CHAPTER 12 UPDATE!

heelllloowww... any body here?
:D

Hey guys, gimana kabar kalian beberapa bulan ini? waahh..., aku minta maaf sebesar besarnya ya karena update nya telaatt... soalnya aku juga harus mengerjakan berbagai tugas kuliahku yang gak terkira banyaknya. Jadi waktu untuk update hampir gak ada.

Aku seneng and bangga banget sama readers sekalian yang masih aja nunggu kelanjutan fic ku yang gak jelas ini. hehehe...*big hug to you all ;)

Ow ya, aku minta maaf yang sebesar besarnya kepada readers sekalian karena ulah jahilku kemarin yang meminta review banyak. Ups..! Maaf yaa... Kali ini gak lagi dehh... Dan ternyata banyak juga yang jadi gak suka sama aku karena hal itu. huhuhu T.T

Tapi, gak masalah lah...itu hak kalian juga, selama kalian masih suka sama ceritaku, aku akan sangat berterimakasih. :D

And buat yang masih setia nunggu fic ini, aku persembahkan kepada kalian Chapter 12!

Enjoy!

Disclamer : Tite Kubo

Ichigo melajukan mobilnya menjauhi kota Karakura. Menuju sebuah kota kecil yang berjarak kira-kira 4 jam perjalanan dari Karakura. Ia telah meninggalkan pesan kepada Ishida jika ia sedang bertemu klien di luar kota dan tak boleh diganggu.

Tanpa peduli lelah, Ichigo tetap memacu mobilnya menuju Hokaido. Tempat dimana juru kunci atas apa yang ia ingin ketahui. Apa sebenarnya yang terjadi pada Rukia selama ia di Amerika. Dan alasan mengapa Rukia selalu menghindarinya. Karena sudah tak mungkin lagi ia mengorek informasi dari Byakuya Kuchiki ataupun Hisana. Karena berkali kali ia telah menemui mereka dan hasilnya tetap saja nihil. Pasti mereka memilih bungkam dan tentu saja Rukia telah memintanya. Apalagi ketika ia kembali, para pelayan yang dulu pernah berteman baik dengan Rukia, semuanya telah berhenti bekerja dan menghilang entah kemana. Hanya tersisa Nanao seorang. Dan itupun sama sekali tak membantu. Karena sejak ia ke Amerika, sebulan kemudian Nanao berhenti bekerja.

Ichigo kembali berkonsentrasi dengan jalanan di depannya. Ia seperti singa yang diburu pemburu. Melaju dengan kecepatan menggila. Hingga akhirnya ia sampai di gerbang masuk kota kecil tersebut.

Merasa cukup letih, Ichigo menghentikan mobilnya di sebuah kedai kecil di sisi jalan. Kedai itu masih sangat kental dengan nuansa khas Jepang. Ia melangkahkan kakinya memasuki kedai tersebut. Tampak seluruh meja dipenuhi oleh banyak orang yang singgah hanya sekedar melepas lelah atau berkumpul dengan keluarga. Mengingat hari juga telah beranjak sore dan sepertinya orang yang datang kesana adalah mereka yang baru saja pulang dari kantor.

Ichigo menerawang, mencari meja yang masih kosong, hingga pandangannya mengarah kepada meja yang letaknya paling pojok namun sudah di tempati oleh seseorang. Ia melangkah mendekati meja tersebut.

"Bolehkah saya ikut bergabung dengan Anda, Tuan?" Ichigo menyapa dengan sopan. Orang tersebut menoleh ke arah Ichigo dan tersenyum ramah.

"Tentu saja." Jawabnya ramah. Ia menggeser salah satu kursi untuk mempersilakan Ichigo duduk.

"Tempat yang cocok untuk bersantai." Ichigo memulai pembicaraan begitu ia telah mendudukan pantatnya di kursi. Ia kemudian memanggil salah seorang pelayan dan memesan secangkir teh hijau kesukaannya.

"Kau benar. Tempat ini, meskipun dipenuhi orang, namun tetap terasa nyaman. Suasananya terasa sangat menyenangkan dan membuat kita seolah sedang bersantai di rumah sendiri." Jelas Lelaki tersebut.

Ichigo mengangguk setuju. Ia kemudian mencoba memperhatikan orang tersebut. Tubuhnya sedikit kecil untuk ukuran pria dewasa. Wajahnya cukup tampan. Sepertinya ia sebaya dengan dirinya. Rambutnya pendek dan berdiri melawan grafitasi dan berwarna putih. Serta sebuah kaca mata yang bertengger di depan kedua mata hijau toskanya ditambah balutan jas kantor membuatnya terlihat elegan.

"Sepertinya kau bukan orang dari kota ini. Benarkan?" Tanya orang itu.

Ichigo menyesap tehnya dan mengangguk pelan, "Benar. Bagaimana Anda tahu?"

"Aku sempat memperhatikanmu tadi saat kau baru saja tiba. Ku lihat plat mobilmu berbeda dengan kode kota ini." Jelas pria tersebut.

"Oh, jadi begitu." Ichigo tersenyum paham.

"Apa yang membuatku datang kemari?" Tanya Pria itu kembali.

