Yukiko Hiruma Proudly Present

An Eyeshield 21 multichapter FanFic,

Choice

[Karena kau lah oksigenku, hal terpenting bagiku]

.

.

Eyeshield 21 © Riichirou Inagaki & Yuusuke Murata

Warning (s): cerita kali ini—seperti yang telah direncanakan—akan sangat panjang dan maksa, HiruMamo, slight SenaSuzu, Absolutely Ooc, kayak sinetron, 3rd POV, Deathchara, Abal tenan, romance gagal, friendship tidak terasa, dsb

Don't like? Don't read, ya!

Last Down: It Is What It Is

.

.

Flashback

"Itu benar sekali, Mamo-nee, sejauh apapun jarak memisahkan kita, kita kan tetap teman," sahut Suzuna yang ternyata sudah menangis, ia pun memeluk Mamori erat. Hiruma pun berjalan meninggalkan kerumunan yang sedang menyemangati Mamori. Tanpa Hiruma sadari, sepasang iris sapphire tengah menatapnya sambil menahan tangis. Hiruma.. kalau kau menyuruhku pergi, kenapa wajahmu muram seperti itu?

Flashback end.

.

.

Tes.

Air mata kembali mengalir dari pelupuk mata Mamori. Suzuna hanya mempererat pelukannya saat menyadari kemeja sailor-nya basah. Sena tidak diam saja, ia mengelus pundak malaikat itu lembut. Sementara Monta hanya menahan tangis. Aku tidak menyangka Mamori-san jadi sedih karena akan berpisah denganku, pikirnya. Ha-Ha-Ha brother dan yang lainnya hanya bisa menatap lirih mantan manajer mereka yang sedang bersedih itu, sementara Doburoki-sensei—yang entah sejak kapan ada di sana—juga sibuk berpikir bagaimana jalan keluar dari permasalahan yang menimpa gadis itu.

Entah mengapa sang raja siang juga tampak ikut bersedih. Sinarnya makin meredup, meredup dan akhirnya tenggelam di barat, meninggalkan langit dengan dominasi warna jingga yang sangat indah; berharap supaya malaikat yang tengah menangis itu bisa melihatnya dan merasakan ketenangan. Sementara sang putri malam sudah nampak di langit, bersiap menghibur Mamori dengan sinarnya yang lembut. Tapi semua usaha mentari dan rembulan itu tidak terasa oleh Mamori. Gadis itu sedang sibuk mengatur perasaannya. Ia juga sibuk menghentikan otaknya untuk terus menggurat wajah Hiruma.

.

.

Setelah 5 menit lebih Mamori menangis dalam dekapan Suzuna, akhirnya tangisan Mamori berhenti. Mamori melepaskan pelukan Suzuna dari tubuhnya. Sebuah keputusan yang diambil Mamori sudah bulat dan ia tidak akan menyesal.

Ia memberikan senyuman penuh penghargaan pada mantan cheerleader era komando Hiruma itu. Iris sapphire-nya tidak terlihat gelap lagi. Ditatapnya lekat-lekat semua temannya yang ada di situ. Yang ditatap hanya melemparkan senyuman tulus. Senyuman seorang teman yang hangat dan memberi semangat. Matanya terbelalak kaget saat mendapati Musashi, Yukimitsu dan Kurita juga ada berdiri di antara kerumunan itu. Tapi, ia tidak mau mengajukan 5W+1H pada mereka. Untuk saat ini, ia hanya ingin menikmati setiap detik yang terasa begitu berharga.

Tapi, saat ia selesai mengedarkan pandangannya, ia menyadari ada sesuatu yang hilang. Tanpa aba-aba, hatinya terasa sakit dan perih. Pemandangan di hadapannya menyisakan sebuah lubang hitam di dadanya.

Angin malam sendiri sudah mulai berhembus. Menerpa tubuh-tubuh yang masih tegap berdiri di tengah lapangan itu. Anginnya terasa menyejukkan—sebenarnya. Tapi, bagi Mamori, angin itu terasa menusuk. Menamparnya telak sehingga ia sadar ada yang kurang. Ada yang hilang. Dan dalam sedetik kemudian, Mamori tahu benar apa yang kurang. Dengan cepat, kesedihan mulai menggerogoti tubuhnya. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang terus mendesak ke luar. Tapi, lengkungan yang indah tetap terpatri di wajahnya.

"Tidak apa-apa. Aku akan ... terbiasa," gumam Mamori.

.

.

"Mamori-neechan, kapan Mamori-neechan akan pergi ke Inggris?" tanya Sena dengan nada hati-hati. Pertanyaan itu sukses membuatnya dipelototi oleh sepasang bola mata biru tua milik Suzuna. Sena hanya bisa tersenyum bersalah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mamori hanya memandang Sena lembut. Ia kini berjalan di tengah-tengah mereka. Sena di sebelah kiri, Suzuna di sebelah kanan. Sebenarnya arah rumah Suzuna berlawanan dengan rumah Sena maupun Mamori, tapi gadis yang selalu ceria itu ingin mengantar mereka sampai ke stasiun. Dari pancaran mata Suzuna, terlihat jelas ia sangat khawatir pada Mamo-nee-nya itu. Sebenarnya kekhawatiran Suzuna itu tidak perlu karena kali ini tidak ada perasaan ragu di hati Mamori. Tidak ada lagi yang perasaan sakit yang menghujam dadanya. Ia sudah sepenuhnya yakin dengan pilihannya.

"Sehari setelah ujian selesai aku akan langsung pergi," jawab Mamori dengan santai. "Sudahlah Suzuna, aku tidak apa-apa kok." Mamori menepuk pundak Suzuna yang sedari tadi mengintimidasi Sena. Lelaki berambut coklat itu hanya tersenyum pada Suzuna, sementara gadis berambut biru tua itu memalingkan wajahnya dari Sena, marah. Tapi Mamori bisa melihat pipi Suzuna sedikit merona. Mamori tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa kecil. Sepertinya memang ada sesuatu di antara Sena dan Suzuna, pikirnya. Dua sejoli itu hanya menatap Mamori heran sekaligus khawatir.

"Tadi dia menangis, tapi sekarang malah tertawa.." pikir mereka bersamaan. Namun, kelegaan berangsur-angsur memenuhi hati Sena dan Suzuna saat melihat senyuman Mamori. Sejenak, tidak ada percakapan menghiasi perjalanan mereka ke stasiun. Keheningan melingkupi atmosfer jalanan yang cukup gelap itu.

Mamori hanya menggenggam erat tas hitamnya. Matanya menerawang ke langit yang sudah didominasi oleh warna navy blue. Bintang-bintang yang tersebar di langit malam itu bersinar dengan semangat, kerlap-kerlipnya menarik perhatian sang malaikat untuk memperhatikannya sejenak. Dalam hati, Mamori bersyukur kepada Tuhan karena ia masih bisa menikmati panorama—yang luar biasa indah—ini bersama dengan orang-orang yang sangat ia sayangi. Ia menatap Sena dan Suzuna bergantian, kemudian pelan-pelan melambatkan langkahnya. Kini, Mamori berjalan di belakang mereka, menatap punggung mereka yang ternyata sudah tumbuh menjadi remaja yang bertanggung jawab dan dewasa. Terutama Sena, dia tidak lagi membutuhkan perhatian berlebihan dari Mamori, atau sekotak bento setiap waktu istirahat. Sena sudah cukup dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Kini, Mamori bisa berkonsentrasi sepenuhnya untuk meraih cita-citanya dan juga mengurusi masalahnya sendiri.

Sang malaikat tanpa sayap itu menengadahkan kepalanya, menatap rembulan yang tergantung tepat di atas kepalanya.

Untuk yang kesekian kalinya, Mamori mengukir wajah lelaki itu.

.

.

Di tempat lain,

Lelaki yang hampir ditakuti seluruh warga Jepang itu tengah berdiri di tempat yang sama seperti kemarin malam. Di sebelah pagar pembatas lantai tertinggi di apartemennya. Namun, tidak ada headphone yang tergeletak lemah di lantai dingin itu. Headphone hitam itu kini tersematkan di tempat yang tepat, di kepala Hiruma. Lelaki itu kini sedang mendongakkan kepalanya ke atas. Matanya terfokus pada satu titik, rembulan. Sadar atau tidak, Hiruma tengah memikirkan manajer sialannya itu. Bahkan sedari tadi ia sibuk menguntit Mamori.

