Berpikir berapa kali pun rasanya masih sulit dimengerti oleh Hinata. Niatnya untuk membeli alas kaki bagi Sasuke memang terlaksana. Tetapi, kenapa ia pun harus ikut memakai alas kaki baru. Sepatu ber-hak tinggi yang menurut Hinata bisa membuat tumitnya sakit, serta warna biru yang mencolok membuat Hinata semakin merasa enggan untuk memakainya. 'Seperti milik Kurenai-Sensei.' Pikir Hinata.

"Nii-san, apakah aku harus benar-benar memakainya?" Tanya Hinata sambil duduk disalah satu kursi di toko tersebut.

Sasuke menghentikan kegiatannya yang sedang mencoba memakaikan sepatu ke kaki kanan Hinata. Menatap tajam Hinata seketika. Tak ayal, tatapan Sasuke tersebut membuat Hinata menelan ludah takut.

Melihat Hinata yang sama-sama terdiam membuat Sasuke kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda –memakaikan sepatu Hinata–.

Tak berapa lama Sasuke mulai berdiri. Tetapi, sebelum sempat melangkah lebih jauh, ada sepasang tangan yang menyentuh tangan kanannya. Menghentikan langkahnya. "Ayo beli kaos kaki." Ajak Hinata sambil mendongakkan kepalanya menghadap Sasuke. Masih dengan posisi semula, Hinata melanjutkan, "cuacanya dingin."

"Aku suka dingin." Ucap Sasuke yang sedikit menoleh ke arah Hinata.

Hinata mulai berdiri. Tanpa melepaskan pegangan tangannya ditangan Sasuke dia mulai memposisikan diri dihadapan Sasuke. Tersenyum.

Sasuke merasa ada perasaan hangat didalam hatinya. Membuatnya tidak dapat menolak ketika Hinata mulai menarik dirinya menuju tempat berpasang kaos kaki yang dijajakan si pemilik toko. Gadis berambut indigo itu mulai mengambil sepasang kaos kaki berwarna hitam. Dan mulai berjongkok dihadapan Sasuke.

Sasuke hanya diam. Bola matanya bergerak mengikuti pergerakkan si pemilik mata levender. Sepatu cats yang baru saja dibelinya perlahan mulai terlepas. Hinata melepasnya dengan hati-hati, dan mulai memakaikan kaos kaki yang baru saja diambilnya. Putri Hyuuga itu mulai kembali berdiri setelah dirasa sepatu Sasuke kembali terpasang dengan baik.

"Mulai sekarang, nii-san harus lebih menyukai hangat." Ucap Hinata sambil tersenyum.

Ya. Sepertinya Sasuke mulai menyukai rasa hangat di kedua kakinya. Dan, dihatinya?

.

.

.

Naruto©Masashi Kishimoto

Tree of Heaven©SBS

Warning : Lebay, nyinetron, OOC, gaje, typo, deskrip dikit, dll.

.

Sudah pertengahan Januari ditahun yang baru. Kali ini Hinata benar-benar merasa heran, kenapa kedua orang tuanya tidak menghubunginya sampai sekarang. Apakah terjadi sesuatu?

"Niisan?" Tanya Hinata pelan.

Sasuke menoleh ke arah Hinata yang berada di samping kanannya. Mata onyx-nya bisa melihat dengan jelas pemandangan yang tersaji di kedua matanya. Hinata yang sedang mendongakkan wajahnya menatap langit malam membuat pikiran Sasuke kosong seketika. Dia bingung apa yang dirasakannya saat ini.

"Kenapa Tou-san dan Kaa-san masih belum menghubungi kita?" Masih dengan suara pelannya Hinata kembali bertanya.

Sasuke masih tetap terdiam dengan posisinya semula. Keduanya berada di depan pintu onsen yang menghadap ke timur.

Merasa pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban, Hinata memilih untuk menoleh ke arah sang kakak.

Terkejut dan kagum.

Baru pertama kali ini Hinata dapat melihat lebih jauh ke dalam mata onyx kelam itu. Jantungnya berpacu lebih cepat dibanding biasanya. Sungguh, Hinata sangat menyukai lukisan langit malam yang dihiasi bintang di malam hari.