"Aku mencari seseorang." Jawab Ichigo.

"Oh begitu….Kenapa kau mencarinya?"

"Aku perlu menemukan kebenaran yang tak ku ketahui. Aku harus mengetahui apa yang disembunyikan oleh seorang gadis yang kucintai."

"Kenapa tak kau tanyakan langsung pada gadis yang kau cintai itu?"

"Karena ia selalu menghindar dan lari dariku."

"Apa kau sangat mencintainya?"

"Sangat! Bahkan melebihi diriku sendiri." Ucap Ichigo penuh keyakinan.

"Lalu, apa yang membuatnya lari darimu? Apa kau mencampakannya?"

"Entahlah…mungkin bisa dibilang seperti itu."

"Maksudmu?"

"Atau lebih terpatnya, terpaksa meninggalkannya." Ichigo menerawang jauh. Ia kembali teringat dengan masa lalunya saat ia terpakasa harus pergi meninggalkan Rukia.

Pria tersebut menatap Ichigo dengan penuh tanya. Ia kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.

"Lalu, apa yang membuatmu merasa perlu mengetahui 'kebenaran' itu?"

"Karena tak berapa lama kemudian ia hilang bagai di telan bumi." jawab Ichigo lemah. Terlihat rasa putus asa dari wajahnya.

Flashback Ichigo's Side

"Apa kau sudah gila Ichigo!" Ishin membentak anak sulungnya yang berdiri diam di hadapannya.

"Aku sudah mendengarnya dari Lisa!" Geram Ishin, "Bermain dengan seorang pelayan? Apa kau sudah bosan hidup,hah!"

"Ayah.." Ichigo mencoba memulai berbicara.

"Jangan pernah menyela omonganku saat aku sedang bicara!" Bentak Ishin kembali, "Bukankah sudah pernah ku katakan tentang kondisi kita saat ini. Dan sudah pernah ku katakana tentang rencana perjodohanmu dengan anak keluarga Inoue! Dan sudah ku katakan untuk berhenti bermain-main seperti itu! Apa kau tuli hah!" Bentak Isshin kembali. Syukurlah ruang kerja itu dibuat kedap suara.

"Ayah, kali ini aku serius!" Sela Ichigo.

Ishin membalalak kaget, "Tidak pernah ada kata serius pada gadis rendah yang hanya bisa merayu dan menyerahkan dirinya pada majikannya dengan sangat mudah." Ucap Ishin dingin.

"Ayah!" Bentak Ichigo. "Rukia bukan gadis seperti itu!" Jelasnya tak terima.

"Apa keseriusanmu kali ini akan bisa menyelamatkan keluarga kita yang tengah berada di ujung tanduk?" Tuntut Isshin dengan menahan suaranya. "Sekalipun kalian tulus saling mencinta, itu sama sekali tak membantu apapun, justru sebaliknya. Ku mohon Ichigo, berhentilah bersikap egois dan kekanak-kanakan! Ku rasa kau cukup paham dengan bencana besar apa yang akan kau timbulkan jika hal ini sampai di dengar oleh keluarga Inoue. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib perusahaan kita jika sampai keluarga Inoue menarik investasi mereka dan membuat perusahaan menjadi tidak stabil. Bagaimana dengan ribuan karyawan yang telah mengabdikan dirinya untuk perusahaan. Dan aku juga tak bisa bayangkan bagaimana nantinya jika kedua adikmu yang masih sangat belia harus terluntang-lantung." Suara Isshin mulai bergetar. Tangannya mencengkram pinggiran meja karena nyaris limblung.

"Ayah!" Ichigo segera menghampiri ayahnya dan membopongnya ke tempat duduk.

"Ku mohon Ichigo, dewasalah. Pikirkan baik baik. Saat ini, tiap langkah dan gerak gerikmu sangat menentukan nasib ribuan orang yang bekerja untuk kita dan terutama kedua adikmu." Ucap Isshin lemah. Ichigo tak tahu harus berbuat apa. Situasinya benar-benar membuatnya seolah tersesat di labirin.

"Pergilah ke Amerika. Urus perusahaan kita disana. Putri keluarga Inoue juga tengah tinggal di Amerika. Ini kesempatan bagus untuk kita membina hubungan baik dengan tidak punya pilihan Ichigo." Jelas Ishin mengingatkan putra sulungnya.

Setelah menenangkan ayahnya, Ichigo hanya berjalan keluar tanpa berniat mengucapkan satu katapun. Ia memejamkan matanya dan menghela nafas berat. Kedua rahangnya mengeras dan tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Rasanya kepalanya mau pecah jika harus dihadapkan dengan masalah yang begini pelik.

.

Rukia terduduk diam di taman belakang. Tempat rahasia dibalik semak anggur, tempat rahasianya bersama pemuda pujaannya. Dan jika moodnya sedang tidak baik ia selalu memilih menyendiri di sini. Ia hanya menatap hampa hamparan lavender di depannya. Perasaan dilema menggelayuti hatinya kini. Tidak seperti biasanya, sepoian angin seakan tak mampu membawa ketenangan bagi hatinya.

