Desclaimer :

Naruto © Masashi Kishimoto

Rated : M

Pair : SasuSaku (sedikit SasoSaku)

Summary: Sasuke yang kalah saat bermain dengan teman2nya mendapat tantangan untuk mendapatkan Sakura, teman sekelasnya yang selama melihat Sasuke dari jauh. Bagaimana hub Sasuke & Sakura begitu Sakura mengetahui Sasuke menipunya?

Holla! Makasih ya buat yang REVIEW!

Gimana chap kemarin? Belom, aku tau gak kerasa feel apa-apa, dan aku kembali lagi dengan chap 11 ^^

MUOHOHOHO Maaf yang merasa updatenya kurang cepet :D

Yosh! Happy reading~

.

.

.

.

.

"Ya? Kau kira siapa?" Orang itu tersenyum manis dan berjalan mendekati Sakura. "Sedang apa kau di sini?"

Sakura kembali mengalihkan pandangannya pada pemandangan di luar jendela kelas di lantai 3 ini. Semua terlihat dengan jelas dari sini dan terlihat lebih luas, lebih bebas. "Bukannya aku yang harusnya bertanya?"

"Hanya merindukanmu, apakah ada yang salah? Bagaimana? Apa saja yang kau kerjakan hari ini?" tanya Sasori penuh perhatian. Ia berjalan mendekat sekali lagi dan berdiri tepat di samping kanan Sakura. Mata coklatnya ikut memandangi segala pemandangan yang ada di luar sana. Kaca jendela yang sengaja dibuka oleh wanita itu membuat angin-angin menerpa wajahnya -menimbulkan kesejukan dan ketenangan.

"Tidak, tak salah kok. Aku hanya sempat jalan-jalan dengan gayacosplay dan menonton band Sasuke-kun dari sini," ucap Sakura sambil terkekeh pelan -sekedar ingin mecairkan suasana di antaranya dan Sasori yang sempat kaku.

Tangan Sasori mengepal kuat. Lagi lagi lagi lagi saja nama pria itu yang keluar dari mulut Sakura. Ia menahan emosi yang selama ini selalu saja ia pendam -yang selalu ia sembunyikan dihadapan sahabat kecilnya itu. "Apa kau masih marah padaku?" tanya Sasori ragu.

Sakura sempat diam, namun ia pun langsung menggeleng mantap. "Tidak, kenapa harus marah seperti itu?"

"Kau bukannya tersinggung dan benci padaku sebab perkataanku ini, hm? Kau bahkan tidak percaya padaku 'kan?"

"Ah tidak, itu sudah lewat jadi lupakan saja. Hm, aku percaya sekali padamu Sasori, tapi kalau mengenai Sasuke-kun-" Sakura pun menoleh, menatap Sasori dan tersenyum manis. "-maaf ya."

Tek. Tubuh pria itu seolah bergerak dengan sendirinya. Sialan. Apa maksud Sakura? Orang yang dicintainya dan disayanginya itu percaya padanya tapi kalau itu semua mengenai Sasuke bahkan ia menjadi tak dapat-

-dipercaya?

Senyumnya itu? Kenapa mudah sekali ia berikan pada sosok yang tengah berperang dengan dirinya sendiri. Otaknya meminta diam sebab kehabisan akal tapi tubuhnya seorang akan berontak -dalam kendalinya sendiri. Tangan besarnya yang lembut bergerak hendak mencengkram kedua bahu mungil wanita di hadapannya itu dan menarik tubuh mungilnya mendekat. Jantung Sakura pun terhenti seketika dan matanya pun terbuka lebar begitu merasakan bibir lembut -membawa kecupan- mendarat pelan di atas bibir manis miliknya. Badannya kaku seketika mendapati Sasori yang tengah memejamkan matanya dan mencium lembut dirinya. Tak ada paksaan atau pun hasrat yang membuncah seperti ciuman-ciuman yang Sasuke seringkali berikan padanya. Tangannya dengan kaku pun bergerak dan terangkat -hendak melepaskan diri dari Sasori dan sege-

.

.

.

"Sakura?"

-ah! terlambat sudah.

.

.

Do You Love Me?

(Uchiruno)

.

.

.

"Apa yang sedang kalian-"

"-seperti yang terlihat."

"Bu-bukan begitu Sasuke-kun!"

Hening pun tercipta.

Sasuke nampak terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya ini. Bagaikan terkena shock thyraphy melihat Sakura yang notabenenya adalah kekasihnya tengah terlihat berciuman dengan laki-laki yang paling ia benci di dunia ini.