Tapi, sepertinya lukisan malam itu mulai tergantikan.

.

.

Masih musim dingin.

Semuanya berjalan lebih baik sekarang. Sasuke yang sudah mulai membiasakan diri memakai kaos kaki, dan Tsunade baa-san yang mulai mengurangi tekanan darahnya.

Tapi, entah mengapa Hinata merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi hari ini.

'Mungkin hanya perasaan.' Pikir Hinata meyakinkan.

BRUK

Hinata segera beranjak membuka pintu kamarnya ketika dirasa suara itu berasal dari koridor.

Dan benar, disana Hinata melihat Sasuke sedang berdiri di tengah koridor dengan ember besar di samping kanannya. Dan kain pel yang dipegang oleh tangan kirinya.

Hinata menghela nafas. Inilah kebiasaan baru Sasuke.

.

Kegiatan itu terus berlanjut. Meskipun lantai koridor sudah sangat bersih, Hinata dan Sasuke masih memilih untuk tetap mendorong kain pel berlawanan arah. Sampai ketika Sasuke merasa lelah dan memilih untuk menuju dapur tanpa berkata apapun kepada Hinata.

Hinata sedikit mengerucutkan bibirnya ketika Sasuke berhasil melewatinya yang sedang bersandar di salah satu tembok disamping kanan pintu kamarnya.

Sebersit pikiran tiba-tiba terlintas dibenak Hinata ketika melihat pintu yang ada di sampingnya terbuka. 'Ini kesempatan.' Pikir Hinata.

Dengan perlahan Hinata memasuki kamar yang dulunya hanya sebagai gudang ini. 'Sangat rapi untuk seorang pria.' Hal itu lah yang terlintas dikepala Hinata ketika melihat kamar kakaknya itu. Tidak ada ranjang kecil seperti yang terdapat di kamarnya. Hinata yakin sebuah futon terdapat disalah satu lemari yang berada disana.

Pandangan Hinata tiba-tiba teralihakan pada sebuah meja kecil di pojok ruangan. Hinata melihat sebuah kertas di bawahnya. Dengan perlahan Hinata melangkah menghampiri meja tersebut.

Berjongkok. Hinata mulai meraih kertas putih tersebut dengan tangan kanannya.

Perlahan Hinata mulai membalik kertas tersebut.

"!"

Sketsa dirinya. Dengan sebuah kalimat di pojok kanan yang sukses membuat Hinata ketakutan.

-Je T'aime-

.

.

Sasuke melangkah dengan perlahan menuju koridor arah kamarnya. Berencana kembali menemui Hinata. Langkahnya terhenti ketika matanya tidak menemukan Hinata di koridor tersebut. Pandangan Sasuke dengan cepat teralihkan ke arah pintu kamarnya yang terbuka.

Mungkinkah Hinata masuk ke kamarnya?

Dengan perlahan Sasuke kembali melangkahkan kakinya ke arah kamar. Dan kakinya pun kembali terhenti diambang pintu ketika melihat Hinata sedang berjongkok sambil memegang sebuah kertas yang Sasuke yakini sebagai sketsa diri si gadis Hyuuga.

Hinata mulai menyadari akan kehadirannya.

Entah mengapa, Sasuke merasakan Sakit didadanya ketika melihat manik lavender itu mulai meneteskan apa yang disebut orang sebagai air mata.

"K-kenapa?" Hinata bertanya sambil berusaha menahan dirinya agar tidak semakin terisak.

Sasuke hanya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ini pertama kalinya dia merasa nyaman dengan seseorang. Dan disaat bersamaan pula dia merasakan penolakan.

Ya. Ini penolakan.

Sasuke hanya bisa menundukkan wajahnya ketika telinganya mendengar robekan kertas.

.

Hinata melangkahkan kakinya cepat setelah meninggalkan kamar Sasuke dengan robekan kertas yang bertebaran di atas lantai papan kamar si mantan Uchiha.