"Kenapa kau hanya duduk melamun seperti itu?" Sebuah suara baritone mengusik lamunannya. Ia tahu pemilik suara ini. Dan dia jugalah penyebab hatinya jadi begini. Tanpa menghiraukan, Rukia tetap pada posisinya. Hanya diam terduduk dan tak berniat merespon sediki pun.

"Rukia….ada apa?"

Masih diam dan tak merespon.

Merasa kesabarannya habis, ia meraih lengan Rukia yang mengalung diantara kedua lututnya yang ia tekuk, "Kau ini kenapa? Bisakah pandang aku sekarang?"

"Kenapa? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau kau akan pergi jauh untuk waktu yang sangat lama, Ichigo?" Rukia akhirnya buka suara. Namun hanya sebaris kalimat dingin dan penuh selidik. Matanya menatap pedih pada pemuda di depannya.

"Sejak kapan?" lirih Rukia.

"Maaf…" Ucap Ichigo penuh penyesalan.

"Sejak kapan kau berencana akan pergi hah?" Rukia mulai meninggikan suaranya.

Ichigo terdiam sejenak, sebelum kembali menjawab pertanyaan kekasihnya, "dua minggu lalu."

"Dan kau sama sekali tak berniat memberitahukanku sampai besok hari keberangkatanmu?"

"Tidak….bukan seperti itu maksudku. Aku pasti akan memberitahumu-"

"Kapan? Apa besok? Dihari keberangkatanmu dan membuatku tak bisa berpamitan?" Rukia menyela dengan cepat. "Apa kau suka membuatku mati karena merindukanmu disini yang meninggalkanku tanpa pamit. Apa kau akan memberitahuku setelah kau membuangku?" Ucapan Rukia dengan telak meremas hati Ichigo. Ditambah cairan bening yang mulai mengalir dari pipi gadisnya. Benar-benar membuat hatinya hancur berkeping.

Ichigo segera meraih tubuh Rukia dan membawanya dalam dekapan hangat.

"Tidak….tidak seperti itu. Maaf….aku sama sekali tak bermaksud begitu. Aku hanya tak ingin melihatmu sedih karena kepergianku. Aku tak ingin melihatmu menangis. Aku berniat memberitahu mu nanti malam. Maafkan aku." Bisik Ichigo penuh penyesalan.

"Jangan pergi…." Pinta Rukia memelas di tengah dekapan Ichigo.

"Kumohon jangan pergi…."

"Maaf Rukia, aku tidak bisa. Aku harus pergi. Ada hal yang harus ku kerjakan." Ichigo mencoba menjelaskan.

"Apa?"

"Tidak bisa kukatakan…Maaf…"

"Kalau begitu jangan pergi….ku mohon…" pelas Rukia

"Ku mohon mengertilah….. Suatu saat kau akan mengerti Rukia." lirih Ichigo. Ia semakin mengeratkan pelukannya. Menghirup dalam dalam aroma tubuh Rukia. Bau ini pasti akan sangat ia rindukan.

Ichigo menatap Rukia lekat dengan tatapan sendu. Gadis itu tampak tegar. Namun Ichigo merasa sebaliknya. Ia sama sekali tak sanggup meninggalkan Rukia di Jepang. Ia ingin sekali tetap tinggal disini, atau membawa Rukia ke Amerika. Namun tentu saja itu hal yang mustahil.

.

"Aku akan tetap menghubungimu setiap hari. Aku berjanji!" Ucap Ichigo mantap. Ia kemudian menarik Rukia ke dalam pelukannya dan memejamkan matanya. Menyesap aroma lavender yang menguar dari tubuh gadis tercintanya untuk yang terakhir kali sebelum kepergiannya ke Amerika.

Rukia tersenyum. Meski dalam hatinya ia merasa sangat sedih dan ingin menangis. Berkali kali ia mencoba menahan air matanya agar tak tumpah.

Ia kemudian melepaskan dekapan Ichigo pada tubuhnya dan menatap pemuda itu.

"Hei! Kenapa kau cengeng begitu? Apa kau lupa kalau aku ini adalah gadis tangguh. Dasar laki-laki cengeng!" Ledak Rukia sambil memanyunkan bibirnya.

Ichigo hanya menatap dalam diam gadis pendek itu. Meski sangat memalukan jika seorang pria menangis. Namun, hal itu naluriah saat kita harus meninggalkan orang yang paling dicintai.

"Jangan lupa menelponku terus!" Perintah Ichigo pada Rukia.

Rukia tertawa cekikikan dan menjitak kepala Ichigo.

"Auww! Kau ini! Sakit tau!" Dengus Ichigo sebal.

"Memangnya aku saja? Kau juga tahu!" ucapnya dengan ekspresi yang sengaja dibuat sebal.

Rukia tertawa dan kembali memeluk Ichigo.

.

"Apa kau makan dengan baik disana?" Rukia bertanya dari seberang telepon.

"Tidak terlalu. Karena aku selalu memikirkanmu." Ucap Ichigo parau.

