Disclaimer: Bukan punya saya ya. Kalo saya yang punya ngapain saya tulis ini? muaha.

Warning: Crack pairs, typicals, idenya rada sedikit biasah kayak shoujo manga gethu dehh.

Based on a true event.

Read on and enjoy ;)


Chapter 1

Crossed Paths

"Mestinya kuhajar saja dia sampai babak belur."

"Aku mengerti maksudmu, Naruto." Kiba tertawa keras saat mengingat insiden yang terjadi di area loker C beberapa menit sebelumnya. Kankurou Sabaku, salah seorang seniornya, memang tak pernah rukun dengan laki-laki pirang yang sedang menggerutu di sampingnya ini. Hanya karena Naruto tanpa sengaja menyenggol bahu Kankurou, isi kaleng cola yang dipegang senior mereka itu tumpah ke bagian depan kemeja Naruto.

Perkelahian pun tak terhindarkan.

"Mestinya kuberikan saja apa yang pantas didapatnya."

Kiba menepuk-nepuk pundak sahabatnya. "Sudahlah, lagipula tadi kan kau duluan yang menubruknya." Kiba tahu Naruto sangat membenci senioritas. Ia beranggapan, hanya karena para senior itu lahir setahun lebih cepat dari mereka, bukan berarti mereka bisa seenaknya menginjak-menginjak adik kelas mereka. Melihat Naruto yang bola matanya berubah warna menjadi biru tua, pertanda bahwa ia makin geram, Kiba cepat-cepat menambahkan, "Dan dia juga salah satu anggota klub football. Tidak baik kalau sesama anggota saling berkelahi, 'kan?"

Kedua sahabat itu sedang duduk di meja para pemain football yang letaknya persis di tengah-tengah kantin. Amaterasu Field memang merupakan salah satu sekolah yang murid-muridnya terbagi dalam beberapa kelompok sosial yang berbeda. Kelompok sosial itu jugalah yang membuat meja-meja di kantin juga terbagi menjadi kubu-kubu yang berbeda.

"Tapi kali ini dia sudah sangat keterlaluan! Habis itu masih berani ngegodain Sakura lagi! Ih, ngingetnya aja bikin kesel!" Naruto mendadak berdiri dari bangku, Kiba cepat-cepat menahan bahunya dan menariknya duduk kembali. Ia menghela napas sambil mendecakkan lidah melihat kemarahan sahabatnya yang makin berkobar karena dipicu alasan yang menurutnya sangat konyol. Mau berantemnya karena apapun, Sakura pasti tetap dibawa-bawa. Gadis malang, pikir Kiba.

"Sudahlah... Semua orang juga tahu kalau Sakura tak suka sama Kankurou-senpai."

Sudah bukan rahasia lagi bahwa Sakura Haruno, salah seorang gadis tercantik di Amaterasu Field ini, ibaratnya sudah menjadi tropi yang kerap diperebutkan oleh Naruto Uzumaki, running back klub football Amaterasu Field, dan Kankurou Sabaku, quarter back dalam tim yang sama. Keduanya langsung jatuh cinta pada si gadis berambut pink tepat pada saat cewek itu pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah swasta tersebut.

Namun sayang, si gadis Haruno sama sekali tak berminat membalas perasaan kedua cowok yang selalu berseteru untuk memperebutkan hatinya itu. Dan meskipun ia sudah jelas-jelas mengatakan kepada kedua penggemar beratnya tersebut bahwa ia tak berminat, keduanya masih tetap saja mengejarnya dan sering kali berkelahi jika salah satu dari mereka berada terlalu dekat dengan si pemandu sorak bermata emerald itu.

Atau begitulah hasil pengamatan Kiba selama ini.

"Nyebut namanya ga usah pakai senpai-senpai segala deh. Jijik dengernya!" kata Naruto sambil mendengus kesal.

Kiba hanya menjulurkan lidah. "Yang musuhan sama dia 'kan kau, bukan aku."

"Tapi kau temanku, bukan teman dia." Balas Naruto, memancing tawa lain dari Kiba.

Tawa si cowok berambut cokelat itu terhenti begitu matanya jatuh pada sekelompok gadis yang baru saja memasuki kantin. Kemunculan mereka seperti biasa memancing bisik-bisik heboh dari murid-murid Amaterasu yang sudah lebih dulu berada di dalam kantin. Gadis-gadis itu berada dalam kelompok sosial teratas di sekolah tersebut. Dan meskipun tak bermaksud mengintimidasi, keberadaan mereka selalu saja menakut-nakuti murid lain yang berada di kelas sosial lebih rendah.