Setelah menutup pintu kamarnya, Hinata bersandar pada dinding yang berada di samping pintu. Tubuhnya mulai merosot ketika lelehan air mata mulai kembali membasahi kedua pipinya.

Hinata's POV

Bagaimana bisa? Ini tidak boleh terjadi.

Kenapa?

Ketika aku merasa bahagia memiliki seorang niisan, kenapa semuanya malah menjadi seperti ini?

Kami-sama…

Aku tak bisa menghentikan air mata yang semakin menderas membasahi pipiku. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang. Aku takut, sungguh.

.

Pagi ini aku memilih meninggalkan sepedaku di onsen dan berjalan menuju sekolah. Aku berusaha menghindarinya, berharap dengan meninggalkan sepeda di onsen akan membuatnya pergi ke sekolah sendiri mengendarainya. Tapi, nyatanya dia malah ikut berjalan mengikutiku di belakang.

Tak ayal, sikapnya itu membuat langkahku semakin tergesa. Kadang jalanku melambat, berusaha untuk mendengar apakah suara langkah kakinya masih terdengar atau tidak. Dan sejurus kemudian langkahku menjadi lebih cepat tatkala mendengar bahwa langkahnya masih terdengar.

Ketika kakiku sudah berpijak di area sekolah, aku tak ragu untuk mengambil langkah lebih cepat lagi. Berpikir bahwa dia akan kehilangan jejakku yang berbaur dengan beberapa murid lainnya. Tetapi, ketika aku telah duduk dibangku kelas–menghiraukan Sakura yang bertanya keheranan melihat ekspresiku–aku baru sadar, bahwa dia sekelas denganku.

.

.

"Tadi aku bertemu dengan Sasori senpai di koridor, katanya dia akan mengadakan pesta di rumahnya. Daaaaan~ dia mengundangku ! Kyaaa!" Suara Sakura yang histeris tidak membuat perasaanku lebih tenang. Menyadari seseorang sedang menatapku tajam.

"Hn." Aku menanggapinya hanya dengan gumaman tak jelas.

KRIEET

Suara pintu kelas yang bergeser mengalihkan perhatianku.

Sasori senpai sudah berdiri di ambang pintu. Matanya bergulir mencari seseorang.

Entah kenapa, tapi rasanya jantungku tidak berdetak lebih kencang seperti biasanya ketika melihatnya.

Dia tersenyum ke arahku. Ah, dia mencariku.

"Hai," Sapanya setelah sampai di depan mejaku.

Aku membalas senyumnya kaku.

"Malam ini aku mengadakan pesta di rumahku. Merayakan kemenangan tim karate kita yang menang kemarin."

"…" Aku masih memandangnya.

"Akan sangat menyenangkan jika kau datang."

"…"

"Ajaklah niisan-mu." Ucapnya sambil melirik ke arah Sasuke-nii yang sedang memandang kami bangkunya yang tak jauh dari ku.

Sasori-senpai menyentuh kepalaku sebelum meninggalkan kelas.

End Of Hinata's POV

.

Sasuke terdiam. Pikirannya masih mencerna apa yang baru didengarnya. Dia bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya terjadi secara bersamaan. Ketika ada orang lain yang datang mengakuinya, ada seseorang yang meninggalkannya pula–Hinata.

.

Setibanya di onsen setelah pulang dari sekolah, Hinata menatap heran kamarnya yang sangat berantakan. Dia mendapati Karin yang sedang membuka-buka lemari Hinata mencari sesuatu.

"A-apa yang sedang kau lakukan, K-karin?" Ucap Hinata sambil melangkah mendekati Karin.

"Ketemu!"

Hinata terbelalak melihat jari jemari Karin yang sedang menggenggam kalung miliknya. Kalung berhias liontin kristal salju, miliknya.

"Berikan!" Hinata hampir saja dapat menjangkau tangan Karin jika gadis berambut merah itu tidak segera mengangkat tangannya.

"Kaasan!" Teriak Karin.

Hinata menatap Karin tidak percaya. Kedua manik lavendernya berkaca-kaca.

BRUK!