Rukia mendengus kesal, "Kau ini! Apa kau mau mati. Hiduplah dengan benar seperti disini. Jangan hanya memikirkanku saja! Kau juga harus memikirkan dirimu sendiri! Dasar bodoh!" gerutu Rukia. Sebenarnya ia merasa sangat khawatir pada Ichigo. Namun, ia hanya bisa menunjukannya dengan mengomel tak jelas.

"Lalu bagaimana denganmu disana?" Tanya Ichigo.

"Aku? Tentu saja sangat baik. Sejak berhenti dari rumahmu itu, aku mendapat pekerjaan yang sangat bagus. Gajinya tinggi dan tak perlu bersusah-susah. Karena ada Kaien yang membantuku selalu. Hehehe…."

"Apa?! Kaien? Kau ini! Siapa yang mengijinkanmu untuk bersama dengannya! Dan kenapa ia selalu membantumu? Bukankah dia harus bekerja di kebun? Apa kalian itu bermain api di belakangku?!" Ichigo mengomel karena mulai merasa khawatir jika sampai Rukia direbut Kaien.

"Menurutmu?" Ucap Rukia penuh misteri.

"Apa?Apa itu benar!? Rukia! Jawab aku!" Teriak Ichigo dari seberang telepon.

Rukia menjauhkan sedikit telepon genggamnya dari telinganya karena suara Ichigo yang terasa menusuk telingannya.

"Jangan harap kalian bisa macam-macam di belakangku ya!" Ancam Ichigo. Ia kini mulai frustasi karena kecemburuannya pada Kaien.

"Hahahaha…..! Kau ini naïf sekali. Gampang sekali membuatmu jadi nyaris gila seperti ini. Hahaha….aku menyukainya. Aku hanya bercanda."

"Apa?" Tanya Ichigo tak percaya.

"Kau tenang saja. AKu akan selalu setia padamu, Ichi~. Aku mencintaimu." Ucap Rukia

Ichigo tersenyum mendengar pengakuan Rukia dari seberang telepon, "Aku juga mencintaimu…"

"Ah, Ichi..maafkan aku tak bisa berlama-lama. Karena masih ada hal yang perlu ku kerjakan. Bye…" Rukia pamit dan menutup telepon.

"Apa? Heii…!" Dan telepon pun terputus. Ichigo hanya bisa menghela nafas pasrah. Ia kemudian meletakan gagang telepon di tempatnya dan berbaring di atas kasur. Kerinduannya akan gadis itu rasanya hampir membuatnya gila.

'Baru beberapa hari sudah seperti ini. Sampai kapan akan terus seperti ini? Rukia…' batin Ichigo.

Merasa cukup lelah karena aktifitas yang ia lakukan hari ini cukup padat, Ichigo akhirnya memejamkan matanya dan menyelami alam bawah sadarnya.

.

.

Berkali-kali Ichigo mengecek daftar panggilannya. Dan sama sekali tak ada satupun nama kekasihnya-Rukia- yang menelponnya dua hari ini. Dan ketika ia mencoba menelpon Rukia, gadis itu sama sekali tak menjawab. Ia menjadi sangat frustasi dan memilih untuk berjalan-jalan keluar sambil menunggu telepon dari Rukia.

"aiiisssshhhh,,,,apa yang dilakukan gadis itu di Jepang? Kenapa dua hari ini ia sama sekali tak menghubungiku? Arrgggghhh!" Ichigo mengacak rambutnya frustasi. Ia merogoh saku celanannya dan kembali menatap layar handphone nya. Dan hasilnya tetap nihil. Tak ada satupun tanda-tanda Rukia menghubunginya.

"Sial! Apa mungkin dia terlalu sibuk disana?" Lelah menggerutu, Ichigo memilih kembali ke rumahnya dan tidur mengingat hari telah beranjak malam. Namun saat ia sedang memejamkan matanya dan mencoba tidur, handphonenya bordering tanda ada email masuk. Dengan berat hati Ichigo meraih ponselnya yang ia letakkan di meja televisi yang berada di depan tempat tidurnya.

"Tumben, siapa yang mengirim email malam-malam begini." Gumamnya. Namun, ketika ia membukanya dan melihat nama pengirimnya, sontak rasa kantuknya lenyap.

"Rukia?" pekik Ichigo tak percaya. Dengan perasaan penuh kelegaan, ia segera membuka isi email itu.

'Ichi, maaf, dua hari ini aku tak menelponmu. Pekerjaanku sungguh sangat banyak dan tak bisa kutinggalkan. Apa kau baik-baik saja disana? Makanlah yang banyak supaya kau tak sakit. Ku harap kau selalu menjaga kesehatanmu…'

"Satu-satunya yang membuatku tidak 'baik-baik saja' adalah kau, Midget!" gerutu Ichigo pelan setelah membaca sebagian pesan yang dikirim Rukia. Kemudian ia kembali membaca email tersebut.

'…maaf jika akhir-akhir ini aku tak bisa menghubungimu. Kau tahu, bos ku sangat galak dan sebenarnya aku dilarang menggunakan ponsel. Hanya saja, saat istirahat makan siang saat ini, aku diam-diam ke toilet dan mengirimimu email. Maaf Ichi. Aku merindukanmu, kau tahu. Bahkan rasanya aku mulai gila karena ingin bertemu denganmu…'

"Kau kira aku tidak! Dasar midget!" gerutu Ichigo kembali.

