makan?" Melihat objek yang akan dimakannya benar berada di meja makan. Naruto segera mengambilnya dan melahapnya.

Setelah menghabiskan puding, Naruto berdiri untuk mengambil gelasnya yang berada di dapur. "Kalau tidak cepat-cepat minum air, aku pasti akan batuk. Kalau aku batuk, aku pasti akan dimarahi mamah." Tidak melihat ke mana dia melangkah, Naruto tiba-tiba berada di lantai, "Aduduh..." Ia meringis kesakitan, tangan kirinya segera memegangi paha kirinya.

"Kh!" mendengar ringisan juga, Naruto segera menatap ke depan. Ia melihat Draco yang memegangi tangan kanannya yang nampak terkilir. Melihat hal itu, Naruto segera berdiri dan mengulurkan tangannya kepada Draco, berniat membantu kakaknya berdiri. "Aniue, daijobu?"

Bukan membalas perkataan Naruto dengan "aku baik-baik saja" atau "tidak, tanganku sakit," Draco hanya memandang Naruto dengan kilatan amarah, tangan Naruto ia tepis begitu saja. Setelah itu Draco berdiri, dan berjalan meninggalkan Naruto.

'Seperti kejadian tadi pagi... Aku...' Tubuh Naruto bergerak sendiri. Tangannya memegang baju Draco, membuat Draco berhenti.

"Aniue.. Aku.. aku minta maaf... Aku tidak sengaja..."

'Ya.. Tidak sengaja... Tapi, yang kamu adukan pada mamah itu semua sengaja.' Gumam Draco kesal. Sayangnya [atau tidak sama sekali] Naruto hanya mendengar ucapan sengaja terlontar dari Draco. Naruto segera berjalan ke depan Draco agar dia berhadapan dengan kakaknya itu.

"Aniue.. Aku kan sudah bilang aku tidak sengaja. Menapa kamu bilang aku sengaja!" Naruto kaget, tidak menyangka dia akan berteriak seperti ini pada aniuenya.

Draco yang terbawa emosi pun berteriak, "Aku bilang, kamu sengaja mengadukan aku pada mamah!" kilatan itu masih belum hilang dari mata Draco, dan kini Naruto melihatnya dengan jelas.

"Aku tidak pernah mengadukan Aniue pada mamah!"

"Kamu tidak usah bohong Naruto! Aku melihat dan mendengar sendiri, tadi di taman kamu mengadukanku pada mamah!"

"Tidak. Aku tidak mengadukanmu, Aniue!" Kedua tangan Naruto sekarang menggenggam erat baju Draco.

"Aku tidak ingin mendengar alasanmu, Bodoh!"

-o..b..e..D-o...!-

Ucapan yang seketika mengiang-ngiang di pikiran Naruto ditambah mendengar ucapan Draco menyebut dirinya bodoh. Kontan membuat Naruto menangis.

"A-aku benar-benar tidak - hk- mengadukan Aniue pada ma-mah! A-aku hanya me-nanya-kan me-ngapa Aniue ber-sikap dingiiin pa-daku tadi pagi-hk." Naruto berbicara dengan napas yangtersengal-sengal karena tangisannya itu.

"Ba-ru kali ini Ani-ue mengataiku- bodoh. Apa Aniue be-nci padaku!" Naruto menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

"A-aku tidak bodoh. Aniue yang bodoh! Aniue yang ti-dak percaya padaku!" Setelah itu Naruto berlari meninggalkan Draco berdiri seorang diri di lorong dapur. Kali ini Draco yang menatap kosong kepergian Naruto...


"Hosh...hosh.. Ka-kakiku sudah tak kuat lagi." Narutopun mendudukan dirinya di atas rerumputan hijau, lalu ia merebahkan diri dengan tangan kanan yang menutupi wajahnya. 'Aku menyebut aniue bodoh.' Segelintir perasaan bersalah menghinggapi hatinya. Namun mengingat aniuenya yang duluan mengatai dirinya bodoh membuat Naruto berpikir, "Nah... Dia duluan yang menyebutku bodoh."

Naruto menengadahkan kepalanya, menatap pohon ceri yang menghalangi panasnya sinar matahari dari tubuhnya. Melihat buah-buah ceri yang nampaknya ranum, membuat Naruto ingin memetiknya.

'Hmm... Mungkin aku pun akan memberikan beberapa ceri pada aniue, sebagai permintaan maafku.'

Dengan segera ia menaiki pohon itu, tujuannya hanya satu... Membawakan ceri itu untuk aniuenya...