Garis wajah Hiruma terlihat tegas seperti biasanya. Angin musim gugur juga masih setia menemaninya. Kedua anting itu juga masih bergelayut di telinga elf-nya. Tapi, ada sesuatu yang salah darinya. Dada lelaki itu terasa sesak. Hal itu terjadi tepat saat headphone-nya menghasilkan input dari alat penyadap baru—yang lebih canggih, tentunya—yang ia pasangkan di tas Mamori. Sehari setelah ujian, aku akan langsung pergi.

"Ck, berarti dua minggu lagi," gumamnya kemudian meletuskan balon dari permen karet mint kesukaannya.

"Sudah kuduga kau di sini," sahut seseorang dengan suara beratnya. Hiruma tidak bergeming walaupun ia cukup kaget karena kedatangan orang tersebut yang cukup mendadak dan tidak terdeteksi. Ia tetap menatap rembulan di atasnya. Entah kenapa ia sama sekali tidak merasakan hawa kehadiran sahabatnya itu. Efek dari terlalu sering menguntit seseorang mungkin?

"Kau mencariku? Keh, kau perhatian juga rupanya, Orangtua Sialan!" sahut Hiruma ngasal.

"Seharusnya aku yang mengatakannya padamu, kau tahu?" Musashi tersenyum penuh rahasia kemudian menghampiri Hiruma. "Kau sedang sibuk ya?" tanya Musashi.

"Kalau kau tahu, seharusnya kau tidak bertanya!" hardik Hiruma. Ia sebenarnya tidak marah, hanya saja ia sedikit kesal karena sahabatnya itu datang di saat yang tidak tepat. Ia kan sedang sibuk menguntit Mamori.

"Boleh kutebak apa yang kau lakukan?" tanya Musashi lagi. Mantan kicker Deimon Devil Bats itu kini sudah berada di sebelah Hiruma. Tangannya yang berotot itu langsung bersentuhan dengan pagar pembatas. Ia berdiri dengan menyenderkan tubuhnya ke pagar itu dengan tangannya berfungsi untuk menyangga berat tubuhnya. Posisi itu cukup strategis bagi Musashi yang ingin melihat ekspresi sahabatnya itu.

"Lakukan saja apa yang kau mau,"

"Kau sedang menguntit Anezaki, kan?" Hiruma yang sebelumnya sibuk menatap rembulan langsung melirik tajam Musashi saat pemilik gelar '60-yard-magnum' mengatakan hal itu. Sementara Musashi tersenyum tipis sambil mengorek telinganya. Sudah kuduga, dia memang memerhatikan Anezaki, pikir Musashi.

"Kau tidak akan mengatakan 'itu' padanya sebelum ia pergi ke London?" tanyanya lagi, memecahkan keheningan. Hiruma tidak bereaksi, masih berusaha menyembunyikan kekalutannya dengan poker face andalannya. Tapi, Musashi yang sudah mengenal baik Hiruma langsung menyadari kalau sahabatnya itu sedang dilanda perasaan galau. Poker face itu tidak ampuh di hadapan Musashi.

"KE KE KE KE KE KE! Mengatakan apa, eh? Dua minggu lagi manajer sialan itu akan pergi! Kau ini bodoh ya, Orangtua Sialan?" Hiruma terkekeh sampai air matanya mengalir deras. Tapi dalam nada suaranya tadi, Musashi merasakan ada perasaan 'pasrah' dan 'sedih' tersisipkan di dalamnya. Lama keduanya terdiam. "Ternyata kau yang bodoh, Hiruma," gumam Musashi. Hiruma yang berdiri tak jauh darinya tentu saja bisa mendengarnya.

"Apa maksudmu?" Hiruma menarik kaos Musashi. Mata hijaunya berkilat-kilat tajam. Tanda dia serius dan tidak suka dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu. Musashi hanya tersenyum tipis kemudian melepaskan genggaman tangan Hiruma dari kaosnya.

"Sederhana saja, kau memang menara pengontrol permainan yang paling luar biasa di lapangan. Ah, aku salah. Di luar lapangan pun kau tetap bisa mengatur apapun yang kamu mau. Tapi itu tidak mengubah persepsiku kalau kau menara pengontrol yang gagal mengontrol sesuatu yang lebih penting dari apapun di dunia ini," jawab Musashi tak kalah serius.

"Gagal mengontrol hal sialan yang lebih penting dari apapun di dunia ini? Keh, Apa maksudmu?" tanya Hiruma, lelaki itu tertarik dengan kalimat yang di ucapkan Musashi.

"Perasaanmu. Kau menara pengontrol yang tidak bisa mengontrol perasaanmu sendiri, Yoichi Hiruma," jawab Musashi tenang kemudian berjalan meninggalkan Hiruma. Sementara Hiruma hanya terkekeh pelan saat Musashi berjalan melewatinya, "Don't be crazy, you fuckin' old man!" ejek Hiruma. Tapi walaupun begitu, setengah hatinya menyetujui apa yang baru saja lelaki itu katakan padanya.

Ia kembali mencengkram pagar pembatas itu walaupun buku jarinya sudah memutih. Hiruma kembali menatap rembulan yang tergantung bulat sempurna di atas kepalanya. Iris emerald-nya tampak lebih bersinar kala sinar rembulan terbias di sana.

Untuk yang kesekian kalinya, Hiruma menggurat wajah gadis itu.

.

.

Keesokan harinya,

Deimon High School, 05. 34 p.m

Semua ruangan kelas di SMA Deimon sudah tampak sepi. Namun, ada satu ruangan di lantai tiga yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Yah, tidak bisa disebut tanda-tanda kehidupan juga, sih. Tapi, cukup membuktikan kalau ada seseorang yang sedang melakukan aktivitas di ruangan itu.

Tik tik tik tik

Suara itulah yang sedari tadi memenuhi langit-langit ruangan paling ujung di khusus untuk tiga. Suara sentuhan antara keyboard dan sepuluh jari seorang manusia. Ah ... ralat. Seharusnya suara sentuhan antara keyboard dan sepuluh jari seorang manusia yang sering kali disebut iblis oleh manusia lainnya. Ya, manusia setengah iblis itu adalah Yoichi Hiruma.

Lelaki itu kini dengan santainya menatap layar laptop Sony VAIO kesayangannya. Ia—tumben—duduk di bangku paling depan, dekat jendela. Angin pun dengan mudahnya bisa menyentuh kulitnya yang mulus dan lembut itu. Tangannya yang ramping sedari tadi terus bergerak lincah di antara sekumpulan huruf dan angka yang tertera di keyboard. Hinggap di satu huruf kemudian loncat ke huruf lainnya, itulah yang dilakukan jari-jari Hiruma selama dua jam ini. Entah berapa bungkus permen mint telah ia habiskan. Lelaki itu mungkin tak peduli. Tapi, seorang gadis yang duduk tepat di belakangnya peduli.

"Sebelas," gumam gadis itu dengan suara yang sangat pelan saat melihat Hiruma mengambil satu bungkus permen karet dari samping laptopnya.

Plop

"Kenapa kau masih disini heh, Manajer Sialan?" tanya Lelaki itu kasar—seperti biasanya. Gadis yang jadi pujaan setiap lelaki di Deimon itu hanya tersenyum datar saat mendengar pertanyaan si lelaki berambut blonde itu. Sudah dua jam lelaki itu tidak menganggap keberadaannya sama sekali.

"Apa aku mengganggumu?" tanya Mamori hati-hati.

"Ya," jawab Hiruma singkat, namun dengan nada yang cukup pedas. Tapi, bibirnya mengulas sebuah senyum tipis. Sangat kontras dengan Mamori yang menggembungkan pipinya. Bibirnya mengkerucut, pipinya menjadi merah—kesal. Manis sekali! Tapi, sayang gadis itu tidak menyadarinya karena terlalu sibuk oleh rasa kesalnya pada kaptennya itu. Mengapa tidak? Dilihat dari sisi manapun, sebenarnya Mamori sama sekali tidak mengganggu Hiruma. Yang dilakukan gadis itu sejak bel pulang dua jam yang lalu hanyalah duduk di bangkunya sambil berusaha untuk tidur setelah kemarin malam sibuk mengepak seluruh pakaiannya. Apa itu layak disebut mengganggu? Bukankah sebenarnya Hiruma yang baru datang ke sekolah itu yang mengganggu istirahat sejenak Mamori dengan suara ketikan yang bercampur dengan letusan gelembung permen karet itu? Itu benar, Hiruma baru datang ke kelas saat bel berbunyi, saat anak-anak lain sibuk untuk pulang. Haha, benar. Dalam kata lain, penguasa Jepang dari balik layar itu sukses melewati seluruh pelajaran hari ini. Oh! Hari ini pun ia sukses mengganggu Mamori, hal yang akan sangat ia rindukan nantinya. Walaupun saat ini hal itu belum terasa.