'….ingat pesanku Ichi, makanlah yang baik dan jangan sampai kau melupakanku disana Ichi. Dan jaga kesehatanmu juga. Awas kalau kau sakit, aku tak akan pernah menghubungimu lagi! Sudah dulu ya? Aku harus kembali bekerja. Byee…. Aku mencintaimu…'

Dan pesan pun berakhir dengan kata manisnya.

Ichigo tersenyum sempul dan merasa dirinya hidup kembali. Meski Rukia tak menelponnya, setidaknya dengan email itu sudah cukup menghilangkan sedikit rasa rindunya dengan gadis itu. Ia kemudian meletakan ponselnya kembali dan bernanjak ke ranjangnya.

'ku rasa di sana masih tengah hari, jadi ku ucapkan selamat bekerja padamu, 'my violet' '. Batin Ichigo. Ia tersenyum kembali dan mulai tertidur.

Sama seperti hari hari sebelumnya, gadis itu sama sekali tak menghubunginya. Bahkan saat ini sudah hari kelima sejak hari terakhir Rukia mengirimkan email padanya. Saat ia mencoba menghubungi gadis itu, ponselnya sama sekali tidak aktif. Namun kali ini, Ichigo berusaha mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya yang menumpuk. Sejak ia datang ke Amerika atas paksaam ayahnya dan untuk mengurus salah satu anak perusahaan ayahnya disini, Ichigo sebenarnya sangat disibukan dengan berbagai dokumen yang membuat kepalanya serasa ingin pecah. Namun, ketika ia mendengar suara Rukia, kejenuhannya terobati dan membuatnya kembali bersemangat. Maka ketika Rukia tak menghubunginya selama beberapa hari ini, sebenarnya cukup membuatnya frustasi. Tapi, Ichigo berusaha mulai menata dirinya. Bagaimanapun juga Rukia menyuruhnya hidup dengan baik. Dan kini, situasi berkebalikan, Ichigo mengalihkan rasa frustasinya karena Rukia tak juga menghubunginya dengan menyibukan diri dengan berbagai pekerjaannya yang menumpuk.

Sampai tak terasa dua minggu sudah Rukia tak jua kunjung menghubunginya. Ia mulai khawatir. Berkali-kali ia mencoba menelpon Rukia, namun tetap tak ada jawaban. Bahkan nomornya selalu saja tak pernah aktif. Ichigo mulai tak tenang. Ia mencoba mencari tahu apa yang mungkin terjadi pada gadisnya di Jepang.

Ia mulai menelpon bawahannya untuk mencari tahu kabar Rukia di Jepang. Berkali-kali tetap mencoba menelpon Rukia namun tetap saja hasilnya nihil. Sampai ia mulai frustasi dan memutuskan kembali ke Jepang. Capat-cepat ia memesan tiket pesawat menuju Karakura.

Ketika ia telah sampai di rumahnya, Ichigo segera membereskan barang-barang yang akan di bawanya.

'Rukia, apa yang sedang kau lakukan? Apa kau baik-baik saja?'

Ichigo mengetik sebaris pesan kepada Rukia. Ia sudah sangat khawatir. Ia masih berharap Rukia membaca pesannya.

Tetapi, tak berapa lama, ponselnya berdering tanda email masuk. Ichigo segera meraih poselnya yang ia letakkan di atas kasur.

"Syukurlah itu kau Rukia!" Ichigo bernafas lega begitu tahu jika email tersebut dari gadis terkasihnya. Dengan tak sabar ia membuka email itu dan membaca isinya.

'Ichi…bagaimana kabarmu? Maaf aku jarang menghubungimu. Aku disini baik-baik saja, tak usah menghawatirkanku. Maaf, aku tak bisa selalu menghubungimu karena aku sedikit sibuk disini. Dan aku harap kau bisa hidup dengan baik-baik disana. Jaga dirimu Ichigo…

Rukia'

"Apa? Hanya segitu? Apa kau tak tahu aku mengkhawatirkanmu sampai aku nyaris gila! Dan kau hanya mengirimiku email pendek ini! Dasar kau Midget! Sama sekali tak mengeri perasaan orang lain! Aku bersumpah, saat aku kembali nanti, kau tak akan kulepaskan!" Ichigo menggerutu kesal. Namun, kelegaan sangat jelas terpancar dari wajahnya.

"Tunggu dulu, jika Rukia mengirimkanku email, berarti saat ini, ponselnya sedang aktif! Baiklah! Kalau begitu aku tak peduli lagi dia mau sesibuk apa. Aku benar-benar merindukan suaranya!" Ichigo segera menekan beberapa digit nomor dan menunggu panggilan untuk di jawab.

"Halo..Ichi…?"

Ichigo terlonjak girang begitu ia mendengar Rukia menjawab teleponnya.

"Rukia! Kau ini! Kenapa hanya mengirim email pendek! Kau tahu, aku hampir gila karena menunggu telepon darimu! Apa saja yang kau lakukan disana? Apa bos mu sangat galak sampai melarang pegawainya hanya untuk menelpon sebentar kekasihnya? Benar-benar bos tak berperasaan!" Ichigo berbicara tanpa henti.

