Disclaimer:

Naruto : Kishimoto Masashi

Dear Hinata : Aiiko Aiiyhumi

Warning: AU, OOC, TYPO, CRACK, GAJE, dll.

.

.

.

Author's Note: Hehehehe… (nyengir) *plak*

Sebelum fic ini saya mulai, saya ingin mengucapkan sesuatu kepada suamiku (?) tercinta. Sasuke-kun… Happy birthday-Otanjoubi omedetou-Seingil chukae hamnida… ^o^/

Saya tidak pernah update secepat ini sebelumnya *plak* tapi untuk Sasuke-kun saya usahakan yang terbaik… :* (baca: Gombal)

Saya sangat berterima kasih atas kritikan para readers tentang kesalahan-kesalahan dalam penulisan saya… saya akan berusaha, terimakasih… ^_^

Dan seperti biasa… jangan bosan-bosan membaca dan meriview fic saya ini yah…. Hehehehe

OK, here we go!

Happy reading!

.

.

.

Chapter sebelumnya…

Kelopak mata Sasuke mulai terangkat perlahan, menampakkan onyx-nya yang masih terlihat lemah. Dan di saat bersamaan, dokter yang dipanggil Sakura datang. Ia langsung memeriksa denyut jantung Sasuke.

"Sasuke, apa yang kau rasakan?" dokter itu kemudian bertanya.

"Sasuke?" ayahnya mulai kembali memanggilnya karena Sasuke tidak kunjung menjawab.

"Sasuke? Katakanlah sesuatu!" suara Shikamaru terdengar semakin khawatir.

Sasuke melihat satu per satu orang-orang yang berada di ruangan itu. Kemudian dia akhirnya bersuara.

"Dimana Hinata? Tadi aku melihatnya menangis"

Itulah kalimat pertama yang diucapkan Sasuke setelah ia sadar.

*Flash Back End*

Keduanya masih berada di sana, di jalan itu, masih berpelukan. Sepertinya tidak ada tanda-tanda dari keduanya akan segera melepaskan pelukan masing-masing.

.

.

~O~O~O~O~

.

.

.

Dear Hinata

~Hinata's Rain~

Sasori tidak menemukan Hinata dimanapun. Emosinya benar-benar sudah memuncak, ditambah rasa lelah yang ia rasakan karena berkeliling rumah sakit ini. Ia bingung kemana perginnya gadis itu, awalnya ia pikir Hinata ada di kamar Sasuke, tapi setelah ia ke sana, Sasori tidak menemukan siapapun, bahkan pemilik kamar itu juga tidak ada. Sasori semakin gusar. Ia akhirnya memutuskan kembali ke bangku tempatnya tadi dengan Hinata. Sasori menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kesal. Ia menendang pasir yang tadi ia sediakan untuk membuat istana pasir dengan Hinata dan menggeram kesal.

"Aku tahu pasti akan begini jadinya," sebuah suara sedikit mengagetkannya. Ia menoleh dan mendapati seorang pemuda berambut sama seperti miliknya.

Sasori tidak menjawab, wajahnya terlihat cuek, ia lebih memilih duduk di bangku panjang itu. Gaara berjalan mendekat dan berdiri di depannya.

"Kau datang untuk membawaku kembali ke Australia, itu cuma dalih kan?" Gaara kemudian diam sejenak, "Apa sebenarnya yang kau rencanakan?"

"Aku memang punya sebuah rencana, tapi itu tidak ada hubungannya denganmu …. Kakak!" Sasori memperlihatkan senyumnya. Ekspresi yang sangat kontras dengan dirinya yang sebelumnya, ia bagaikan baru saja memasang sebuah topeng ke wajah—imutnya.

"Dan aku tidak berbohong soal ayah, kau memang harus kembali ke Australia. Oh! Apa aku belum bilang? Kau sepertinya akan mewarisi perusahaannya." Sasori masih mempertahankan senyumannya.

"Bukankah ada kau?"

"Aku?" ia menunjuk dirinya sendiri sambil mengangkat alis. "Tentu saja sebenarnya aku mau, tapi ayah menginginkanmu, bukan aku. Jadi kembalilah!"

Gaara tidak menjawab, entah apa yang kini dipikirkan pemuda itu.

"Tapi, sedang apa kau di sini?" suara Sasori kembali terdengar.

"Matsuri ingin menjenguk Hinata, jadi aku mengantarnya ke sini. Lalu kau?"

"Aku juga datang untuk menjenguk Hinata," ia lagi-lagi tersenyum.

"Sas, mengenai perjanjian kita…"

"Oh… kau masih ingat rupanya. Kenapa? Kenapa?" ia tampak tertarik.

"Aku tidak mau melakukannya."

"Loh? Kenapa? Aku pikir kau tertarik pada gadis itu."

"Aku memang tertarik pada Hinata, tapi karena dia mempunyai sifat yang sama dengan ibuku. Hanya itu."

"Hahahaha." Sasori terlihat tertawa sinis.

"Tapi walaupun aku tidak menerima tantanganmu itu, aku akan kembali ke Australia."

"Aku tahu kau akan menginginkan perusahaan ayah."

"Aku kembali bukan karena itu. Aku hanya berpikir kau benar… Ayah sudah tua, sudah saatnya aku menghentikan kebencian ini."

"Wah, tipe anak yang berbakti, eh?"

Gaara hanya tersenyum simpul. Setelahnya kedua saudara seayah tapi beda ibu itu sama-sama membungkam.

Sampai akhirnya Gaara yang kembali berusuara. "Kau juga kembalilah!"

"Sekarang tidak bisa, bukankah sudah ku bilang aku punya rencana?" kali ini ia memperlihatkan senyum misterius.

"Itu tentang Hinata kan? Sebenarnya apa hubunganmu dengannya? Aku pikir kau tidak mengenalnya."

"Ini bukan tentang Hinata."