Sakura Haruno merupakan salah satu anggota dari kelompok gadis-gadis tersebut.

"HEIII! SAKURA!" Kiba menghela napas mendengar teriakan penuh semangat dari orang di sebelahnya. Ya, si gadis Haruno memang selalu memiliki efek seperti ini pada Naruto.

Mendengar namanya dipanggil, Sakura menoleh, kemudian tersenyum lemah sambil melambaikan tangan pada si runner back.

Hal itu merupakan alasan yang cukup bagi Naruto untuk meninggalkan sahabatnya sendirian dan berlari menyeberangi kantin untuk menghampiri pujaan hatinya. Kiba menatap adegan tersebut tak tertarik sebelum kembali menikmati salisbury steak di hadapannya yang tadi sempat tertunda karena mendengar curcol-an Naruto.

Sambil mengunyah steak-nya, Kiba mengawasi meja yang didatangi oleh Naruto. Ada Sakura, Shion, Karin, Tenten, semuanya merupakan dewi gaya dari Amaterasu Field, dan tentu saja si model yang wajahnya selalu menghiasi kover depan majalah fesyen, Ino Yamanaka.

Ino Yamanaka, kapten tim cheerleader Amaterasu dan juga ketua klub kerajinan tangan. Langsing, cantik, berkulit putih, dan pirang. Sekali lihat orang-orang pasti mengira dia hanyalah seorang boneka barbie yang volume otaknya kosong melompong. Malang bagi orang yang berpikiran demikian terhadap Ino. Karena gadis itu sangat cerdas dan memiliki intuisi setajam pisau.

Kiba sebisa mungkin tak mau berurusan dengannya. Bukannya dia takut atau merasa terintimidasi oleh Ino Yamanaka. Hanya saja... Kiba merasa gadis-gadis seperti Ino dan teman-temannya adalah tipe-tipe orang yang akan membawa masalah baginya.

Ia sedikit kaget ketika Ino mendadak melihat ke arahnya, dan mata mereka bertemu. Kiba menolak menurunkan pandangannya lebih dulu, karena akan kelihatan seperti dia sedang memata-matai gadis itu. Hal terakhir yang diinginkannya adalah Ino Yamanaka berpikir bahwa ia, Kiba Inuzuka, salah satu line backer terbaik Amaterasu Field, diam-diam menyukai gadis itu.

Karena itulah Kiba dengan santai tersenyum kemudian mengangkat kaleng coke-nya kearah gadis itu. Ino dengan sopan membalas senyumannya sambil menganggukkan kepala.

Setidaknya meskipun dari luar terlihat sombong, gadis itu masih menghargai sopan santun, pikir Kiba sebelum kembali menelan salisbury steak-nya.


"Tidak. Aku tak bisa ikut." Jawab Kiba santai sambil berjalan pergi meninggalkan Naruto di lapangan parkir. Kiba memang jarang membawa mobil ke sekolah. Untuk menjaga staminanya, Kiba lebih memilih jogging atau kalau ia sedang sangat mengantuk, berjalan kaki ke sekolah. Lain dengan Naruto yang rumahnya berada di ujung dunia (a.k.a sisi seberang kota). Si pirang itu wajib membawa mobilnya, karena jika tidak, presentase keterlambatannya akan meningkat pesat.

"Kenapa? Hari ini kita 'kan ga ada latihan! Kau pasti masih segar bugar!"

Latihan klub football memang selalu ditiadakan setiap Jumat sore. Karena itulah anggotanya selalu saja mengadakan acara-acara pesta dimana mereka akan berdansa dan mabuk-mabukan sampai pagi.

Naruto sama sekali tak pernah absen pada setiap acara tersebut.

"Aku ada kerja sambilan." Sahut Kiba enteng.

Naruto melongo mendengar jawaban temannya. "Kerja sambilan? Untuk apa? Kau sedang butuh uang?"

Kiba tertawa mendengar Naruto yang nada suaranya mendadak prihatin. "Bukan. Bukan. Jangan khawatir." Ia menepuk bahu temannya. "Aku tidak sedang kesulitan uang. Yang kubutuhkan adalah pengalamannya. Mungkin nanti akan terlihat baik di resume ku."

