Derap langkah kaki itu masih bergema di telinganya. Masih ia ingat raut wajah Severus ketika ia keluar dari ruangan itu bersama dengan seorang healer yang tidak ia kenal. Dan… masih terngiang di kedua telinganya perkataan yang terlontar dari bibir sang healer yang dalam hitungan detik menghancurkan dirinya; memerosokkannya ke jurang terkelam dalam dirinya.

"Hasilnya negatif Ma'am"

Apakah selama ini Severus membohonginya? Apa Severus masih menyimpan dendam pada James di hatinya sehingga ia menjebak dirinya dalam masalah serumit ini?

"Hasilnya negatif Ma'am"

Ataukan Merlin sedang ingin mempermainkannya?

Harry tidak tahu. Ya… ia sama sekali tidak tahu. Dan saat itu ia sangat berharap bumi tempat ia berpijak bisa menelannya; melindunginya dari tatapan Draco yang menyiratkan kekecewaan. Ia benar-benar ingin menghilang saat itu juga.

We Got Married!

Chapter 7

"I Love You and Always Do"

.

Disclaimer : Harry Potter by J.K. Rowling

Warnings: AU, OOC, male slash, typos, lemon. If you don't like, please don't read

Pairing : DMHP

Rate: M

.

happy reading~~~

Tiada bintang yang menghiasi cakrawala yang meneduhi Malfoy Manor di malam itu. Jangankan bintang, rembulan pun seakan enggan memancarkan sinarnya malam itu, membuat suasana manor semakin diselimuti keheningan yang menyesakkan dada. Keheningan yang muncul setelah Astoria berhasil memporak-porandakan kebahagiaan yang dulunya bernaung di bawah atap Malfoy Manor. Hanya berselang beberapa detik setelah si healer mengungkapkan kebenaran itu, Harry tak sanggup berada lebih lama di hadapan seluruh anggota keluarga Malfoy. Seulas seringai picik yang dilontarkan Astoria kepadanya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya ketika ia melihat kekecewaan di sepasang mata silver kebiruan itu. Sepasang mata yang selama ini memberikan ia segenggam cinta dan ketulusan. Mata yang memberikan ia perlindungan dari gaduhnya hiruk-pikuk dunia.

Harry menghela nafas untuk kesekian kalinya. Kedua emeraldnya kini beralih pada langit malam yang tampak begitu teduh meksi tanpa ditemani sang bulan. Tangan kanannya kemudian ia arahkan ke dadanya. Ya, ada rasa sakit di sana. Seperti ada lubang hitam yang menyayat hatinya. Lagi, ia menghela nafas pelan. Berharap rasa sakit itu berkurang sedikit demi sedikit bersamaan dengan udara yang ia hembuskan.

Kedua emeraldnya kini beralih pada sebuah cincin yang melingkari jari manisnya. Ada rasa bersalah yang tumbuh di hatinya saat ia menatap cincin pernikahannya. Apakah ia layak untuk mengenakan cincin itu? Apakah memang dirinya yang ditakdirkan mengenakan cincin itu? Lebih lagi, sanggupkah ia masih mengenakan cincin itu setelah seluruh kebohongan ini terbongkar? Bahwa ia tak akan pernah memberikan Draco keturunan seperti yang Severus katakan. Tanpa sadar, Harry menggelengkan kepalanya. Sudah cukup baginya membohongi Draco. Ia tak ingin lagi melihat sinar kekecewaan itu lagi di mata Draco. entahlah, ia merasa seluruh dunianya luluh lantak hanya dengan melihat wajah Draco yang diselimuti kabut kekecewaan seperti tadi sore. Ia menghembuskan nafas lagi. Hanya ada satu cara untuk mengatasi semua ini. Ya hanya ada satu cara yang bisa ia lakukan sekarang.