Lalu Sakura –wajahnya merah dan matanya berkaca-kaca. Otaknya serasa kosong –tak tahu harus berkata apa, tak tahu harus bersikap bagaimana.

Pria berambut merah terang itu hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tangannya masih mencengkram lengan Sakura yang kaku dan membatu.

"Brengsek! Apa kau yang lakukan dengan Sakura, hah!?"

Si Bungsu Uchiha itu mulai naik pitam. Emosinya mulai naik, naik dan naik ke ubun-ubun kepalanya. Ia pun membentak Sasori cukup keras. Mata onyxnya memantulkan tatapan muak melihat Sasori yang memasang wajah datarnya –terlihat sok polos dan tak berdosa.

"Sa-sasuke-kun! Tunggu sebentar, jangan marah dulu!" Sakura mulai terisak. Ingin rasanya ia berlari menuju Sasuke berdiri, tapi sayang sekali –cengkraman tangan Sasosi cukup kuat menahannya.

"Lepaskan Sasori," ucap Sakura memaksa. Ia terlihat begitu resah mendapati tatapan Sasuke yang sulit ia artikan.

Sasori pun semakin menguatkan genggamannya. "Kenapa? Kau mau berlari menuju pria brengsek itu dan mencoba menjelaskan semuanya?"

"Sasori! Berhenti menjelekkan Sasuke di depanku, kumohon!" Sakura setengah berteriak. Sungguh ia muak dan murka pada sikap Sasori yang sungguh membuatnya kecewa. Tapi, seberapa marahnya ia pada pria yang tengah menahannya ini, Sasori tetap sosok yang tak bisa dimusuhi oleh wanita ini.

Rahang Sasori pun mengeras. "Untuk apa kau memohon padaku untuk laki-laki itu, Sakura!? Dia memang brengsek. Dia itu mempermainkanmu, bisakah kau percaya padaku!?"

Sakura menatap Sasori dalam. Ia melihat tidak ada kebohongan di sana –bahkan yang Sakura lihat adalah sirat keputusasaan di mata sahabatnya itu.

"Sasuke, apakah Sas-"

"-apakah yang dikatakanku benar? Kau mempermainkan Sakura 'kan? Karena kau kalah bermain dengan teman-teman bodohmu itu kau menjadikan Sakura barang taruhan 'kan? Jika kau sudah berhasil mendapati wanita ini seutuhnya maka kau selesai menjalani hukuman bodohmu itu 'kan!?"

Onyx hitam Sasuke nampak membulat sempurna. Tangannya yang mengepal kesal menjadi lemas dan dingin sekejap.

Apa-apaan ini?

Semua terucap di hadapan Sakura?

Apakah ini saat semua kebenaran terkuak?

"IYA KAN UCHIHA?! JIKA KAU BENAR MENYAYANGI WANITA INI, KATAKAN!"

Sakura memejamkan matanya. Ia terkejut mendengar Sasori yang berteriak sekeras itu. Tubuhnya yang ramping itu mulai bergemetar. Ia pun langsung menghentakkan tangannya sekuat-kuatnya dan berhasil melepaskan cengkraman Sasori yang begitu perih dan panas.

Surai merah mudanya tersibak ke sana kemari mengikuti tempo kakinya yang berlari menuju Sasuke. Wanita itu langsung memeluk Sasuke yang nampak membatu di sana. Tangan mungil itu meremas kuat seragam penuh keringat yang Sasuke kenakan.

Bulir-bulir air mata pun mulai mengalir di pipinya yang memerah. "Sasuke-kun, maaf. Maafkan aku, maafkan Sasori. Sungguh aku tak akan men-"

"-benar."

…..

Dunia serasa berhenti sejenak bagi seorang Sakura Haruno. Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk saat ini.

Benar!? Apanya?

"E-eh!? A-apanya yang benar Sasuke-kun?"

Renggutan Sakura terasa mengendur. Ia pun memundurkan tubuhnya satu langkah dan menatap kekasihnya yang tak sedikit pun menatapnya.

"Apanya Sasuke-kun!?"

Rasanya sulit sekali melontarkan kata-kata itu dari tenggorokkannya. Tapi bukankah ia sudah berjanji bahwa akan mengatakannya hari ini pada Sakura?

Sasuke pun menghela nafas panjang dan berat, jantungnya berdetak sangat kencang. "Yang Sasori bilang –benar."

Sungguh, rasanya ia tak mampu bernafas dan jantungnya berhenti berdetak.

Sakit.

Perih.