"Manajer Sialan!" panggil Hiruma, meruntuhkan lamunan Mamori yang sudah melebar kemana-mana.

"Ya?"

"Memangnya Universitas itu mau menerima monster sialan penggila hal menjijikan sepertimu?" tanya Hiruma sambil membalikkan badan. Tak lupa, seringai jahil terpatri di wajah tampannya itu. Sementara itu, Mamori sibuk mengutuk Hiruma—dalam hati, tentunya. Gadis itu memalingkan wajahnya. Bersiap untuk menyambut ajakan perang dari Hiruma.

"Tentu saja, aku kan pintar," jawab Mamori pede.

"Ya, untuk ukuran orang utan, kau cukup pintar," ledek Hiruma dengan tampang yang serius.

"Kalau aku yang pintar seperti ini saja kau sebut orang utan, lalu kau apa?"

"Tentu saja aku manusia jenius! Ternyata kau memang bodoh ya, Manajer Sialan!" kini Hiruma sibuk terkekeh, membiarkan rasa kesal terus mengendap di hati gadis itu.

"Sia-sia saja aku berbicara denganmu!" Mamori menjerit kesal, berusaha menyudahi percakapan yang menurutnya sangat tidak berguna ini.

"Tentu saja, mana mungkin orang utan sepertimu bisa berbicara denganku!" ledekan Hiruma semakin menjadi-jadi, membuat Mamori merengut.

"Lupakan, apa yang sedang kau lakukan?" tanya Mamori, berusaha mengalihkan pembicaraan dari topik persamaan-dirinya-dengan-orang-utan.

"Mengedit data pertandingan," jawab Hiruma singkat. Ia kembali menghadap ke layar laptopnya. Sementara itu, kening Mamori berkerut.

"Data pertandingan?"

"Hn,"

"Data pertandingan apa?"

"Semua pertandingan yang pernah kita jalani," jawab Hiruma, "Setidaknya inilah yang bisa kulakukan saat tidak mengikuti latihan," sambungnya.

"Oh.. seharusnya kau tidak memaksakan dirimu, Hiruma-kun. Kau selalu melakukan segalanya sendirian. Kurasa sekali-kali beristirahat itu tidak masalah. Kau lupa, ya? Minggu depan kita mulai ujian, lho."

Tik tik tik tik tik

Ruangan yang di dominasi cat putih ini kembali sepi, yang terdengar hanyalah suara keyboard laptop Hiruma. Mamori hanya terdiam. Iris sapphire-nya menatap punggung Hiruma yang tegap. Sejenak, ia bisa merasakan aroma mint yang keluar dari tubuh lelaki itu tercampur dengan parfum miliknya sendiri. Entah kenapa, ia jadi teringat saat Deimon Devil Bats memenangkan pertandingan dengan penguasa daerah Kanto, Shinryuuji Naga. Beberapa hari kemudian, Hiruma dan dirinya berada di posisi yang sama seperti ini. Background suara yang sama, sinar mentari yang sama, dan angin musim gugur yang sama pula. Kenangan indah, pikir gadis itu sambil tersenyum. Tak lama, Mamori terhanyut dalam sebuah alunan suara yang dihasilkan keyboard laptop Hiruma.

Hiruma kemudian menghentikan aktivitasnya saat mendengar dengkuran halus dari balik punggungnya. Ia melirik ke belakang dan bola matanya sukses melebar kala menemukan sesosok malaikat yang tengah tertidur. Malaikat yang membuatnya terus menerus berkutat dengan laptopnya. Hiruma sendiri heran, ia hanya bisa berhenti memikirkan gadis bermata-langit-cerah itu saat ia sedang berkonsentrasi pada sesuatu. Kalau ia sedang tidak ada kerjaan, sudah dipastikan Mamori Anezaki akan langsung menyita seluruh pikirannya.

"Keh! Kau pikir aku mau memaksakan diriku untuk mengedit semua data sialan yang seminggu lalu sudah kuedit? Kau memang bodoh, Manajer Sialan!" gerutu Hiruma. Namun, tidak ada reaksi dari satu-satunya gadis yang ia akui kepintaran otaknya itu. Tiba-tiba, otak jenius Hiruma kembali menggaungkan sebuah ide yang langsung disambut seringai setannya.

.

.

Di tempat lain,

"Persiapannya sudah selesai?"

"Hiee~! Kau kan baru menghubungi kami tadi! Dan kami harus mempersiapkan semuanya sekarang juga? Kami tidak punya banyak wak—"

"Kau pikir anjing sialan itu memerlukan waktu yang banyak untuk menggigit bokongmu?"

"Baiklah, kami akan coba melakukannya,"

"Aku tidak pernah menerima kata kegagalan. Ingat itu, Cebol Sialan!"

Glek,

"Baiklah,"

Sambungan terputus.

.

.

Kembali ke kelas Mamori,

Kring kring

Kening gadis bernama Mamori Anezaki itu berkerut. Suara apa itu? tanya Mamori dalam hati. Ia mengeluarkan segala tenaga yang ia punya untuk membuka matanya. Haha, perilakunya itu seperti menunjukkan kalau di matanya ada setumpuk karung gandum, padahal kenyataannya kan tidak ada sama sekali. Sang malaikat SMA Deimon itu sepertinya sangat kelelahan dan butuh istirahat. Tapi, bagaimanapun juga suara itu mengganggu istirahatnya, memaksanya untuk bangun.

Kring kring

Suara itu kembali meraung-raung, membuat kesadaran gadis itu berangsur-angsur kembali pada pikirannya. Dilihatnya ruangan sekitarnya. Jendela yang ada di sebelahnya tidak lagi meneruskan cahaya mentari sore, namun sinar bulan yang lembut. Iblis berkedok manusia yang—Err ... ia sukai itu pun sudah tidak ada di bangku depannya.

"Astaga! Aku.. apa yang sudah kulakukan?" Mamori bergumam sambil memegangi pelipisnya. Dilihatnya jam dinding yang terpasang di tembok ruangan itu. "Great! It's almost 9 p.m!" Mamori berteriak pasrah. Gerbang sekolah pasti sudah dikunci, dan mau tak mau ia harus meminta bantuan pada siapa saja. Dalam hati, ia mengutuk, mencaci, dan mendumel karena Hiruma tidak membangunkannya. Apa sifat setannya itu benar-benar membuatnya tega meninggalkan seorang gadis yang tengah tertidur lelap?

Kring kring

Suara itu masih terdengar di telinga Mamori. Detik pertama mendengarnya, ia langsung tahu kalau itu suara nada dering handhone-nya. Ia langsung merogoh tasnya untuk mengambil benda berwarna merah muda itu.

Kobayakawa Sena Calling

Kening Mamori langsung berkerut saat melihat nama 'adik'nya yang terpampang di layar handphone-nya. Bukannya tak mau mendapat telepon dari Sena, tapi ia lebih berharap kalau orangtuanya yang menelpon, menanyakan di mana kabarnya. Tapi, mungkin saja Sena disuruh oleh Ibunya untuk menghubunginya. Ia hanya mengangkat bahu. Tanpa banyak berpikir lagi, Mamori langsung menekan tombol gagang telepon berwarna hijau.

"Moshi-moshi?"

"Mamori-neechan? Syukurlah kau mengangkat teleponnya," suara Running back itu terdengar sangat lega.

"Ah, itu ... tadi aku ketiduran di ruangan kelasku," jelas Mamori—walaupun Sena tidak memintanya. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanya Mamori, penyakit overprotective-nya kambuh. Ia mendengar gelak tawa—kaku—dari ujung teleponnya.

"Tidak, aku dan yang lainnya sedang di ruang klub, nih! Kita membutuhkan bantuanmu untuk membuat strategi pertandingan melawan Oujou White Knights minggu depan." Jawab Sena.

"Oh, baiklah. Dalam 6 menit aku akan sampai di sana!" ujar Mamori riang—karena menyadari kalau ia tidak sendirian—kemudian memutuskan sambungan, menenteng tas hitam-nya dan melangkah keluar dari ruangan kelasnya. Pikirannya yang masih tidak stabil—karena baru bangun tidur—membuatnya melupakan fakta bahwa tidak ada pertandingan dalam jangka waktu sebulan ke depan.