Naruto mengangguk-angguk mengerti. Kiba memang selalu berpikiran lebih maju darinya. Walaupun mereka masih kelas dua, sahabatnya itu sudah memikirkan tentang masa depannya di universitas nanti. "Tapi... kau yakin kau tak mau jadi atlet profesional? Maksudku... dengan permainanmu yang seperti itu... aku yakin kau pasti gampang ngadepetin beasiswa ke sekolah olahraga."

Kiba hanya menyeringai pada Naruto.

"Baiklah, aku mengerti." Naruto menghela napas. "Kau serius ya mau jadi montir."

Komentar tersebut memancing pukulan di bahu Naruto. "OW! Kenapa sih?" seru si pirang sambil meringis. "Bener 'kan kau mau jadi montir?"

"Yah tak bisakah kau menyebut istilah kerennya?" Naruto tahu kalau Kiba sejak dulu sangat menyukai mobil. Ia juga tahu kalau temannya itu sejak dulu bercita-cita ingin menjadi seorang perancang mesin mobil. Namun ia senang menggoda Kiba dengan sebutan montir.

"Memangnya ada istilah keren buat montir?"

Kiba memukul bahunya sekali lagi. "Terserah kau sajalah. Aku cabut dulu ya. Selamat bersenang-senang." Dengan itu Kiba berbalik dan kali ini betul-betul meninggalkan Naruto sendirian di lapangan parkir.


Yamanaka Ino selalu percaya bahwa teman adalah sekumpulan makhluk hidup yang seharusnya berada di pihakmu dalam keadaan senang maupun susah, juga seharusnya manusia-manusia yang membuat perasaanmu lebih baik. Namun dia sangat salah! Teman terkadang bisa menjadi sangat jahat! Bagaimana Sakura bisa mempermalukannya kemudian meninggalkannya seperti itu?

Ia mengerutu kesal sambil meghentakkan kaki pada setiap langkahnya.

Bagaimana Sakura tega mencuri kunci mobilnya kemudian mengatakan pada Sasuke bahwa ia membutuhkan tumpangan lalu kabur membawa mobilnya! Dia seharusnya tak lagi mempercayai Sakura dengan tasnya bila ia sedang di toilet.

Sebenarnya Ino sangat gembira dan hampir memberikan medali pada Sakura atas kejeniusannya ketika Sasuke mengatakan ia bersedia mengantar Ino pulang. Namun segala kegembiraan itu lenyap ketika perempuan sialan berambut merah itu mendadak muncul dan juga meminta Sasuke mengantarnya pulang.

Dasar si jalang Megumi itu!

Ino menghentakkan kakinya lagi.

Si rambut merah itu sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ia akan mundur. Karena itulah dengan segala sisa harga diri yang dimilikinya, Ino pun terpaksa berbohong pada Sasuke dengan mengatakan bahwa mendadak ibunya mengirim pesan kalau ia akan menjemputnya.

Batre lowbat, tidak ada uang cash, maka Ino pun terpaksa berjalan kaki dari Amaterasu sampai ke rumahnya. Yang jaraknya sama sekali tidak dekat.

Ia bersumpah ia akan membalas si Megumi itu di sekolah besok!

Meskipun sudah berjalan lebih dari tiga kilometer, Ino masih belum merasa capek. Memikirkan perempuan jalang itu berada semobil dengan pujaan hatinya cukup membuat darah Ino mendidih. Amarahlah yang menjadi sumber tenaganya.

Oh Sasuke...

Dia adalah seorang dewa. Kalau bukan dewa, berarti dia anak dewa. Dia adalah perwujudan dari apapun yang wanita inginkan dari seorang pria. Cerdas, tampan, atletis, dan juga seorang teman bicara yang baik. Ia adalah kapten tim futbol Amaterasu Field. Ketika pertama kali berkenalan dengannya, Ino langsung jatuh cinta padanya. Ia bahkan rela menjalani latihan cheerleaders yang ia percaya lebih berat daripada kerja rodi agar bisa terus mendukung Sasuke di setiap pertandingan.

Ia adalah kapten tim pemandu sorak, sementara Sasuke adalah kapten tim futbol. Mereka adalah pasangan yang paling serasi!

Lalu mengapa Sasuke malah lebih memilih mengantar si jalang berambut merah itu? jerit Ino frustasi dalam hati.

Ia tak mengerti apa yang Sasuke lihat dari gadis itu. Megumi bahkan bukan siapa-siapa. Ia hanya bermodalkan tampang saja. Ia tidak sepintar Sakura dan ia bahkan tak mengikuti klub apapun.

Mungkin... Mungkin Sasuke mengantarnya pulang karena... kasihan padanya?