Pedih.

Sungguh-sungguh perih.

"Sakura, gomennasai."

"Diam!"

Sakura menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan telapak tangannya. "Diam, Sasuke-kun! K-kau bohong 'kan? Iya 'kan? Bercanda?"

Sasuke menepuk keras dada kirinya –hendak mengusir rasa sakit yang luar biasa yang mulai berkembang mengerubungi hatinya. "Sakura a-"

"AKU TAK MAU DENGAR!" jeritnya histeris –sekarang saatnya Sasuke yang tercekat.

Tak ada suara isakkan yang berarti. Sakura tak mengeluarkan suara apapun, tapi air mata mengalir bebas dari matanya. Tubuhnya sesaat lemas dan dirinya pun mulai menekuk kakinya perlahan. Ia terjatuh perlahan.

"Apa-apaan tadi itu? Tadi yang aku dengar itu apa?"

Sakura menundukkan kepalanya dalam-dalam –menenggelamkannya dalam tekukkan lututnya.

"Sasuke-kun…i-itu apa?" suaranya terdengar begitu parau.

Sasori terdiam. Bukan hanya Sakura atau Sasuke saja, Sasori pun merasakan apa yang mereka berdua rasakan.

Perih.

Hatinya bagaikan diiris.

Wanita yang dicintainya menangis karena pria brengsek.

Wanita yang dicintainya menangis karena ucapannya.

Wanita yang dicintainya menangis karena ia tak mampu melindunginya.

Kenapa begitu sakit?

Dan untuk meredam rasa sakitnya, pria berhati lembut itu hanya bisa mencoba menenangkan emosinya dan juga mengigit bibir bawahnya –lukisan rasa simpati yang ia rasakan.

Tangan besar itu meraih bahu mungil Sakura yang gemetar. Sayang –tangan itu ditepis kuat oleh Sakura. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum getir. Emeraldnya yang mulai keruh bertemu dengan onyx yang menajam.

"Sakit…Sasuke-kun."

"Maaf Sakura."

"SAKIT SASUKE-kun! PADAHAL AKU PERCAYA PADAMU! AKU MEMBELAMU DARI SASORI!"

Mulut wanita itu terbuka nampun terasa kaku untuk mengerluarkan kalimat selanjutnya. Ia sudah tak bisa berpikir dengan baik sekarang.

Sakura pun langsung bangkit berdiri, mendorong tubuh Sasuke dengan kencang dan segera berlari sekuat tenaganya.

"Sakura tunggu!" Sasuke langsung memutar balikkan tubuhnya ke arah pintu dan segera berdiri tepat di muka pintu.

Air mata yang berlinang deras di wajah Sakura yang memerah dan juga suara tangisan pilunya yang terdengar menggema sepanjang lorong lantai tiga membuat hati pria berambut raven itu makin teriris.

"Sakura sudah kukatakan tunggu!" sekali lagi Sasuke berteriak –suaranya menggema sepanjang lorong yang sepi itu.

"Diam bodoh. Jangan meneriaki Sakura, kau sudah cukup menyakitinya." Sasori menginterupsi dari balik tubuh pria Uchiha itu.

Sasori menerima tatapan tajam Sasuke yang menusuk namun juga terlihat sendu di saat yang bersamaan. "Brengsek! Kenapa kau harus memberitahunya, hah!? Kau tidak punya urusan atas hubungan kami!"

Sial.

Rasanya darah terpompa cepat ke ujung kepala. Wajah Sasuke mulai memerah menahan amukannya, nafasnya tersenggal-senggal. Ingin sekali rasanya mengamuk dan menghabisi pria berwajah polos yang ternyata membahayakan dirinya. Tapi sebelum hal itu ia lakukan tiba-tiba wajah memelas Sakura terlintas di benaknya. Bagaimana gadis itu memohon padanya, bagaimana ekspresi wanita itu saat mencemaskan dirinya saat mengamuk cukup membuatnya bisa menahan diri. Tapi maaf, untuk kali ini-

BUAGH!

Tubuh Sasori menghantam tembok yang ada di sampingnya dengan keras. Tanpa aba-aba begitu menghantam tembok itu tubuh Sasori langsung terjatuh lemas. Tak hanya itu, Sasuke tanpa ragu langsung menendang perut pria berwajah polos itu dengan kencang dan kemudian membungkukkan tubuhnya dan segera merenggut kerah seragam putih Sasori dan menariknya kencang sehingga pria berambut merah terang itu menatap Sasuke.