Tsunade mendorong pundak Hinata kasar. Membuatnya terduduk diatas papan kayu yang menjadi alas kamarnya.

Wanita yang sebenarnya berusia lebih dari setengah abad itu segera merangkul pundak sang anak. Membuat sang anak menyeringai kepada Hinata yang masih menundukkan kepalanya.

Tsunade hendak menggiring Karin keluar dari kamar ketika dirasa sepasang tangan mencengkramnya erat.

"Kembalikan!" Hinata berteriak. Tanpa sadar, tangannya menarik-narik tangan Tsunade kasar. Karin segera mengambil tindakan dan menampar Hinata. "Ugh" Hinata meraba pipi kirinya yang terasa panas.

BRUK

Hinata dan Tsunade membulatkan mata ketika melihat Karin terjermbat mencium lantai. Membuat lucu dan membuat marah di saat bersamaan bagi Tsunade. "Ugh." Keluh Karin mulai terdengar.

Hinata menatap tajam Sosok Sasuke yang berdiri tegak setelah mendorong Karin.

PLAK

"Kau pikir, kau siapa berani mendorong anakku?" Teriak Tsunade setelah menampar Sasuke sebelumnya.

"Hentikan!" Hinata tak mampu membendung air matanya lagi. Tanpa menghiraukan yang lainnya, Hinata berlari keluar dari kamar. Meninggalkan Karin yang mengaduk kesakitan, Tsunade yang mengeluarkan sumpah serapahnya, dan Sasuke yang menundukkan kepalanya.

.

.

Sore itu Hinata menghabiskan waktunya di bukit tempat pertama kali dia melihat Sasuke dan Kaasannya.

Sendirian. Menangisi yang bahkan Hinata pun tidak tahu apa itu.

Dia kembali setelah jam dirasanya saatnya untuk pulang dan bergegas pergi ke pesta yang diadakan Sasori-senpai.

.

.

Sama seperti tadi pagi, malam ini pun sama. Hinata mendapati suara langkah kaki itu kembali. Langkahnya menuju rumah Sasori-senpai kembali diiringi oleh langkah ragu Sasuke.

Hinata berusaha untuk mengabaikannya. Meskipun hal itu sia-sia.

Sakura menunggunya di depan pintu rumah Sasori. Tak lupa senyum cerahnya pun langsung terukir ketika mendapati seseorang yang berada di belakangku.

Hinata mendahuluinya masuk karena sepertinya dia lebih tertarik untuk masuk bersama Sasuke.

Rumah Sasori yang bergaya lebih modern dibanding kebanyakan rumah di Konoha membuat pemandangan tersendiri bagi Hinata. Mungkin memang sangat jauh bila dibandingkan dengan pesta lainnya yang diadakan para pelajar di Tokyo.

Tapi, sebuah meja panjang yang tertata di samping ruangan–dipenuhi makanan tentuny –dan ruang tamu yang disulap menjadi seperti ballroom kecil, membuat Hinata merasa dirinya tidak berada di Konoha saat ini.

"Kau datang." Suara lembut yang mencapai indra pendengarnya membuat Hinata menolehkan kepalanya ke samping. Matanya mendapati Senpai-nya itu memakai sebuah kemeja putih dilapisi blazer Hitam yang membuatnya sangat serasi dengan warna rambutnya. Tak lupa, jeans berwarna biru dan sepatu cats berwarna coklat membuatnya terlihat semakin–eerr–tampan.

Berbeda dengan dirinya yang hanya memakai blus putih biasa dengan dilapisi mantel hitam kesayangannya saat musim dingin seperti ini.

Dan sangat berbeda pula dengan Sasuke yang hanya memaki sepatu cats sebagai penyempurna dari jeans biru dan T-shirt berwana biru langit miliknya.

"Bisa ikut denganku sebentar?" Ajak Sasori membuyarkan lamunan Hinata.

Hinata mengangguk ragu. Sedetik kemudian langkah pelannya mengikuti langkah Sasori.

Keduanya tidak menyadari bahwa sepasang mata sedang memandang mereka tajam.

.