Apapun peran yang harus dijalankan oleh Draco saat ini, ia tidak tahu pasti. Yang ia tahu pasti, dia harus secepatnya menemui Naruto.


"Hmm... Satu.. dua.. lima belas... Sepertinya ini sudah cukup." Melihat masih banyak ceri yang ranum namun sangat jauh dari tempatnya ia duduk di dahan, membuat Naruto menghela napas, "Apa boleh buat yang lainnya sangat jauh. Aku.. akan memberikan aniue delapan ceri." Dengan sebuah anggukan, Naruto turun dari pohon.

"SRETt!"

Naruto hilang kendali akan kakinya. Ia tidak mengetahui apa yang terjadi, sesaat dia melihat tangannya yang memegangi pohon dan sesaat kemudian dia melihat langit biru. Masih dalam keadaan kaget, dia menyadari bahwa tubuhnya sesaat lagi akan bersentuhan dengan tanah. Dan Naruto berharap tanah dan rerumputan itu tidak terlalu kasar saat tubuhnya sampai ke tanah.

Entah kapan ia memejamkan matanya. Namun ia tahu, ia sudah ada di bawah. Memang agak keras namun tidak sekeras yang ia bayangkan jika ia menyentuh tanah. Ketika Naruto membuka matanya, ia melihat Draco yang mengiris pelan. Nampaknya akibat menangkap Naruto, Draco jatuh dengan tangannya yang tadi terkilir.

"Ke..kenapa?"

"Bodoh! "

"Kamu memang bodoh! Bodoh! Baka! Aho! Atau apalah itu! Aku sudah lelah memanggilmu bodoh!" Draco memegangi pergelangan tangannya, sedangkan Naruto masih duduk dipangkuan Draco.

"Ma-" Kata maaf terputus dari bibir Naruto. 'Huh! Aniue yang duluan membentakku, mengapa aku yang duluan minta maaf.' Namun, melihat warna kulit aniuenya yang memerah membuat Naruto mengurungkan egonya. 'Bagaimanapun aku juga yang salah. Aniue terluka gara-gara aku kurang hati-hati.'

"Maafkan aku Aniue." Bisik Naruto. Ia enggan meminta maaf keras pada Draco. Sedangkan Draco hanya melihat kepala Naruto yang menunduk, membalas Naruto dengan sebuah deheman.

Masih belum menatap Draco, Naruto mengarahkan tangannya pada kakaknya, "Aku memanjat pohon bukan karena aku bodoh. Tapi, karena buah cerinya sudah ranum dan aku ingin memetiknya. Aku memetik lima belas, sebagian ingin aku berikan pada Aniue. Ini." Naruto membuka kepalan tangannya.

Draco yang melihat ceri-ceri ranum itupun mengambil beberapa lalu segera memakannya.

Tidak menyangka kakaknya akan memakan begitu saja ceri yang ia petik, Naruto menatap Draco dengan rasa berdebar. 'Cerinya sudah ranum benar kan? Duh, bagaimana kalau Aniue ngambilnya yang belum begitu ranum, nanti dia nyalahin aku lagi.' "Rasanya?" tanya Naruto penasaran.

"... Bitter..."

"Bitter?" 'Yah benar tebakanku, aniue mengambilnya yang belum terlalu ranum.' Naruto menghela napas kecewa.

"Bittersweet." Draco mengambil ceri lagi dari tangan Naruto. Melihat itu, Narutopun tersenyum dan segera beranjak dari pangkuan aniuenya.

"Aniue, kita bersihkan dulu lukanya. Mamah pasti akan bantu kita."

"Ya." Naruto mulai berjalan keluar dari taman cheri. Sedangkan Draco masih memandangi buah ceri kembar yang ia pegang.

Bittersweet... Apapun peran yang harus dijalankan oleh Draco saat ini, ia tidak tahu pasti. Yang ia tahu pasti berada di samping Naruto, ia akan merasakan bittersweet. Dan ia akan menerimanya dengan senang hati, karena itu Naruto. Naruto tidak akan berubah sampai kapanpun [mungkin?]

'Lagipula aku menyukai bittersweet flavour.' Draco tersenyum kecut.

"Aniue! Ayo cepat!" Teriak Naruto yang sudah mendekati pintu masuk.

Draco segera beranjak dan berlari menuju Naruto, tidak lupa hati-hati akan tangannya yang terluka. "Iya-iya, dasar cerewet!"

'Definitely bittersweet cherry flavour...'