"Ichi…Aku…" Rukia mencoba menyela.

"Apa? Kenapa kau tega sekali denganku? Sudah kukatakan untuk menelponku setiap hari! Kau tahu aku menelponmu berkali-kali?! Tapi kau sama sekali tak menjawabku beberapa hari ini! Kau benar-benar pacar yang sungguh-sungguh keterlaluan!" Ichigo kembali melanjutkan omelannya.

"Maaf Ichi…aku…."

"Apa?Maaf? Kau tahu, maaf itu tak cukup. Kau harus bertanggung jawab!"

"Ichigo!" terdengar bentakan Rukia dari seberang telepon.

Ichigo diam membisu, ia baru sadar jika dari tadi ia sama sekali tak membiarkan Rukia berbicara, "Ruki…"

"Maaf, aku tak bisa berlama-lama berbicara denganmu di telepon. Sekarang aku hanya meminta satu hal. Jangan pernah mengganti nomor ponselmu!" ucap Rukia dari seberang telepon.

"Ru-Rukia…Kau, kau kenapa? Tentu saja! Kau tenang saja. Aku tak akan pernah menggantinya." Ucap Ichigo mantap namun terisirat sedikit kebingungan di wajah Ichigo setelah mendengar Rukia mengucapkan permohonannya. Ia merasa ada yang aneh. Tak biasnya Rukia berbicara langsung ke intinya. Tapi Ichigo berusaha mengusir kebingungannya itu, mungkin saja Rukia sedang sangat sibuk, jadi wajar jika ia berbicara terburu-buru.

"Baguslah. Aku tak apa-apa. Kau jangan khawatir. Kalau begitu, aku harus bekerja kembali. Bye Ichigo…aku mencintaimu.."

Tuuutt…ttuuuutt…

Rukia menutup teleponnya.

"Ck, setidaknya biarakan aku menjawab kalimat terakhimu.." Ichigo mendecak, "Aku mencintaumu juga! Kau tahu? Amat sangat mencintaimu!" Ucap Ichigo keras pada ponselnya. Ia kemudian melihat barang-barang yang baru saja ia masukan ke dalam tas.

"Kau membuatku hampir gila Rukia." Ucapnya sembari tersenyum geli. Ia kemudian menelpon suruhannya untuk membatalkan pemesanan tiket pesawat. Setelah semua ia rasa telah kembali seperti semula, Ichigo menghempaskan tubuhnya ke kasur empuknya dan tidur dengan nyaman.

.

Minggu pagi. Saat yang tepat untuk bersantai dan menikmati udara segar di taman kota. Ichigo mengayuh pelan sepedanya sembari menyesap aroma dedaunan musim gugur. Sekalipun angin berhembus dan membawa butir udara dingin, Ichigo tetap menikmati acara jalan-jalannya. Setidaknya hal itu cukup efektif menghilangan kepenatannya pada berbagai pekerjaan. Perasaannya menjadi membaik setelah mendengar suara yang sangat ia rindukan kemarin malam. Hal itu membuat moodnya di pagi ini menjadi sangat baik.

Ichigo mendongak menatap langit. Terlihat berawan.

"Sepertinya akan segera hujan..." Ucapnya pada dirinya sendiri. Ia kemudian mengayuh cepat sepedanya untuk segera kembali ke rumahnya. Namun, di tengah jalan ia tak sengaja melindas sebuah kerikil kecil yang tergeletak di tengah jalan. Karena ia mengayuh sepedanya dalam kecepatan tinggi, hal tersebut membuat sepedanya tak seimbang dan oleng. Dan ia pun terbating jatuh ke atas tanah berkerikil.

Ichigo meringis pelan. Ia mengelus pinggulnya yang terbentur dengan kerikil. Dan sontak raut keterkejutan terlihat dari wajahnya saat menyadari ponsel yang ia letakan di saku belakang celananya.

"Akh! Sial!" Ponselnya rusak parah karena benturan yang cukup keras dan tak mungkin lagi diperbaiki.

Ichigo mencoba berdiri. Beberpa orang yang kebetulan lewat segera menolongnya dan memapahnya ke sebuah kursi panjang di pinggir jalan tempat ia bersepeda tadi. Kakinya terlihat lecet dan pergelangannya tekilir. Sepeda yang ia gunakan tadi terlihat sedikit rusak di bagian pedalnya. Ichigo meruntuki kesialannya kini. Dan yang paling ia sayangkan adalah ponselnya yang rusak parah.

.

"Sial! Tak ada seorangpun yang bisa membetulkan ponsel ini! Kalau begini, bagaimana caranya Rukia menghubungiku! Arrggghhhh!" Ichigo terlihat frustasi di kamarnya. Ia meraih gagang telepon. Namun, seperti biasa, nomor telepon Rukia tidak aktif.

Beberapa hari berlalu. Ichigo akhirnya membeli ponsel baru. Ia segera mencoba menghubungi Rukia dengan mengingat nomor ponselnya.