Ia menghirup nafas dalam-dalam, mengumpulkan segenap keberanian yang ia miliki. Memandang kembali cincin keluarga Malfoy yang melingkari jari manisnya, Harry lalu mengarahkan sebelah tangannya yang bergetar melepaskan cincin itu dengan perlahan. Ya, berpisah dari Draco adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Ia tak ingin menyusahkan keluarga Malfoy, apalagi dengan status mereka sebagai 'mantan Death Eater'. Tidak, ia tidak ingin dirinya menjadi sumber masalah bagi orang lain.

.

.

Draco merasa tidak tenang malam itu. di ruang perpustakaan utama manornya, berkali-kali ia menghela nafas untuk meredakan kegelisahan yang melandanya. Kedua orang tuanya sedang sibuk membicarakan urusan entah apa. Draco tak mampu lagi memfokuskan segenap atensinya untuk mengikuti arah pembicaraan mereka. otaknya terus-menerus membayangkan Harry. Pasangannya. Pasangan yang baru saja ia nikahi, kini bagaimana nasib pernikahan mereka? Jujur, dari dalam hatinya telah tertanam harapan untuk hidup berdua dengan Harry selamanya. Apa ini yang namanya cinta? Ada perasaan posesif untuk melindungi pria itu yang muncul liar dari dalam hatinya. Ia sama sekali tidak suka melihat pria itu bersedih. Bahkan rasanya ia tak sanggup melihat air mata yang tumpah dari binar emerald itu. Draco tersentak. Semenjak tadi sore ia sama sekali belum menemui Harry. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Apakah ia terluka karena perbuatan Astoria tadi?

Dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya, ia melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Ia melangkahkan kakinya lebih cepat menaiki anak tangga. Entah mengapa, perasaannya mengatakan ia harus bergegas menuju kamarnya dan Harry. Entah mengapa ada rasa takut yang semakin menguasai hatinya saat ia semakin dekat menuju kamarnya. Dan sepertinya itu benar…

Hanya ruangan kososng yang ia dapati begitu ia membuka pintu kamar. Tiada Harry di sana. Gelisah, Draco segera mengecek ke kamar mandi. Nihil, Harry juga tak ada di sana. Frustasi, tanpa sadar ia meremas helaian rambut yang selama ini ia banggakan.

Kemana kau Harry?

Dimana pemuda itu di saat ia membutuhkannya? Manik silvernya tak henti-hentinya menjelajahi seluruh ruangan kamar, mencari-cari keberadaan pemuda bersurai hitam berantakan yang sekarang ini memenuhi otaknya. Dan manik silvernya terhenti pada sebuah benda berkilauan yang tergeletak begitu saja di atas meja. Dengan tangan gemetar ia meraih benda itu. Benda yang begitu familiar dengannya. Benda yang juga melingkari jari manisnya. Benda itu… cincin pernikahannya.

No… Harry…

.

.

Hogwarts, Ruang Kepala Sekolah

Malam sudah larut namun seberkas cahaya masih terlihat dari balik tirai ruang kepala sekolah Hogwarts. Ya, hingga tengah malam, Severus masih terjaga. Benaknya tengah sibuk mencari alasan mengapa Harry tidak berada dalam keadaan hamil seperti yang ia asumsikan. Sejujurnya, ada sebersit rasa bersalah yang bergejolak di hatinya saat ini. Rasa bersalah karena telah membohongi sahabatnya Lucius dan juga Harry, pemuda yang sudah ia anggap layaknya darah dagingnya sendiri. Sebesar apapun rasa bencinya kepada James Potter, ia tidak akan pernah sanggup melihat mata emerald Harry diselimuti duka. Dan kini, ia telah gagal melindungi Harry; malah ia sendirilah yang menyakiti pemuda itu.

Severus memijit keningnya perlahan dengan tangan kanannya. Sudah berulangkali ia memeriksa ingatannya sendiri dengan pensieve. Ia yakin Lupin sendiri yang memberitahunya bahwa Harry memiliki kemampuan untuk menghasilkan keturunan. Tapi, kenapa? Kenapa healer itu mengatakan bahwa pemuda itu tidak sedang mengandung anaknya dan Draco? Apakah ada sesuatu yang ia lupakan?

