special thanks
delima (untuk kelas yang telah memberikan saya banyak inspirasi dan cinta)
yang masih megang naskah asli Skater Boy, balikkin dong!
aset berharga mah itu!
dan kamu yang udah buka halaman ini!

disclaimer
everything aboud vocaloid is not mine
they, vocaloid, belong to
Yamaha, Zero-G, Crypton Future Media, PowerFX, INTERNET Co.,Ltd, AH Software, Ecapsule, Sony Music Entertainment, Bplats
and everything about this story is belong to me, ReiyKa

warning
it's a little bit "ape banget lah!"
well, even after I make this remake, I think it'll become more dark than before
with
asas: don't like don't read

meskipun begitu, saya menerima flame di cerita ini
terbuka untuk semua kritik

"\^,^/"

advice
well, I think it will become easier to read after you use 3/4 mode


berry blue
(sendok pertama)


Kaito menyuapkan satu sendok es krim ke mulutnya seraya mengangguk cepat. "Dia itu manis banget! Cantik! Super deh pokoknya!"

"Hah?"

Hanya sepatah kata itulah yang keluar dari mulut Miku. Gadis berkuncir dua itu mengerjap pelan seraya menggelengkan kepalanya. "Ketinggian tahu! Seleramu nggak salah nih?"

"Kita tuh harus jujur pada perasaan kita!" Kaito tetap ngotot.

Miku memutar bola matanya. "Iya sih, tapi yang ini ketinggian, Kaito! Kita sedang membahas Megurine Luka! Megurine Luka yang itu! Ngerti nggak sih?"

"Tahu! Justru karena itulah aku makin suka sama dia!"

"Well, good luck then!"

"Bantu aku bodoh!" desak Kaito cepat.

"Dalam hal apa? Aku sama sekali tidak kenal padanya!"

"Kau sekelas dengannya kan?"

Kadang, Miku berharap ini semua tidak pernah terjadi padanya. Ini Minggu sore, dimana dia biasanya duduk untuk menghabiskan waktu sambil menonton beberapa rekaman pertandingan sepak bola, tapi nyatanya semua itu harus terganggu oleh kedatangan sang tuan es krim tetangga sebelahnya yang menyebalkan. Awalnya, Miku tidak keberatan untuk mendengar curhatan pemuda blue berry itu, tapi begitu dia mendengar satu nama, dia merasa muak.

Megurine Luka. Gadis luar biasa sempurna di kelasnya. Menjadi idola hampir satu SMA-nya. Populer dan dikagumi oleh siapapun yang pernah bertemu dengannya. Miku sama sekali tidak habis pikir bahwa ada seseorang yang hampir mendekati sempurna seperti Luka tercipta di dunia yang fana ini.

Anggap kalau semua orang di dunia ini tak pernah melihat malaikat hingga mereka menganggap seorang Megurine Luka adalah sosok malaikat dan menjadikan mereka semua orang paling beruntung karena telah bertemu dengannya.

Dan sekarang, mengetahui kenyataan bahwa sahabat dekatnya menyukai si malaikat itu, tidak membuat perasaan Miku menjadi lebih tenang dari pada sebelumnya. Jelas-jelas ada sesuatu yang salah di mata sebiru laut Kaito. Kaito dan para pemuda lainnya tidak bisa melihat sebuah kenyataan yang mungkin hanya bisa dilihat dengan mata anak perempuan.

Luka tidak sempurna.

Dia bahkan teralu jauh dari sempurna.

Oke. Sebutkan kriteria sempurna. Cantik? Cek. Seksi? Cek. Pintar? Cek. Sifat? Bad.

"Dia itu tidak seperti yang kau lihat, Kaito!"

"Apa maksudmu?" Alis Kaito terangkat sebelah dengan sebuah senyuman di bibirnya seolah ingin menertawai ucapan Miku barusan. "Dia jelas gadis paling ideal yang pernah kulihat!"

"Yeah. Then you will be the blind person!"

"Jangan mengatakan yang tidak-tidak tentangnya, Miku! Kau tahu persis kalau aku tidak suka ketika kau menjelek-jelekkan sesuatu yang kusukai!"

Gadis berkuncir dua itu menatap mata sang pemuda dalam-dalam. "Kau serius menyukainya? Kau serius ketika kau mengatakan kalau kau menyukainya?"

"Aku selalu serius dengan apa yang kukatakan!"

Miku menghela napas panjang. "Ceritakan bagaimana kau bisa bertemu dengannya dan kalau itu bisa menggerakkan hatiku, aku akan membantumu."

"Yeay!" Kaito melepaskan sendok es krimnya dan beralih mengenggam tangan Miku erat-erat, menarik gadis itu ke pelukannya. "Kau memang gadis paling hebat di dunia ini!"