"Aneh! Kenapa nomornya tak terpakai?" Ichigo menjadi sedikit bingung ketika mesin penjawab mengatakan jika nomor yang ia tuju tak dipakai. Ichigo mengecek kembali nomor tujuannya dan ia yakin itu benar. Ia kembali mencoba menghubungi Rukia. Dan hasilnya tetap sama.

"Sial!" Umpat Ichigo. Ia menghela nafasnya, "Kenapa dengan nomornya? Apa dia menggantinya? Jangan-jangan saat ia mengatakan padaku untuk tidak mengganti nomor, ia sudah berencana mengganti nomor ponselnya!" Ichigo akhirnya menyadari kenapa saat itu Rukia menyuruhnya untuk tidak mengganti nomor. Kembali ia mengumpat dan merutuki nasibnya yang sangat menyebalkan, apalagi disaat seperti ini.

'Kenapa semuanya jadi berantakan seperti ini? Brengsek!' Ichigo mengumpat dalam hati. Iamencoba berfikir. Bagaimanapun juga ia harus menemui Rukia untuk tahu keadaannya. Ia kemudian memesan tiket pesawat untuk segera pergi ke Jepang. Namun, ketika ia akan keluar kantor, sebuah mobil berhenti tepat di depannya.

Sosok seorang pria muda bertubuh tinggi dengan jas kantor elegan yang membalut tubuhnya keluar dari jok penumpang. Dan Ichigo ingat siapa itu.

"Halo Ichigo!" Sapanya senang namun masih dengan kesopanan.

"Halo Inoue-sama. Lama tak berjumpa." Sapa Ichigo balik sembari membungkukan badannya.

"Haha…Bagaimana kabarmu? Kebetulan sekali kita bertemu disini. Aku baru mau menemuimu. Maaf tak memberi kabar terlebih dahulu." Ucap pria bermarga Inoue itu. "Kalau begitu bagaimana kalau kita mengobrol di sebuah restoran? Kebetulan hari ini aku sedang luang."

'Sial! Kenapa justru disaat seperti ini?' Ichigo mengumpat dalam hati. Ia sangat ingin menolak, tapi dangat tidak mungkin. Menolak ajakan orang ini, sama saja mencampakannya. Tak ingin membuat orang dihadapannya yang menjadi kunci terbesar kesuksesan perusahaannya ini tersinggung, dengan sangat terpaksa, Ichigo mengiyakan ajakannya.

"Tentu saja. Dengan senang hati." Jawabnya dengan senyum yang terpaksa ia buat setulus mungkin.

Merekapun masuk ke dalam mobil pria bernama Inoue Sora itu dan menuju restaurant yang di tuju.

Lama mereka berbincang membicarakan berbagai hal. Sampai sebuah dering telepon memutus pembicaraan mereka sejenak.

"Ah, maaf Ichigo. Aku angkat telephone dulu." Permisi Sora kepada Ichigo. Ichigo hanya tersenyum mempersilakan.

"Halo….Kau sudah di depan? Masuk saja. Aku bersama seseorang." Piiiiip. Sora kembali memasukan ponselnya ke dalam saku jasnya. Beberapa saat kemudian terlihat seorang wanita cantik berambut kuning kecoklatan dari arah pintu masuk. Ia berjalan menuju meja yang di duduki Ichigo bersama Sora.

"Nii-san!" Panggilnya seraya berlari kecil.

"Orihime! Kemarilah!" Panggil Sora menanggapi.

Ichigo berbalik untuk melihat pemilik suara tersebut. Matanya bertatapan sesaat dengan pemilik mata abu-abu itu. Sampai beberapa detik kemudian gadis itu tersenyum ke arahnya sebelum menghampiri Inoue Sora yang duduk di depannya.

"Nii-san, siapa dia?" Tanya Orihime setengah berbisik.

"Ah, hampir saja aku lupa, dia Kurosaki Ichigo. Putra paman Isshin." Tanggap Sora. "Ichigo, kenalkan. Dia Orihime. Adik perempuanku." Lanjutnya memperkenalkan.

Ichigo mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Orihime.

"Saya Kurosaki Ichigo. Senang berkenalan dengan Anda." Ucapnya sopan.

"Hmm…Ahahaha….Tidak perlu se-formal itu Kurosaki-san. Panggil saja aku Orihime." Tanggap Orihime dengan lembut. "Senang berkenalan denganmu." Ucapnya seraya tersenyum simpul. Terlihat pipinya sedikit merona merah ketika kedua tangan mereka saling menjabat.

Setelah sesi perkenalan berakhir, mereka kembali melanjutkan pembicaraan. Dalam hati Ichigo merutuki dirinya yang harus terjebak disini pada situasi genting seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, Inoue Sora adalah paling pertama dan utama yang harus ia utamakan saat ini. Bagaimanapun juga, ia sama sekali tak boleh mengecewakan rekan bisnisnya satu ini.

.