"Ah, Severus!"

Severus menoleh cepat ke sumber suara. Ia kenal jelas pemilik suara itu. Pria tua yang semasa hidupnya dikenal sebagai penyihir terkuat di seluruh Inggris Raya yang juga menjabat sebagai kepala sekolah Hogwarts.

"Profesor Dumbledore," ujar Severus sopan. Kedua mata pria tua itu berbinar. Meski keberadaannya kini hanyalah sebagai sebuah lukisan, Severus masih dapat menangkap dengan jelas kilat jenaka dari balik kacamata yang dikenakannya. Benar-benar khas Dumbledore.

"Kau masih saja kaku seperti biasanya. Cukup panggil Albus saja Severus," ujar Dumbledore santai. Wajahnya kembali menunjukkan keseriusan tatkala ia mendapati langit mendung yang menyelimuti wajah rekan sejawatnya itu. "Ah, malam sudah larut Sev. Kau tak berniat beristirahat?" tanyanya. Severus menghela nafas. Tentu saja ia tak akan dapat memejamkan mata di saat-saat genting seperti ini. Masalah yang menimpa Harry secara langsung diakibatkan karenanya juga.

"Kalau aku bisa membantu Severus…" ujar Dumbledore lagi dengan nada menggantung, mencoba menarik perhatian Severus agar ia mau menceritakan sendiri masalahnya tanpa harus ada usaha apapun yang Dumbledore lakukan untuk mengetahuinya.

Severus menghela nafas. "Ini… menyangkut Harry." Kedua mata Dumbledore kembali berkilat jenaka. Kedua bibirnya bahkan melengkung membentuk sebuah senyuman samar. Sementara itu, Severus sendiri tidak memperdulikan raut wajah si mantan kepala sekolah. "Apa kau tahu tentang rahasia keluarga Potter, Albus?" tanyanya.

Dumbledore menatap Severus dengan intens. "Rahasia? Rahasia yang mana?" jawabnya enteng seakan-akan ia tahu segala hal yang berhubungan dengan keluarga pewaris darah Gryffindor itu.

Severus menatap pria tua yang berada di balik lukisan itu dengan tajam. Tatapan yang sama ia lontarkan ketika ia mengenakan topeng dinginnya si hadapan Voldemort. Ya, samapi kini pria tua itu tidak berubah. Manipulatif meski tak ada niatan buruk di belakangnya.

"Anda benar-benar tidak mengetahuinya atau Anda berpura-pura tidak mengetahuinya?" perkataan Severus yang sinis membuat Albus tak kuasa menahan tawanya. Oh betapa ia suka mengerjai pria itu.

"Santailah sedikit Severus…" ujar Albus sambil tetap menahan tawanya. Wajahnya kembali menampakkan keseriusan tatkala ia melihat Severus yang mulai tidak sabar mengikuti percakapan ini. "Aku memang mengetahui jika seluruh garis keturunan keluarga Potter diberikan kemampuan yang istimewa untuk dapat menghasilkan keturunan dan kemampuan ini dimiliki oleh perempuan dan juga… laki-laki," ujar Albus.

"Lalu mengapa healer itu mengatakan bahwa Harry tidak dalam keadaan hamil?" ujar Severus tanpa sadar. Pertanyaan yang lebih tepatnya ia arahkan pada dirinya sendiri.

Albus tertawa perlahan. "Severus, ternyata kau tidak sepintar yang aku duga," ujarnya dengan sedikit nada mengejek dalam perkataannya. "Kau tahu, tidak semudah itu membuat seorang pria hamil… maksudku pria tidak akan hamil begitu saja setelah kau menidurinya…"

Jantung Severus berdetak dua kali lebih cepat mendengar perkataan Albus. Ia tidak mengerti kemana pembicaraan ini mengalir.