.

.

Tanpa rasa ragu—apalagi takut, Mamori melangkahkan kakinya menuju clubhouse. Pikirannya yang selalu diisi oleh doktrin positif membuatnya menghiraukan keadaan sekolahnya yang—seharusnya—cukup menyeramkan bagi seorang gadis seumurannya. Bayangkan saja, ia melewati koridor sekolahnya dengan dingin padahal tidak ada satu cahaya lampu pun yang menerangi jalannya.

Sesampainya di depan clubhouse, Mamori langsung membuka pintunya pelan.

Ckrek,

Pintu berwarna abu-abu itu terbuka dan memperlihatkan isinya yang gelap. Dengan ragu, ia melangkahkan kakinya ke dalam ruangan yang didominasi warna gelap itu.

Tap,

"Sena?" panggil Mamori ragu. Tiba-tiba, sebuah cahaya kecil muncul dari tengah ruangan, membuat Mamori sedikit terkesiap. Cahaya itu bersinar lembut, kemudian bergoyang-goyang karena digerakkan angin dan juga membuat ruangan ini sedikit terang. Mamori hanya menyipitkan matanya saat menyadari kalau cahaya itu berasal dari... lilin?

"Kejutaaa~n!" teriak beberapa orang bersamaan. Mamori yang terkejut hanya bisa melangkahkan kakinya ke belakang. Tak lama, lampu utama di ruangan itu menyala, sukses memperlihatkan orang-orang yang berada di ruangan itu. Dalam beberapa detik Mamori terpana. Lilin—di atas kue, lampu yang dinyalakan tiba-tiba, dan teriakan kejutan? Dahi gadis manis itu sukses mengkerut. Dipandangnya seluruh anggota Deimon Devil Bats dengan pandangan bertanya.

"Ada apa ini?" tanya Mamori, "ini bukan hari ulangtahunku, kan?" sambungnya. Seluruh anggota Deimon Devil Bats yang mendengarkan pertanyaan mantan manajernya spontan saja tertawa. Suzuna yang membawa kue berlapis krim putih itu meluncur (?) mendekati Mamori.

"Yaa~! Baca saja tulisan di kue ini~!" perintahnya dengan nada semangat. Mamori masih mematung, entah mengapa dirinya merasa seperti orang yang baru melihat dunia setelah 100 tahun tertidur. Ia tidak mengerti apapun—untuk saat ini.

"Kue apa ini? Bukannya Sena bilang kalau kalian sedang mengatur strategi utuk melawan Oujou White Knights? Sungguh, aku tidak mengerti apa yang sedang kalian lakukan," ujar Mamori terlalu jujur, membuat seringai lelaki yang sedari tadi mengelap senjatanya itu melebar.

"Kau bodoh ya? Kita sudah membohongimu, kuso mane! Sudah, jangan banyak tanya dan baca saja tulisan sialan itu!" perintah Hiruma tegas.

"Iya, baca saja tulisannya Mamori-neechan, kau akan mengerti," lelaki berambut karamel itu menimpali—sama sekali tidak merasa bersalah karena telah membohongi teman-sepanjang-masanya-itu. Mamori hanya mengangguk kemudian membaca tulisan berwarna coklat di cake itu.

Ini bukan perpisahan karena kita akan berjumpa di lain waktu,

Kita tidak berpisah jauh karena kita masih berada dalam naungan langit yang sama, berpijak di bumi yang sama.

Kita masih teman karena benang merah itu masih akan menghubungkan kita kemanapun kita pergi.

Baik-baiklah disana

YA-HAA~!

"YA-HAA?" tanya Mamori saat ia selesai membaca tulisan di atas kue itu. Entah kenapa, kalimat terakhir itu membuat semua kesan indah, baik, dan mendalam dalam pada kalimat-kalimat sebelumnya menghilang. Mamori langsung melemparkan pandangan siapa-yang-melakukannya. Sontak semuanya diam, tapi—takut-takut—mereka menunjuk lelaki yang duduk di kursi paling ujung ruangan clubhouse. Mamori hanya mendengus.

"Bagus sekali, Hiruma-kun, kau menghancurkan tulisannya!" teriak Mamori kesal sekaligus senang. Kesal karena ia sudah bisa membayangkan bagaimana Hiruma merebut kue dari Sena dkk lalu menulis sesukanya. Sementara di lain sisi ia merasa senang karena Hiruma mau ikut serta dalam membuat kejutan ini—walaupun hanya dengan menulis 'YA-HAA'. Mamori sih memang tidak tahu kalau Hiruma-lah yang merencanakan semuanya. Kalau mau tahu, sebenarnya Hiruma-lah yang menuliskan kata-kata itu. Yah, tapi gadis berambut sebahu itu menyangka kalau Sena atau Suzuna yang menulis kata-kata itu.

"KE KE KE KE KE!" tawa Hiruma menggema. Ia merasa sangat lucu saat Mamori menuduhnya menghancurkan kata-kata dalam kue itu dengan menambahkan 'YA-HAA~!'

'Tidak tau saja dia kalau aku yang menulisnya,' pikir Hiruma. Ia langsung memasang ekspresi wajah memangnya-aku-peduli-dengan-kue-sialan-itu.

"Hiruma-kun~!" Mamori hanya bisa menggembungkan pipinya saat Hiruma memalingkan wajahnya dari pelototan Mamori. Hiruma mengedipkan mata kirinya pada Sena. Sekarang!

"E.. eh, Mamo-nee," panggil Sena ragu.

"Ya? Ada apa?" tanya Mamori—masih bad mood.

"Sebelum kita semua memakan kuenya, ada sesuatu yang harus kita lakukan bersama," jawab semuanya berbarengan. Oh, terkecuali Kumosubi karena dia mengatakan hal yang tidak dimengerti—atau bolehlah kita anggap dia mengatakannya—dan Hiruma, karena dia yang sedang sibuk mengunyah permen karet.

"Apa itu?" tanya Mamori penasaran. Sebenarnya gadis itu merasa sedikit kecewa karena tidak bisa langsung memakan kue itu. Bukan apa-apa, perut gadis itu belum menerima asupan makanan sejak 6 jam yang lalu.

"Tutuplah matamu, Manajer Sialan!"

.

.

Mamori melangkahkan kakinya dengan perasaan bingung. Bagaimana tidak? Iris biru langitnya yang indah itu terhalangi oleh kain hitam yang dipasangkan Yukimitsu. Sementara itu, langkahnya dibimbing oleh suara Kurita yang terdengar selalu panik dan suara Kumosubi yang kita tahu sendiri bagaimana keadaannya.

"Aah~ kita mau kemana?" tanya Mamori untuk yang kesekian kalinya. Tangannya bergerak-gerak ke depan, ia mencoba untuk meraba-raba sesuatu, mencari pegangan. Tapi, tangannya hanya bisa merasakan dinginnya udara malam.

"Baik, sekarang berhenti melangkah, A-Anezaki-san!" perintah Kurita. Sontak, gadis bertubuh ideal itu langsung berhenti. Setetes keringat jatuh menuruni pipinya. Hatinya merasa sangat takut saat mendengarkan perintah terbaru dari Kurita. Kenapa? Masalahnya, suara Kurita itu terdengar sangat panik. Hehe, tentu saja lineman terkuat Deimon Devil Bats itu merasa sangat panik dan takut karena di sebelahnya ada moncong senjata Hiruma yang siap meletus saat ia salah memberi perintah pada Mamori!

"Sekarang.."

"Lihatlah ke atas dan.."

"BUKA IKATANNYA!" perintah Toganou yang kemudian diikuti oleh adik-adiknya (?). Mamori pun langsung saja mendongakkan kepalanya dan membuka kain hitam yang sedari tadi menutupi pandangannya. Lalu saat mata Mamori menatap ke langit—

DOR DOR DORR!

—suara letusan langsung memekakkan telinga gadis itu. Ia langsung saja menutup kedua telinga dengan tangannya. Namun, tidak dengan matanya. Matanya terus melihat warna-warni indah yang menghiasi langit secara tiba-tiba. Keindahan yang dilihatnya sukses membuat nafasnya terhenti untuk beberapa saat. Merah, biru, jingga, kuning, ungu, putih dan hijau.. semua warna yang ia ketahui langsung berserakan di langit, membuat beberapa bentuk bunga yang indah. Suara letusan kembali terdengar. Tak lama, kembang api itu kembali meramaikan langit yang hari ini diselimuti awan cukup tebal.