"Begitukah?" tanya Miku pelan. Dia pasrah saja dipeluk oleh pemuda blue berry itu. "Tapi, tetap si Luka itu yang terhebat menurutmu, huh?"

Kaito melepaskan pelukannya dan mengacak-acak rambut Miku. "Tidak. Kau itu yang paling hebat menurutku dibandingkan semuanya!"

"Baiklah. Mulai cerita sekarang!"

.

.


.

.

Miku menatap bola basket berwarna coklat bergaris merah di hadapannya. Melemparkannya ke atas lalu meraihnya lagi ke dalam jangkauannya. Matanya melirik pelan ke bangku di sebelahnya lalu beralih ke lapangan basket di seberang kelasnya. Seharusnya, dia sudah berlari kesana, bermain bersama teman-teman dari klub basketnya. Namun, sesuatu menahannya. Lebih tepatnya, memang seseorang sedang menahannya untuk tidak bermain basket sekarang.

Dan yap, orang itu tak lain dan tak bukan adalah si pemuda pecinta es krim sahabat dekatnya dari SD ini. Kaito duduk di sampingnya, menatapnya dengan mata penuh permohonan.

"Apa?" Akhrinya setelah sekian lama mereka diam, Miku mulai membuka mulutnya dengan tatapan galak.

"Temani aku nonton Harry Potter! Kau sudah janji!"

Miku memutar bola matanya. Dia memang berjanji untuk nonton bersama hari Sabtu ini bersama Kaito, tapi apalah daya ketika teman-temannya di klub basket memaksanya untuk latihan sore ini karena mereka diundang ke dalam kompetensi melawan SMA lain.

"Minggu saja bagaimana, Kaito? Aku harus latihan hari ini?"

"Miku, kau benar-benar tidak asyik!" Kaito berdiri dengan pipi menggembung dan meraih tasnya dengan sebal. "Aku tidak mau mengajakmu lagi kalau ada film bagus di bioskop!"

Miku berdiri dari tempatnya dan menendang pantat Kaito dengan sebal juga. "Ngambek seperti anak kecil!"

Kaito merapatkan giginya dan menatap Miku. "Memang anak kecil, dasar kau nenek sudah tua!"

"Kaito!" Miku berniat meraih tangan pemuda itu, tapi si blue berry jauh lebih cepat daripada itu. Kaito sudah berlari keluar kelas dengan kecepatan tinggi dan tak lupa menjulurkan lidahnya kepada Miku, pertanda si bodoh itu sudah benar-benar tidak peduli lagi pada persahabatan mereka berdua.

Miku menghela napas panjang, mencoba tidak memikirkan hal itu. Kaito itu bodoh. Bahkan semua orang tahu itu. Karena itulah, hal tidak penting seperti ini teralu dibesar-besarkan. Lagipula, masih ada hari lain kan? Kenapa tidak mengganti acara hari ini di hari lain saja? Kadang, solusi simpel tidak pernah terpikirkan di benak Kaito dan itu sangat membuat Miku sebal.

Gadis berkuncir dua itu mengangkat bahunya, memutuskan dia tidak akan mempedulikan Kaito untuk sementara waktu. Si biru itu teralu gampang ngambek. Teralu kekanakan. Teralu tidak dewasa. Teralu menyebalkan.

Miku berjalan menuju lapangan dimana dia bisa melihat teman-teman satu tim basketnya sudah berdiri disana. Salah seorang dari mereka, gadis dengan rambut pirang pendek melambai dengan riang gembira. "Miku! Akhirnya kau datang juga!"

"Terlambat gara-gara si bodoh itu?" tanya gadis berambut coklat panjang yang dikuncir satu ke belakang dengan senyuman tipis. "Sabar ya dalam menghadapi si bodoh itu."

"Aku sudah terbiasa, Miki. Terima kasih atas sarannya." Miku melemparkan bola basket di tangannya yang langsung ditangkap oleh gadis berambut hijau pendek dengan kaca mata di atas hidungnya.

"Emosimu sedang labil ya?" tebaknya dengan nada tenang dan ekspresi datar. "Ada masalah?"

"Tidak ada, Gumi. Aku baik-baik saja. Kita mulai saja latihannya bagaimana?"

Gadis berambut pirang pendek yang tadi tersenyum lebar segera berlari ke tempat Miku dan memeluknya erat dari belakang. "Aah, Miku jangan ngambek dong!"

"Aku tidak sedang ngambek, Rin!"

"Auramu gelap lho!"

"Dan sejak kapan kau bisa melihat aura, Rin?" Gumi bertanya pelan sambil memutar bola basket di tangannya. "Agak asal bicara sih sebenarnya."

Rin menjulurkan lidahnya pada Gumi dengan sebal. "Iya iya, dasar nona sok pintar!"