"Kau masih tidak paham? Setiap kemampuan istimewa pasti memiliki syarat agar kemampuan itu dapat digunakan. Begitu juga dengan kemampuan yang dianugerahkan pada seluruh keturunan keluarga Potter."

"Dan syaratnya?" tanya Severus tidak sabar.

Albus mengedipkan matanya jenaka. Bibirnya kembali melengkung membentuk sebuah senyuman tipis yang masih dapat dilihat oleh mata Severus. "Sama seperti yang Lili lakukan saat ia melindungi Harry. Cinta, Severus, cinta… Cinta yang tulus tak bersyarat…"

.

.

Udara malam yang menyelimuti Godric's Hollow sama sekali tidak berpengaruh apa-apa bagi Harry. Sejak ia memutuskan untuk pergi dari kehidupan keluarga Malfoy, tempat inilah yang pertama kali terlintas dalam benaknya. perlahan ia melangkahkan kakinya, menuju ke sebuah tempat yang dulunya menjadi tempat tinggal baginya dan kedua orang tuanya yang kini hanya tinggal puing-puing tak berarti. Dengan mata sendu ia menatap puing-puing bangunan itu. Selalu setiap ia merasa gundah, entah mengapa kedua kakinya selalu membawanya ke tempat ini. Menghela nafas, tanpa sadar Harry melanjutkan langkahnya secara perlahan. Menapaki sedikit demi sedikit jalan setapak yang tak berbekas, hingga akhirnya kedua kakinya membimbingnya ke hadapan pusara makam kedua orang tuanya.

Selama beberapa saat ia berdiri di depan pusara makam orang tuanya. Kedua matanya memang memandang lurus ke arah batu nisan yang berukir nama kedua orang tuanya itu, namun pikirannya masih juga belum lepas dari masalah yang membelenggunya.

"Hasilnya negatif Ma'am"

Entah mengapa, perkataan healer di siang tadi masih terngiang di kepalanya. Sekeras apapun ia mencoba, ia tak dapat membuang ingatan itu begitu saja. Apakah sejak dulu ia memang memiliki harapan mengandun anak Draco? Tapia pa alasannya? Cinta? Cintakah ia pada pemuda itu?

Harus diakui ia tak dapat mengelak dari debaran halus yang menerpa jantungnya di setiap kali Draco memandang matanya, setiap kali Draco mengelus sayang helaian rambutnya, bahkan di setiap senyuman yang terukir di wajahnya. Tapi apakah hal itu saja sudah cukup untuk menyatakan bahwa ada cinta antara ia dan Draco sementara kenyataannya kata 'cinta' itu tak pernah terucap dari bibir keduanya?

Harry tidak tahu sudah berapa lama ia termenung di depan makam kedua orang tuanya. Malam telah semakin larut, dinginnya udara bahkan menusuk hingga ke tulang-tulang. Merapatkan jubahnya, Harry masih enggan beranjak dari makam kedua orang tuanya, terlarut dalam pikirannya hingga ia tak menyadari ada seseorang yang berada di belakangnya. Ia bahkan tidak menyadari sepasang lengan kekar yang memeluk erat pinggangnya.

Terkejut, ia hampir saja melayangkan kepalan tangannya pada orang itu sebelum indra pembaunya menangkap aroma khas seorang pria yang sangat ia kenal. Draco Malfoy. Orang yang saat ini merengkuh tubuhnya tak lain adalah Draco.

"Kenapa kau meninggalkan manor begitu saja Harry?" bisik Draco lembut di telinganya. Harry tak langsung menjawab pertanyaan pemuda itu sebab kini ia lebih memilih untuk mengatur detak jantungnya yang tidak karuan saat Draco memeluknya. Lagipula ia masih terhanyut dengan kehangatan yang ditawarkan tubuh Draco di tubuhnya. "Mengapa kau tak menjawab pertanyaaku, Ry?" desak Draco.

