Edward merangkul pundakku, mencium puncak kepalaku, dan menyadarkan kepalanya kepadaku. Wajahku lagi-lagi kembali memerah. Kalau seperti ini bisa-bisa wajahku akan permanen berwarna merah.

"Terkadang aku merasa terlalu beruntung dan tidak percaya diri saat mengatakan kalau kau adalah kekasihku." Edward berbisik lirih.

Aku melirik kepadanya, "B-bukankah aku yang seharusnya berkata seperti itu?"

Edward tertawa pelan, "Kalau begitu anggap saja kita saling melengkapi, bagaimana?"

Aku mengangguk dengan antusias kemudian yang kurasakan adalah bibir Edward yang menyapu bibirku. Dengan lembut tangan Edward merangkul pinggangku, kuletakkan tanganku diatas dada bidang Edward. Bibirnya bergerak perlahan diatas bibirku untuk kali ini kepalaku tidak berkunang-kunang seperti sebelumnya. Saat aku membuka mataku, kulihat bulu mata panjang milik Edward yang berwarna perunggu diatas matanya yang terpejam begitu dekat denganku lalu untaian salju pelan turun dari langit. Salah satu impianku adalah dapat berciuman di bawah untaian salju dari langit di malam natal yang suci bersama orang yang kusukai. Dan Edward telah menwujudkannya.

.

.

Disclaimer:

Naruto by Masashi Kisimoto and Twilight saga by Stephanie Meyer

Moonlight created by Tsubasa XasllitaDioz

Warning: AU,OOC-maybe- and etc.

Pair: Edward Cullen and Hinata Hyuuga

Chapter 8: Party.

.

.

Kaki kami melangkah bersamaan di jalanan dingin Tokyo. Aku hampir melupakan apa nama jalan yang kini kami lalui. Mungkin karena memang memoriku perlahan mulai memudar karena terlalu lama tinggal di Forks. Seolah disanalah rumahku sedangkan disini aku hanya sedang berlibur. Tidakkah membuat hal tersebut terasa sebaliknya. Seharusnya disinilah rumahku, dimana ada teman-temanku, keluargaku, dan tempat kelahiranku. Namun di Forks disanalah aku menemukan seseorang yang benar-benar aku cintai dan mencintaiku sepenuh hidupnya. Tidakkah menurutmu itu cukup sebagai alasan aku tetap memilih tinggal di sisi seorang Edward Cullen. Semua yang akan butuhkan seakan telah tersedia disisi Edward.

"Ada apa Hinata?" suara Edward sejenak mengembalikanku ke dunia nyata.

Aku menggeleng lemah sembari tersenyum kecil kepada sosok yang kini tengan menggenggan tanganku erat, "T-tidak ada apa-apa. A-aku hanya tidak m-menyangka bisa berjalan disini denganmu saat siang hari."

Pernyataan bohong memang, namun tidak sepenuhnya. Karena jauh pada dasarnya aku tidak pernah menyangka akan berjalan dipendestrian ramai di jalanan sibuk Tokyo seperti saat ini. Lihat saja bagaimana para gadis dan wanita yang ada terpana menatap Edward. Walau berat mengakuinya, Edward memang maha karya Kami-sama yang sangat sempurna. Seakan semua yang tercipta untuk Edward diperhitungkan sedemikian rupa kemudian disatukan dengan kesempurnaan lain hingga terlahirnya seorang Edward Cullen. Sedangkan diriku, aku bahkan tidak berani membayangkannya. Takut perasaan rendah diriku terlalu menenggelamkanku lebih lama dan lebih jauh lagi. Berjalan disisinya memang sesuatu yang sangat berat namun bagaimana aku mampu melepaskan genggaman tangan ini kalau kehilangannya saja mampu membuatku merasa setengah mati.

Seberkas senyum cemerlang terlahir di bibirnya yang kemudian menyentuh kembali bibir mungilku. Kecupan singkat yang langsung mengalihkan semua dunia kepadaku hingga jantungku berdetak gila-gilaan, "Selama bersamamu. Kurasa tidak ada hal yang tidak mungkin."

Wajahku memanas. Mungkin memerah juga. Aku dapat merasakan hal itu dengan malu aku menutupi bibirku yang sebelumnya dikecup ringan oleh Edward di muka umum. "Tidak ada yang perlu aku khawatirkan selama kau mencintaiku."

"A-aku pun m-mencintamu." Terdengar kelu dibibirku namun begitulah kenyataannya. Ketika senyum tercipta di bibir Edward aku dapat merasakan apa yang kuucapkan memang benar kenyataannya. Maka di malam Christmast Eve aku berjalan disisi Edward. Menikmati hal-hal yang dulunya hanya bisa aku impikan. Bersama mengelilingi toko-toko yang menyungguhkan suasana natal. Berdiri bersisian di depan pohon natal tersebut di jalan tersebut lengkap dengan kerlap-kerlip yang indah menyaingi bintang diatas sana. Serta seberkas ciuman tepat di malam natal di depan pohon natal. Diiringi dengan salju-salju kecil yang turun menemani kebersamaan kami.

Menjadi Chrismast Eve terindah disepanjang sejarah kehidupanku dan Edward mengabulkan semua mimpi-mimpi sederhanaku.

.

.

.

"Tidakkah kau anggap itu terlalu berbahaya Itachi? Mengundang seseorang yang tidak dikenal kesini? Bisa saja dia membahayakan keberadaan kita?" sebuah suara semerdu lonceng terdengar dari salah satu sudut ruangan gelap. Milik seorang wanita berambut hitam pekat dengan ikalan ringan di rambutnya.