Hinata masih tidak dapat mengatakan apapun, mulutnya kelu. Inilah yang dinantikannya sejak dulu. Mendengar langsung ungkapan cinta dari Sasori. Tapi, entah mengapa ada yang berbeda sekarang. Hatinya tidak merasakan senang ataupun kecewa.

Dirinya pun masih tetap terdiam ketika Sasori mulai mendekatkan wajahnya. Hendak meraih bibirnya ketika sebuah tarikan menjauhkannya dari Hinata. Sedetik kemudian mata Hinata membulat mendapati Sasoi yang sudah tersungkur dengan darah disudut bibirnya.

Disana Sasuke berdiri hendak meraih Sasori kembali ketika sebuah suara menghentikannya.

"Hentikan!" Déjà vu. Ini pernah terjadi sebelumnya.

Sasuke menoleh ke sumber suara dan mendapati Hinata dengan lelehan air mata di kedua pipinya. Sasuke terhenyak. Bagaimana ini?

"!" Hinata berlari meninggalkan keduanya. Sakura yang mendapati Hinata melewati pintu halaman belakang hendak memanggilnya. Tapi sosok Sasuke yang mengikuti Hinata dengan langkah tergesa, menghentikan niatnya.

"Apa yang terjadi?"

Di tempat lain, Sasori yang sudah kembali berdiri tegak mengusap sudut bibirnya pelan. Sebuah kekehan kecil terdengar. 'Kekanak-kanakan.'

.

Hinata sudah mencapai pintu pagar kecil ketika tangannya di tarik.

"Lepaskan," pintanya perlahan. Sasuke masih memandangnya tajam. "Lepaskan!" Hinata menghentakkan tangannya kesal. Dan kembali melangkahkan kakinya kesal setelah tangannya terlepas.

Sasuke kembali melangkah dan meraih tangan Hinata kembali.

"Ada apa?" Tanya Sasuke pelan.

"A-ada apa?" Tanya Hinata kembali. Terdengar suara yang sedikit meremehkan disana. "Kau bilang ada apa?" Lanjut Hinata.

"…"

Hinata kembali menyentakkan tangannya. Melepas genggaman Sasuke.

"Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kau lakukan ini padaku?" Hinata berteriak frustasi.

"Aku menyukaimu."

Deg

"Jangan katakan," Hinata menunduk.

"Tidak bolehkah aku menyukaimu?"

"Jangan katakan.."

"Hinata," Suara Sasuke terdengar semakin parau.

"Aku bilang jangan katakan apapun!" Teriak Hinata sambil menutup kedua telinganya.

"…"

"Hiks," isak tangis Hinata terdengar. "Tinggalkan aku." Suara Hinata terdengar semakin pelan ketika dia mulai berjongkok dengan kedua tangan yang masih menutupi telinganya.

"…" Sasuke melangkah mundur. Sekarang dia mengerti apa yang sedang terjadi. Seseorang yang dicintainya tidak menginginkannya.

Hinata menginginkannya pergi.

Langkahnya semakin mundur dan menjauh dari Hinata. Mulai berbalik dan meninggalkan Hinata.

Gadis bermata lavender itu tidak mengerti. Air matanya malah semakin deras mengalir ketika langkah itu mulai semakin menjauh. Ada sesuatu dalam hatinya yang tidak menginginkan semuanya berakhir seperti ini. Sekarang sosok niisannya benar-benar menghilang dari pandangannya. Tubuhnya terduduk diatas salju yang tak terasa dingin.

"Nii-san.." Hinata mulai bersuara pelan.

Hanya suara angin musim dingin yang menjawabnya.

"Nii-san!" Suaranya mengeras diiringi tangisnya yang semakin mengeras pula.

Di tempat lain, di balik tembok sebuah rumah, sosok yang telah terbiasa dipanggila nii-san itu menunduk. Kristal bening mulai terlihat mengalir dikedua pipinya.

.

.

Hinata mendapati hidupnya berubah di pagi harinya. Tidak ada siapa pun di onsen itu. Tsunade-baasan, Karin, ataupun Sasuke.

Dia mendapati onsen yang ditinggalinya itu kosong.