'Nomor yang Anda tuju, tidak terpakai'

Kembali, mesin penjawab otomatis memberikan pemberitahuan kepada Ichigo jika nomor kekasihnya tak bisa ia hubungi lagi. Entah apa penyebabnya sampai nomor itu sudah tak terpakai saat ini. Padahal beberapa hari lalu ia masih bisa mengirim pesan kepada Rukia. Dan ia sangat yakin jika nomer yang ia tekan tadi sama dengan nomor yang ia hubungi beberapa hari lalu.

OIchigo mengacak rambutnya frustasi. Ditengah kefrustasiannya itu, ponselnya berdering nyaring. Ia melihat siapa nama pengambil itu di layar ponselnya.

'Orihime'

"Halo…" sapa Ichigo.

"Kurosaki-kun, apa kau sibuk hari ini?" Sapa suara di seberang telepon dengan nada malu-malu.

"Kurasa tidak terlalu. Sedikit lagi pekerjaanku selesai. Ada apa Orihime?"

"Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan ke suatu tempat. Apa kau mau?"

"Baiklah….Tidak masalah."

"Benarkah? Kalau begitu nanti ku jemput. Bye…"Tutup Orihime dengan nada riang.

Ichigo memijit pelan pelipisnya, sepertinya berjalan-jalan sejenak cukup ampuh untuk menghilangkan sedikit stress-nya.

Selama berjalan-jalan bersama Orihime, Ichigo bisa melupakan sejenak masalah yang menggelayuti pikirannya. Gadis itu mampu membuatnya menikmati suasana ceria yang ia ciptakan. Meskipun masih malu-malu, namun Orihime selalu berusaha menghibur Ichigo dan membuatnya pemuda itu merasa nyaman bersamanya.

Ichigo tahu, jika gadis inilah yang akan dijodohkan dengannya. Dan ia sadar, gadis beriris abu-abu ini menyimpan ketertarikan padanya. Meski sebenarnya isi otaknya kini sedang dipenuhi dengan Rukia, namun ia mencoba menikmati kebersamaannya dengan gadis ini. Karena ia tak memiliki pilihan lagi. Menolak gadis ini, sama dengan menolak kerjasamanya dengan Sora. Karena meskipun gadis ini tahu Ichigo tak menyukainya dan ia merelakannya saja, namun Sora pasti tak akan membiarkan adik tersayangnya sakit hati. Sebagai kakak, ia sangat paham perasaan adiknya. Jadi ia pasti akan melakukan hal yang dapat mengancam bisnis keluarga Kurosaki. Ditambah lagi ia sama sekali tak bisa meninggalkan Amerika karena kesibukannya yang menumpuk.

Ichigo hanya berharap, semoga Rukia baik-baik saja. Ditambah dengan email terakhir yang dikirimkan gadis itu untuknya sedikit membuat hatinya tenang jika gadis itu baik-baik saja meski kekhawatiran lebih mendominasi. Ia hanya mencoba menikmati kehidupannya saat ini.

.

.

.

End of Flashback Ichigo's Side.

"Jadi seperti itu…" Ucap pria bermabut putih itu begitu Ichigo mengakhiri ceritanya, "Jika aku berada di posisimu, aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya aku jika harus berpisah dengan orang yang kucintaimu. Kau sungguh hebat kawan!" Ucapnya dengan kekaguman pada ichigo. Ia mengambil kembali cangkir kopinya dan menyesapnya kembali.

"Terimakasih atas pujiannya." Ichigo menanggapi dengan santai.

Melihat hari hampir beranjak petang, pria berambut putih itu melirik sekilas jamnya, "Ku rasa aku harus pergi." Ia mulai bernajak berdiri.

"Apa? Kau sudah akan pergi?" Tanya Ichigo.

Pria berambut putih itu mengangguk, "Kereta terakhir hampir tiba. Kalau tidak cepat-cepat, aku bisa ketinggalan. Maaf tak bisa menemanimu berlama-lama disini." Ucapnya penuh penyeselan.

"Kalau begitu aku akan mengantarmu sampai rumah. Bagaimana? Kau mau?" tawar Ichigo, "Itung-itung, rasa terimakasih karena sudah mau mendengar ceritaku."

Pria itu pun tersenyum menyetujui.

Mereka menuju ke sebuah rumah kecil yang berada tak jauh dari pusat kota. Ketika mereka telah sampai, Ichigo baru menyadari sesuatu. Ia menelitik papan nama yang tertempel di pagar tembok rumah tersebut.

'Hitsugaya Toshiro

Sakura st., No.25

Hikaido'

Alamat yang diberikan Renji ternyata tepat berada di hadapannya.

To Be continue…

#Notes:

Hm…aku rasa kalian pasti bingung, kenapa Ichigo gak pake numb lamanya? Jadi gini, Penomeran nomor ponsel itu aku pakai sesuai system Jepang yang lama. Karena kan masih flashback jadul gitu. Jadi, nomer ponsel dan hapenya sudah satu paket. Kalau salah satu rusak, ya udah gak bisa di pake lagi.. gituuu…hehehe…..

oh ya, maaf review kalian gak bisa ku balas satu-satu. Karena banyak banget. hehhee...terimakasih yang sebanyak-banyak-banyak-banyaknya kepada kalian yang udah baca apalagi review! Muaaaacchhh! ,

Ketemu lagi di chap mendatang yaaa... :D