"Kau tidak perlu khawatir Kurenai," jawab Itachi ringan, "aku sudah bertemu dan sedikit berbincang-bincang dengannya. Ia memiliki bakat yang kurang lebih sama denganku dan menyebut dirinya seorang ahh- vegetarian."

Ruangan gelap yang didominasi dengan warna merah sekental darah diisi dengan beberapa sosok berambut gelap. Duduk dengan rapi di sebuah meja panjang dengan ukiran yang sangat mahal dan teliti. Kemewahan jelas tercipta dalam setiap sentuhan sudut ruangan. Seolah sebuah ruangan kerajaan di jaman pemerintahan Victorian dibawa kemari untuk memenuhi setiap detail sentuhannya.

Sesosok wanita lain yang berambut gelap menyampirkan sebuah senyum kepada Itachi, "Sepertinya Edward memang harus dijamu kemari. Dia mungkin kesusahan makan di daerah perkotaan seperti di Tokyo. Disini tidak tersedia binatang buas sebanyak di Forks tentunya. Apa kau keberatan Fugaku?"

"Kalau menurutmu kalian begitu, kurasa aku tidak memiliki alasan untuk menolak jamuan untuk pemuda asing tersebut," suara tegas dari Fugaku memenuhi ruangan, "jika menurutmu itu yang terbaik Mikoto."

Sosok wanita yang bernama Mikoto menyampirkan sebuah senyuman hangat lain yang disambut oleh senyum timpang dari Itachi, "Kalau begitu Sai-kun. Apa kau tidak keberatan berburu dan mengambil darah binatang di daerah Kyoto sana? Memang sedikit jauh namun Edward sangat menyukai darah singa buas.

"Tentu saja tidak Okaa-san," sebuah senyum tercipta di bibir pemuda berambut hitam tersebut. Lengkap dengan matanya yang menyipit hingga membuatnya nampak seperti rubah, "tentunya kalau Nagato tidak keberatan menemaniku."

Nagato, pemuda yang sedang duduk santai disebelah Kurenai, menatap sanksi Sai. Kemudian menghembuskan napas panjang lalu mengangguk dengan malas. Karena dia rasa percuma berdebat dengan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dia menangkan. Dan memang dalam sepanjang sejarah perdebatan, Sai selalu berhasil mengalahkannya apalagi kalau ditambah bantuan dari Mikoto. Dan benar saja, sebuah suara tawa kecil keluar dari wanita yang dianggap ibu oleh semua yang ada disini kecuali Fugaku yang tentunya menganggap Mikoto adalah belahan jiwanya.

"Kalau begitu mohon bantuannya untuk kalian berdua," kata Mikoto dengan nada yang tertata merdu.

.

.

.

Malam natal yang indah bersama Edward tidak pernah terbayangkan olehku sudah terlewati. Seakan semalam yang kulewati bersama Edward bagaikan mimpi di malam natal. Sebagai hadiah dari Santa Clause sebagai anak yang baik. Namun semua adalah kenyataan, dengan Edward yang memelukku paginya. Aku tahu kalau semua yang kami lewati bukanlah mimpi. Tetapi kami tidak melakukan apapun setelahnya. Edward dan diriku saling memeluk ketika kami selesai bercengkrama di ruang keluarga. Menunggu kedatangan keluargaku pulang dari acara natalnya masing-masing. Sebelum aku malah jatuh tertidur di pundak Edward yang berwangi Pinus dan Mint yang begitu lembut. Dengan mudah Edward mengangkatku kedalam pelukannya dan membawaku ke kamar tidurku. Aku menyadarinya, namun aku tidak melepaskan pelukannya. Entah apa yang membuatku begitu berani dan Edward nampak terkekeh pelan saat meletakku ke tempat tidur.

"Ada apa Hinata? Wajahmu nampak memerah," suara merdu itu terdengar di telingaku secara tiba-tiba.

Aku langsung gelagapan mendengarnya, "T-tidak, a-aku tidak apa-apa Edward," jawabku sembari menepuk-nepuk pelan pipiku.

Aku melihat senyumnya tercipta disana. Sebelum mataku menyadari kalau Edward sudah bersiap. Lagi-lagi membuatku terpana melihatnya. Bagaimana bisa seorang pria yang begitu sempurna bak di pahat sempurna oleh dewa-dewa Yunani berdiri di depan pintu kamarku yang sederhana. Dengan rambut perunggunya yang seolah selembut helaian sutra dan rahang yang tegas. Aku tidak pernah berhenti untuk tidak mengagumi wajahnya. Terlepas dari semua itu, aku merasa bahagia karena dapat berdiri disisinya saat ini.

"Apa kau sudah siap?" tanya Edward seketika kemudian sebuah kecupan singkat mendarat di pipiku yang memerah.

Dan aku merasa sangat beruntung karena Edward selalu memperlakukanku layaknya seorang ojou-sama paling beruntung di dunia.

Dengan segera aku mengangguk. Hari ini kami akan menghadiri acara natal bersama dengan Sakura, Naruto, serta kawan-kawanku yang lama. Semalam sesampainya dirumah, telepon dari Sakura tidak berhenti berdering. Aku mengangkatnya hingga suara Sakura merajai percakapan untuk mengundangku dan Edward ke acaranya. Aku sempat melirik-lirik untuk melihat persetujuan Edward. Sebelum kemudian ia menganggukkan kepalanya tanda menyetujui. Mendengar kami menyetujui untuk hadir di acara tersebut kontan saja teriakan Sakura terdengar dari ujung telepon. Membuatku ikut tertawa senang karena sudah lama sekali tidak berkumpul dengan teman-temanku yang lain.

"Hinata, Edward," panggil Neji-nii, "ini kunci mobilnya. Kau bisa menggunakan mobilku."