Dan ketika dirinya menemukan dua orang lelaki di depan pintu onsen berkata, "onsen ini suah menjadi milik kami. Pergilah sesegera mungkin dari sini." – Hinata merasa pikirannya kosong.

.

.

3 tahun kemudian.

Tap tap tap

Suara langkah kaki terdengar cepat dan tergesa-gesa. Menandakan si pemilik langkah sedang dalam keadaan terburu-buru. Helaian indigo yang bergerak seirama dengan langkah kaki tersebut menjadi pemandangan tersendiri bagi orang - orang yang melihatnya.

"A-aku terlambat." Ucapnya terengah setelah langkahnya terhenti di depan sebuah hotel berbintang disalah satu pusat kota Tokyo.

Hotel Akasuna.

Nama Hotal yang tertera di tembok gedung cukup untuk memberitahu kita bahwa hotel tersebut milik keluarga Akasuna. Keluarga yang dikenal sebagai pengusaha Hotel dan Real Estate terkemuka di Jepang.

Kumpulan barang yang bertumpuk di troli barang mengalihakan pandangan Hinata seketika. Dirinya yang sebelumnya berdiri di depan pintu masuk segera berlari menghampiri troli tersebut. Seorang pelayan pria yang hendak mendorong troli tersebut menatap heran Hinata yang sedang bersembunyi.

Hinata memberi isyarat kepada pria yang bernama Kiba itu dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

Kiba hanya menghela nafas dan kembali mendorong troli.

Hinata berjalan menunduk di balik troli. Menghindari Asisten Manager berambut aneh – yang semakin aneh karena ternyata dia suka memakai pakaian ketat berwarna hijau ketika dirumahnya – yang sedang menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Hinata segera berlari menuju sebuah pintu setelah melewati lift yang berada tidak jauh dari meja customer service. Pintu yang ditujunya menuntunnya menuju sebuah ruangan yang dikhususkan bagi para pekerja – pelayan – hotel.

"Ya ampun, Hinata!" Sakura memekik ketika melihat Hinata masuk. "Ayo, cepat pakai seragammu. Bos mencarimu dari tadi." Sakura mendorong Hinata untuk segera memakai pakaian maid hotel. Lebih sederhana dibanding pakaian di madi café.

Hinata selesai memakai pakaiannya. Kemeja putih dengan tangan pendek yang mengembung dibagian lengan atasnya. Dan sebuah rok hitam lima centi di atas lutut.

Sakura dan Hinata hampir meninggalkan ruangan tersebut ketika seseorang menghentikannya di depan pintu.

"Mau Kemana?" Ucap Asisten Manager yang dikenal bernama Maito Guy itu ketika menghalangi mereka.

"B-bekerja," Ucap Hinata dan Sakura gugup.

"Hn?" Guy menautkan kedua alisnya.

"Baiklah, layani tamu nomor 2723 itu dengan baik."

Hinata dan Sakura mengangguk cepat.

"Hh." Guy memalingkan wajahnya seperti seorang wanita.

"B-berapa nomornya?" Tanya Sakura masih dengan posisi tangan kanannya yang dipeluk Sakura.

"2723." Ucap Sakura masih gugup karena hampir ketahuan Manager konyolnya itu.

.

.

Ting tong

Hinata mengetuk-ngetukkan kakinya pada lantai hotel yang sedang dipijaknya. Menunggu penghuni kamar membukakan pintu. Tapi, lebih dari 5 menit tetap saja tidak ada yang membukanya.

Merasa kesal, Hinata memberanikan diri membuka pintu kamar tersebut menggunakan sebuah kartu yang sebelumnya di gesekkan pada alat di samping pintu.

Hinata membuka pintunya perlahan. Mengintipnya terlebih dahulu. Memastikan apakah ada orang di dalam atau tidak.

"Apakah ada orang?"

Tetap Hening.

Hinata mengangkat kedua bahunya dan melangkah masuk sambil menarik troli yang membawa perlengkapan kebersihan.