"Lalu?"

"Lalu… Sudah ku bilang itu tidak ada hubungannya denganmu."

Gaara akhirnya memilih diam.

"Oh iya, kalau kau benar-benar ingin kembali ke Australia segera persiapkan dirimu, kau harus kembali setelah ujian akhir. Jangan terlalu lama, atau kau akan terlambat dan hanya mendapati mayat ayahmu, hm… maksudku ayah kita, kau tahu kan orang tua sangat rawan dengan penyakit stroke atau yang lainnya. Sudah ya, jaa!" dan dia pergi meninggalkan Gaara di sana.

"Akhirnya kau memutuskan untuk kembali juga," suara Matsuri tiba-tiba terdengar.

"Kau menguping." Gaara berbalik dan mendapati gadis itu tengah tersenyum.

"Tidak, aku hanya tidak sengaja mendengarnya tadi."

"Sudah menjenguk Hinata?"

"Dia tidak ada di kamarnya, dan tidak ada yang tahu dia kemana. Mungkin kita datang menjenguk besok lagi saja."

"Baiklah, kalau begitu kita pulang?"

"Ya."

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Karena merasa ini sudah terlalu lama dan ia juga mulai merasa malu dengan pandangan orang-orang di sekitarnya, Hinata akhirnya bersuara.

"Ehm… Sa..Sasuke se..senpai—"

"Hn?"

"Ki..kita sedang di koridor."

"Lalu?"

"K..kita sedang di koridor ru..rumah sakit."

"Aku tahu."

"Ta..tapi semua orang melihat kita."

"Apa?" Sasuke segera melepas pelukannya pada Hinata, dan ia bisa melihat wajah gadis itu sudah merah padam sekarang. Sasuke menarik tangan gadis itu dan membawanya lari dari sana.

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Jika bisa melukis di langit, Hinata pasti sudah memenuhi langit yang ditatapnya kini dengan lukisan warna-warni dan menuangkan segala kebahagiaannya. Hinata, gadis itu sudah lebih dari sepuluh menit menatap langit, bersama seorang pemuda yang kini duduk di sampingnya, yang juga tengah menatap langit. Mereka kini berada di kamar rawat Sasuke. Hinata senang bisa duduk dengan pemuda berambut raven itu. Memandang langit yang sama, menghirup udara yang sama, dan merasakan hangatnya sorotan matahari sore berdua, haruskah ditegaskan? Hanya berdua!

Hinata mengalihkan perhatiannya dari langit, untuk menatap karya indah Tuhan yang lain, pemuda di sampingnya itu, Uchiha Sasuke. Hinata menyusuri wajah Sasuke melalui tatapan matanya. Sasuke masih tetap memandang langit—sebenarnya pemuda itu tidak sedang benar-benar memandang langit. Hinata terus memperhatikan Sasuke, memperhatikan hal-hal penting dari wajah pemuda itu, yah misalnya bulu matanya yang lentik? Itu termasuk hal yang penting bagi Hinata.

Tanpa sadar Hinata tersenyum kecil, Sasuke yang dahulunya adalah orang yang paling ingin dijauhinya kini menjadi orang yang paling penting dalam hidupnya. Entah sudah terlambat atau tidak untuk mengakui, Hinata sekarang menyadari bahwa dia mulai menyukai pemuda ini—entah itu perasaan suka yang seperti apa. Yang jelas Hinata memang menyukai Sasuke. Hinata sudah memastikannya. Walaupun ia tidak tahu itu terjadi sejak kapan, atau atas alasan apa. Yang dia tahu, sekarang dia tidak ingin kehilangan pemuda ini.

"Apa kau begitu takutnya kehilanganku? Sampai-sampai menatapku selekat itu?"

Hinata gelagapan ketika Sasuke tiba-tiba bersuara, ditambah lagi kini pemuda itu menoleh ke arahnya, dan entah ini perasaan Hinata saja, tapi sepertinya Sasuke semakin mendekat, sehingga membuatnya harus sedikit mundur.

"Atau kau terpesona karena aku semakin tampan?"

Hinata tersenyum menahan tawanya, dan kemudian memberanikan diri membalas tatapan Sasuke.

Untuk sejenak keduanya saling menikmati wajah sosok di depannya, saling mengagumi satu sama lain, meluruhkan semua kenangan-kenangan pahit yang mereka pernah alami bersama. Hanya ini yang mereka inginkan, hanya ada kebahagiaan dan hanya ada mereka berdua.

"Sasuke-san—"

"Hinata—"

Keduanya menyebutkan nama lawan bicaranya masing-masing bersamaan. Mereka kemudian tertawa kecil menyadari kejadian itu.

Ehem! Harus ada seseorang yang memecahkan kecanggungan ini.

"Kau duluan." kata Sasuke akhirnya.

"Ti-tidak, Sasuke-san saja yang bicara duluan."

"Tidak, kau saja, tiba-tiba aku lupa apa yang ingin ku bicarakan." Tentu saja itu cuma alasan Sasuke.

"B-benarkah? Aaa … baiklah. Hm … b-begini senpai—"

"Tunggu! Hinata, panggil aku Sasuke saja."

"Eh? Hm … kalau begitu, bagaimana kalau Sasuke-kun saja?" kata gadis itu dengan malu-malu.

Sasuke menaikan kedua alisnya, ekspresi 'nakal'-nya yang langka itu terlihat sekarang—samar-samar. Tapi Hinata dapat melihatnya, dan itu membuat gadis itu lagi-lagi merona.

"Aaa .. maksudku, supaya—"

"Tidak apa-apa, aku suka itu," Sasuke tersenyum penuh arti. Terlalu penuh sampai Hinata tak tahu apa yang dipikirkan pemuda itu. Memangnya kau pikir Sasuke sedang memikirkan apa Hinata?

"Jadi, apa yang ingin kau katakan?" perkataan Sasuke sedikit membuyarkan lamunan Hinata.