"Ha'i. Arigatou Neji-nii," ujarku kemudian menerima kunci yang diberikan oleh Neji-nii.

"Aku titip Hinata, Edward," kata Neji-nii sambil menepuk pelan pundak Edward dan berlalu menjauh dari kamarku.

"Alright, sebaiknya kita cepat sebelum terlambat Hinata," kata Edward kemudian mengamit tanganku dan mengambil kunci mobil yang diberikan.

Mataku berkedip sebentar menatap Edward, "B-biar a-aku saja yang membawa mobil Edward."

Suara kekehannya yang terdengar merdu datang ke telingaku, "Tentu saja tidak. Sebagai seorang gentleman sudah seharusnya aku mengantar tuan putri ke tempat acaranya."

Wajahku memerah seketika kalau lama-lama seperti ini bisa-bisa wajahku akan memerah permanen. Edward begitu lembut saat memperlakukanku. Kata-katanya mengalun dengan perlahan namun pasti. Mengingat ia telah hidup cukup lama, tidak heran sudah berapa banyak kata-kata manis yang dipelajarinya. Meski begitu Edward tidak pernah mengumbar hal tersebut begitu saja. Hingga membuatku tenang kalau tidak semua gadis bisa seberuntung diriku berdiri disisinya selama ini. Tidakkah selama ini Edward merasa kesepian? Ia yang selalu berdiri sendiri selama, entah berapa ratus tahun, dimana ia tidak pernah berubah.

Maka dari itu, biarkan aku menghapuskan kesepian tersebut. Mencoba mengisi hari-harinya dengan untaian warna baru yang setidaknya dapat membahagiakannya. Walau kutahu, jangka waktu umurku hanya kedipan mata. Begitu singkat dan pendek.

Tetapi bukan berarti kami tidak bisa menikmatinya sebuah waktu yang singkat dan pendek itulah yang membuatku mensyukuri setiap momen yang ada. Setiap momen yang selalu akan menjadi memoar-memoar memori yang tersimpan bagaikan kenangan yang di klip menjadi satu. Dan di dalam kehidupan yang singkat inilah aku pun bersyukur dapat bertemu dengan Edward. Jadi sampai sekarang pun aku ingin membuat kenangan sebanyak apapun yang kubisa.

Kami tiba di depan sebuah rumah yang telah nampak sangat ramai. Bahkan dari depan sini aku masih dapat mendengar dengan jelas suara yang berasal dari dalam. Beberapa kali terdengar teriakan yang kuketahui berasal dari Sakura-chan yang meneriakan nama Naruto-kun. Rumah milik keluarga Haruno berbeda jauh dengan rumah kediaman Hyuuga. Rumah keluarga Hyuuga masih sangat kental dengan arsitektur Jepang kuno. Mengingat keluarga kami telah tinggal disana sampai beberapa keturunan. Kami masih menggunakan pintu geser yang terbuat dari kayu, juga beberapa bagian yang tidak tersentuh oleh peradaban modern, contohnya saja perpustakaan keluarga yang beberapa menyimpan berkas berupa gulungan kertas.

Walaupun rumah keluarga Haruno memang tidak seluas halaman keluarga Hyuuga namun sentuhannya lebih bergaya Eropa yang sangat sederhana. Berbeda dengan cat kediaman Hyuuga yang lebih gelap, tempat tinggal Sakura-chan jauh lebih berwarna dengan warna putih, peach, dan merah jambu yang mendominasi. Membuat kesan ceria dan menyejukkan terasa ketika memasuki rumah Sakura-chan.

Saat melangkah masuk Edward menggamit tanganku pelan. Berusaha untuk tidak membuat wajahku memerah akan perbuatannya kualihkan perhatianku pada tanah yang ada di kaki. Kebiasaan lama sepertinya memang sulit untuk dirubah karena aku selalu melakukan ini saat berhadapan dengan Naruto-kun. Bahkan dulu menatap wajah Naruto-kun berlama-lama saja aku tidak tahan. Karena ia bagaikan matahari cerah di musim panas yang terlalu menyilaukan untuk kutatap berlama-lama. Akan tetapi sekarang alasannya bukan itu lagi. Sekarang alasannya adalah karena sosok yang perlahan malah membimbingku masuk seakan ia sudah mengenal seluruh seluk-beluk rumah ini.

"HINATA-CHAN!" Sebuah teriakan dimana-mana mengagetkanku.

Kontan saja aku mengangkat kepalaku dan mendapati Ino-chan melompat datang memeluk tubuhku. Tidak lupa beberapa teman sekelasku yang datang ke pesta Sakura-chan nampak tersenyum ketika melihat kedatanganku. Sebelum akhirnya semua terdiam ketika melihat intesitas yang ikut datang bersamaku. Well, sepertinya memang aku harus terbiasa melihat kejadian seperti ini ketika berkunjung ke tempat orang yang kukenal dengan mengajak sosok yang ada dibelakangku. Ahh –pengecualian untuk keluarga Hyuuga yang nampaknya sudah terbiasa berhadapan dengan keluarga Uchiha.

"Hinata-chan, eto... dia siapa?" bisik Ino-chan di telingaku.

Aku tertawa kecil kemudian menguraikan pelukanku dengan Ino-chan perlahan, "E-to m-mari kuperkenalkan dia Edward Cullen, k-ke-kekasihku."

Ugh –rasanya kata itu mengganjal di tengorokanku dan meminta untuk dikeluarkan. Sebuah aksi yang tidak membuatku menyesal kala melihat seberkas senyum tipis terpasang di wajah Edward. M-mungkin aku harus lebih sering mengatakannya? Tiba-tiba kurasakan wajahku memanas seketika. Apa yang kupikirkan?