-O-T-b-C-O-

Note :

Mengenai persen kenyamanan. ^^'a

Dear Readers, perasaan seseorang tidak dapat dinilai oleh angka-angka, tapi saat itu Draco masih kecil. Ketika ia bingung ia akan membuat sumber kebingungannya itu menghilang, terpecahkan, ataupun menyamakannya dengan logika-logika ataupun angka yang sering Lucius berikan kepadanya [dengan alasan karena ia adalah seorang Malfoy. Ia tidak akan dikalahkan oleh kebingungan]. Kebingungan Draco kali ini, ditambah oleh omongan keceplosan dari Lucius. [karena Lucius pun baru bisa membedakan ukuran perasaan tersebut akhir-akhir ini. Belum lama.]

Mengenai sifat Malfoy yang sering Draco singgung di sini adalah gambarannya dari sosok Lucius, ayah sekaligus idolanya. Ia ingin mencontoh segala sifat, tingkah laku yang dapat ia tangkap dari sosok Lucius [walaupun itu hanyalah sifat, tingkah laku 'raw' Lucius]. Dan ia pun ingin dijadikan kebanggaan Lucius... dan juga Narcissa... dan yang pasti Naruto.. Karena ia mengidolakan Lucius, ia berpikir mungkin ia pun akan menjadi 'idola' Naruto bila ia seperti Lucius. Saat itu, ia ingin menjadi sosok kakak yang 'sempurna' bagi Naruto.

Malfoy benar-benar berpikiran rumit ^^'a

Atau Sanao yang rumit? XD

Mengenai Lizzy, dia salah satu house elv yang Sanao buat (berarti OC ya?) Ia akan mempunyai peran penting di masa mendatang (mungkin? XD)

Lizzy, house elv pemberian dari rekan kerja Lucius. Kebetulan Naruto melihat Lizzy duluan, dan ia meminta (memohon/merengek) pada Lucius agar Lizzy diberikan padanya. Dan Lucius... Kayanya Sanao ngasih penjelasannya kepanjangan ^^'a

Mungkin akan Sanao buat scene ini untuk chapter di masa mendatang. Hmm.. Itu pun.. Sanao serahkan pada para readers. :D Readers ingin membaca scene Naruto yang merengek pada Lucius atau tidak? XD


Sup..

Terima kasih yang sudah review! ^o^

=naru-suka-lemon-kun

: Lama... banget ya? XD *geplaked*

Boleh juga? Hore! ^o^/ *lari ke sana-sini*

Di sini Sanao lamain, beneran ^^v.. Malah kayanya alurnya lemoot banget -.-a *baca lagi dari awal* Yup, alurnya lambat banget T.T

=hatakehanahungry

=sasunaru4ever

:Hehehe enggak apa-apa ^w^ Sanao juga... Sanao juga baru update sekarang =.=a Yup, masih flash back, dan sampai chapter ini juga. Chapter selanjutnya move on XD Quirell kah? Niat buruk? Hummm.. *senyum-senyum gaje* Rahasia! XD It's okay *cielah Sanao pakai Inggris o.o* ceritanya gimana baguskah? Gajekah? XD

=The DeVil's eyes

=rukishiro kurosaki

=Narunaru-chan

:Uwaah... Sanao juga senang ^o^/ Mudah-mudahan saja ceritanya enggak ngebosenin ya? ^-^

Kilat... *lihat tanggalan* untuk saat ini sepertinya no comment, untuk selanjutnya.. akan jadi bahan pertimbangan XD

=The Black Jacket

=Guest

:Walah, karena hanya ada namanya guest, jadinya sama Sanao ditulisnya guest, maaf ya... -.-a

Sip, lanjut kok lanjut XD

=Neterya imel

=Vanni

:Absolutely.. *thumbs up* :D

Dan terima kasih juga sudah fave, alert, dan membaca cerita Sanao…^^


Sanao baru sadar, sudah tiga chapter Diamond sparkle, Sanao membuat masing-masing chapter 20 lembar ms word [!] o.o Mudah-mudahan ada peningkatan kualitasnya, meskipun hanya sedikit -.-a

Jangan sungkan untuk mengobrol dengan Sanao, walaupun Sanao akui, Sanao akan lamaaaa sekali balesnya [sama seperti *lirik fb*] yang belum di bales-bales -.-a Tapi... Pasti Sanao bales kok... Beneran ^^

Sampai jumpa lagi ^o^ *waving hands*

Sanao Mikaru

29-07-2013