Ino mengangguk pada dirinya sendiri.

Ya, kemungkinan itu pasti ada. Sasuke adalah seorang gentleman. Karena itulah ia merasa tidak enak jika harus mengusir si Megumi.

Dugaan-dugaan Ino mengenai alasan Sasuke mengantar Megumi pun berlanjut. Ia terus memikirkan semua kemungkinan yang membuat posisinya tetap aman di mata Sasuke.

Hingga ia tak memperhatikan apa yang berada di depan matanya.

KRAK!

DUG!

"KYAAA!"

Sebuah batu nampaknya muncul entah darimana dan tiba-tiba berada di depan kakinya. Ia tak sempat melihatnya dan boom! Ino pun terjatuh, kakinya terkilir, dan well... sol sepatunya lepas. Ino ingin menangis. Namun karena terlalu malu, tangisannya ia tahan hingga ia terdengar seperti meringis.

Tak bisakah hari ini menjadi lebih baik lagi?

Ino menarik kakinya mendekat dan ia tak bisa menahan tangisnya saat melihat pergelangan kakinya membengkak dengan warna merah yang jelek.

Merah, merah, merah! Oh, dia sangat membenci warna itu!

Dan sol sepatunya... Sepatu sol tebal itu kini sudah menjadi sol botak.

Ditambah lagi, sepatu itu adalah pemberian ibunya.

Ino terisak melihat sepatunya yang kini tinggal kenangan. Pergelangan kaki-nya yang berdenyut-denyut seakan-akan menyemangatinya untuk menangis makin keras. Segala emosi yang sudah dipendamnya sejak siang tadi pun mulai tertumpuk di belakang matanya. Siap untuk diledakkan kapanpun.

"Hey, kau baik-baik saja?" Sebuah suara asing tiba-tiba bertanya

Tangisan Ino tak berhenti bahkan setelah mendengar suara tersebut. Ia tak peduli jika seorang pejalan kaki asing berhenti dan mengasihaninya. Yang ia inginkan sekarang adalah menangis. Mungkin kalau ia terus menangis, orang itu akan menganggapnya gila dan meninggalkannya.

Namun, setelah beberapa lama, Ino masih tetap merasakan keberadaan orang tersebut. Bahkan ia merasakan orang itu mulai berjongkok di hadapannya.

"Yamanaka?"

Ino tersentak mendengar namanya disebut. Ia pun seketika mendongak.

Saat itulah, matanya yang biru menatap ke dalam sepasang mata berwarna cokelat terindah yang pernah dilihatnya.

"Inuzuka?" Suara Ino serak saat mengenali si 'pria asing' yang berjongkok di hadapannya tersebut.

Coret kata-kata 'terindah' tadi.

"Apa yang kau lakukan disini?" Meskipun di hadapannya Ino sudah bersimbah air mata dengan muka merah, Kiba tetap tak menunjukkan ekspresi apapun. Ia hanya menatap Ino dengan pandangan ganjil.

Melihat wajah Kiba yang keras dan tak menunjukkan ekspresi apapun, entah mengapa Ino mendadak merasa takut. Ia merasa takut karena ia tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh Kiba. Ekspresi di wajah cowok itu membuat Ino merasa bahwa Kiba tak senang dengan keberadaannya. "S-Sepatunya..." Dan Ino mulai menangis lagi.

Saat itu sudah pukul lima dan matahari sudah hampir terbenam. Jalanan tempat mereka berada entah mengapa sangat kosong, sehingga Ino tak perlu khawatir dirinya akan menjadi bahan tertawaan karena menangisi sepatunya yang rusak.

Memang semuanya salah Ino karena nekat memakai sepatu Loubutin yang harganya setara dengan uang sakunya selama setahun. Namun bukan harganya yang membuat tangisannya makin keras. Kenyataan bahwa sepatu itu pemberiaan ibunya-lah yang membuat Ino makin sedih. Sepatu ini juga merupakan sepatu kesayangannya.

"Sepatumu rusak?" Ino mendengar Kiba berkata. Ia tak siap ketika merasakan sebuah tangan yang besar meraih kakinya yang terkilir. "Wow, kalau ini dibiarkan, kau bisa-bisa tak berjalan selama seminggu."

Kalimat cowok itu tak meredakan tangisan Ino.

"Hey, sudahlah. Berhentilah menangis. Orang bisa salah paham." Ino terkesiap pelan saat merasa kepalanya ditengadahkan, membuatnya kembali menatap Kiba. Ino hanya terpana saat Kiba perlahan-lahan mengelap air mata yang membasahi pipinya menggunakan lengan blazernya. "Begini saja, ya. Kuantar kau pulang ke rumahmu supaya kau bisa obati kakimu." Ia meraih tas Ino dan menyampirkannya di lengannya, kemudian menurunkan badannya sedikit dan memberi sinyal pada Ino untuk naik ke punggungnya. "Ayo."

Ino mengernyit menatap lelaki di hadapannya. Ya, dia mengenal Inuzuka Kiba. Sebagian besar murid Amaterasu Field pasti mengenal si line backer itu. Tapi Ino hanya cukup mengenal namanya saja, tidak lebih. Mereka tak seakrab itu hingga Ino bisa dengan bebas naik ke punggungnya.

"Cepatlah. Nanti keburu malam."

Apalagi pilihan yang Ino punya? Saat itu Ino memang berharap punggung di depannya ini adalah punggung milik Uchiha Sasuke. Namun, pergelangan kakinya saat itu sedang tidak pilih-pilih. Maka dengan ragu-ragu Ino pun meletakkan tangannya pada bahu Kiba.

Selanjutnya, Ino tidak siap ketika Kiba mendadak meraih kakinya dan memantapkan posisinya di punggung lelaki itu.

Wajah mulus Ino Yamanaka pun memerah.

"Bersabarlah." kata Kiba. "Tunjukkan jalan ke rumahmu."

Ino menggumamkan "Ya." Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin Kiba pasti bisa mendengarnya. Ia juga yakin mereka berdua pasti terlihat begitu konyol. Kiba dengan dua buah tas tersampir di bahunya sementara dipunggungnya, Ino bertelanjang kaki sambil melingkarkan lengannya di leher Kiba dan menenteng-nenteng sepatu Loubutin yang rusak.

Kelihatannya dewa masih berpihak pada mereka karena sampai saat itu mereka belum berselisih jalan dengan satu orang pun.

"Bukannya aku mau menceramahimu. Tapi bukannya gak nyaman ya kalau pulang jalan kaki sambil pake sepatu sol tebal?" Kiba tiba-tiba memecahkan keheningan di antara mereka.

"B-bukan salahku!" seru Ino defensif. "Aku selalu berkendara ke sekolah. Tapi sesuatu... sesuatu... terjadi tadi."

"Oh..." Kiba terdiam selama beberapa saat, sebelum tiba-tiba berkata lagi. "Ini cuma saran saja ya. Kau kan kapten cheerleaders, kupikir latihanmu hampir sama beratnya dengan latihan kami anak-anak futbol. Kurasa kau harus lebih menjaga kakimu dan jangan terlalu sering pakai sepatu-sepatu seperti itu."

Apa? Ino mengernyit dan memasang wajah tersinggung mendengar 'saran' Kiba. Memangnya siapa orang ini seenaknya saja menguliahinya dan mengomentari sepatunya. Ino tidak menjawab, dan Kiba pun tak berkata apa-apa lagi. Sekali dua kali Ino hanya akan memberitahu Kiba arah yang benar ke rumahnya.

Tak berapa lama, mereka pun sampai di depan rumah Ino. Gadis itu memaksa agar Kiba menurunkannya di pagar depan. Namun Kiba, karena dia Kiba, malah mengabaikan dan terus membawanya sampai ke pintu depan.

Ino sudah hendak mengucapkan terima kasih, ia sudah berniat tak ingin berlebihan dalam mengucapkan terima kasih-nya karena masih tersinggung dengan ucapan Kiba tadi. Namun sebelum ia berkata apapun, Kiba sudah menyelanya.

"Aku punya kenalan seorang tukang servis sepatu. Ia biasa memperbaiki sepatu kakakku yang... sejenis dengan sepatumu itu." Kiba mengangguk pada sepatu di tangan Ino. "Kalau kau mau aku bisa membawa sepatumu kesana, karena tempatku kerja sambilan tak terlalu jauh dari sana."

Kedua mata Ino melebar mendengarnya. "Kau ada kerja sambilan?" tanyanya kaget.

Kiba menganggukkan kepala. "Bagaimana?"