"Ini indah sekali!" ujar Mamori. Setelah pesta kembang api itu selesai, ia mengedarkan pandangannya. Dan.. untuk yang kesekian kalinya, ia merasakan jantungnya hampir copot. Di pinggir lapangan amefuto tempat ia berdiri, teman-temannya sudah menunggu sambil tersenyum lebar. Tepatnya, mereka berada di bawah pohon besar di sisi lapangan dengan tangan yang masing-masing membawa sebuah kotak berlapiskan kertas kado. Namun, dihiraukannya sedikit perasaan bingung ketika melihat banyak benda bergantungan di pohon tersebut. Ia lebih memilih melupakan semua hal yang mengganggu hati dan pikirannya.

"Yaa~! Mamo-nee kemari!" panggil Suzuna sambil melambaikan tangannya. Mamori kemudian tersenyum. Begitu pula dengan seorang lelaki yang berada di balik pohon itu, ia juga tersenyum tipis sambil menekan sebuah tombol dengan jarinya yang ramping.

PAAATS

Benda-benda yang tergantung di pohon itu kemudian serentak menyala, mengeluarkan cahaya keemasan layaknya kunang-kunang di malam hari. Mamori yang sedang berjalan ke arah pohon itu pun kembali terdiam. Astaga, ia merasa lututnya sangat lemas. Baru saja ia akan berterimakasih atas pertunjukan kembang api yang dipersiapkan sahabat-sahabatnya itu, kini mereka menambah kejutan untuknya lagi. Sebuah formasi 'kunang-kunang' dengan bentuk 'M'.

Tanpa ragu lagi, ia berlari menuju pohon itu dan memeluk sahabat-sahabatnya itu. Sungguh, Mamori merasa sangat tersentuh oleh serangkaian kejutan yang disiapkan oleh teman-temannya.

"Minna, hontou ni arigatou!" ujar Mamori sambil memberikan senyumannya yang paling manis. Sena dan Kurita hanya mengangguk sambil menggaruk belakang kepalanya. Monta, Kuroki, Toganou, Juumonji, dan Daikichi hanya memberikan itu, Yukimitsu, Musashi, dan Doburoki-sensei hanya mengangguk. Oh, jangan lupakan Taki yang hanya mengangkat kakinya sambil berputar-putar tidak karuan dan Suzuna yang memainkan pom-pomnya.

"Ada yang kurang," gumam Mamori sambil memegang dagunya. Seluruh anggota DDB hanya melihatnya heran.

"Dimana Ishimaru–san?" tanya Mamori.

"Aku disini, Anezaki-san," jawab Ishimaru pelan. Ternyata sedari tadi lelaki berambut cepak pendek itu berada di belakang Mamori. Mamori hanya tersenyum malu. Dia memang terlalu sederhana, pikir semua orang bersamaan. Dalam beberapa detik kemudian, tawa yang riang langsung membahana di sisi lapangan itu. Mereka saling mentertawakan kebodohan diri sendiri, saling membicarakan masa-masa saat mereka meraih impian ke Christmast Bowl bersama, lalu kembali tergelak hingga kemudian suasana menjadi hening. Pikiran mereka sibuk mencari topik untuk dibicarakan, sementara yang terdengar hanyalah suara gemuruh petir yang mengungkung langit Tokyo.

"Sepertinya akan ada badai, sebaiknya kita pulang," sahut Yukimitsu pelan. Semua anggota Deimon Devil Bats langsung mendongakkan kepala dan mengangguk tanda setuju. Hiruma hanya mendecak pelan. Gagal sudah rencana terakhir Hiruma untuk Mamori; bermain kembang api kecil bersama anggota DDB.

Monta—dengan gesitnya—langsung memanjat pohon besar itu dan melepaskan kabel–kabel yang terhubung dengan belasan bola lampu yang sudah dimatikan oleh Hiruma. Kumosubi, Kurita, Juumonji, Toganou dan Kuroki langsung membereskan kotak kayu besar yang berisi petasan, kembang api, kembang api kecil dan benda-benda lain yang dipersiapkan Hiruma. Sementara itu, Musashi, Taki, dan Kurita membawa kabel dan bola lampu itu. Lalu Suzuna dan Sena sibuk membawakan kado untuk Mamori. Dengan langkah berat, mereka meninggalkan lapangan itu. Usai sudah pesta outdoor yang bahkan baru sampai tahap awal itu.

"Minna," gumam Mamori sambil menjatuhkan dirinya ke tanah. Tubuhnya terlihat pucat dan gemetaran. Teman-temannya langsung saja menghampirinya—kecuali Hiruma yang masih menyenderkan tubuhnya ke pohon itu.

"Ada apa, Mamori-san?" tanya Monta histeris sambil memegang siku tangan kanan Mamori.

"Aku.."

"Ya?"

"Aku—Lapar," jawab Mamori sambil memegang perutnya. Jawabannya itu hampir membuat komandan dari neraka—Hiruma Yoichi—tersedak permen karetnya sendiri.

.

.

Rumah Kurita,

04. 34 p.m, H-10

Sudah 4 hari berlalu sejak pesta 'perpisahan' untuk Mamori, tapi Hiruma masih merasa ada yang kurang. Ia masih menatap lirih langit-langit kamar Kurita yang setiap hari ia datangi. Ya, Hiruma saat ini sedang berada di rumah Kurita untuk belajar bersama. Hee? Hiruma belajar bersama? Tentu saja itu benar-benar bohong. Mana ada manusia setengah setan seperti dia melakukan hal manis seperti itu? Kenyataannya ia hanya diam di ruangan itu sambil mengunyah permen karet less sugar-nya. Hiruma dan Musashi sebenarnya menemani Kurita belajar. Karena yah.. bisa dibilang kalau Kurita yang paling lemah dalam bidang akademis dibanding kedua sahabatnya itu. Bisakah hal ini disebut belajar bersama kalau Hiruma sejak empat hari yang lalu tidak pernah berkata apa-apa—apalagi membahas soal?

Plop

Suara letusan permen karet memecahkan suasana di antara mereka. Kurita takut-takutan melirik ke arah Hiruma. Yang dilirik-lirik merasa tidak peduli dan dengan santainya duduk di atas kursi sambil menyenderkan kepalanya di atas lipatan kedua tangannya.

"Hi-Hiruma-kun?" panggil Kurita ragu-ragu.

"Hm?"

"Kau sedang memikirkan Anezaki, kan?" Nah, kali ini bukan suara Kurita yang ragu-ragu, tapi suara berat dan tegas milik Musashi. Lelaki yang berotot itu sepertinya sangat tertarik dengan urusan malaikat-di-hati-sang-iblis itu. Hiruma langsung saja menggestur tubuhnya sehingga duduk berhadapan dengan kedua temannya yang sedang duduk di kotatsu. Musim gugur kali ini memang cukup dingin sehingga memaksa Kurita mengeluarkan kotatsu-nya. Suara gemericik air dari kolam milik Kurita menjadi satu-satunya suara yang terdengar sekarang.

"Hasil soal Matematika yang kau kerjakan ini salah, Gendut Sialan," ujar Hiruma tiba-tiba sambil mengambil buku tulis Kurita. Seperti biasa, setan remaja (?) yang satu itu mengalihkan topik.

"Hahaha, kau lucu sekali Hiruma, kukira kau bukan anak kecil lagi," ujar Musashi sambil mengorek telinganya. Sementara itu, lelaki berpakaian serba hitam itu hanya mendelik kesal pada sahabatnya yang ternyata sudah berani menggoda perasaannya.

"Apa maksudmu, Orangtua sialan?" tanya Hiruma santai, ia kembali memerhatikan buku tulis Kurita. Si empu-nya sendiri sejak tadi sudah tidak peduli dengan buku itu, ia sedang sibuk memerhatikan apa yang terjadi dengan Musashi dan Hiruma sampai-sampai nama Anezaki Mamori masuk ke dalamnya. Entah kenapa, tubuh Kurita menegang sekaligus bergetar tak karuan.

'Jangan-jangan.. Hiruma dan Musashi.. terlibat cinta segitiga dengan Anezaki?' otak Kurita sudah muai menghasilkan pikiran-pikiran negatif yang sama sekali tidak logis.

"Jangan berlagak bodoh, Hiruma. Kau menyukainya, kan?" Musashi kembali melemparkan pertanyaan.

'Astaga... kalau begitu..' Kurita menatap lirih kedua sahabatnya bergantian.

"Itu b-u-k-a-n urusanmu, Orangtua Sialan!" Jawab Hiruma kesal. Sekarang buku tulis itu sudah kembali ke atas kotatsu.