Harry memejamkan kedua matanya. "Aku hanya tak ingin mempersulit hidupmu dan keduaa orang tuamu, Draco" bisik Harry pelan. Ia bisa merasakan pelican Draco yang semakin erat di pinggangnya.

"Apa maksud perkataanmu?" desis Draco.

Harry memasrahkan tubuhnya dalam pelukan Draco. "Kehadiranku hanya akan membuat kau dan keluargamu susah. Dengan status kalian sebagai… mantan pelahap maut, aku hanya takut kejadian ini akan semakin mempersulit kondisi Uncle Lucius di kementrian dan—"

Perkataan Harry langsung terhenti ketika Draco dengan cepat memutar tubuhnya berhadapan dengannya dan langsung merengkuh tubuh mungil Harry ke dalam pelukannya. "Aku tak ingin mendengar apapun perkataanmu, Harry. Kau pasanganku sekarang—"

"APA KAU BERPURA-PURA MELUPAKAN ALASAN MENGAPA KITA MENIKAH?"

"Harry aku…"

Harry mendesah. "Kita menikah karena semua orang berpikir… berpikir kalau aku mengandung anakmu, kan? Tapi nyatanya?"

"Harry…"

Harry menggeleng. Ia sengaja tak menatap Draco karena tak ingin Draco melihat air mata yang mengalir di pipinya. "Draco, please… aku bingung dengan semua ini. Aku tidak tahu kenapa aku merasa sedih dan takut seperti ini ketika aku tahu kalau semua itu bohong…"

"Kau… takut berpisah denganku?"

Harry hanya bisa terdiam.

"Harry, jawab aku."

"Tapi mengapa Draco, mengapa aku merasa takut?"

"…"

"Draco katakan mengapa aku—"

"Karena kau mencintaiku, Harry. Ya, karena kau mencintaiku. Dan aku pun juga mencintaimu…"

.

.

Harry tidak ingat jelas bagaimana ia dan Draco bisa berada di Grimmauld Place no.12, rumah yang diwariskan oleh Sirius kepadanya. Otak Harry tak mampu diajak bekerja sama saat ini. Segenap perhatiannya tertuju sepenuhnya pada Draco yang kini tengah menciumnya, entah sudah berapa lama. Harry tak kuasa menolak bibir yang menggoda itu. tapi, jauh yang terpenting adalah rasa bahagia yang membuncah dadanya ketika Draco menyatakan perasaannya yang sebenarnya.

"Harry, hey… mengapa kau menangis?" Draco merasa bersalah. Apa mungkin ia terlalu memaksakan kehendaknya pada Harry? Khawatir, Draco membelai lembut pipi Harry. "Apa aku menyakitimu?" tanyanya hati-hati.

Harry tersenyum. Entah mengapa semua keseihan yang tadi dirasakannya menguap begitu saja hanya dengan mendekap Draco seperti ini. "Tidak, aku menangis karena bahagia," jawabnya jujur.

Draco membelai ringan rambut Harry. Mau tak mau ia ikut tersenyum mendengar perkataan Harry. Perlahan ia menundukkan kepalanya sejajar dengan kepala Harry. Draco menatap intens emerald yang membuatnya jatuh cinta. "I love you, Harry" ujar Draco sebelum ia membawa Harry ke dalam satu ciuman manis.

Harry tidak tahu berapa lama ia tenggelam dalam ciuman Draco. Ia bahkan tak bisa menahan diri untuk menahan erangannya ketika lidah Draco dengan lembut mengajak lidahnya berdansa. Semua akal pikirannya pergi meninggalkannya begitu saja. Bahkan Harry sampai tidak menyadari bahwa kini ia dan Draco telah berbaring di sebuah ranjang dengan Draco di atasnya.

Draco menatap wajah Harry sekali lagi; membuat kedua pipi Harry merona kemerahan. Draco lalu mengarahkan kedua bibirnya pada telinga Harry. Setelah membisikkan kata 'I love you', ia langsung menciumi tengkuk Harry, turun terus hingga mencapai pangkal lehernya, berhenti sejenak untuk membuat tanda kepemilikan di sana.