Gumi melemparkan bola basketnya pada Rin dengan cepat dan beruntung ace tim mereka, Rin, memiliki respon yang juga sangat cepat sehingga bola itu dengan sukses mendarat di tangannya. "Mau perang ya, nona sok pintar?"

Gadis berambut hijau itu melepaskan kaca mata hijaunya. Hal yang selalu dia lakukan ketika dia masuk ke tahap mode serius dalam pertandingan. "Seperti biasa aku akan menang kan, nona bodoh?"

"Oh, ayolah! Berhenti perang mulut dan kita latihan sekarang!" seru Miku sebal. Dia merebut bola basket dari tangan Rin dan mendribblenya ke tengah lapangan.

Miki memutar bola matanya. "Setidaknya, dia memang sedang berada di emosi labil," sahutnya pelan dan beranjak mendekati Miku yang sudah mulai latihan. "Kalian berdua," Miku menoleh ke arah Rin dan Gumi, "kalau tidak ingin kena semprot, mendingan mulai latihan saja deh."

Gumi mengangkat tangannya dan Rin menganggukkan kepalanya. Siapapun juga tahu kalau kena semprot kapten tim basket putri mereka itu rasanya bagaikan berada di neraka satu malam.

.

.


.

.

Kaito menatap deretan minuman kaleng beserta bungkusan besar popcorn di hadapannya. Termenung sendirian, dia memiringkan kepalanya saat memilih apa yang akan dia nikmati ketika film berlangsung.

Mendadak dia merasa tidak begitu lapar. Padahal biasanya dia akan membeli semangkuk popcorn ukuran paling besar, soda cola dingin gelas paling besar, dan juga sebatang coklat yang semuanya akan dia makan berdua bersama Miku. Sekarang, ketika dia harus nonton sendirian, semua terasa begitu berbeda.

Pemuda biru itu menghela napas panjang. Mendadak, dia merasa tidak begitu bersemangat untuk menonton sekarang. Mungkin dia akan kembali ke sekolahnya dan menonton Miku latihan basket, seperti yang hampir selalu dia lakukan selama ini.

Dan saat sang pemuda tampan itu ingin berbalik pulang, sudut matanya menangkap sosok cantik yang berdiri tepat di sebelahnya. Mengangguk pelan pada pelayan penjual popcorn dengan sorot mata sendu yang menyayat hati.

Seketika itulah, waktu seakan berhenti untuk Kaito. Dia seolah tidak punya kuasa untuk mengendalikan tubuhnya lagi. Seketika seolah semua saraf tubuhnya berhenti, memunculkan sebuah rona merah di pipinya yang dia sendiri tidak mengerti apa artinya.

Megurine Luka menerima semangkuk popcorn dengan senyuman tipis dan saat dia ingin berbalik pergi, saat itulah kedua mata mereka bertemu. Menimbulkan sebuah efek ledakan yang teramat hebatnya. Membuat kedua jantung mereka berdetak melebihi irama normal.

"Shion-san?" panggil Luka pelan, meskipun gadis itu sendiri tidak teralu yakin akan kebenaran nama yang dia panggil barusan. "Anak kelas 2-B, benar tidak?"

Kaito mengangguk pelan. "Yap. Benar sekali, Megurine-san. Umm, sendirian menonton film?"

Sorot mata Luka terlihat lebih sendu daripada sebelumnya. Gadis cantik itu mengangguk pelan, membuat beberapa helai dari rambut merah mudanya terjatuh ke depan. "Menikmati waktu sendirian terkadang menyenangkan untuk beberapa hal di beberapa waktu."

Kaito tersenyum lebar. "Kau nonton film apa?"

"Harry Potter. Memangnya ada film bagus apa lagi sekarang?"

"Hei, aku juga ingin nonton film itu sebenarnya!"

"Benarkah?" Luka tersenyum tipis. "Sendirian juga?"

"Tidak kalau kau ingin nonton bersamaku. Keberatan kalau aku nonton denganmu?" tanya Kaito pelan. "Aku akan beli tiketnya sekarang kalau kau tidak keberatan."

Luka menatap Kaito datar. Kemudian, dia meraih tas jinjingnya dan mengeluarkan dua buah tiket dari sana. "Kebetulan aku sudah punya dua tiket. Kau tidak perlu beli lagi, Shion-san." Sebuah senyuman tipis terulas di wajah cantik Luka.

Dan saat itulah, Kaito sadar, mungkin, ini pertama kali baginya untuk merasakan perasaan seperti ini.

Tapi, setidaknya dia tahu, kalau perasaan ini, mungkin bisa disebut sebagai cinta.

.

.


.

.

"Konyol."