"Kalau Anezaki menyukaimu, apa yang akan kau lakukan? Membiarkannya begitu saja?"

"Tidak,"

"Apa maksudmu?"

"Dia tidak menyukaiku,"

"Lalu, kau sendiri menyukainya?"

"Pikir saja sendiri,"

"Mi—" Kurita hendak berbicara tapi—

"Baiklah, kupikir kau menyukainya, lalu kau tidak akan mengutarakan perasaanmu?"

—terpotong oleh Musashi.

"Mengutarakan apa?"

"Perasaanmu, Hiruma Yoichi," jawab Musashi sambil menekankan pada kata 'perasaanmu'.

"Minna—" Kurita hendak berbicara lagi, tapi—

"Hal tidak berguna macam apa itu?"

—terpotong lagi, kali ini oleh Hiruma.

"Kau yakin tidak akan menyesal kalau tidak mengutarakan perasaanmu? Dia sebentar lagi akan pergi, tidak akan ada kesempatan ke—"

"Minna! Tolong jangan memperebutkan Anezaki!" teriak Kurita. Sontak, kedua kepala sahabatnya itu langsung berbelok kepadanya. "HAA?"

Melihat ekspresi kaget keduanya, kabel yang sempat putus dari otak Kurita langsung tersambung lagi. "Ah, aku salah topik, ya?"

Hal itu sukses membuat kedua sahabatnya tertawa terbahak-bahak. Namun, tawa Hiruma berhenti menggema di ruangan itu. Ia menatap kedua sahabatnya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Seketika, bulu kuduknya merinding. Sayang sekali, Hiruma tidak mau mengakui kalau perasaannya tidak enak. Ia kemudian melanjutkan aktivitasnya—mentertawai Kurita—yang sempat terhenti.

Seharusnya Hiruma tahu,

Mengabaikan pertanda yang diberikan alam bisa jadi kesalahan besar,

.

.

Rumah Mamori,

07. 56 p.m, H-7

Puk,

Mamori menutup buku pengetahuan umumnya dan menyimpannya kembali di rak buku. Ia kemudian meregangkan tubuhnya yang terasa sedikit kaku setelah melewati ritualnya malam ini. Belajar. Sejak 1 jam yang lalu, ia benar-benar fokus dengan 5 buku pelajarannya dan selama 1 jam itupula, gadis itu benar-benar terputus dengan dunia luar. Menurutnya, belajar itu tidak perlu lama-lama. Cukup 1 atau 2 jam, tapi pada tiap menitnya itu seluruh pikiran kita terfokus pada pelajaran. Kini, efeknya mulai terasa. Ia bisa mengingat semua isi buku tersebut secara ringkas.

Besok adalah hari pertama ujian dan Mamori merasakan perutnya sedikit bergejolak. Tapi bukan bergejolak karena 'itu'. Tapi karena perasaan nervous yang memenuhi perutnya. Walaupun gadis itu sudah sering menghadapi perasaan seperti ini, ia tetap saja masih bingung. Gadis itu kemudian menghempaskan tubuhnya ke ranjang empuk di kamarnya. Ia menatap lirih langit-langit kamarnya. Walaupun seminggu sudah berlalu setelah pesta perpisahan yang diberikan oleh teman-temannya, ia merasa ada yang kurang. Seperti ada sesuatu yang penting yang terlupakan dan belum sempat gadis bermata cerah itu lakukan. Secara refleks, ia langsung melirik ke arah kiri, ke sebuah benda yang terletak di atas meja kecil di samping ranjang. Ya, ia kembali menatap bingkai kayu yang berisi fotonya dengan teman-teman satu ekstrakulikulernya. Amefuto. Dan malam ini sepertinya Mamori akan kembali menatap foto di dalamnya.

Untuk yang kesekian kalinya, Mamori Anezaki merasakan dirinya tersedot pada memori-memori masa lalunya saat ia menatap foto itu. Kenangan manis maupun pahit kini terputar secara otomatis di kepalanya. Dan... kembali, gadis itu menatap sosok yang memiliki telinga elf itu. Setelah beberapa lama terdiam, ia akhirnya tahu apa yang ia belum lakukan.

.

.

Bandara Narita, 09. 11 a.m

Hari H

Mamori Anezaki kembali menghela nafasnya panjang. Tubuhnya terasa semakin mendingin saat ia mendengar pengumuman bahwa pesawat yang akan terbang menuju London akan tiba 15 menit lagi. Baru beberapa saat yang lalu teman-temannya mengantarnya ke Bandara, memeluk erat dirinya dan bertukar 'sampai jumpa'. Tapi ia masih merasakan ada yang kurang. Ia memeluk dirinya sendiri dengan jaket merah pemberian Suzuna. Ia menatap kedua orangtuanya dengan cemas.

"Ada apa Mamori?" tanya Mami Anezaki.

"Aku.. aku sepertinya butuh sesuatu yang hangat. Tubuhku terasa dingin," jawab Mamori sambil menggosok-gosokkan tangannya.

"Ah.. kau benar, AC bandara ini cukup kuat," ujar Tateo, ayah Mamori. "Sebaiknya kau ke cafe bandara dulu, ambilah segelas kopi hangat, nanti ayah menyusulmu," sambungnya sambil menepuk pundak putrinya. Mamori kemudian tersenyum hangat dan langsung berjalan pelan menuju cafe bandara. Entah karena keadaan bandara yang sangat ramai atau karena Mamori benar-benar kehilangan sense untuk merasakan hawa kehadiran seseorang, ia tidak menyadari kalau ada lelaki tinggi sedang berjalan mengikutinya.

.

Cafe Bandara, 09. 15 a.m

Tidak sulit bagi Mamori untuk menemukan cafe bandara itu. Dari tempat pengecekan passport, ia hanya cukup berjalan sedikit dan belok ke kanan. Saat ini, gadis itu sedang duduk di bangku paling ujung dekat jendela. Sebuah teh hijau hangat kini ada di hadapannya.

Ia kembali menghela nafas, berusaha untuk menghilangkan rasa nervous yang kembali menyergapnya. Perasaan nervous kali ini terasa lebih kuat dibandingkan perasaan nervous yang dihadapinya seminggu yang lalu sebelum ujian. Ya, walaupun perasaan nervous itu langsung hilang saat dengan polosnya malaikat itu selesai mengerjakan soal ujian dalam waktu 30 menit. Ia meneguk teh panasnya itu dan kehangatan langsung saja menyebar di tenggorokan gadis keturunan blasteran itu.

"Manajer Sialan," panggil seseorang. Mamori langsung menengok ke arah suara yang familiar itu. Gadis itu hampir saja tersedak saat ia melihat lelaki yang pernah menjadi kapten tim paling fenomenal setahun yang lalu itu. Lelaki itu seperti biasa mengenakan kaos hitam berlengan pendek dan celana hitam panjang. Tidak ada yang tahu pasti kenapa laptop Sony VAIO dan AK-47 tidak mendampingi kedatangannya hari ini. Tapi, sebuah kotak hitam lah yang menemani kedatangannya hari ini. Hiruma sendiri sebenarnya cukup kaget melihat teman satu angkatannya itu dengan rambut yang dikuncir, bukan diurai seperti biasa. Ini adalah pertama kalinya ia melihat penampilan Mamori begitu. Dan mungkin yang terakhir kalinya..

Lelaki itu dengan dinginnya melangkah melewati pandangan heran sekaligus takut dari pengunjung cafe itu. Sesampainya di meja Mamori, Hiruma langsung saja duduk dan meletakkan kakinya di atas meja. Untung saja teh yang dipesan Mamori tidak tersenggol. Mamori sendiri tidak memprotes perilaku kaptennya itu. Ia hanya tersenyum kecil.

'Perilaku tidak sopannya itu memang sudah mendarah daging,' pikirnya dalam hati.

Hiruma tidak diam saja, ia meletakkan kotak hitam itu di atas meja dan mendorongnya hingga sampai ke ujung lainnya. Mamori menatap heran kotak itu. Hadiah?