"Kemana orangnya?" Hinata melihat sekeliling. Kamar ini benar – benar luas. Hinata belum pernah masuk kamar ini sebelumnya. Ruang tamu dengan sebuah sofa yang menghadap sebuah piano besar berwarna putih.

Dapur yang terletak sebelah ruang tamu. Hinata melihat ada sebuah pantry kecil disana. Melihat ke arah kanan, Hinata mendapati sebuah pintu yang Hinata yakin menuju kamar. 'Dimana kamar mandinya?' Pikir Hinata.

Gadis bersurai indigo panjang tersebut melangkah menuju kamar, dan ketika dibuka pintu kamar tersebut, Hinata mendapati kamar lain diruangan tersebut.

"Oh, itu dia." Hinata menemukan kamar mandinya. Dengan sebuah kain yang dipegang tangan kirinya, Hinata melangkah memasuki ruangan tersebut – yang kebetulan pintunya tidak tertutup – dengan mantap.

Hinata terkagum – kagum ketika melihat kamar mandi tersebut begitu luas. Bahkan, dibandingkan apartemen sewaan milik Hinata pun, kamar mandi ini terlihat lebih mewah.

Apalagi bath up nya terlihat sangat be–

"!" Hinata segera menundukkan kepalanya. Kedua tangannya terkepal erat memegang kain. 'Ya ampun, ada orang didalam bath up!' Hinata benar – benar terkejut.

"G-gomene," Hinata terdengar mendesis. Matanya tidak sempat melihat karena orang tersebut benar – benar berada di dalam bath up yang penuh dengan air.

'Kenapa dia menyelam disana?' Pikir Hinata konyol.

BYUR

Hinata segera berbalik ketika dirasa orang tersebut merubah posisinya keluar dari bath up.

Sambil tetap meremas kain yang berada ditangannya, Hinata berkata, "a-aku akan k-kembali nanti. A-aku akan menyimpan nomor e-mailku di ruang tamu." Hinata menelan ludah, " a-anda bisa m-menghubungiku jika b-butuh bantuan."

Hinata segera meninggalkan ruangan tersebut. Dan yang tersisa hanyalah sesosok bermata onyx yang mulai berdiri menjauhi bath up.

.

.

Hinata bersandar pada pintu kamar dengan nomor 2723 tersebut sambil memegang dadanya. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang sekarang.

Dia benar – benar malu akan perbuatannya tadi. Bagaimana mungkin dia tidak sadar bahwa ada orang lain di kamar mandi itu.

"Uhh" Keluh Hinata.

"Hinata!" Sakura berlari menghampiri Hinata yang masih bersandar pada pintu.

"Hn?" Hinata mengerutkan kedua alisnya. Berdiri dengan tegak, mengakhiri posisi sebelumnya. "Ada apa?"

"T-tadi ada yang m-menelepon." Ucap Sakura terengah.

"Bicara yang benar, Sakura." Pinta Hinata sambil mengusap pundak Sakura.

"Baa-san apartemenmu menelepon."

"Hn?" Hinata mengeluarkan ponsel dari saku roknya dan segera menelepon orang yang dimaksud Sakura.

Tak berapa lama telepon pun terhubung.

"M-moshi moshi?"

"Ada apa?" Sakura merusaha mencuri dengar dengan berusaha menempelkan telinga kirinya ke ponsel Hinata.

"A-apa?" Ucap Hinata sedikit berteriak.

.

.

What should I do?

I love that child

She smiles at me, not knowing how I feel

What should I do? If she finds me like this

I won't be able to see her smile again

The look of love may reflect in my eyes

So I gaze at her with caution

I wish my chest was frozen

So that my burning heart would cool down

~Tsuzuku~

Setelah ga update lebih dari setahun. Dan update dengan chapter yang kacau balau.

Makasih yang udah review *bungkuk2*

Maaf reviewnya mungkin dibales di chap selanjutnya.

Dan maaf, pasti banyak typo. Karena ga sempat edit.

Pekerjaan segunung~ hiks

Kalo ada yang janggal dengan chap sebelumnya maaf. Belum sempat baca ulang chap sebelumnya.

Hehe,

Tengkyu~~~

Mind to review?