Sebelum akhirnya aku menyadari kalau semua mata yang ada di pesta benar-benar tertuju kepadaku sebelum kemudian beralih kearah Edward, yang memasang senyum tipisnya, kemudian kembali lagi kepadaku. Dan yang bisa kedengar hanyalah teriakan terkejut dan suara yang saling menyahut satu sama lain sedang berlomba untuk masuk kedalam telingaku. Sampai-sampai aku kewalahan mencoba satu per satu menjawab pertanyaan yang berserakan datang kepadaku. Beruntung Edward membantuku menjawa satu persatu dengan jawaban yang singkat namun sangat jelas. Aku yakini hal tersebut berasal dari kemampuannya yang dapat membaca pikiran lawan bicaranya. Kalau memang aku memiliki bakat ini aku tidak yakin bisa menggunakannya sebaik Edward. Kemampuanku berbiaca memang masing sangat kurang, belum lagi ditambah gugup yang kadang melanda hingga membuatku tergagap.

Terlepas dari semua cecaran pertanyaan yang datang selama setengah jam. Pesta natal di rumah Sakura-chan memang akan selalu meriah seperti ini. Biasanya memang Sakura-chan akan mengadakan pesta natal kecil-kecilan bersama dengan sahabat dekatnya. Dan aku sebagai salah satu sahabat dekatnya selalu diajak untuk bergabung. Walau pun terkadang minder karena beberapa dari temanku selalu membawa pasangannya di pesta natal ini. Bahkan Ino-chan sudah tidak terhitung lagi berganti-ganti pasangan. Tidak salah memang mengingat Ino-chan memiliki wajah blasteran yang menawan setiap pemuda yang menatapnya. Namun kurasa akan terjadi persaingan yang sengit ketika Ino-chan dipertemukan dengan Rose. Aku tidak bisa membayangkannya jika hal itu terjadi.

"Apa ada Hinata?" Suara merdu Edward membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum kecil, "Tidak ada apa-apa. Hanya sebuah lamunan bagaimana seandainya kalau Ino-chan bertemu dengan Rose? Kira-kira apa yang akan terjadi."

Edward tersenyum tipis matanya memandang fokus kedepan sambil mengendarai mobilnya. Sudah nyaris larut malam ketika aku dan Edward pamit dari pesta meriah di rumah Sakura-chan. Edward mengatakan tentang sesuatu yang bernama jam malam untuknya mengantarkanku ke rumah tepat waktu seperti kata Tou-san. Walau pun aku tidak tahu kapan Tou-san mengatakan hal tersebut kepada Edward. Atau mungkin Tou-san mengatakannya di dalam pikirannya agar dapat di dengar Edward.

"Sebaiknya tidak perlu dibayangkan. Karena mereka tidak akan pernah bertemu kalau pun bertemu maka bisa dipastikan keduanya akan menjadi saingan yang sangat menyenangkan untuk disaksikan."

Aku tertawa kemudian yang dibalas dengan elusan pelan di rambut indigoku. Sebuah senyum miring tercipta disana. Aku memang selalu suka melihat senyum miring tersebut di bibir Edward. Mungkin berbeda dengan senyum Naruto-kun yang sehangat matahari namun senyum Edward selalu menyejukkan. Kalau Naruto-kun matahari yang bersinar hangat maka Edward adalah kumpulan embun bening di pagi hari. Namun sekarang aku sepertinya akan berhenti membandingkan Edward dengan Naruto-kun karena semua tentang Edward akan selalu menyenangkan dimataku. Dan perlahan demi perlahan kurasakan hariku memang selalu dipenuhi dengan setiap memori-memori baru. Yang akan kusimpan dan kuabadikan.

Akhir-akhir ini aku menyadari kalau bulan Desemberku tahun ini menjadi bulan yang sangat sibuk. Baru beberapa hari kedatanganku di Tokyo sudah berapa banyak pesta yang kulalui, walau Christmast Eve bukan masuk hitungan pesta. Sehari setelah mengikuti pesta di rumah Sakura-chan besok harinya keluarga Hyuuga ikut mengadakan sebuah pesta kecil. Sebuah acara makan bersama semua keluarga Hyuuga yang ada. Aku benar-benar cemas ketika semua makanan yang dihidangkan diatas meja. Bukan karena aku memiliki suatu alergi pada makanan yang dihidangkan namun karena Edward. Selama ini aku tidak pernah melihatnya memakan sesuatu. Bahkan apel di kafetaria hanya menjadi mainannya. Dan kudengar darinya dia tidak memerlukan makanan manusia karena rasanya sama seperti memakan kertas. Aku takut pencernaannya akan terganggu kalau sampai dirinya memaksakan makanan sebanyak itu ke perutnya.

Mengingat beberapa nyonya dan nona Hyuuga yang masih dalam ruang lingkup sepupuku menawarinya berbagai macam makanan diatas mangkuk. Kalau aku memakan banyak kertas kedalam perutku maka bisa dipastikan akan terjadi sesuatu di dalam pencernaanku. Itulah yang membuatku tidak bisa tenang saat Edward nampak biasa saja memakan makanan yang ditawarkan. Hingga membuatku berpikir, benarkah dirinya seorang vampire?

Hingga akhirnya aku dapat bernapas lega ketika acara tersebut selesai. Dengan segera aku mencari obat sakit perut kalau saja Edward membutuhkannya. Ketika aku masuk kedalam kamarnya dan memberikan obat tersebut hanya tawa yang menyambutku. Dan sebuah elusan di pipiku Edward berkata kalau dia tidak membutuhkan obat tersebut karena semuanya akan sama saja seperti makanan yang dia telan sebelumnya.

Aku jadi menertawakan diriku sendiri. Kalau dipikirkan kembali hal tersebut memang benar. Apapun yang Edward telan, baik makanan manusia, obat, atau minuman, semua tidak akan memberikan efek sama sekali padanya. Hanya seperti manusia memakan kertas. Tidakkah hal tersebut akan membuatnya merasa haus atau tersangkut sesuatu? Sedangkan selama di Tokyo Edward sama sekali tidak terlihat melakukan pemburuannya. Benarkah berada disini benar-benar baik untuk Edward? Karena disini dia harus berada sangat dekat denganku, memikirkan hal itu membuat wajahku memanas seketika. Dan disini tidak seperti Forks dimana Edward bisa memburu makanannya sendiri. Mungkin meminum darah singa atau pun darah rusa atau apapun. Satu-satunya hewan yang berada di dekat sini adalah kucing, anjing, dan tikus. Aku tidak bisa membayangkan kalau Edward sampai meminum darah tikus.

Kalau diingat kembali besok adalah hari dimana Itachi-niisama mengajak kami makan malam. Dan semoga saja keluarga Uchiha bisa membantu sedikit dengan masalah makan Edward selama disini. Walau pun sangat tertutup dan tidak menyukai kunjungan asing namun aku tahu ada seseorang yang selalu menjadi sosok lembut di dalam keluarga Uchiha yang selalu dingin. Mikoto-obasama. Sudah lama rasanya aku tidak bertemu dengan beliau. Sosok yang sangat hangat hingga sulit bagiku untuk mempercayai kalau beliau adalah seorang vampire juga.

Dan tidak terasa besok sudah menjadi hari ini. Saat ini tempat waktu seperti yang dijanjikan aku dan Edward sudah berdiri di depan kastel besar kediaman keluarga Uchiha yang berdiri mewah dan tersembunyi di balik bukit. Aku menggunakan gaun hitam sebatas lutut dan sepatu yang senada. Rambut indigoku diangkat tinggi membentuk sebuah sanggulan. Sedangkan Edward menggunakan kemeja hitam dan celana jeans hitamnya serta sepatu boots rendah berwarna hitam pula. Mungkin Edward membaca pikiran atau sebuah informasi dari Itachi-niisama mengenai pakaian yang harus dikenakan? Karena melihat Edward dalam setelah hitam membuatku sadar seberapa berbahayanya pemuda itu. Namun hal itu tidak membuatku bergidik takut hanya membuatku menyadari seberapa kuat Edward sebenarnya.

"Aku tidak tahu kalau hitam bisa membuatmu sangat cantik," kata Edward kemudian.

"Err –sebenarnya aku pernah menggunakan warna hitam di hari pertama masuk sekolah," jawabku sambil memainkan kedua telunjukku.

Sebuah tawa kecil dari Edward terdengar, "Tentu saja aku ingat si salah kostum. Saat itu kupikir aku melihat malaikat jatuh yang ingin mengambil nyawaku."

"Itukah alasan dirimu berlari pergi ketika melihatku?" Karena aku terlihat seperti malaikat kematian.

"Kau tahu pasti alasannya Hinata." Edward merangkul pundakku pelan.

Aku mengangguk pelan. Ya, tentu saja aku sangat tahu alasan kenapa Edward melarikan diri dariku pada hari itu. Dan tidak ada yang menyangka kalau pada akhirnya sekarang kami bisa berdiri bersisian seperti sekarang. Lamunanku terhenti saat pintu yang ada dihadapan kami terbuka. Menampilkan sesosok wanita anggun dengan rambut biru gelap digelung tinggi dengan sebuah mawar kertas diatas kepalanya. Dia menggunakan kimono tradisional Jepang yang nampak mewah dan mahal. Wanita itu tersenyum kecil kearahku sebelum kemudian menundukkan kepala hormat kepada Edward sebagai basa-basi sopan selayaknya orang Jepang.

Konan-sama, aku pernah mendengar kisahnya saat masih menjadi seorang manusia dia adalah salah satu putri dari keluarga bangsawan Jepang yang diasingkan oleh keluarganya karena sakit-sakitan. Dia diasingkan di sebuah rumah sederhana yang jauh di dalam kedalam hutan. Setiap seminggu sekali akan datang rombongan pengurusnya hanya untuk mengisi kebutuhan makanannya untuk seminggu kedepan lagi. Beliau pernah bercerita kalau yang dilakukannya dulu hanyalah melipat kertas. Membentuk bangau, mawar, atau kerajinan kertas lainnya. Kesepian seorang diri sembari menunggu ajal untuk datang menjemputnya. Sampai pada suatu hari Sai-niisama menemukannya sedang duduk sendiri disana.

Semenjak pertemuan pertama itulah Sai-niisama selalu datang kesana. Konan-sama yang memang kesepian tentunya tidak menolak kunjungan rutin yang dilakukan oleh Sai-niisama. Apalagi dirinya memang kesepian di waktunya yang tinggal sedikit ini. Disana Konan-sama mengajarkan Sai-niisama untuk membuat kerajinan tangan menggunakan kertas. Sedangkan Sai-niisama akan menceritakan tentang dunia luar yang tidak pernah dilihat oleh wanita itu. Hingga akhirnya mereka menyadari waktu kebersamaan keduanya akan segera berakhir saat Konan-sama menceritakan tentang penyakit yang dideritanya. Disana Sai-niisama menawarkan kehidupan baru untuk Konan-sama. Dimana wanita itu tidak perlu merasakan sakit lagi, tidak perlu terkurung lagi, dan yang terpenting bersedia menemani Sai-niisama dalam keabadian selamanya. Hal tersebut tentu saja diterima dengan senang hati oleh Konan-sama disaat ajal menjelang.

Sampai akhirnya kisah mereka tetap abadi hingga kini.

"Selamat datang Hinata-chan dan Edward," sapa Konan-sama dengan sopan. "Keluarga Uchiha yang lain sudah menunggumu di ruang utama. Dan Hinata-chan, bisakah kamu menemaniku sebentar."

Aku menoleh kepada Edward yang kemudian mengangguk pelan, "Sampai bertemu lagi."

Aku tersenyum pelan dan kemudian mengangguk masuk mengikuti Konan-sama. Menuju salah satu ruangan sedangkan Edward menuju ke sebuah koridor yang kuketahui menuju ruangan utama. Seperti Edward sudah tahu dimana ruang utama. Mungkin setelah membaca pikiran dari Konan-sama.

"Hinata-chan?" panggil Konan-sama pelan dan aku langsung melangkahkan kakiku lebih cepat menghampir wanita itu.

.

.

.

.

Langkahnya terdengar yakin dan pasti melewati lorong panjang gelap yang hanya diterangi keremangan cahaya bulan samar yang terutup awan. Tanpa penerangan yang cukup pun mata emas Edward dapat melihat dengan jelas dimana ujung koridor ini. Dimana dia bisa mendengar dan merasakan keberadaan beberapa vampire lainnya. Tidak ada yang membuatnya harus merasa awas saat mendengar sapaan Itachi di dalam kepalanya. Yang lansung mempersilahkannya masuk melewati pintu besar tersebut.

Disana terdapat sebuah meja bundar dari kayu ebony yang gelap serta diisi dengan beberapa sosok dengan mata merah terang. Nyaris semua dari mereka memiliki rambut gelap kecuali satu sosok pemuda yang memiliki rambut merah darah dengan mata yang berbeda dari vampire kebanyakan dan juga mata manusia kebanyakan. Ungu dia rasa bukan warna mata yang umum bagi manusia dan juga vampire. Namun hal tersebut tidak mengusiknya lama ketika suara sapaan sampai kedalam telinganya.

"Selamat datang Edward Cullen, dari keluarga vampire Cullen di Forks. Perkenalkan aku Fugaku Uchiha." Satu sosok yang memiliki pandangan tajam menusuk berbicara dengan suara tenang. "Silakan duduk."

Edward mengambil tempat duduk yang ditunjukkan kepadanya. "Senang bertemu dengan kalian semua. Kuharap kehadiranku disini tidak menganggu batas wilayah kekuasaan kalian."

Sebuah tawa merdu terdengar dari seorang wanita yang duduk disisi Fugaku, "Tidak perlu merasa sungkan karena kami tidak pernah menggarisi dimana wilayah kami. Sebelumnya aku Mikoto Uchiha dan biar kuperkenalkan anggota keluarga Uchiha yang lain karena nampaknya Fugaku tidak bersedia melakukan tugas tersebut." Senyum kecil tercipta di bibir wanita itu yang diarahkannya kepada sosok disampingnya.

"Kau pasti sudah bertemu dengan Itachi-kun, benar?" Edward mengangguk menjawabnya, "Nah disisi kanannya adalah Kurenai."

"My mate," sahut Itachi dengan senyum di bibirnya seraya merangkul pelan pundak Kurenai yang tersenyum tipis.

"Lalu disebelah Kurenai, dia adalah Sai-kun." Mikoto melanjutkan sedangkan Edward tidak banyak berkomentar apa yang dia dengar dari dalam pikiran Sai. Wajah pria tersebut memang nampak tersenyum namun Edward bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan pria berambut hitam tersebut. "Dan yang ada disebelah kirimu adalah Nagato-kun. Dia vampire kalau kau memang bertanya-tanya nyaris seperti kami namun juga ada sedikit perbedaan yang sulit untuk dijelaskan. Apalagi perbedaan antara Nagato-kun dan dirimu Edward."

Edward mengangguk, "Ya, aku mengetahuinya."

"Ah silakan buka makananmu Edward. Kami tahu kalau disini kau kesulitan mendapatkan asupan makananmu. Tenang saja itu bukan darah manusia Sai-kun dan Nagato-kun mencarikan singa terbaik yang bisa ditemukan di hutan Kyoto untukmu. Semoga kau tidak keberatan makan dalam gelas," jelas Mikoto sembari meminum dari gelasnya juga.

Mata emasnya baru menyadari ada sebuah gelas piala berukuran besar dengan warna merah yang kental. Dan juga bau singa yang sangat jelas berbeda dengan bau dari gelas yang ada di hadapan lainnya yang dia yakini adalah darah manusia. Merasa tidak sopan akhirnya dia mengangkat gelas tersebut dan mulai menyesap cairan merah kental tersebut. Pantas saja mungkin inilah alasan kenapa Hinata tidak diikut sertakan saat ini. Ia tidak akan pernah mau makan darah dalam bentu apapun jika Hinata berada disisinya. Walau pun dia harus menahan kehausan setengah mati karena dia tidak ingin insting buasnya lah yang mengambil alih.

"Apa kau terpikir untuk merubah Hinata-chan menjadi seorang vampire, Edward?" tanya Kurenai pelan dengan suara lembutnya.

Edward mengangkat kepalanya, "Jujur saja aku tidak mau. Aku tetap ingin mempertahankan sisi kemanusiaan Hinata tetap seperti ini. Setidaknya untuk saat ini."

"Tapi kau tahu sendiri bagaimana singkatnya hidup manusia benar," sahut Sai kemudian dengan senyum di bibirnya. Ya, mungkin disini Sai adalah satu-satunya vampire yang sangat mengerti seberapa singkat kehidupan seorang manusia. Bagaimana waktu begitu cepat berlalu dan dia nyaris kehilangan seseorang yang dicintainya hanya karena lemahnya hidup seorang manusia. Namun beruntung dia dapat menyelamatkan Konan tepat waktu, tepat saat wanita itu nyaris mencapai napas terakhirnya dan jantungnya nyaris terhenti.

"Aku sangat mengerti. Tetapi aku tidak ingin mengubah Hinata karena keegoisanku sendiri karena nampaknya Hinata tidak pernah membicarakan hal itu." Edward memainkan ujung gelasnya yang hanya tinggal setengah.

"Karena Hinata tahu itu akan menyakitimu," jawab Mikoto kemudian, "Walau terlihat seperti buku yang terbuka namun Hinata memiliki pikiran yang jauh lebih rumit dan sulit untuk ditebak."

Sudut bibirnya terangkat naik, "Ya, kau benar."

"Edward, terlepas dari apakah kau ingin mengubah Hinata menjadi vampire atau tidak. Ada satu resiko yang harus kau tahu. Dalam darah Hyuuga masih mengalir darah Uchiha yang diturunkan oleh Sasuke." Nada Fugaku terdengar getir saat membicarakan sosok yang telah tiada itu, "Itachi pernah melakukan beberapa percobaan untuk mengubah salah satu Hyuuga menjadi seorang vampire hanya karena sebuah rasa penasaran." Matanya menajam menatap Itachi yang masih nampak tersenyum tenang.

"Sayangnya hal tersebut tidak berhasil karena ternyata Hyuuga yang diinfeksi oleh oleh racun Vampire nyatanya tidak bisa bertahan dan akhirnya meninggal dalam proses perubahan."

"Tapi Otou-san itu adalah percobaan nyaris dua ratus tahun yang lalu. Dimana darah Sasuke masih sangat kental mengalir," tambah Itachi dengan santai.

"Dan Itachi-kun tentunya tahu kalau darah vampire di dalam tubuh Hinata jauh lebih banyak untuk generasinya saat ini, benar." jawab Mikoto.

"Aku mengetahui hal itu." Edward menambahkan. "Dari bau dan juga beberapa ciri fisik Hinata tertinggal beberapa ciri vampire yang berbeda dengan bagian keluarganya yang lain."

"Yah, kita tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Hinata diinjeksi racun vampire karena tubuhnya bukan manusia sepenuhnya." Akhirnya Nagato membuka suaranya, "Namun suatu saat nanti kau akan menemukan kondisi dimana lebih baik kau mencoba untuk melakukannya dari pada membiarkan Hinata mati begitu saja."

"Ya, Nagato-kun benar. Nanti pastikan kau memutuskan dengan benar Edward karena hal itu akan mengubah banyak hal." Mikoto melanjutkan sembari tersenyum getir, "Masa depannya, masa depanmu, masa depan itu akan berubah karena aku pun tidak bisa melihat bagaimana masa depan Hinata yang tentunya akan berefek padamu. Seperti efek domino."

.

.

.

.

"Silakan menikmatinya Hinata-chan," kata Konan-sama kemudian memberikan satu set makanan Jepang yang siap santap. Buatan tangan Konan-sama itu sendiri.

"A-arigatou Konan-sama," jawabku kemudian.

Konan-sama tersenyum lembut, "Tidak perlu merasa sungkan."

Ketika aku mengikuti langkah yang diarahkan oleh Konan-sama ternyata kami berakhir menuju dapur. Walau pun keluarga Uchiha tidak pernah menggunakan ruangan ini. Namun ruangan ini di bangun untuk Konan-sama karena kesenangannya untuk memasak makanan manusia. Biasanya ketika Konan-sama memasak dia akan memberikannya kepada keluarga Hyuuga atau pun mengundang keluarga inti Hyuuga untuk mencoba makanannya yang selalu terasa luar biasa.

Sama seperti ruang seni yang ada di lantai teratas kastel Uchiha yang dimiliki oleh Sai-sama, setiap ruangan yang ada di bangunan ini tidak ada yang sia-sia. Ada ruangan dimana Konan-sama juga menyimpan karya-karya terbesar dari seni melipat kertasnya. Ada ruangan pula untuk menggantung lukisan Sai-niisama. Sedangkan Mikoto-baasama dan Kurenai-neesama memiliki hobi yang sama untuk mengurus kebun belakang kediaman Uchiha hingga sangat luar biasa. Seperti saja pohon Sakura yang selalu berkembang disetiap musim, kecuali musim dingin. Serta koleksi mawar langka yang ada di bagian atap selalu diurus dengan sempurna. Sedangkan aku tidak terlalu tahu apa kesenangan Fugaku-sama dan Nagato-sama karena keduanya benar-benar memancarkan aura vampire yang sesungguhnya. Dan juga bukan pribadi yang akrab.

Aku menyuapkan cinnamon roll yang dibuatkan oleh Konan-sama. Sambil sesekali manik abu-abuku melirik apa yang dilakukan wanita anggun tersebut dengan kertasnya. Konan-sama membuat sebuah burung bangau yang kemudian ditiupkannya. Dan burung tersebut terbang melewati lorong luas itu sendirian. Aku selalu takjub dengan kemampuan khusus yang dimiliki setiap keluarga Uchiha. Salah satunya milik Konan-sama yang dapat membuat origaminya menjadi hidup kemudian Sai-niisama yang juga dapat membuat lukisan yang digambarnya keluar dari kertas atau kanvas dan hidup. Walau biasanya dalam bentuk hitam putih atau terbuat dari darah.

"Bagaimana Hinata-chan? Enak?"

Aku menganggukkan kepalaku dengan antusias, "Y-ya, rasanya e-enak seperti biasa Konan-sama."

Nampak seulas senyum keluar dari bibir Konan-sama, "Ah ya, selamat ulang tahun Hinata-chan." Mata kelabuku terbelalak sebelum kemudian melirik jam tanganku tersadar kalau sekarang waktu sudah menunjukkan jam dua belas lewat beberapa detik.

"A-arigatou Konan-sama."

Sebuah ketukan terdengar dari pintu dapur yang terbuka. Edward berdiri disana dengan senyum miringnya yang tercipta. Dengan segera dia mendekat kearahku sebelum menunduk pelan menyapa Konan-sama.

Sebuah kecupan dari Edward mendarat di puncak kepalaku, "Apakah acara makanmu telah selesai?"

Aku mengangguk setelah melihat bagaimana cinnamon roll yang ada diatas piringku sudah habis. "Kalau begitu bersiap untuk pergi mengambil hadiahmu? Jika anda mengizinkan Konan."

Dari sudut mataku kulihat Konan-sama mengangguk dengan senyum pelan tersampir di bibirnya, "Tentu saja. Sampai bertemu lagi nanti Hinata-chan."

Aku mengucapkah kata terima kasih banyak kepada Konan-sama. Sebelum melangkah mengikuti Edward menuju pintu depan. Baru saja aku ingin bertanya apakah perlu untuk meminta izin kepada keluarga Uchiha yang lain namun tangan Edward yang dingin sudah mengangkat kaki dan punggungku masih kedalam pelukannya. Dia menggendongku seperti pengantin yang sering kulihat di drama televisi. Hanya saja sekarang yang kulihat bukan hamburan bunga-bunga namun kelebatan cepat dari hutan yang ada di atas bukit sepanjang kawasan kediaman keluarga Uchiha. Membuatku hanya bisa memejamkan mata.

Sampai sebuah kecupan selembut kupu-kupu yang menyentuh kelopak mataku membuatku berani untuk membuka mata. Perlahan Edward menurunkanku dari pelukannya hingga aku bisa berdiri sendiri. Mataku langsung mendapatkan pemandangan luar biasa dari puncak bukit. Bagaikan sebuah permata yang dihamburkan diatas bumi, aku melihat pemandangan kota Tokyo dari sudut yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Lampu-lampu yang ada nampak berkedip layaknya bintang. Membuatku terpana melihatnya.

"Happy Birthday Hinata." Edward meraih tanganku hingga perhatianku sekarang teralih kepadanya. "I wanna give you something." Sebuah jeda terdengar disana.

Aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya sebelum ia berkata, "Kuharap kau mau menerimanya." Edward mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantungnya, "Ini adalah perhiasan keluarga yang dimiliki oleh ibuku. Ibu yang melahirkanku."

Napasku tercekat hingga aku tidak bisa berkata apa-apa saat sebuah kalung dari permata berwarna biru layaknya lautan saat langit cerah yang berbentuk seperti tetesan air mata raksasa tergantung di depan mataku. Rantainya terbuat dari kalung emas putih pipih yang melingkar di jemari-jemari Edward. Aku hanya bisa diam saat Edward melepaskan kaitan kalung tersebut dan memakaikannya kepadaku. Mataku tidak bisa beralih pada kalung indah tersebut kala ia sudah melingkar di leherku. Perlahan jemariku bergerak diatas permukaan lembut tersebut.

"T-terima kasih. I-ini sangat indah." Aku berkata dengan terbata bahkan mataku terasa menghangat. "A-aku akan menjaganya d-dengan baik. Terima kasih."

Sebuah senyum hangat hadir di bibir Edward. Sebelum tangannya yang sejuk menangkup kedua pipiku dan membawa wajahku mendekat kepadanya. Mataku terpejam tak kala bibirnya menyentuh bibirku. Dengan perlahan bibir Edward bergerak diatas bibirku dengan kelembutan kepalakan kupu-kupu. Dan dengan perlahan pula bibirku perlahan membalas gerakan Edward dengan terbata layaknya seorang pemula.

Dan kembali Edward memberikan sebuah kenangan yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Ulang tahun yang tidak akan pernah terlupakan seumur hidupku.

To Be Continued...

A/N: Terima kasih untuk semua review yang telah datang walaupun kebanyakan menanyakan kapan fic ini update. Namun untuk kali ini dimohon kesediannya untuk tidak hanya sekedar review tetapi juga memberikan pendapat. Menurut kalian apakan Point of Viewnya lebih baik tetap seperti ini (First person PoV as Hinata) atau diganti menjadi Point of View orang ketiga? Dan disertai alasan jika kalian berkenan. ^^

Dan untuk beberapa kesalahan minortapi banyak yang akhirnya kusadari. Sekali lagi saya menetapkan semua yang ada di chapter awal yang berbeda dengan chapter sekarang silakan diabaikan. Karena kesalahan tersebut banyak membuat bingung dengan siapa-siapa saja yang masih hidup dan siapa saja yang hidup sebagai vampire. Dan untuk keluarga Uchiha listnya adalah sebagai berikut:

Fugaku – Mikoto*

Itachi* – Kurenai*

Sai* – Konan*

Nagato* –

Sasuke* – Heira

Tanda: Berarti keduanya sudah meninggal

Tanda (*) : Berarti vampire yang memiliki bakat.

Sejauh ini hanya Nagato yang tidak memiliki pasangan. Namun saya sudah ada rencana kedepan tentang siapa pasangan Nagato. Dan sebetulnya saya terpikir untuk membuat kisah Konan dan Sai dalam bentuk One-shoot namun sekali lagi saya tidak mau PHP. Apabila ada pertanyaan silakan kirim PM namun kalau meminta untuk update cepat. Maaf saya tidak bisa. Thank you.