"Ngh, Dra— Draco!"

Seringai terkembang di wajah sang pemuda. Tak disangkanya, kekasihnya ternyata begitu tak sabaran. Kekasihnya? Ralat, bukan kekasihnya tapi pasangannya. "Sabarlah Harry… aku tak tahu kalau Gryffindor tak sesabaran ini," goda Draco. dengan satu ayunan tongkat, Draco berhasil melepaskan seluruh penetup tubuh yang ia dan Harry kenakan. Harry tak bisa melakukan apa-apa selain mengeratkan pelukannya pada si pemuda pirang di atasnya ketika Draco mulai menciumi dadanya, membuat banyak sekali tanda kemerahan di sana.

"Nahh…! Dra—Draco…! Sshhh…!" Tak henti-hentinya Harry mengerang ketika Draco meraup inti tubuhnya dengan kedua bibirnya. Kedua tangan Harry bahkan meremas-remas seprai hingga buku tangannya memutih. Perlahan, Draco membawa dunia harry terbang ke satu tempat absurd yang penuh bintang.

"Draco!" Harry tak dapat menahan suaranya lagi ketika akhirnya ia mengeluarkan hasratnya. Terengah-engah, ia lalu memperhatikan Draco yang menatapnya lembut, memperhatikan dadanya yang kini naik-turun dengan teratur untuk mengembalikan nafasnya kembali. Draco lalu mendekatkan jaraknya pada Harry lalu kembali membawa Harry dalam satu ciuman manis.

"Harry… Harry Ilove you," desah Draco di tengah-tengah ciumannya.

Kemudian tanpa aba-aba, ia menyatukan dirinya sepenuhnya dengan Harry. Meski Draco melakukannya denga perlahan, tetap saja ia masih mendengar erangan Harry.

"Ngh!" Harry mengerang lagi, kali ini jauh lebih kuat saat Draco menyentuh titik tersensitif Harry. Harry semakin mengeratkan pelukannya pada Draco saat semakin lama Darco membawanya ke sebuah tempat penuh bintang.

"Ngh..! Draco…!"

Harry tak dapat menahan suaranya ketika Draco berhasil mengeluarkan sari cintanya jauh dalam tubuh Harry. Pandangan Harry memudar. Ia benar-benar merasa lelah tetapi bisikan 'I LOVE U' Draco yang sempat diucapkan pria itu di telinganya membuat kebahagiaan membuncah di hatinya hingga titik tertinggi.

Perlahan Draco merebahkan tubuhnya di samping Harry lalu memeluknya posesif. Ia menyempatkan diri mengecup kening Harry sebelum menggumamkan selamat malam. Menarik selimut hingga mencapai dagu, Draco lalu menyusul Harry yang telah lebih dulu berada di alam mimpi. Namun, tanpa mereka sadari suatu keajaiban telah terjadi beberapa menit setelah keduanya tertidur pulas. Sedetik kemudian, seluruh tubuh Harry berkilau layaknya berlian tertimpa sinar matahari. Kemudian sinar itu berkumpul membentuk satu titik tepat di atas perut Harry sebelum akhirnya lenyap begitu saja.

.

.

Sinar mentari pagi yang hangat menyeruak masuk ke ruang kamar itu melalui sela-sela jendela, memberikan kehangatan yang mampu membuat Harry terjaga dari tidurnya. Rasanya sudah lama sekali ia tak tertidur selelap ini.

"Good morning, love…"

Pipi Harry memanas. Sebutan 'love' yang ditujukan Draco untuknya menyadarkan Harry bahwa semalam mereka telah melakukan kau-tahu-apa. Meski ini kali kedua, tetapi ini pengalaman baru bagi Harry karena mereka melakukannya bukan karena nafsu, tetapi karena cinta yang kini telah terbentuk di hati mereka masing-masing.

