A/N :Don`t like don`t read. Bertema tentang hubungan sesama pria. Berasal dari imajinasi saya yang terlalu tinggi. OOC tingkat dewa. Typo sulit dihindari. Alternative Universal. Chara punya om Masashi Kishimoto. Happy reading.

AKU

"LEPASKAN, BRENGSEK!" Makian terus terlontar dari mulut seorang pria berambut pirang panjang. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya. Rambutnya yang sehalus sutra tergerai lepek menempel di kening. Ia terlihat marah juga malu, malu akan dirinya sendiri. Kakinya yang mulus terekspos tanpa pembalut, berjalan mundur menghindari pria berambut raven yang ada di hadapannya tetapi sayang usahanya gagal. Tangannya dicengkram erat pria itu. "APA BIRAHIMU BELUM PUAS, HAH! KAU INGIN MENIKMATI KU LAGI!" Pria di hadapannya hanya diam, melihat dirinya dengan kasar membuka satu persatu kancing kemejanya sendiri. Jejak-jejak kemerahan terlihat jelas mengisi setiap jengkal permukaan kulitnya, hasil perbuatan pria itu semalam. Sekarang ia teramat sangat malu, malu dengan dirinya sendiri. "MENJIJIKAN!"

"Menjijikan, hah?" Si pria menariknya kasar. Kilatan amarah terlihat kejas di matanya. "Jangan sok suci! Kau menikmatinya, bukan?" Ia menyeringai bagai setan. Cengkraman tangannya semakin erat. "Uang! Kau ingin uang kan! Akan ku berikan!" Ia berbicara penuh penekanan.

Deidara, pria berambut pirang itu, hanya bisa membelalakkan matanya. Sekarang ia begitu terhina.

Belum cukupkah pemerkosaan semalam yang masih tercetak jelas dimemorinya?

Begitu menjijikan ia yang seorang pria bergumul dengan pria juga. Sekarang, pria yang sama merendahkan harga dirinya sampai ke dasar jurang. Tamparan yang keras melayang ke wajah porselen pria itu. Raut kekecewaan terlihat jelas di wajah Deidara. "Aku… Muak…"


10 tahun kemudian,

Seorang pria berambut pirang panjang yang diikat dengan model ponytail, terburu-buru memasang dasi hitamnya di leher. Deidara, pria itu, berjalan tergesah-gesah menuju rak sepatu, mengambil sepatu hitamnya yang sudah disikat semengkilap mungkin kemarin malam.

"Naruto, jangan lupa makan obatnya. Jangan makan ramen terus nanti kau sakit lagi!" Teriakan Deidara sudah terbiasa mengisi keheningan di pagi hari. Sementara seorang anak berambut pirang lainnya yang masih bergelung dengan futon hanya mengerang menjawab teriakan kakaknya. "Aku berangkat!" Sekali lagi Deidara berteriak sambil menutup pintu. Naruto, anak berambut pirang acak-acakan itu, segera menyibakkan selimutnya ketika mendengar bunyi pintu tertutup. Ia mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Bulir-bulir keringat sudah mengucur deras dari keningnya.

...

Sudah sebulan Deidara bekerja dicabang perusahan bonafit yang ada di kota Ame, kota tempat tinggalnya. Kota Ame adalah kota kecil dengan pendapatan terendah diseluruh negri. Ia sangat bersyukur dapat diterima masuk menjadi sekertaris direktur. Posisi yang bagaikan mimpi, mengingat sulitnya mendapatkan pekerjaan di kota ini.

"Semua berkas sudah saya letakkan di meja anda, Tuan Sasori."

"Hm. Hari ini Presdir akan menginveksi. Siapkan dirimu. Dua jam lagi kita akan rapat." Deidara hanya mengangguk kemudian berjalan keluar. Dengan perasaaan berdebar-debar ia menunggu saat-saat ini. Ini adalah rapat pertamanya. Ia berdoa semuanya bisa berjalan dengan lancar.

Dengan cekatan ia menyiapkan semua laporan yang akan digunakan. Mengingat perkataan para seniornya, Presdir bukanlah orang yang mengenal toleransi sekecil apapun dan tidak segan-segan melemparkan berkas-berkas ke wajahmu jika kau berbuat salah. Tidak peduli orang itu lebih tua darinya. Begitu menyeramkannya rumor mengenai Presdir. Walaupun ini rumor, ia sangat yakin itu benar. Terbukti dari sikap Bosnya, Sasori, yang langsung tegang saat menyebutkan kata Presdir. Deidara hanya bisa menghembuskan nafas, gugup.

Tidak beberapa lama, terdengar ribut-ribut dari karyawan lainnya yang berkata bahwa Presdir akan tiba 15 menit lagi. Segera Deidara memberi tahu Sasori. Dengan tergesah-gesah mereka berjalan ke ruangan rapat, mengingat Presdir tidak suka jika harus menunggu sedetikpun. Semua sudah berkumpul, hanya tinggal menunggu pemimpin rapat datang. Atmosfir ketegangan jelas terasa, semua bergerak-gerak tidak nyaman di kursinya masing-masing.

"Dei, bisa kau ambilkan berkas yang ada di mejaku. Ada yang tertinggal." Gurat kekhawairan tergambar di wajah Sasori. Deidara mengangguk dan bergegas ke ruang kerja bosnya mengambil berkas yang tertinggal di sana. Ia tergesah-gesah berlari menuju lift. Dengan tidak sabar, ia menekan tombol lift berharap lift segera terbuka. Perlahan pintu lift terbuka dan yang terlihat olehnya adalah gambaran mengerikannya dimasa lalunya.

Deidara tidak bisa menahan keterkejutannya. Pupilnya mengecil, nafasnya terputus, detak jantungnya berhenti sesaat, tubuhnya mengeras, keringat dingin keluar dari keningnya. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan orang yang berada dideretan paling atas tidak ingin dijumpai olehnya.

"Apa kau ingin masuk?" Seorang pria dengan kacamata bundarnya melayangkan pertanyaan yang membuat Deidara kembali ke dunia sadarnya. Ia mengerjapkan matanya, memasang ekspresi kaku dan datar, sama seperti pria yang ada tepat di hadapannya. Deidara mengangguk, berusaha menguatkan hati dan perlahan masuk ke dalam lift. Ia berdiri tepat disamping pria yang ia kenal. Pura-pura tidak kenal, itu yang mereka lakukan walaupun dalam hati ada perasaan bergejolak muncul.

Lift berbunyi disusul dengan terbukanya pintu. Deidara bergegas keluar, tidak sedikitpun menoleh pada mereka. Ia sudah bertekat mengubur semua memori bertahun-tahun yang lalu. Memori yang mengerikan, membuatnya ingin menyayat seluruh permukaan tubuhnya. Ia berlari ke ruangan rapat. Tampaklah Sasori yang menghembuskan nafas lega melihat dirinya datang. Ia langsung duduk di kursinya, di samping Sasori. Tidak beberapa lama Presdir datang. Semua berdiri menyambut kedatangannya begitupun dengan Deidara. Beberapa saat Deidara terkejut melihat siapa Presdir yang sejak awal ditunggu-tunggu. Tubuhnya merinding, kedinginan. Entah rasanya ia ingin menceburkan dirinya ke dalam sumur yang paling dalam.

Seakan ia lupa siapa orang itu, orang yang paling ia benci dan paling tidak ingin ia lihat di belahan bumi manapun. Dimanapun orang itu muncul selalu saja dengan begitu banyak kesempurnaan yang melekat padanya tetapi tidak seorang pun tahu bahwa orang itu telah menggoreskan kecacatan dalam hidupnya.

Bagaimana ia harus berjuang dari depresinya seorang diri selama hampir tiga bulan. Kejadian menjijikan itu selalu terulang bagai film yang selalu terputar diingatannya. Ia takut untuk tidur, takut untuk berada di ruangan gelap, sesering mungkin ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Ia hampir mati.

Apa yang bisa ia harapkan?

Melapor pada pihak berwajib?

Ini bagai aib untuknya.

Pergi ke psikiater?

Heh, untuk makan saja sulit.

Tahu apa yang membuatnya kembali normal?

Semuanya perlahan kembali normal ketika dia sadar adiknya kelaparan karena nasi sudah tidak ada. Dia adalah satu-satunya tumpuan hidup untuk adiknya setelah ibunya meninggal dunia saat melahirkan Naruto. Jangan menanyakan dimana ayahnya berada. Si Brengsek itu sudah meninggal bunuh diri, tidak tahan menanggung hutang yang terlampau banyak karena ulah bodohnya. Dia hanya menyisakan tumpukan utang yang ditangguhkan oleh mereka berdua.

Sekarang Deidara harus kembali menguatkan hatinya, kembali melihat pria itu duduk dengan angkuh ditahtahnya.

Bruk…

Semua tersontak kaget mendengar bunyi berkas yang dilempar ke bawah.

"Apa hanya itu kemampuan kalian, heh!"

Presdir memasang wajah dingin. Suaranya yang berat dan terdengar mendominasi membuat semua orang langsung diam tidak berkutik. Baru saja rapat dimulai sepuluh menit yang lalu, sudah terjadi hal seperti ini. Ia merasa tidak puas dengan kinerja pegawainya terutama Kepala Direktur, Sasori, bos Deidara. Entah kenapa Deidara merasakan ini bukan hanya karena itu, terbukti dari tatapan yang mengarah padanya.

Tiga puluh menit, rapat yang tidak memakan waktu satu jam itu pun terasa bagai seabad di neraka. Hanya diisi dengan kekecewaan dari sang Presdir tanpa adanya solusi yang jelas. Semua menunduk hormat meninggalkan ruangan rapat begitupun Deidara. Semua hanya bisa mengurut dada setelah berada jauh dari Presdir. Sedangkan Deidara, berusaha sekuat hati menyembunyikan ketakutannya yang sejak tadi merasa ada mata yang terus mengintai gerak-geriknya.

Yah, dugaannya pun tepat. Setelah semua orang pergi meninggalkan ruang rapat, Deidara ditarik kembali masuk ke dalam. Pintu ditutup dan punggungnya terhempas membentur belakang pintu.

"Kau mau lari lagi, heh!" Intonasi yang terdengar penuh penekanan, membuat tubuh Deidara gemetar. Ia terkurung diantara Presdir juga pintu. "Sepuluh tahu, ternyata kau masih bisa bertahan yah." Presdir menyeringai memandangi dirinya yang sudah pucat pasi. "Takut padaku, heh!" Deidara tidak bisa berkutik sedikitpun. Kenangan itu tanpa sadar kembali muncul dan terlampau jelas, sangat jelas.

"Kau ingin apa, heh!" Suara Deidara bergetar. Keringat dingin keluar deras dari keningnya. Presdir mengulurkan tangan berniat mengusap keningnya. Deidara yang terkejut sontak memejamkan mata.

"Apa itu sambutan yang kau berikan pada sahabatmu?"


Seorang pria dengan rambut pirangnya yang ia ikat satu sedang berdiri di depan etalase sebuah toko. Manik birunya terus mengarah pada kanfas juga satu set cat minyak yang ditata apik di depan toko. Jari telunjuknya menempel pada kaca etalase, bergerak membentuk gambaran benda yang ada di dalamnya. Ia menggigit bibirnya, nafasnya sesak melihat begitu indahnya benda-benda itu. Ia mengeratkan pegangan pada tali tas slempang kumal yang menggantung di pundaknya.

"Kau suka?" Suara lembut membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke samping, melihat pria berambut raven yang berdiri tegap di sampingnya. Balutan kemeja dan celana jeans biru terlihat sangat ekslusif membingkai penampilan pria itu. Senyum getir tak sengaja ia perlihatkan pada orang itu.

"Tidak." Ia mengusap lehernya pelan. Pria berambut raven itu hanya tersenyum ramah.

"Kita masuk." Ia langsung ditarik masuk ke dalam toko.

"Itachi, tidak perlu. Naruto menungguku di rumah," Deidara, pria berambut pirang itu, meronta minta dilepaskan. Tangannya berpegangan pada pintu masuk toko.

"Jangan membuatku malu. Masuk!" Perintah Itachi sambil menggeret Deidara untuk masuk kedalam toko. Setelah sekian menit membuat keributan di depan pintu masuk toko akhirnya Deidara masuk dengan tubuh yang diseret paksa oleh Itachi.

"Pilih yang mana?" Itachi langsung menyeret Deidara ke depan pramuniaga toko. "Keluarkan semua yang kau punya!" Semua peralatan melukis dikeluarkan dari raknya dan dihadapkan kearah Deidara. Deidara hanya membelalakan matanya melihat label harga yang tercantum disetiap barang. Barang-barang yang tidak mungkin ia beli karena harganya yang terlampau mahal.

"Apa ada yang harganya di bawah 500 yen?" Pertanyaan Deidara langsung direspon dengan senyum kecil dari pramuniaga toko. "Tidak ada yah. Maaf aku tidak jadi beli." Deidara hanya memasang senyum bodohnya. Ia langsung menunudukkan kepala, malu dan berbalik berniat keluar tetapi Itachi langsung menahannya.

"Bungkus semuanya." Pernyataan Itachi langsung membuat kaget pramuniaga toko begitu pun Deidara.

"Benarkah? Kau membeli semuanya?" Tanya pramuniaga memastikan. Itachi hanya menghela nafas. Sadar akan ke tidak sopanannya, pramuniaga langsung mengambil tas belanjaan untuk meletakkan barang-barang yang ada di meja.

"Kenapa dibeli semua. Kau ingin melukis?" Bisik Deidara, sekedar mengingatkan.

"Untukmu." Jawab Itachi datar.

"Satu juta yen. Cash atau kredit?"

Deidara tidak bisa berhenti terkejut. Satu juta hanya untuk membeli peralatan lukis, itu pemborosan namanya.

"Cash." Itachi mengeluarkan dompet hitamnya, mengambil cek yang berisi satu juta dolar.

"Maaf Nona, kami tidak jadi beli." Deidara dengan gelagapan menahan Itachi mengeluarkan uangnya yang hanya mendapat respon bingung dari pramuniaga toko. Itachi menepis tangan Deidara.

"Minggir." Itachi memberikan cek itu pada pramuniaga toko setelah memberi deathglare untuk Deidara. Sekarang Deidara hanya bisa kesal dengan kelakuan Itachi yang terlihat sangat angkuh dihadapannya.

Selesai bertransaksi, Itachi pergi keluar dengan menenteng dua tas belanjaan besar. Deidara yang terlanjur kesal berjalan mendahuluinya.

"Harusnya kau senang dengan semua ini!" Itachi berteriak sambil meletakkan tas belanjaanya dengan kasar di aspal, berharap Deidara berbalik dan membantunya membawa tas belanjaan itu karena barang-barang itu sengaja dibelikannya untuk Deidara.

"Kau tahu, satu juta yen itu uang makan kami selama setengah tahun? Kau ingin menghinaku dengan membelanjakan uang itu hanya untuk membeli barang-barang itu, heh!"

Itachi hanya mengendus, kesal, "Aku membelikannya untukmu. Kenapa kau jadi marah. Fine, buang saja!" Ia mengambil tas belanjaannya lalu melemparkannya ke pinggir jalan dengan kasar lalu pergi meninggalkan Deidara.

Deidara hanya bisa membelalakan matanya. Cepat-cepat ia pergi ke pinggir jalan menghampiri tas-tas belanjaan itu. Dengan khawatir ia mengecek kondisi barang-barang belanjaannya. Menemukan tidak ada satu pun barang yang rusak, ia menghembuskan nafas lega.


"Aku pulang."

Pintu rumah terbuka, mempakkan Deidara yang terlihat letih pulang ke rumahnya. Ia menghela nafas lelah , mengingat banyak hal buruk yang terjadi di kantor.

"Selamat datang!" Sapa Naruto keluar dari dapur dengan wajah pucat menghampiri kakaknya. Apron jingga masih terpasang di tubuhnya. "Maaf aku ketiduran jadi baru masak," Ujarnya penuh penyesalan. Deidara hanya menyerngitkan alisnya melihat keadaan adiknya yang pucat dengan keringat membanjiri kening. Tubuh adiknya terlihat bergetar dan ia berjalan dengan sangat perlahan.

"Kau baik-baik saja?" Deidara khawatir melihat keadaan adiknya. Ia melepas apron jingga yang melekat ditubuh adiknya. "Biar aku yang masak. Kau istirahat saja." Ia mengusap helaian rambut pirang yang mirip dengannya.

"Aku baik-baik saja." Suara adiknya terdengar sangat parau.

"Kau sudah minum obat?" Tanya Deidara lagi. Ia meletakkan telapak tanganya di kening adiknya.

"Ini hanya sakit perut. Aku sudah minum obat pereda nyeri." Si adik hanya tertawa tetapi kemudian ia tersungkur jatuh di lantai.

"Naruto!" Deidara memanggil berkali-kali nama adiknya, berusaha membangunkan. Raut wajah cemas terpampang jelas diwajahnya. Ia mengangkat adiknya dan dengan cepat membawanya keluar dari flat kumuh yang mereka tempati. Dengan kebingungan ia menyetop taksi yang lewat. "Rumah sakit, sekarang!" Perintahnya pada supir taxi. Ia mengusap keringat yang membanjiri kening Naruto. Tangannya bergetar menyentuh tangan adiknya yang dingin bagaikan es. "Tolong cepat!" Perintahnya lagi. Ia mendekap tubuh Naruto yang juga terasa dingin. "Jangan mati, kumoho," Ujarnya lirih. Bulir-bulir bening menggenang di pelupuk matanya. Nafasnya tercekat mendapati tubuh adiknya semakin dingin dari sebelumnya.

Bunyi decitan rem terdengar nyaring ditelinga. Dengan berlari ia menggendong adiknya masuk ke dalam rumah sakit. Dengan panik ia menghampiri suster yang ia temui, meminta pertolongan dengan wajah yang sangat tertekan. Suster itu langsung mengarah Deidara untuk membawa Naruto ke ruangan UGD.

"Apa dia baik-baik saja?"

Dokter hanya menyerngitkan alisnya, berfikir. "Sepertinya ini bukan hanya sakit perut biasa." Ia menghembuskan nafas berat. Mengalihkan perhatiannya pada stetoskop yang mengantung dilehernya. "Sebaiknya adik anda harus dirongsen."

Deidara hanya bisa meneguk ludahnya, takut jika ini adalah hal yang buruk. Ia menyunggingkan senyum yang dipaksakan. "Dia baik-baik saja kan?" Tanyanya sekaligus sebagai peyakinan untuk dirinya sendiri bahwa Naruto baik-baik saja. Dokter hanya diam.

"Kita lihat hasilnya besok."

Deidara POV

"Kaka, apa aku akan mati…"

Aku benci kata-kata itu. Kau menatapku seperti dua belas tahun yang lalu, begitu menderita, begitu putus asa.

Kau tertawa, mengusap lehermu. "Aku tidak takut."

Helaian demi helaian rambut pirangmu jatuh, tidak kembali. Kulit tan mu sudah berubah kusam dan pucat. Sinar matamu telah meredup. Kau tertawa saat berbicara tentang kematian dengan tangan bergetar dan suara yang berat. Terus mengelak dan berkata tidak ada yang kau takutkan di dunia ini. Sadarkah kau semakin kau tertawa, semakin aku takut. Takut akan kehilanganmu. Berjalan sendiri di dunia ini seakan hidup dalam kekosongan. Hanya satu yang kubutuhkan,

"Tidak semudah itu kau meninggalkanku. Kan ku tukar segalanya bahkan diriku."

kau.

Dencitan sepatu menggema di lorong-lorong rumah sakit. Satu, dua, tiga orang terjatuh, bertabrakan denganku. Nafasku terjepit, sesak. Kepalaku terasa semakin berat. Beberapa orang berpakaian putih menahanku masuk. Semilir bau alcohol berhembus dari dalam ruangan dimana kau berada. Aku ingin berteriak memanggil namamu, berharap kau akan membuka mata tetapi sia-sia. Tenggorokanku kering, mulutku kaku. Aku gemetar. Tersungkur dibawah lantai di depan ruanganmu. Pandanganku semakin buram. Air mata berjatuhan tidak sengaja.

Kenapa begini?

Aku sulit menerima semuanya. Kesialan beruntun mendekatiku. Hasil tes kesehatanmu keluar. Aku hanya bisa tercekat, tidak bisa membayangkan yang akan terjadi mendengar kau menderita kanker lambung.

Aku takut juga bingung. Semua tabunganku yang tidak seberapa, kukuras habis membayar biaya pengobatanmu yang bahkan belumlah cukup. Dengan tekanan darinya aku semakin melunta-lunta. Dunia seakan runtuh ketika dia benar-benar menunjukkan siapa dirinya, aku dipecat. Tidak ada lagi pegangan hidup.

Kau kembali drop, menuntut untuk segera ditangani begitu pun dengan uang yang mendesak minta untuk dibayar. Aku mengusahakannya, bekerja serabutan di sana sini tetapi hasilnya tidak lebih untuk ongkos ke rumah sakit. Aku menderita melihat kau yang menderita.

Posisiku sudah ada di ujung pedang. hanya tinggal sentuhan akhir, menceburkan diri.

Tanganku bergetar mengetuk pintu apartemennya. Kembali ingatan itu muncul, semakin jelas. Tubuhku merinding. Aku begitu menjijikan.

Perlahan pintu di depanku terbuka, menampakan seorang pria dengan rambut ravennya yang hitam. Onyxnya yang kelam tertuju padaku.

Kumohon siapapun Engkau, Tolong kuatkan jiwaku!

"Tolong, beri aku uang!"

To be countinue.

A/N : Kembali dengan cerita yang bertema boys love yang sudah direncanakan sejak jauh-jauh hari. Ini adalah fic boys love kedua saya. Walaupun sempat kecewa mengingat fic yang sudah saya publis di wordpress seseorang hanya mendapatkan satu review tetapi bukan berarti saya menyerah begitu saja. Oh ayolah… hidup ini akan lebih menyenangkan kalau ada pasang surutnya walaupun saat surut begitu menderita. Mungkin cerita ini terasa begitu familiar karena idenya yang pasaran. Saya tidak menyangkal hal itu, tetapi bisakah anda meluangkan waktu sedikit saja untuk membaca chapter dua dan chapter finalnya? Saya jamin anda tidak akan merugi. #promosi, hehehe…

Luangkanlah waktu untuk meriview, saya akan sangat menghargainya.