"Eh? Oh itu… aku cuma mau bertanya, apa yang ingin kau katakan waktu itu?"

"Hah?"Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

"I..iya, aku pikir i..itu pasti sesuatu yang sangat penting, sampai-sampai Sasuke-kun menyuruhku menunggu."

"Oh, itu—" Sasuke berhenti sejenak, menimbang-nimban harus mulai dari mana ia bicara. Ia lalu memenuhi ruang paru-parunya dengan udara, kemudian menghembuskannya kembali ke alam. Terlihat sekali ia sedang menenangkan dirinya, entah itu dari kegugupan atau sesuatu yang lain.

Hinata masih setia menunggu kelanjutan kata-kata Sasuke. Sasuke lalu tiba-tiba menatapnya lekat-lekat. Keyakinan terlihat terpancar dari onyx-nya.

Entah kenapa jantung Hinata tiba-tiba berdebar lebih cepat.

"Hinata, apa kau ingat tentang seseorang di masa kecilmu? Sekitar dua belas tahun yang lalu?"

Wajahnya yang tadi dicondongkan karena ingin mendengar perkataan Sasuke, perlahan ia mundurkan yang diikuti oleh perubahan ekspresi wajahnya.

"Sa..Sasuke-kun bilang apa tadi?" Hinata membulatkan matanya tak percaya.

"Sembilan tahun aku menunggumu di London Hinata, tapi kau tidak datang-datang juga. Aku pikir mungkin kau sudah lupa,"

"…."

"Karena itu tiga tahun yang lalu aku datang ke Jepang untuk mengembalikan ingatanmu. Tidak ku sangka akan sesulit ini."

"…."

"Sudah dua belas tahun, bukankah sudah waktunya kau menepati janjimu, Hinata? Mungkin lebih tepatnya janji kita, janji untuk—"

"Hentikan!" Hinata tiba-tiba berteriak. Mengagetkan Sasuke dan membuat pemuda itu menhentikan kalimatnya.

Sasuke memperhatikan Hinata. Napas gadis itu tampak terengah-engah, ia mulai memegangi kepalanya, mencengkramnya dengan kuat.

"Ku mohon hentikan!" sekarang Sasuke menyadari gadis itu tengah menangis.

"Hinata, kau kenapa? Kau kenapa menangis?"

#Hinata's POV

Apa ini? Kenapa ada dua orang yang mengaku sebagai pangeran istana pasir itu?

Siapa dia sebenarnya? Dan apa yang telah terjadi dua belas tahun yang lalu?

Di tengah usahaku menahan sakit yang amat sangat di kepalaku, sayup-sayup ku dengar suara Sasuke. "Hinata, kau kenapa? Kau kenapa menangis?"

"Hey, kamu kenapa menangis?"

"Kau mau memukulku?"

Sasuke menurunkan tangannya, menarik nafas malas "Tidak jadi," lanjutnya.

Setelah Sasuke berkata begitu tidak terdengar lagi suara tangisan dari gadis itu. Tapi masih nampak jelas air mata mengalir dari matanya.

"Hey, berhentilah menangis!" Sasuke menghela nafas lelah lalu mengalihkan fokusnya pada istana pasir yang kini tidak tampak lagi seperti istana, hancur karena tertimpa badannya tadi.

"Hwe…"

Sasuke kembali di kagetkan oleh suara tangisan gadis kecil itu yang tiba-tiba.

"Kau kenapa menangis lagi? Dasar cengeng!"

"Istananya… istananya…" kata gadis itu sambil terisak.

"Iya, hancur." jawab Sasuke singkat.

"Dan.. i-itu gara-gara aku kan? Hiks.. hiks.."

"Tidak apa-apa, aku bisa membuatnya lagi."

Lalu Sasuke terlihat berusaha memperbaiki istananya, tangan-tangan kecil itu tampak tidak selihai sebelumnya, mungkin karena ia sudah lelah. Tampak beberaapa bagian berhasil di perbaiki, tapi sepertinya pasir-pasir itu sudah tidak cukup kuat lagi, sehingga rubuh kembali. Melihat itu, si gadis kecil kembali menangis.

"Hwaa…"

"Sudah ku bilang berhenti menangis, aku sedang berusaha memperbaikinya."

I..itu… yang barusan muncul di kepalaku… itu kenangan masa kecilku…

"A-aku belum pernah membuat istana pasir, aku ingin sekali membuatnya, aku senang melihat istana buatanmu, bagus sekali, tapi aku malah menghancurkannya." gadis kecil itu berusaha menahan tangisnya, dia menggigit bibir bawahnya, dan itu membuatnya terlihat makin imut di mata Sasuke.

"Maafkan aku," lanjut gadis itu dengan mata berkaca-kaca.

"Tidak apa-apa, kamu jangan nangis terus, bagaimana kalo kita bikin istana sama-sama?" tawaran Sasuke membuat mata gadis kecil itu sedikit membulat.

"Benarkah?"

"Hn."

"Horee…"

Lalu keduanya mulai membuat istana pasir bersama.

"Kau anak keluarga Hyuuga yang datang ke rumahku ya?" Sasuke membuka percakapan diantara mereka.

"Iya, namaku Hinata."

"Aku tidak bertanya namamu."

Gadis kecil bernama Hinata itu tidak tersinggung mendengar perjataan Sasuke , dia justru tersenyum.

"Ini khusus untukmu ya, cuma kamu yang boleh meanggilku begini, kamu panggil aku Hinata-Hime, ok?

"Hah? Kenapa begitu?"

"Iya, aku kan putri di istana ini." katanya sambil terus berusaha membentuk pasir-pasir itu.

"Hn, terserah."

"Kamu yang jadi pangerannya, oh ya.. siapa namamu?" Hinata baru menyadari ternyata dia belum mengetahi nama sahabat barunya ini.

Akhirnya. Akhirnya aku mengingatnya.

Aku akhirnya ingat wajah anak itu, rasanya dia mirip…

"Hinata, kau kenapa?"

Aku kembali ke kenyataanku. Ku dongakkan kepala melihat wajah Sasuke yang kini tampak benar-benar khawatir. Wajah itu, terlihat seperti wajah anak itu dalam versi dewasa. Benarkah? Benarkah Sasuke orangnya?

Aneh, kepalaku juga tiba-tiba terasa tidak sakit lagi. Kami-sama… apakah ini pertanda bahwa Sasuke-kunlan orangnya?

Lalu kalau begitu, Sasori-senpai?

Siapa yang sebenarnya telah berbohong?

#Normal POV

Sasuke mulai merasa tenang setelah melihat senyum Hinata. "Kau tidak apa-apa?" mau tak mau Sasuke jadi ikut tersenyum.

"Ja..jadi Sasuke-kun pangeran istana pasir itu?"

"Kau sudah ingat?" Sasuke bertanya antusias.

Hinata hanya diam saja, ia masih merasa ragu. Bukan pada Sasuke, tapi karena kini ada dua orang yang mengaku sebagai pangeran istana pasirnya. Tapi ia tidak mengatakan itu kepada Sasuke, Hinata lalu tersenyum dan hanya mengangguk menjawab pertanyaan pemuda di depannya itu.

"Aku baru tahu kalau dalam satu kamar VIP seperti ini bisa dihuni oleh dua pasien sekaligus?"

Keduanya menoleh mendengar suara maskulin yang berasal dari pintu masuk, dan mereka menampilkan ekspresi yang berbeda ketika pemilik suara itu memasuki kamar rawat milik Sasuke. Si pemilik suara memamerkan senyumnya membuat wajahnya makin tampan.

"Hei! Hei! Sasuke kenapa wajahmu seperti itu? apa kau tidak kangen dengan nii-sanmu ini?"

'Nii-san? Jadi dia kakak Sasuke?' pikir Hinata dalam hati.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Wajah Sasuke terlihat benar-benar tidak suka.

Tapi kakaknya tahu Sasuke hanya berpura-pura seperti itu. "Pertanyaan macam apa itu? kau tahu? Aku langsung terbang dari London ke sini begitu mendengar kau kecelakaan." pemuda berumur dua puluh dua tahun itu berjalan ke arah Sasuke dan Hinata.

"Pembohong!" kini sang adik malah menatap sinis.

"Hahaha … Sebenarnya aku harus menyelesaikan tugas kuliahku dulu, makanya tiga hari kemudian baru aku bisa datang. Ya sudahlah … yang penting kan aku datang?"

"Dan kau datang untuk menertawakanku, eh?"

"Mana mungkin? Tentu saja karena aku mengkhawatirkanmu. Kau sudah tidak apa-apa kan Sasu-chan? Sini! Peluk nii-san…"

"Baka!" Sasuke melempari kakanya yang hendak mendekat ke arahnya dengan bantal sofa.

"Wah Sasukeku sudah besar, padahal dulu kau suka sekali kugendong," kakak Sasuke mengacak rambut adik kesayangannya itu. Sementara Sasuke langsung menepis tangannya dengan kasar.

Hinata tersenyum melihat keakraban mereka. Kakak Sasuke memperhatikan Hinata, "Pantas kau betah di sini, ada cewek cantik sih," katanya menggoda Sasuke. "Hai, aku kakaknya Sasu-chan, Itachi." lanjutnya seraya tersenyum pada Hinata.

"Sa-salam kenal Itachi-san, aku Hinata." Hinata tersenyum tulus.

"Ya, aku tahu." Itachi balas tersenyum.

"Eh? Dari mana—"

"Karena Sasuke tidak akan bersama dengan perempuan selain denganmu."

"Sudah, keluar sana! Aku mau istrahat. Kau mengganggu." Sasuke tidak membiarkan percakapan antara Hinata dan kakaknya berlanjut. Bahaya.

"Baiklah … baiklah, aku mengerti. Sampai jumpa Hinata, jaga Sasu-chan ya!"

"I-iya" Hinata tersenyum kikuk, pipinya masih merona akibat perkataan Itachi tadi.

'Menjaga Sasuke-kun? Ke-kenapa aku disuruh menjaga Sasuke-kun?' rona merah itu semakin banyak saja di pipinya sekarang.

Itachi lalu melangkah, hendak keluar dari kamar rawat itu, namun ketika ia membuka pintu, ia mendapati ada dua orang wanita dengan perbedaan usia yang jauh berdiri di baliknya.

"Kaa-san?" setelah menyadari ternyata salah satunya itu ibunya, ia memeluknya.

"Kapan kau tiba?"

"Baru saja kaa-san."

"Lalu sekarang kamu mau kemana?"

"Barang-barangku masih di hotel, aku mau kembali dan beristrahat sebentar. Lagian, kulihat Sasu-chan kelihatannya sudah baik-baik saja." ia melirik Sasuke sejenak, kemudian tersenyum pada ibunya.

"Ya sudah, kalau begitu istrahatlah."

"Aku pergi dulu ya, kaa-san," Itachi lalu mencium pipi kiri ibunya. Tapi sebelum ia benar-benar pergi, ia sempat melemparkan senyuman dan tatapan aneh kepada seorang gadis yang datang dengan ibunya. Gadis itu hanya tersenyum kikuk menanggapinya.

"Oh, ada teman Sasuke?"

Merasa dirinya yang dimaksud, Hinata segera memberi hormat. "Selamat sore tante."

"Selamat sore, kau pasien di rumah sakit ini juga?"

"I-iya."

Mikoto tersenyum pada Hinata, kemudian ia kembali fokus pada Sasuke.

"Sasuke, ibu mau memperkenalkanmu dengan seseorang," ia memberi isyarat kepada gadis yang berada di belakangnya untuk mendekat. "Ini Ino, dia yang sudah menyelamatkanmu, untung saja ada Ino yang golongan darahnya sama denganmu."

Sasuke melihat ke gadis itu. Sasuke bukan orang yang terbiasa berterima kasih, tapi karena gadis itu sudah menyelamatkan nyawanya, ia akhirnya berkata, "Terima kasih." dengan ekspresi yang tak terbaca.

"Ya, sama-sama." gadis itu tersenyum.

'Kau pertama-tama harus mendapatkan perhatian mereka, baru kemudian mereka akan otomatis menyukaimu. Nah, kalau sudah begitu, rencana kita bisa berjalan dengan lancer.' gadis itu kembali mengingat kata-kata itu di kepalanya, sebelum kemudian kembali tersenyum.

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Keesokan harinya giliran Sasuke yang datang ke kamar rawat Hinata. Pemuda itu sama sekali tidak tampak seperti seseorang yang baru saja mengalami kecelakaan. Ketika ia sampai di sana, ia melihat Hinata sedang duduk di sofa sambil berbicara dengan adiknya.

"Eh, kak Sasuke?" Hanabi yang lebih dahulu menyadari kedatangannya. "Ayo masuk kak."

Sasuke menurut kemudian masuk ke dalam kamar rawat itu.

"Bukannya Sasuke-kun belum sembuh? Kenapa kesini?" Hinata jadi khawatir melihat kenekatan Sasuke.

"Aku sudah sehat."

"Benarkah?"

"Hn."

"Kak, aku keluar sebentar ya." Hanabi kemudian keluar dari sana, ia tidak mau menjadi obat nyamuk diantara dua sejoli—menurutnya ini.

"A-ayo duduklah Sasuke-kun," sebenarnya Hinata juga bingung harus ngomong apa. Entah kenapa dia tiba-tiba merasa gugup.

Sasuke duduk. Hinata gak tahu aja kalau sekarang Sasuke juga gak kalah gugupnya dengan dia. Dari tadi jantungnya itu loh berdebar-debar gak karuan.

"Kau sudah makan?" dan akhirnya pertanyaan klise itu yang terlontar dari mulut si bungsu Uchiha.

Oh ayolah Sasuke… Apa kepalamu terbentur sekeras itu?

"Su-sudah." Hinata mengangguk perlahan.

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Sementara itu seseorang di luar kamar merasa gemas dengan kecanggungan mereka berdua.

Tik tok tik tok …

"S-Sasuke-kun ada perlu apa ke sini?"

Pertanyaan macam apa itu Hinata?

Sasuke tidak menjawab pertanyaan Hinata, ia kemudian terlihat berdiri di depan Hinata dan mengulurkan tangannya. "Hinata."

"Ya?"

"Ayo kita kabur berdua."

"Eh?" Hinata spontan mendongak menghadap Sasuke. "Ka-kabur? Berdua?"

Sasuke tersenyum, cukup lebar, ia bahkan seperti sedang menahan tawanya. "Apa yang kau pikirkan? Aku hanya mengajakmu kabur untuk bermain dan bersenang-senang, Hinata, karena aku bosan di rumah sakit terus. Aku bukannya akan mengajakmu kawin lari," Sasuke sedikit terkikik mengakhiri kalimatnya, ia sangat senang bisa menggoda Hinata.

"Te-tentu saja, siapa bilang aku berpikir kita mau kawin lari?" Hinata baru saja berbohong, sebenarnya dalam otaknya tadi sempat terlintas pikiran itu. Hinata merutuki kebodohannya karena berpikir seperti itu, ia lalu menunduk dengan wajahnya yang memerah.

"Ayo!" Sasuke kembali mengulurkan tangannya yang kini langsung disambut oleh Hinata.

Seseorang yang dari tadi menguping mengembangkan senyumnya.

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Sasuke dan Hinata sekarang sudah berada di depan sebuah taman hiburan, seragam rumah sakit yang tadi mereka gunakan kini berganti dengan celana jeans dan T-shirt dengan sweater ungu untuk Hinata, dan celana jeans dengan T-shirt biru dan jaket hitam untuk Sasuke. Tapi sudah lewat lima menit mereka hanya berdiri di depan gerbang, hanya melihat. Hinata menatap Sasuke sambil mengerutkan keningnya, Sasuke tadi tiba-tiba saja berhenti tapi tidak mengatakan apapun. Padahal tadi dia yang begitu semangat ingin 'kabur' kenapa sekarang malah tidak mau masuk?

Sasuke kemudian menoleh ke arah Hinata.

Hinata menaikan alisnya. "Kenapa?"

Sasuke sedikit menunduk, mengerutkan keningnya, menimbang-nimbang apakah harus mengatakannya atau tidak.

"S-Sasuke, apa kau baik-baik saja?" Hinata mulai khawatir takut kalau-kalau sakit Sasuke kambuh. Dan kalau itu benar orang pertama yang akan dia salahkan adalah dirinya sendiri.

Bukankah seharusnya Sasuke yang bersalah? Mereka kabur kan karena ide aneh yang entah kenapa tiba-tiba bisa keluar dari kepala cowok cool, seksi, pintar dan tampan yang akhir-akhir ini jadi sedikit nakal—menurut Hinata.

"Hinata…" suara Sasuke begitu rendah dan pelan.

"Ya?"

"Kenapa kita ke sini?"

"Memangnya kenapa Sasuke-kun?"

"Aku benci taman bermain."

"Eh?"

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Dan di sinilah mereka sekarang, di tempat yang sesuai dengan keinginan Sasuke. Tempat yang jauh dari keramaian. Kini mereka tengah berada di sebuah pantai. Duduk menatap laut dari kejauhan— dari pinggir jalan raya, duduk di samping mobil Sasuke yang dari tadi membawa mereka untuk 'kabur'. Hinata yang mengusulkan tempat itu, walaupun Sasuke tahu gadis itu sangat ingin ke taman bermain. Sebenarnya Sasuke tidak membenci taman bermain, ia hanya membenci taman bermain yang ramai. Ok ini semakin memusingkan.

Lagi-lagi hanya ada kesunyian, mau bagaimana lagi, keduannya adalah makhluk yang sama-sama tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Tapi apa artinya kencan ini tanpa—tunggu siapa bilang ini kencan? Ini hanya… hanya… jalan-jalan biasa, sungguh.

"S-Sasuke-kun."

"Hn?"

"Kau kan sudah kelas tiga…"

"Hn."

"Apa kau sudah belajar dengan baik?"

Sasuke menaikan alisnya. "Apa kau mengkhawatirkan ujianku?"

Hinata mengangguk perlahan. "Karena Sasuke-kun kecelakaan, pasti ketinggalan banyak pelajaran kan?"

"Kau tidak usah khawatir Hinata. Aku ini Uchiha Sasuke." Ia memampang senyum mengakhiri kalimatnya.

Tahu kah kau? Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang lebih sering tersenyum.

"Sasuke-kun…"

"Hn?"

"Se-setelah lulus, Sasuke-kun akan kuliah dimana?"

"Kenapa?"

Hinata terdiam, dia kan seharusnya menjawab pertanyaan Hinata dulu, kenapa balik bertanya?

"Kamu mau ikut?" tatapan nakal itu lagi.

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang menunjukan sisi lainnya.

"Ti-tidak, maksudku—"

"Ikutlah denganku Hinata!" tiba-tiba tatapan pemuda itu berubah serius.

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke Si pemuda biasa.

"A-aku…"

"Kemanapun aku pergi nanti, ke London atau ke manapun, ikutlah denganku! Hinata-hime…"

Ini pertama kalinya Sasuke memanggil Hinata dengan sebutan seperti itu. Hinata sedikit membulatkan matanya. Ia ingat hanya dia dan anak itu yang tahu panggilan khusus itu, kini Hinata yakin bahwa memang Sasukelah orangnya. Sasukelah pangeran istana pasirnya. Tapi meskipun begitu, ia tak bisa merasa senang, entah siapa yang menyuruhnya berpikir bahwa ia tak pantas untuk itu. Setelahnya, tak ada yang tahu jika mata gadis itu perlahan berubah sendu.

"Sasuke-kun…"

"Bukankah dulu kau pernah berjanji padaku? Bolehkah kalau aku menganggap janji itu masih berlaku?"

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang bisa tiba-tiba menjadi melankolis.

"Sasuke-kun, janji itu.. janji untuk membuat istana pasir bersama… mungkin aku tidak bisa menepatinya."

"Kenapa?"

"Aku tidak tahu, aku yakin sesuatu pernah terjadi padaku. Tapi kenangan bersamamu, aku tidak bisa mengingat sepenuhnya, bahkan aku pernah hampir melupakannya." Sasuke bisa melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca.

"Hinata?"

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang akhirnya tahu apa itu perasaan terluka.

"Aku minta maaf tidak bisa menepati janjiku. Waktu itu kita hanyalah anak kecil, aku bahkan mungkin tidak mengerti apa yang ku katakan waktu itu," jantung Hinata berdebar kencang, ia takut. Ia berharap Sasuke tidak menyadari bahwa ia tengah berbohong sekarang.

Sasuke mengerutkan keningnya, tanda ia tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan gadis di hadapannya ini. "Kau tahu berapa lama aku menunggu saat kau mengingat kenangan itu? kau tahu berapa lama aku menunggumu?"

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang sangat sangat posesif.

"Aku tahu." suara gadis itu mulai terdengar bergetar.

"Kau tidak tahu Hinata."

Bersama dengan kalimat dingin dari Sasuke itu, air mata meluncur dari mata lavender Hinata.

"Sungguh bukan saat membuat istana pasir bersama yang ku tunggu. Siapa yang peduli dengan itu? yang ku tunggu adalah kau Hinata, aku menunggu kau menyadari perasaanku."

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang dulu tak percaya takdir, kini yakin telah menemukan tulang rusuknya.

"Sejak hari itu, sejak kau datang ke rumahku dan merusak istana pasir yang ku buat. Kau selalu mengusik tidurku dengan matamu yang berkaca-kaca, dengan suara tawamu, dengan tangisanmu, juga dengan wajah yang dipenuhi pasir."

Sasuke yang bersama Hinata adalah Sasuke yang bisa saja gila karena hanya selalu mencintai satu nama, Hinata.

.

.

~O~O~O~O~

.

.

Percakapan di pinggir pantai itu hanya diakhiri dengan tangisan Hinata, sebelum akhirnya mereka memutuskan kembali ke rumah sakit.

Dalam perjalanan pulangpun, lagi-lagi tidak ada yang bersuara. Kali ini bukan lagi karena suasana canggung yang menyesakkan tapi menyenangkan itu, tapi atmosfernya kini benar-benar jauh dari kata nyaman.

Lagu yang kini terputar di mobil Sasuke pun tak mampu mencairkan suasana. Sasuke mematikan tape mobilnya dengan kasar. Hinata melirik Sasuke dari balik poninya. Ia tahu bukan akhir yang seperti ini yang diharapkan Sasuke, dan tentu saja dirinya juga.

Hinata tahu ia akan menyesali semua yang telah ia katakan pada Sasuke, karena ia tak pernah berniat berkata seperti itu. Tapi ia tahu ia akan lebih menyesal lagi jika tidak mengatakannya. Ia sadar ini sudah tidak wajar. Sasuke seharusnya tidak menghabiskan waktu remajanya hanya untuk menunggunya. Semua orang tahu siapa Uchiha Sasuke, ia bisa mendapatkan hati setiap gadis yang melihatnya. Sedangkan Hinata, hanya gadis pemalu yang tidak pandai bergaul. Jika pemuda itu benar-benar mencintainya, Hinata tahu berarti dia sudah melukai Sasuke. Hinata tahu, karena ia juga merasakan luka itu.

Masih terlalu banyak hal yang tidak dimengerti gadis itu. Mengapa ia tidak bisa mengingat Sasuke selama ini? Mengapa kenangan itu hampir hilang?

Juga masalah seperti, mengapa Sasori mengaku sebagai pangeran istana pasirnya?

Dia ingin tahu semuanya. Hinata merasa menjadi satu-satunya orang bodoh dalam kisahnya. Ia yakin sahabat-sahabat Sasuke pun pasti tahu.

Hinata tiba-tiba keluar dari lamunannya ketika ia merasakan kecepatan mobil yang ditumpanginya mendadak bertambah. Ia menoleh ke arah Sasuke. Mata pemuda itu tampak menyala dengan kemarahan di sana. Lagi, Sasuke manambah kecepatan mobilnya.

Hinata ingin berteriak menyuruh Sasuke menghentikan mobilnya, tapi tenggorokan gadis itu tercekat. Suaranya bagai hilang. Dan tiba-tiba samar-samar sesuatu muncul di memorinya.

.

.

"Mama, adik menangis." Hinata yang waktu itu berumur empat tahun duduk di jok belakang mobilnya sambil memangku sang adik—yang baru berumur dua tahun yang sebenarnya tadi sedang tertidur. Ibunya yang duduk di jok depan menoleh ke belakang. Di samping sang ibu ada ayahnya tampak mengemudikan mobil dengan cukup kencang karena mengejar waktu untuk menuju bandara. Mereka sudah hampir terlambat.

Kalau saja mereka berangkat satu jam yang lalu, mereka tidak akan terburu-buru seperti ini. Tapi nyonya Hyuuga tampaknya terlalu asyik mengobrol dengan sahabat lamanya, nyonya Uchiha. Tapi sang kepala keluarga Hyuuga juga patut dipersalahkan, karena banyak hal yang ia bincangkan dengan sahabatnya sang kepala keluarga Uchiha, ia jadi pulang terlalu terlambat dari rumah itu. Dan beginilah mereka sekarang, melaju membelah malam dalam mobil yang berkecepatan cukup tinggi.

"Pa, jangan lari kencang-kencang. Hinata takut."

"Maaf Hinata sayang, tapi kita sedang buru-buru nak."

"Ma, adik gak mau berhenti menangis."

"Makanya, kan sudah mama bilang biar mama saja yang duduk sama adik."

"Gak mau, biar Hinata aja yang pangku adik yaa."

"Tapi kasian adiknya nangis terus, sini kasih mama dulu," ibu Hinata tampak mengulurkan tangannya.

"Gak mau, biar adik sama Hinata aja maa…" kini Hinata kecil mulai merengek pada ibunya.

"Hinata, dengarkan kata mamamu, berikan adik pada mama nak," ayah Hinata ikut membujuk Hinata sambil sesekali menoleh ke belakang.

"Tapi paa…"

"Ayo nak dengarkan—"

Piiiiiiip piiiiiiiiip piiiiip… tiba-tiba terdengar suara klakson beberapa mobil.

"Sayang awas!" dan yang terakhir ditangkap oleh indra pendengaran Hinata adalah suara ibunya, sebelum akhirnya semua berubah gelap.

.

.

"Hinata?"

Kemudian secercah sinar mulai muncul di kejauhan, Hinata berlari ke arah sinar itu.

Dekat. Sinar itu semakin dekat. Dan ketika akhirnya ia masuk ke dalam sinar itu, Hinata kembali ke kenyataanya. Dan wajah pertama yang di lihatnya adalah wajah Sasuke.

Kemana ibunya? Ayahnya? Dan Hanabi yang dipangkuannya?

Hinata mengedarkan pandangannya, mencari tahu dimana ia berada sekarang. Dan ia berada di dalam… mobil?

Ia kemudian ingat ia tadi memang sedang berada di dalam mobil dan menuju kembali ke rumah sakit. Kini mobil itu sudah berhenti.

"Ada apa?"

Hinata tidak bersuara. Ia hanya menjawab pertanyaan Sasuke dalam hatinya, sementara matanya mulai berair. 'ibuku. Bagaimana dia?'

"Kau baik-baik saja Hinata?"

'mama…' Hinata hanya ingat begitu ia memanggil ibunya ketika masih kecil.

"Hinata, apa terjadi sesuatu padamu?"

'Ya, sesuatu memang telah terjadi. Dan ma..mama—' Hinata tak mampu lagi menahan tangisnya.

Sasuke mendekat ke gadis yang kini terlihat rapuh itu. Ia perlahan melingkarkan tangannya ke tubuh mungil Hinata.

Meski sudah begitu, pundak gadis itu belum berhenti bergetar. Sasuke lalu mengusap lembut punggungnya, berusaha menenangkan Hinata. Tapi usaha apapun itu sepertinya tak mempan, Hinata masih menangis.

Tangisnya terdengar begitu pilu.

Sasuke berusaha menerka luka apa yang ada di hati Hinata yang membuatnya seperti ini. Sasuke tahu seharusnya sekarang ia sedang kecewa pada gadis itu, tapi kini ia tak peduli lagi. Ia tak peduli walaupun Hinata tidak mencintainya atau pura-pura tidak mencintainya. Yang ia tahu, ia mencintai gadis itu, dan itu sudah cukup baginya. Bukankah ia sudah bertahan selama ini?

Tangisan Hinata belum juga mereda, semakin mengiris hati Sasuke. Ia semakin mempererat pelukannya, ia ingin tahu apa yang membuat Hinata seperti ini?

Dan ia mendapatkan jawabannya ketika mendengar rintihan Hinata di sela-sela tangisnya yang menyayat hati.