Tanpa banyak membuang waktu lagi, Mamori membuka kotak hitam itu. Matanya sukses melebar dan bersinar cerah saat melihat figur-figur kecil berbaju merah di dalamnya. Mamori ingat benar, figur dari karet itu pernah digunakan Hiruma saat mengatur strategi pertandingan melawan Oujou White Knights. Dilihatnya figur-figur itu dengan seksama. Ada Sena dengan eyeshield-nya, Hiruma dengan senjatanya, Kurita, bahkan sekarang ada tambahan Taki dengan posisi kakinya yang 180 derajat simetris ke atas, Kumosubi dengan hidung merahnya, Monta dengan sarung tangan Honjo, ha-haa-haa bersaudara yang tangannya saling menempel, Yukimitsu dengan kepala yang tidak botak lagi, Ishimaru dengan tampang sederhananya, Musashi dengan otot yang besar, Cerberus, Butaberus dan Suzuna yang sama-sama mengenakan pom-pom, Doburoki-sensei dengan botol sake-nya, dan.. seorang gadis berambut auburn dengan sebuah creampuff di tangannya.

"Terimakasih, Hiruma-kun." Mamori memberikan sebuah figur pada Hiruma, "aku tidak membutuhkan yang satu ini," sambungnya. Gadis itu kemudian menggelindingkan figur wanita itu ke ujung lainnya hingga sampai di tangan besar Hiruma. Lelaki itu hanya menyeringai. Tanpa sadar, mata Hiruma dan Mamori saling beradu.

Sapphire dan emerald bertemu.

Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengedipkan mata. Mereka berdua saling menyelami mata orang di hadapannya. Kali ini, tidak ada kekesalan yang tersirat pada mata mereka. Hanya ada perasaan yang selama ini mereka pendam. Hanya ada perasaan itu—walaupun bibir mereka berdua pasti menyangkalnya. Tatapan Hiruma tidak garang, tidak tegas. Namun, tidak juga lembut. Begitu pula dengan tatapan yang diberikan Mamori, tidak ada rasa kesal, tidak ada acara memelototi. Namun tidak pula terlihat lembut. Yang ada hanyalah wajah Hiruma yang terpantul di mata biru Mamori dan sebaliknya. Sejenak, mereka berdua merasakan kalau tidak ada siapapun di antara mereka.

Saat mereka berdua mengedip, mereka akhirnya saling mengerti perasaan masing-masing. Dada Hiruma terasa hangat, begitu pula dengan Mamori. Gadis itu sedikit malu, terlihat jelas di pipinya ada sedikit rona merah, Walaupun tidak ada kata-kata yang mewakili, tidak ada kontak fisik yang terasa, tidak ada gerakan tangan untuk menyampaikan pesan itu, hati mereka sudah bisa saling merasakan. Hanya lewat tatapan mata, kedua insan yang berbeda karakter itu bisa menyampaikan semuanya. Semua perasaan yang terbentuk dalam putaran waktu.

"Pesawat yang akan terbang ke London akan segera tiba, kepada para penumpang, diharapkan segera bersiap," berita yang disampaikan lewat speaker yang terdapat di cafe itu langsung memecahkan keheningan di antara mereka. Hiruma langsung saja menurunkan kakiknya dari atas meja dan Mamori langsung saja bangkit dari tempat duduknya.

"Aku pergi dulu, Hiruma-kun," sahut Mamori dengan suara bergetar sambil membawa kotak itu dan berlari pelan keluar meninggalkan cafe. Meninggalkan Hiruma dengan sejuta kebingungan yang melanda hatinya. Kenapa pesawatnya datang di saat seperti ini? Sialan! Pikir Hiruma dan Mamori bersamaan.

Hiruma hanya memandangi figur wanita berambut auburn yang ada di tangannya, menghiraukan tatapan ingin tahu dari seluruh orang yang ada di cafe itu. Tak lama, ia pun meninggalkan cafe dengan senyuman tipis yang terlukis di wajahnya.

.

.

Hiruma kini sudah berada di apartemennya. Dengan figur karet yang masih ia genggam erat, ia membaringkan dirinya di ranjangnya. Entah tidak puas atau apa, ia terus saja memandangi prototipe dari manajernya itu. Ia merasa masih ada yang kurang. Ia belum tahu pasti bagaimana perasaan Mamori kepadanya. Dadanya terasa sesak. Ia ingin Mamori disini, ia ingin Mamori menjawab semua pertanyaan yang terus menghantuinya. Ia ingin tahu apa yang tadi ia rasakan itu... pokoknya ia ingin bukti! Sebuah seringai menakutkan tiba-tiba terukir di wajahnya. Ia bangkit dari ranjangnya dan mengambil tas hitamnya. Lelaki itu sudah menentukan pilihannya dan ia akan berusaha mati-matian untuk pilihan yang diambilnya itu; menemukan 'oksigen'nya agar ia bisa kembali bernafas dengan tenang.

"Perasaan sialan, eh?" gumam Hiruma kemudian meninggalkan apartemennya. Lelaki itu berlari kecil menuju lift dan turun menuju lantai 1. Ia bergegas meninggalkan apartemennya itu, mata emerald-nya melihat sekumpulan taksi yang sudah siap sedia di seberang jalan. Melihat lampu lalu lintas masih berwarna merah, ia langsung saja menyebrangi jalan dan hendak mengancam si supir supaya mengantarnya—

DUAAAAK!

Tubuh lelaki yang pernah melewati deathmarch itu tertabrak oleh sebuah truk pengantar barang. Badannya yang pernah mencapai bench press seberat 75 kg itu kini terpelanting sejauh 15 meter. Bisa terbayangkan bukan bagaimana kecepatan truk itu? Dengan lemah, tubuhnya terbaring di pinggir jalan. Kepalanya sukses mendarat di aspal jalan yang keras, membuat pelipisnya berlumuran darah. Beberapa orang yang kebetulan ada di sana langsung saja menghampiri lelaki itu. Orang-orang itu sibuk menghubungi rumah sakit terdekat. Sesaat mereka melupakan fakta kalau lelaki yang tertabrak itu adalah orang yang paling mereka takuti. Walaupun mereka menyadarinya, mereka pasti akan tetap membantunya. Bagaimanapun juga, nyawa seseorang sedang dipertaruhkan disini. Sirine ambulan kemudian memenuhi langit-langit perempatan jalan itu.

—ke Bandara Narita, mengejar pesawat selanjutnya yang terbang ke London, dan menemukan oksigennya—manajer sialannya itu. Itulah pilihan yang diambil seorang Hiruma Yoichi. Sayang, saat kakinya menyentuh aspal, warna lampu lalu lintas itu sudah berubah menjadi hijau.

.

.

Mamori sudah berada di dalam pesawat. Beberapa menit yang lalu, pesawat kelas eksekutif ini baru menjalani take off dari Bandara Narita. Pesawat ini kini sedang terbang dalam ketinggian yang sedang. Mamori yang duduk dekat jendela bisa melihat pemandangan kota Tokyo dari atas langit. Terlihat gedung-gedung modern berdiri tegak, saling berlomba-lomba mencapai langit. Terlihat juga Tokyo Tower, tempat dimana Hiruma Yoichi pernah mengadakan latihan neraka dengan judul 'The Tower Of Hell'. Hiruma banget. Mamori tersenyum kecil saat mengingat hal itu. Ia kemudian kembali melihat pemandangan dari pesawat. Dilihatnya sebuah cahaya merah yang bersinar kelap-kelip dari sebuah persimpangan jalan. Ia hanya mengangkat bahu.

"Akhir-akhir ini banyak kecelakaan, ya?" gumamnya. Merasa agak sedikit lelah dan pusing, ia menyandarkan kepalanya di kursi penumpang yang cukup empuk. Ia menutup matanya kemudian menghela nafasnya. Merasa bosan, ia mengeluarkan sesuatu yang ia simpan di saku jaketnya; sebuah figur manusia berambut pirang spike yang terbuat dari karet. Ia memang sengaja menyimpan figur itu di sakunya. Memisahkan figur sang kapten dengan figur lainnya yang tersimpan di dalam kopernya. Tapi ia baru menyadari.. figur itu terlihat aneh dengan kepala yang terlepas dari badannya.

"Astaga, Hiruma-kun pasti akan membunuhku kalau tahu figur ini rusak!" pekik Mamori. Beberapa penumpang meliriknya tajam, gadis itu kemudian membungkuk pelan sambil menggumamkan permintaan maaf. Cahaya mentari pagi menerobos jendela di sebelah Mamori. Gadis itu mengeluh pelan saat matanya terkena pantulan sinar matahari dari figur kaptennya. Ia menjauhkan figur itu dari sinar matahari dan menyadari bahwa di badan figur itu terdapat sesuatu yang berkilauan. Ia mencabut benda itu dan mendapati sebuah benda seperti donat ukuran kecil dengan batu emerald menempel di pinggirannya.