"Eh? Tapi..." Ino mendadak merasa bersalah karena sudah merepotkan orang ini. Kalau dipikir-pikir lagi ia pasti terlihat sangat jahat. Si Inuzuka sudah dengan baik hati menolongnya dan tak mengabaikannya di pinggir jalan, menggendongnya sampai ke rumahnya (dan demi Tuhan ia tahu badannya tak ringan), dan orang ini ternyata ada kerja sambilan! Ya Tuhan! Lalu dia masih sempat-sempatnya menawarkan untuk membawa sepatunya ke tukang servis! Dari luar Ino pasti benar-benar terlihat seperti cewek yang tak tahu terima kasih karena dengan mudahnya tersinggung akibat perkataan cowok itu tadi. Padahal apa yang dikatakannya tak sepenuhnya salah.

"Terserah kau. Aku hanya menawarkan."

"T-Tidak. Jangan. Tidak usah repot-repot. Aku sudah cukup merepotkanmu. Kau pasti capek sudah membawaku kemari."

Kiba menyunggingkan senyum kecil. "Tidak masalah."

"Ngomong-ngomong, apa kau terlambat ke tempat kerjamu?"

Kiba melirik jam dan matanya sedikit melebar. "Tidak. Hanya lima menit sampai aku harusnya hadir."

Ino terkesiap mendengarnya. "Kau mau aku mengantarmu?" tanyanya panik. Hal pertama yang terlintas di pikirannya adalah untuk mengantar cowok itu dengan mobilnya. Tanpa memikirkan apakah mobilnya sudah ada di garasinya atau belum.

"Dengan kaki seperti itu?" Mata Kiba bersinar geli padanya. "Tidak apa-apa, Yamanaka. Aku bisa lari sampai sana. Lagipula tempatnya tak begitu jauh dari sini."

"Baiklah kalau begitu." Ino tersenyum canggung. Kiba memang membuatnya terdengar tidak masalah. Tapi ia tahu cowok itu pasti hanya berkata demikian untuk menenangkannya.

"Kurasa aku harus pergi sekarang." Ia mengangguk pada Ino. "Jangan lupa obati kakimu." katanya sebelum berbalik dan berjalan keluar melewati pintu pagar.

"Hati-hati!" seru Ino dari belakang. Ia tak tahu Kiba mendengarnya atau tidak, karena punggung pria itu sudah terlanjur menghilang saat ia mulai berlari.

Memang sulit mengatakannya. Namun, suka atau tidak, Inuzuka Kiba baru saja membuat Yamanaka Ino berhutang budi padanya.

Ino menghela napas. Ia sama sekali tak tahu Inuzuka ini orangnya seperti apa. Walaupun ia seorang line-backer Amaterasu Field, namun popularitasnya tak bisa menandingi popularitas Sasuke Uchiha. Bahkan Inuzuka Kiba bisa dikatakan tak populer sama sekali.

Ino berbalik dan menyeret langkahnya masuk ke rumah.

Mungkin karena dia tertutup oleh bayangannya Sasuke? pikir Ino.

Lalu mengapa ia mau menolong Ino? Apakah cowok itu mengharapkan sesuatu darinya? Atau dia memang tipe seorang gentleman yang tak bisa meninggalkan seorang wanita dalam kesusahan?

Apabila cowok itu memang mengharapkan sesuatu darinya, Ino tak akan ragu memberinya imbalan apabila yang dimintanya masih dalam batas yang wajar. Tetapi, kalau ternyata dia tak mengharapkan apapun...

"Sialan, dia membuatku merasa bersalah."


Halo semuaa~ Bagaimana Kiba/Ino pertama saya? Suka? Ga suka? Curahkan saja di review yaa. Seperti biasa saya lebih memilih opini, saran, atau kritik-kritik yang membangun. Awalnya saya pengen bikin ini cerita pairnya GaaHina. Tapi karena setelah dipikir-pikir lebih cocok ama Kiba dan Ino... yah jadilah begini. Gak banyak yang bisa saya bilang, cuman mohon bantuannya aja ya untuk perbaikan disana-sini. Misalnya, warna mata Kiba. Saya ga yakin warna matanya Kiba apaan. Abisnya matanya cuman segaris warna item gitu aja. muaha. Di cerita ini saya juga sebisa mungkin ga akan buat mereka OOC. (sebisa mungkin loh ya) kalo ternyata jadinya OOC yah maafkanlah diri author yang manusia biasa ini *wink*

Oke deh, cukup cuap-cuapnya. Makasih udah baca cerita ini ya guys~

See ya in the next chapter!

xoxo

shiorinsan

Published on: Oct 6th 2011, 11:26 p.m

Rest in peace, Steve Jobs. My thoughts and prayers are always with you.