'Lain kali, harus aku yang diatas!'

Tiba-tiba saja Harry teringat perkataannya yang terdahulu. Hey! Mereka seudah dua kali melakukannya dan ia masih saja berada di bawah! Bagaimanapun juga Gryffindor itu harus tetap berada di atas, bukan?

Harry melirik tajam pada Draco yang masih setia membelai helaian rambutnya. Dengan semangat seorang Gryffindor, Harry mengarahkan wajahnya pada leher Draco dan menciuminya. Ia tersenyum begitu mendengar Draco mendesah karena perlakuannya. 'Yep, kelihatannya mudah!' batin Harry. Tanpa sadar, ia menyeringai saat ia masih menciumi leher Draco, bahkan menggigitnya di beberapa titik.

Harry baru akan mengambil langkah lanjutan. Maksudnya tentu saja mengubah posisi mereka. Senyum sempat terkembang di wajahnya begitu ia berhasil berada di atas tubuh Draco, tetapi dalam sedetik senyuman itu menghilang ketika ia menyadari apa yang sedari tadi—tidak, maksudnya semalam—Draco lakukan padanya. Draco sama sekali belum melepaskan dirinya dari dalam Harry!

"Ngh! SShhh…!"

Erangan itu keluar begitu saja dari bibir Harry. Sayangnya, ia melewatkan momen dimana Draco menyeringai nakal melihat kondisi si pemuda.

"Uh-oh, Harry, tak kusangka kau begitu nakal…" desah Draco di telinga Harry. Ia bahkan menggoda Harry dengan menggerakkan dirinya jauh mencapai titik tersensitif yang ada dalam tubuh Harry.

"Draco! Kau! Ah…!"

Draco kembali menyeringai. "'Aku sengaja tidak mengeluarkannya semalam…" desahnya. Dengan satu kali hentakan, ia berhasil membalikkan posisi mereka. Tentu saja dengan Harry di bawahnya. "Dan sekarang terimalah hukuman atas kejahilanmu, love."

"PEVERT! Aish… Draco…!"

.

.

Malam sebelumnya

"Miss Greengrass benar-benar sudah melewati batas…!"

Malam yang seharusnya dihabiskan Severus untuk mengistirahatkan tubuhnya terusik ketika ia melihat kilatan hijau terpancar dari perapian yang ada di ruang pribadinya. Memaksakan tubuhnya yang protes, Severus segera mengenakan sehelai jubah lalu menghampiri tamu yang mendatanginya di tengah malam seperti ini, Lucius Malfoy.

"Dan kini Draco dan Harry entah dimana keberadaannya," desah Lucius putus asa.

"Aku akan mencoba bicara dengan Kingsley esok…" ujar Severus tenang, meski dasar hatinya tak setenang raut wajahnya.

Lucius menatap sahabatnya itu. Topeng yang selama ini melekat di wajahnya runtuh seketika saat ia memberitahu Severus suatu kenyataan. "Tidak Sev, aku tak ingin membahayakan Cissy dan juga Draco." Harry sudah menjadi seorang anak di hatinya, tetapi ia sama sekali tak ingin kehilangan kepercayaan yang telah didapatkannya dengan susah payah, mengingat statusnya sebagai mantan Pelahap Maut. Dengn berat hati, ia mengatakan keputusan final yang akan diambilnya. "Menurutku memisahkan mereka adalah jalan yang terbaik…"

Bersambung

AN: Hai! Apa kabar semua? Baiklah, Kei minta maaf yang sebesar-besarnya atas leletnya chap yang satu ini. Um, ada banyak halangan sehingga Kei tidak bisa menulis fic fi ffn. Tapi Kei berharap semoga chap ini tidak membosankan dan masih layak untuk dibaca. Dan akhirnya ada lemon! Aish… ehehehe maafkan jika kurang asem, Kei masih pemulauntuk urusan ini :D . Jadi, review please~~~~