"Cincin?"

.

.

Terkadang manusia merasa segala kejadian dalam hidupnya itu terjadi dikarenakan takdir. Sungguh, kata takdir itu hanya sebuah manifestasi dari apa yang terjadi pada hidup kita, bukan yang menyebabkannya.

Terkadang manusia sering menyebutkan bahwa dia telah bebas dari penjajahan. Bebas dari ikatan yang membelenggu. Tapi sungguh, manusia itu tidak akan pernah bisa disebut bebas sepenuhnya saat ia masih menyesali keputusannya.

Dan saat ini, lelaki berambut spike itu sudah menjadi manusia yang bebas. Ia tidak mengutuk 'takdir'nya saat kepalanya menghantam aspal. Ia tidak menyesali keputusannya untuk mengejar sesuatu yang ia cintai, walaupun hal itu pada akhirnya membuat waktunya untuk menghirup nafas di bumi semakin sedikit. Walaupun ia disebut setan, ia tidak pernah menyalahkan Tuhan atas segala sesuatu yang ia dapatkan, baik itu hal yang buruk, maupun baik. Ia sepenuhnya memilih jalan yang ia tempuh. Ia tidak menyesal, sama sekali tidak menyesal walaupun bibirnya bisa mengecap darah yang mengalir dari pelipisnya. Karena bagaimanapun juga, 'perasaannya' sudah tersampaikan. Dan Hiruma Yoichi merasa hal itu cukup untuk menjadi penutup dalam hidupnya yang sederhana.

Tubuh lelaki itu semakin mendingin, telinga elf kebanggaannya tidak bisa mendengar apapun lagi, kulit putihnya tidak bisa merasakan apapun selain dingin yang menusuk-nusuk, matanya tidak bisa melihat apapun selain putih dan otaknya yang jenius tahu benar... untuk saat ini tidak ada pilihan lain mengukir seringai setannya untuk yang terakhir kalinya.

.

.

.

[Yang kamu pilh mungkin menjadi hal terpenting, tapi bagaimana kamu menyikapi pilihanmu lah hal yang terpenting -Carnadeite-]

~F.I.N~

I give my greatest thanks to those people,

Karin-Mikkadhira-

Sakuraba-chan

Iin cka You-nii

Kuro Nami

Fiyui-chan

Hyou Hyouichiffer

G-Dragon Bigbang

Y0uNii D3ViLL

Who want to spend their time to review chapter 2.

And for you, who read this—weird—story,

Thank you so much, dear :* #pelukcium #dor

Dan inilah balasan untuk review di chapter sebelumnya ^^

G-Dragon Bigbang: Halo juga, G-san~! ^^ #seenaknyamanggil. Iya, kakak aku lagi galau tuh #plak. Ahahaha, aku ngakak da baca promosinya itu~ tapi sayang ya telat ngasih idenyaa :( Iyaa~ ini chappie (?) terakhir T.T sedih rasanya.. ahaha, maaf update-nya g bisa secepet gledek. Okee~ aku bakal semangat~ dirimu juga ya, G-san~!

Y0uNii D3ViLL: apanya yang keren? #celingak-celinguk. Aha~! #lampunyala. Kemampuan saya membuat HiruMamo Ooc? Itu sih sudah biasa.. #plakduak. Kekekekekekeke, Hiru sih mana bisa tahan jauh-jauhan sama Mamo~ semoga chappie (?) ini bisa menjawab rasa penasaran kamu~ ^^ n maaf update-nya gak secepet jet m(_ _)m

Karin-Mikkadhira-: terimakasih atas sambutannya :) APAA? Author berpengalaman? Glek, aku.. sih.. masih.. pemula.. #senyum malu-malu #duak. Makasih buat pujian dan kritiknya~. Terutama untuk kritiknya yang sangat membangun. Semoga saja di cerita berikutnya kesalahan-kesalahan kecil/besar bisa dikurangi. :"3 yap, semoga UAS-nya juga berhasil, Karin-san a.k.a UMMA~ :**

Yosh! Untuk yang lainnya, saya sudah balas review kalian lewat PM, :)

.

.

0.

Waktunya tralala-trilili with author yang GAJE ini! X)

Oke, oke, oke, dipersilahkan untuk para reader untuk antri di barisan sebelah sini untuk mendapatkan tiket gratis memukul saya karena telah membuat Hiruma mati dalam fic yang abal ini T_T

Hontou ni gomennasai minna!

#terutama buat fans Hiruma

Habis gimana yaa~ dari awal saya udah nulis kata-kata deathchara di warning-nya. Jadi mau tak mau, aku publish ending versi pertama dari 4 versi yang sudah disiapkan.. intinya, saya merasa bersalah kalau tidak melakukan sesuatu sesuai apa yang telah saya tulis/katakan.. =,= Tapi.. tapi.. Gak elit banget yah Hiruma mati dalam keadaan seperti itu? Fic buatan siapa sih ini? Minta di bunuh ya? #Woy! Fic ini juga diselesaikan dalam waktu yang sangat tidak menguntungakan, sehari sebelum ulum. Jadi, kalau ada kesalahan EYD atau keabalan yang makin meningkat, silahkan salahkan jadwal ulum. #dzig. Jujur, saya bener-bener gak PD pas publish chappie terakhir ini T_T jadi.. ah, begitulah. Tidak perlu dikasih tahu kan alasannya kenapa? #nunjuk-nunjukendingficdiatas. Saya jadi ragu; apa fic ini layak dibaca? #mintajawabanT_T

Kalau ada yang mau kritik silahkan saja, saya usahakan untuk menerima kritik itu dengan lapang dada dan berusaha intropeksi diri dan mengubah kesalahan saya.. :')

2.

Lalu, saya juga mau bertanya,

Apakah Hiru/Mamo/Sena/Suzu/Musashi/Monta/siapapun yang ada di fic saya ini Ooc? Tolong dijawab ya karena ini penting untuk masa depan kualitas fic saya #cielahbahasanya#duak

m(_ _)m

3.

That's it!

Untuk semuanya yang nggak puas dengan ending yang—nista—seperti ini, silahkan bilang saja melalui kotak review~ #disarankan juga untuk reader yang sudah puas untuk mengomentari fic ini, mau ngasih pujian atau apa.. terserah~ :)

Kalau nantinya banyak yang tidak suka dengan ending ini, saya nanti publish ending versi kedua.

Kalau masih banyak yang belum puas, saya publish ending versi ketiga, dst..

#Sebenarnya saya pribadi sih lebih suka ending yang ini #diganyangfansHiruma

4.

tapi..

mungkin untuk rikues endingnya gak akan bisa dipublish sekarang-sekarang karena saya mau kembali ke rumah awal saya, FictionPress. Intinya, saya mau Hiatus di FES21. Saya mau menyelesaikan Original Multichapter Fic yang sempat terabaikan sepanjang tahun 2011 ini.

Ada yang mau membaca cerita saya? Judulnya Country Of Seventh Demons

Silahkan dibaca di FictionPress dan di-review :)

Siapa tahu itu bisa menghapuskan sedikit kerinduan pada saya #pedetingkatdewa

.

5.

Ayo lupakan fic aneh di atas,

Kalau fic tersebut meninggalkan kesan baik/buruk di hati Anda,

Silahkan tumpahkan semua keluh kesah Anda di kotak review saya.

.

6.

Btw, inilah draft yang ada dalam otak saya:

"Silent Facts"

Hints: (Multichapter, Crossover ES21 & Detective Conan, Crime-Romance)

"Faktor X"

Hints: (Oneshot, ES21, crack-pair, Romance)

C."Concealed Love"

Hints: (Oneshot, ES21, sekuel dari Choice, Romance-Spiritual)

D."How Devil Shows His Kind Attitude"

Hints: (Multichapter, ES21, AgonMamoHiru (?), Friendship),

Ayo pilih mau yang mana dulu? Eh.. #tiba-tibadiam#ingetCOSD. Oke, untuk yang draft ini nanti saja saya buatnya, mungkin setelah COSD setidaknya sampai terselesaikan 3 atau 4 chapter. Inget2 judulnya dan bilang saja mau yang mana dulu, nanti saya usahakan untuk membuatnya. Semoga salah satu/semua draft yang ada di otak saya ini bisa direalisasikan menjadi fic yang tidak abal dan berkualitas! Doakan saja! :D

7. PLEASE MISS ME,

Carnadeite

{27th October 2011 until 4th december, 2011 (12:46 p.m)}

'Choice'

It's formally finish.