Hanya satu kata komentar dari gadis berkuncir dua di hadapannya yang serentak membuat pipi Kaito menggembung tanda kekesalannya. Pemuda blue berry itu menyuapkan satu sendok penuh es krim untuk mendinginkan perasaannya saat itu juga. "Terserah kau saja, Miku!"

"Kau marah?" Miku memiringkan kepalanya kemudian sebuah senyuman terbentuk di bibirnya. "Hanya begitu saja kau marah?"

"Mau mengatakan kalau aku kekanak-kanakan, nenek tua?"

"Hei! Aku tidak bilang begitu!" seru Miku sambil melemparkan bantalnya ke wajah Kaito. "Aku hanya bilang kalau kau teralu konyol untuk menafsirkan perasaanmu sebagai cinta. Memuakkan tahu! Sejak kapan kau bisa jadi romantis seperti itu?"

"Sejak aku bertemu dengan Megurine Luka," bisik Kaito datar. Dia berhasil menangkap bantalnya sebelum sempat mengenai wajah tampannya. "Aku hanya tahu kalau dia terlihat begitu kesepian dan aku ingin melindunginya."

"Megurine Luka? Kesepian? Oh Tuhan, dari mana kau bisa melihat hal itu sebenarnya?" Miku mengangkat kedua tangannya dengan heran. "Beneran deh! Sama sekali nggak habis pikir dengan pola pikiranmu yang aneh itu!"

Saat melihat Kaito bertambah manyun, Miku merasa dia sudah harus mulai berhenti mengejeknya. Gadis berkuncir dua itu berdiri dengan tangan di depan dada, menatap Kaito tajam-tajam. "Kau serius, Kaito?"

"Aku serius, Miku. Benar-benar serius! Teralu serius dibandingkan apapun di dunia ini!"

Miku memutar bola matanya. "Baiklah..."

Wajah Kaito mulai berbinar saat senyuman lebar muncul disana. Pemuda biru itu segera berdiri dan memeluk Miku erat-erat. "Terima kasih, Miku!"

Dan untuk sesaat, jantung Miku sempat berdebar tak normal ketika dia bisa mencium bau parfum Kaito di dekatnya. Sebuah perasaan aneh mulai menggelitik hatinya, menimbulkan sebuah emosi aneh yang merangsang wajahnya untuk memanas.

"Aku benar-benar berterima kasih padamu, Miku!" Kaito melepaskan pelukannya dan memegangi wajah Miku erat-erat. Memaksa gadis itu untuk bertatapan dengannya. "Aku benar-benar menyayangimu!" Dan tanpa rencana sama sekali, pemuda itu mendekatkan wajahnya ke wajah Miku, mencium dahi gadis itu dengan amat sangat lembut.

Mata Miku melebar tak percaya saat dia bisa merasakan kehangatan bibir Kaito di dahinya. Tanpa pikir panjang, dia segera menendang tungkai kaki Kaito, membuat sang pemuda biru itu berlutut di hadapannya menahan rasa sakit. "Jangan seenaknya saja dong, Mas! Pikir dulu dong sebelum bertindak!"

Senyuman itu masih belum menghilang di bibir Kaito. Dia mengangguk pelan. "Dasar pemarah!"

"Eh? Udah mau dibantuin juga ya! Aku doain kamu nggak bakalan pernah jadian sama dia!"

"Wah, Miku ngambek nih!"

"Keluar dari kamarku sekarang!" seru Miku berang.

Kaito hanya tertawa begitu gadis itu mendorongnya, memaksanya untuk keluar dari balik pintu kayu kamarnya. "Dasar pemarah!"

"Kau menyebalkan tahu! Menyebalkan!" Dan setelah Miku membanting pintunya, dia merosot ke lantai, memegangi wajahnya yang memanas dan terasa aneh itu.

"Hei!" panggil Kaito dari luar.

"Apa, bodoh?"

"Jangan lupa janjimu ya!"

Miku mendengus sebal. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh pemuda biru itu sebenarnya.

Jemarinya menyentuh dahinya dimana bibir Kaito menciumnya dengan hangat. Itu bukan kasus pertama Kaito menciumnya, tapi dia merasa ada sesuatu yang salah. Ada sesuatu yang terasa tidak benar.

Iris biru kehijauannya kemudian menangkap mangkuk es krim rasa vanilla kesukaan Kaito disana dan dia tahu apa yang salah.

"Bibirmu lengket, dasar bocah es krim!"

.

.

.bersambung


a.n. voila. ReiyKa kembali dengan cerita multichapternya. dilempar keyboard karena udah sok ngeluarin cerita baru padahal cerita yang lama aja belum keluar.

satu pertanyaan saya. apakah bahasanya teralu berat?

silahkan sampaikan semua pendapatmu di review. jangan ragu-ragu untuk mengklik link di bawah ini.

:2005-2011: