Yosh! Dengan ini lengkap sudah chapter dari Night Lullaby. Dan sepertinya ini hanya epilog. Hihihi... Terima kasih kepada kamu yang sudah mengikuti cerita ini sampai akhir. ^^

Please enjoy this story, minna!


Terlalu terlambat untuk menyesal
Terlalu terlambat untuk takut
Kau hanya perlu mengangkat wajahmu
Dan percaya pada awal yang baru…


Law berlari membelah hutan sambil membawa Chopper di gendongannya. Werewolf kecil itu terluka parah setelah diserang oleh beberapa vampir pelayan secara bersamaan. Kini yang ada di pikiran Law hanya satu: keselamatan Robin. Jika Chopper tidak ada, maka mau tidak mau ia yang harus membantu persalinan adiknya.

Langkah Law terhenti ketika ia melihat Ace dan Bonney bersama dengan Sanji dan Nami yang kini tengah menggendong tiga orang bayi kecil. Tidak salah lagi, itu pasti bayi-bayi Robin, tapi dimana Robin dan Zoro sekarang?

"Dimana Robin?" tanya Law to the point.

Ace menggeleng pelan, kemudian menghampiri Law dan memegang bahu vampir itu pelan. "Maaf."

"Apa maksudnya ini? Kenapa?"

"Mereka tertangkap, kami tidak sempat menyelamatkan mereka," jelas Ace.

Bruk.

Kuina yang baru saja tiba langsung terjatuh karena lemas mendengar penjelasan Ace. Tertangkap? Jika Zoro dan Robin tertangkap, maka tidak akan ada jawaban selain kematian yang menyambut mereka.

"Tidak mungkin…" ujar Kuina lirih, "…Zoro…"

"Kenapa… KENAPA KALIAN TIDAK MELINDUNGI ROBIN?" Law kalut.

"Tenangkan dirimu, Law."

"Tenang? Tenang, Ace? Adikku akan mati!" Law semakin kalut. "Aku akan mengejar dan menyelamatkan Robin!"

Ace dengan cepat mengejar Law, kemudian menghajar vampir itu hingga terjatuh ke tanah dan Chopper pun terjatuh dari gendongannya. Law menggeram, menatap benci Ace.

"Kau… hanya ingin membunuh adikku, kan?"

"Pikirkan baik-baik! Jika kau ke sana, para petinggi klan vampir dan werewolf pun pasti ada di sana! Kau punya otak tidak?"

"Lalu kenapa? Aku bisa mengalahk—"

"Jangan gegabah! Kita jelas kalah jumlah! Apa kau pikir Robin mengharapkan kematianmu, hah? Tentu tidak! Ia ingin kau tetap hidup untuk menjaga anak-anak yang telah ia lahirkan! Itulah mengapa ia sekuat tenaga melahirkan anaknya!"

"…" Law terdiam.

Ace menghela nafas. "Kita pergi, setidaknya mencari tempat hangat untuk anak-anak itu."

Law masih terdiam. Kuina pun tertegun. Tentu saja, bukan hanya Robin, Zoro pun pasti ingin seperti itu. Membiarkan dirinya dikorbankan, sementara yang lainnya hidup untuk menjaga anak-anaknya.

Malam itu bulan purnama bersinar lebih terang dari biasanya. Senri, Seien, dan Seira tertidur lelap dalam gendongan Nami.

.

.

-Night Lullaby-
[Lullaby 10: Little Roronoa]
Disclaimer : One Piece © Eiichiro Oda
Rated : T
Genre : Romance/Tragedy
Pairing(s) : ZoRob
WARNING : typo(s), OOC, AU, OC
Summary : Tiga puluh tahun yang lalu, terdapat sekolah khusus untuk para vampir dan werewolf, nama sekolah itu adalah Night Lullaby. Sekolah ini akhirnya ditutup karena dua siswanya melanggar peraturan leluhur.

.

.

Beberapa tahun kemudian…

Seorang anak perempuan berambut hijau panjang dengan iris biru tengah membaca buku di bawah sebuah pohon besar. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berambut hitam tengah tertidur sambil memegangi pedang di tangannya.

Tiga puluh tahun yang lalu, terdapat sekolah khusus untuk para vampir dan werewolf, nama sekolah itu adalah Night Lullaby. Sekolah ini akhirnya ditutup karena dua siswanya melanggar peraturan leluhur.

"Hm? Peraturan leluhur?" gumam anak perempuan itu.

"Vampir dan werewolf tidak boleh saling mencintai, itu peraturannya," anak laki-laki berambut hitam lainnya muncul, kemudian duduk di samping anak perempuan tadi.

"Seien nii-san tahu? Hebat!"

Seien hanya tersenyum tipis, kemudian menyandarkan tubuhnya ke batang pohon. Seira kembali membaca buku di tangannya.

Nama kedua siswa itu adalah Nico Robin dan Roronoa Zoro. Seorang vampir keturunan darah murni dan werewolf dari klan terkuat.

"Ini… tidak mungkin!"

"Kenapa, Seira?"

"Kita… adalah anak dari… vampir dan werewolf?"

Iris hitam Seien membulat, kemudian ia mengambil buku yang tengah dibaca Seira. Nico... dan Roronoa? Jelas itu adalah ayah dan ibu mereka jika dilihat dari nama keluarga yang sama, Roronoa.

Seien tertegun, jadi selama ini yang diceritakan oleh orang tua angkat mereka—Sanji dan Nami—tentang orangtua asli mereka adalah vampir dan werewolf. Seien bahkan tidak tahu kalau ia terlahir dari pelanggaran peraturan leluhur.

"Ayo kita tanyakan pada ayah dan ibu!" ajak Seien.

"Iya," Seira mengangguk. "Senri nii-san," Seira menggoyangkan tubuh Senri.

Senri membuka matanya pelan-pelan. "Ada apa?"

"Ayo kita pulang."

"Hn."

Senri merenggangkan tubuhnya, kemudian bangkit berdiri. Seira ikut berdiri, kemudian membersihkan rok terusan bermotif bunga kesayangannya. Seien pun ikut bangun, kemudian mengajak Seira pulang dengan menarik tangannya lembut. Senri hanya menguap, kemudian berjalan di belakang mereka.

Beberapa tahun lalu, semuanya memutuskan untuk pergi jauh dari London, kalau bisa, di luar Inggris agar keadaan anak-anak Roronoa itu aman. Namun, karena tidak memungkinkan bagi mereka untuk menggunakan pesawat, akhirnya lagi-lagi mereka menetap di kota kecil pinggiran negara Inggris. Setidaknya jaraknya sangatlah jauh dari London dan Nico Olvia tidak akan mudah menjangkau mereka.

Ace dan Bonney memutuskan untuk keluar dari 'kelompok' itu dan mulai mencari 'permasalahan' baru lagi untuk diselesaikan—bagi mereka tidak selamatnya Zoro dan Robin adalah kegagalan terbesar, meski yang lainnya memaafkan sepasang werewolf itu. Kuina tidak berani pulang ke rumahnya, ia memutuskan untuk tinggal bersama dengan Chopper di sebuah rumah. Law tinggal sendirian. Sementara Sanji dan Nami pun memutuskan untuk menikah beberapa tahun setelah meninggalnya Zoro dan Robin.

Dan kini ketiga anak itu tiba di rumah. Pohon-pohon jeruk di halaman menyambut mereka. Senri menguap tidak perduli di belakang adik-adiknya, sementara Seien dan Seira membuka pintu rumah.

Tampak Nami yang kini tengah hamil besar menyambut mereka dengan senyum, kemudian Seira menghampiri 'ibu'nya dan menempelkan telinganya ke perut Nami, tangan mungil Seira bergerak memeluk Nami.

"Aku pulang," ujar Seira.

"Selamat datang."

"Aku ingin adik bayi cepat lahir."

"Kalau begitu kau harus menunggu satu bulan lagi, Seira," seorang pria berjaket hitam kuning muncul dari ruang tamu.

"Paman Law!" panggil Seira, kemudian menghampiri Law, pria itu langsung menggendongnya.

"Hei, cantik."

"Paman! Ayo kita berburu lagi!"

"Seira..." tegur Nami, "kau baru berburu minggu lalu, kan?"

"Tapi, Bu..." Seira memandang Nami puppy eyes.

"Cara yang sama lagi," Senri berkata cuek, kemudian berdiri bersandar pada tembok.

"Kau tidak boleh nakal, Seira," Law mengacak rambut Seira, "kita takkan berburu sampai adik kecilmu lahir."

"Yah..."

Seira tampak kecewa, namun Law langsung mengelitikinya agar anak itu tertawa lagi. Setelahnya, Seien berdehem, dan wajahnya berubah serius, Senri hanya mengangguk, kemudian Law berhenti bercanda dengan Seira.

"Bu... apa benar... kita terlahir dari vampir dan werewolf?" tanya Seien, nadanya terdengar serius.

Nami terdiam, akhirnya anak-anak ini tahu darimana mereka lahir, padahal sudah bertahun-tahun Nami, Sanji, Law, Kuina, dan Chopper menyembunyikan dari mereka. Nami sering bercerita tentang Zoro dan Robin, namun tidak pernah menjawab ketika Seien atau Seira bertanya tentang klan orang tua mereka.

"Itu..."

"Ya, kalian terlahir dari pelanggaran perturan leluhur," Sanji yang baru selesai memasak di dapur menjawab pertanyaan Seien.

"Sanji-kun..."

"Sudah waktunya mereka tahu, Nami-san..." Sanji menghampiri sang istri.

"Tidak, aku sudah tahu sejak lama," ujar Senri, kemudian menghela nafas, "bagaimana bisa aku yang seorang werewolf memiliki adik vampir?"

"Werewolf?" Seien dan Seira kaget.

"Memangnya aku pernah bilang kalau aku itu vampir?" tanya Senri kalem.

"Tapi, aku dan Seien nii-san kan..." Seira turun dari gendongan Law, "...kupikir Senri nii-san pun vampir."

"Lalu... apa kalian akan membenciku karena aku werewolf?"

Seira berlari memeluk Senri, kemudian menangis dalam pelukan kakak sulungnya itu. Walau Senri berbeda, tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikiran Seira untuk membencinya. Seien mengangguk pelan, kemudian memandang kedua 'orang tua'nya.

"Jangan menangis, Seira. Kau tampak aneh dengan wajah sedih," ujar Senri.

"Onii-san..." Seira melepaskan pelukannya, "...aku takkan membencimu walau kita berbeda."

Senri tersenyum, kemudian mengacak rambut Seira dengan lembut. "Terima kasih, aku senang mendengarnya."

"Kau tetaplah bagian dari kami, karena kita kan keluarga," kata Seien.

"Aku tidak tanya pendapatmu," ejek Senri, "tapi, terima kasih," anak laki-laki itu tersenyum lagi.

"Cih, dasar pendekar bodoh."

"Kau mengajakku bertarung, hah, Tuan Sok Tahu?"

"Apa?" tantang Seien.

Sanji dan Nami hanya bisa tersenyum, begitupun Law. Pertengkaran kecil antar saudara itu mirip dengan pertengkaran Zoro dan Sanji dulu. Tidak ada yang terlalu berubah. Seira mirip dengan Robin, dan Senri sangat mirip dengan Zoro, sementara Seien adalah perpaduan keduanya. Anak-anak itu... adalah keajaiban kecil.


Matahari baru akan beranjak bangun saat Seira tengah melamun di kamarnya, memperhatikan pigura yang terletak di meja kecil dekat tempat tidurnya. Foto itu... adalah dirinya dengan kedua kakaknya. Seira tidak ingat kapan foto itu diambil, ah, ia tidak seperti Seien yang begitu brilian untuk mengingat sesuatu.

Seira kemudian mengambil buku yang semalam ia baca, di sana ada foto ibu dan ayahnya. Ibunya adalah wanita yang cantik sekali, rambutnya raven—sehitam malam, mirip Senri dan Seien. Irisnya biru seperti miliknya, dan senyumnya begitu tulus, menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Dulu Nami—yang menjadi ibu bagi mereka bertiga—sering menceritakannya, namun sang ibu jauh lebih cantik dari yang ia bayangkan.

Cklek.

Pintu kamar Seira dibuka, gadis kecil itu cepat-cepat meletakkan kembali buku yang ia ambil dari laci, kemudian menarik selimutnya sampai batas leher. Nami yang baru saja masuk hanya tersenyum melihat tingkah Seira.

"Seira."

"I...bu."

"Tenanglah, walau kau tahu yang sebenarnya, Seira tetap anak ibu."

"Benarkah?" Seira membuka selimut yang menutupinya.

Nami mengangguk lembut, kemudian duduk di pinggir tempat tidur Seira, tangannya bergerak menelusuri helai-helai rambut hijau Seira. Gadis kecil itu tersenyum dan mengelus-elus perut Nami dengan tangannya.

"Ibu tidak akan membuangku walau adik kecil nanti lahir?"

"Tentu tidak, Seira," Nami tertawa kecil, "ibu dan ayah sangat menyayangi kalian, sama sekali tak terpikir untuk membuang kalian."

"Aku senang," Seira tersenyum lebar.

Nami mengelus perutnya dan memegang tangan mungil Seira yang ada di sana.

"Bu... apakah ibuku wanita yang pintar?"

"Ya, ibumu pintar sekali, Seira, ia juga sangat baik hati."

"Begitu? Ia wanita sempurna," Seira terkagum-kagum.

"Hm, Robin wanita sempurna yang jatuh cinta pada pria tak sempurna."

"Hmm... kenapa ibu bisa sampai jatuh cinta pada ayah, ya?"

"Ketulusan, Seira."

"Ketulusan?" Seira menelengkan kepalanya.

"Ya, hanya ayahmu yang menerima ibumu tanpa memandang statusnya sebagai vampir keturunan darah murni yang sangat dihormati, dan itulah yang diinginkan ibumu."

"Waah... indahnya."

"Nah, sekarang, tidurlah."

Seira mengangguk dan memejamkan matanya, membiarkan Nami mengelus rambutnya dengan halus. Tak sampai lima menit, ia sudah terlelap ke alam mimpi, persis sekali seperti ayahnya. Nami kemudian mengecup kening Seira dan keluar dari kamar gadis kecil itu.

Nami beranjak menuju ke kamar Seien dan Senri yang terletak di samping kamar Seira. Wanita berambut oranye itu membuka pintu cokelat besar dan langsung dihadapkan pada tempat tidur susun. Seien sudah tertidur lelap di tempat tidur atas, sementara Senri masih terlihat gusar dan tidak bisa tidur.

"Padahal ibu pikir kau sudah tidur..." Nami menutup pintu, "...Senri."

"Tch. Ibu seperti tidak tahu saja."

Nami tersenyum, kemudian mendekati sulung dari tiga bersaudara itu. Senri bergeser sedikit agar ibunya dapat duduk di pinggir tempat tidurnya.

"Bagaimana kalau kau jauh dari ibu?"

"Aku akan minta Seira melakukannya."

"Kau tidak malu?"

"Tidak, selama Seien tidak melihat."

Nami tertawa kecil, yang disambut dengan dengusan Senri.

"Ke sini, sayang."

Senri mendekatkan dirinya pada Nami, kemudian menenggelamkan wajahnya di pinggang Nami. Wanita berambut oranye itu tersenyum kecil, lalu mengacak rambut Senri, persis memperlakukan seekor anjing. Senri memang sangat mirip dengan Zoro, ia sangat suka dibelai, terutama sebelum tidur.

"Tidakkah kau ingin tahu tentang orang tuamu, Senri?"

Senri menggeleng, sedikit menggelitik pinggang Nami.

"Tidak ada yang bisa dibanggakan dari ayah."

"Dia pendekar pedang yang hebat, loh."

"Tidak. Kalau ia hebat, ia takkan mati."

"Senri..."

"Bahkan ayah tidak bisa melindungi ibu."

"..."

Senri mengangkat wajahnya, kemudian menatap Nami dan menguap. Matanya tampak sayu, sepertinya ia sudah mulai mengantuk.

"Ayah payah, tapi aku akan menjadi lebih baik darinya. Aku akan melindungi semuanya dengan tanganku," ucap Senri sebelum menutup matanya.

"Itu... bagus."

"Tapi, aku tetap menyayangi..." Senri terlelap, "...ayah dan ibu."

Nami tersenyum tipis dan membelai rambut Senri lagi.

Tidak ada satupun dari anak Zoro dan Robin yang membenci kedua orang tua mereka. Seira sangat mengagumi ibunya, Senri sehebat ayahnya, dan Seien menuruni kepintaran sang ibu. Benar, Nami takkan merasa bersalah lagi. Terlalu terlambat. Ia hanya perlu memikirkan ke depan. Kini dan seterusnya...

.

.

— おわり —

.

.

#curhat: Tidak sempat memperhatikan typo. Jadi tolong beritahu bila menemukannya, minna. Maaf kalau akhir ceritanya jadi begini. Well, sempat berhenti untuk menulis karena Cha harus ujian di Negri Sakura. Hihihi... Saat kembali ke Indonesia, banyaaaak banget ide yang muncul. Di sana indah banget. Negara yang nggak akan terlupakan deh kalau ke sana sekali seumur hidup (kecuali soal pemandian umunya, itu shocking theraphy -_-a)

Keterangan:

Roronoa Senri: Tertarik pada aliran santoryuu dan akhirnya mempelajari sendiri. Temperamental dan kekanak-kanakan seperti Zoro, namun ia sangat menyayangi adik-adiknya, terutama Seira. Sangat sering terlibat pertengkaran mulut dengan Seien. Hobinya dibelai dan berlatih pedang.

Roronoa Seien: Tertarik pada ilmu pengetahuan, terutama sejarah. Cenderung moody dan tidak sabaran, tapi bisa menjadi dewasa di saat-saat tertentu. Suka bertengkar mulut dengan Seien, dan sering menjadi korban kekesalan kakaknya itu. Buta arah. Hobinya membaca dan tersesat.

Roronoa Seira: Gadis kecil yang ceria dan senang mempelajari sesuatu yang membuatnya tertarik, suka mendengarkan dongeng dan beberapa kali terlihat membaca buku sejarah. Sangat menyayangi kakaknya dan dekat dengan Senri. Hobinya melamun.

Nee, mind to RnR, readers?