"Ma..ma … mama…"

Karena Hinata yang bersama Sasuke adalah Hinata yang kembali menjadi gadis kecil dua belas tahun yang lalu.

TBC

Ampuni sayaaaaa… karena mengupdate begitu lama… T_Tv

Kalo dihitung-hitung sekitar tujuh bulan yaaaaa sejak chap. 6 di update? (kalo ibarat bayi, itu mah udah bisa brojol *plak)

Tidak terasa fic ini sudah satu tahun (horeee… ^o^/) tapi kok baru update 7 chapter yaaa?

Tapi kenapa kok rasanya ceritanya makin rumit yaaa? Padahal saya mau cepat tamatin supaya bisa cepat hiatus. Doain yaaa reader, biar fic ini bisa tamat dengan muluuuusss (?). hehehe

Oh iya, saya udah tepatin janji saya di chap sebelumnya kan buat munculin Gaara. (tapi kok dikit banget yak? -.-"). Yaaaah itu semua saya lakukan supaya fokus sama SasuHina nya. Kapan-kapan Gaaranya saya banyakin deh, sekalian ntar saya adain pairing GaaYhumi *authormimisan* (apaaaa'an sih?)

Hm… apa menurut kalian chap ini masih kurang jelas? Masih belum bisa di mengerti? Masih terlalu banyak misteri? *plak(banyak bacot loe!)

Tenang readers, tunggu jawabannya di chap-chap selanjutnya! Makanya stei chun terus okeeeeyyy!

Ya sudah, reader juga pasti gak mau dengerin saya curhat terus, kalau begitu…

Saatnya bales reviews…

Amenyx, Nana-chan, Ayuzawa Shia, Hizuka Miyuki, Mizuki Kana, narusaku20, uchihyuu nagisa, Ranata-san, ReeMashiba: Makasih ya semuanya udah review… ^^

Hyou Hyouichiffer: Kenapa Ino tiba2 muncul? Apa nanti bakalan ngeganggu hub SasuHina? Emang Sasu waktu kecil manggil Hina apa? Ino muncul karena dia harus muncul *plak. Mengganggu gak yaa? Sebaiknya jangan ya? Ganggu aja deh yaaa. Udah tau kan di atas Sasu manggil Hina apa?

Yamanaka Emo: makasih buat kritik dan koreksinya Emo-chan.. ^^ itu semua berguna sekali.

Master-OZ: yaaa… kesalahan gol. Darah itu memang demi kepentingan cerita. Sy harap itu tidak mengganggu yaaa.. ^^

Kudo: sasori sama sasuke temenan dulu ?o.o untuk jawabannya mungkin sebaiknya kamu baca ulang chap 2. Tapi kalo mlas, aku kasih tahu aja deh. Sasu dan Saso temenan sejak TK, SD, dan SMP. Tapi karena Sasu pas SMA langsung ke Jepang, mereka baru ketemu lagi deh tuh.

Animea Lover Ya-ha: Nea cuman berharap semoga Ino gak jadi salah satu penghalang SASUHINA baut Nea udah banyak penghalangnya jadi gak perlu di perbanyak... Ok… ^^b menurutku juga memang udah banyak banget yaa penghalangnyaaa? Authornya gimana sih nih? *plak* tapi tambah satu lagi penghalang gak apa2 kan? Hehehe *duakk*

Pingping: Kayanya nanti sasu dijodohin sma ino.. yaaaa kalau itu yg kau minta, mungkin akan jadi ide yang bagus, hehehe

RK-Hime gk login: senpai cerita mu bagus. seruu, si saso benar2 bodoh,dy terlalu mementingkan egonya. apakah nanti saso sadar akan perbuatanya? Dia harus sadar, kalau gak, aku gak mau hidup bersama dia lagi… (apaaa'an yhum? -,-") sepandai-pandai tupai melompat pasti akan jatuh juga kok.. ^^

Uchiha Yuki-chan : Hinata kenapa tiap ingat2 masa lalu selalu sakit kepala? Dia punya penyakit? Atau saya aja yg lupa pada plotnya? #plaked… udah ada gambaran kan dari chap ini? Untuk selanjutnya akan di jawab di chap-chap selanjutnya yaah, stei chun terus ok? eh, boleh request? Adain side pairing sasosaku dong.. #sujud2 aduuuh, gak usah sujud2… km pasti SasoSaku Lover yaaaa? Eh, tau gak aku akhir2 ini tiba2 jadi SasoHina Lover looh, tp sedikit bgt fic dr pair itu.. *plak(malah curhat) hm… gimana yaah? Gak bisa kalo Saso sama Saku deh kyknya, ntar sy dimarahin Naru soalnyaaa….

Miya-hime Nakashinki: Hubungan selanjutnya SasuHina gimana nih? Keanya udah ada perkembangan ... Mudah-mudahan tambah maju yaaaaa ...! aaaamiiin… ya! Mudah2an… ^^

Sasuhinalovers: Oya, ._. saya manggil authornya apa ya? Author-san aja deh :P… panggil Yhumi aja yaaah… kalo author-san begitu sy jadi merasa seperti cowo… ^^a

Ceritanya mirip sama kitchen princess #soktau, ada adegan kecelakaan, ada adegan berbohong tentang pangeran, tapi entah kenapa kalau Sasori jadi Sora rasanya gak cocok -?- nah lho, saya meracau tak jelas o.O…. hmmm… kalau boleh tahu Kitchen princes itu apa ya? ^^a *plak(harap maklum, katro)…. Anggap saja sy sehati dengan pengarang kitcen princes itu… hehehe

Ok, sebelum saya akhiri… waaahhh gak terasa udah ramadhan aja,, buat reader semua yang muslim saya ingin mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa… puasanya jangan bolong-bolong yaaaa ^o^/

Well…

Review please?

Gomawoyo ^O^