Tak tinggal diam, Sasori pun menarik kerah milik Sasuke juga cukup kuat. "Kalau menyangkut Sakura semua menjadi urusanku!"

"Kau tak perlu menghiraukan apa yang sudah menjadi milikku. Aku tak menyukainya, kau paham!?" Suara Sasuke terdengar serak. Ia berteriak kencang sekali –entah sampai mana suaranya akan terdengar.

Sasori kembali memasang wajah datarnya. Ia menatap Sasuke datar dan tersenyum kecil kemudian. "Kurasa sudah bukan milikmu lagi. Aku akan menjaganya jauh lebih baik darimu –tenang saja."

Sasori mendorong tubuh Sasuke yang membatu. Ia pun bangkit berdiri dan membenarkan seragamnya yang sempat acak-acakkan dan langsung berlari menyusul Sakura yang sudah menghilang dari padangan mereka sejak tadi.

~oOo~

"Arg!"

Lantunan lagu yang keluar dari speaker handphone miliknya tidak membuatnya berhenti menangis –justru semakin kencang tangisnya terdengar.

"Kenapa masih menghubungiku!?" Sakura pun langsung memasukan handphone miliknya ke dalam laci kayu yang ada di samping ranjangnya.

Sejak kejadian tadi sore Sakura langsung pulang ke rumahnya dan mengunci diri di kamar. Tangannya terus bergetar dan air mata tak kering-kering mengalir dari mata emeraldnya. Rasanya sesak –sulit sekali bernafas. Tak pernah seumur hidup putri Haruno ini merasa begitu menyakitkan. Sesakitnya saat ia bermusuhan dengan Ino tapi tak pernah sehancur ini. Entah mengapa dada kirinya berdenyut kencang yang sangat perih dan menyakitkan.

Sialan.

Kenapa tatapan lembut sepasang onyx itu mendadak melintas di benaknya –membuat dadanya semakin nyeri dan nyeri. Bahkan teriakkannya yang terdengar pilu tidak meringankan bebannya. Ia merasa lemas. Matanya panas dan hanya untuk bicara saja terasa susah. Hanya isakan dan isakan yang bisa ia elukan.

Di dalam kamarnya yang terasa dingin ini ia meringkuk –memeluk lututnya erat. Untung saja hari ini kedua orangtuanya sedang pergi jadi tidak ada sosok wanita dewasa yang akan mengkhawatirkan dirinya.

Bukan hanya suara deringan teleponnya yang tidak berhenti berbunyi, tapi suara ketukkan pintu juga terus terdengar.

"Sakura, buka pintunya. Ayolah!" Suara berat dari balik pintu terdengar. Kalimat-kalimat rujukkan pun terdengar sejak tadi. Namun tak ada juga kata-kata yang membuat Sakura meruntuhkan pendiriannya untuk membukakan pintu yang ia kunci dari dalam.

Tak ada respon yang berarti.

Lagi-lagi Si Pemilik Suara menghela nafas frustasi. Sialan. Semua gara-gara bocah Uchiha itu.

Sasori –yang langsung mengejar Sakura sedari tadi tetap setia mengetuk pintu kamar wanita merah jambu itu. Mengikuti Sakura bukan hal yang salah. Wanita itu langsung berlari masuk ke dalam rumah tanpa mengunci dan menutup kembali pintu kediamannya yang sederhana itu. Hah, bagaimana jika ada orang jahat yang masuk?

"Sakura katakan sesuatu. Aku sangat khawatir. Berhentilah menangis, kumohon."

Sudah hampir empat jam ia menangis. Sakura Haruno –orang yang terkenal dengan kecengengannya. Namun semudah-mudahnya ia menangis, ia tak pernah menangis selama ini. Jujur saja lelah. Matanya sudah benar-benar panas meskipun terpejam, rasanya hidungnya sudah tak ada celah lagi untuk menghirup oksigen dan wajahnya rasanya sudah sangat panas. Tapi bukan kendalinya begini. Rasa sakit dalam dadanya terus memicunya untuk terisak.

"Baiklah. Sakura aku akan menunggumu sampai tenang, setelah itu keluarlah. Aku ingin melihatmu, aku mengkhawatirkanmu."

Sasori pun menghentikan aksi ketuk pintu. Ia menyenderkan tubuhnya ke pintu kayu yang terhiaskan tulisan dan gambar-gambar wanita ini sejak ia masih kecil sampai umurnya yang sudah segera masuk ke kategor dewasa.

Pria ini pun menopang kepalanya dengan menumpu dagunya pada lututnya yang tertekuk. Ia mulai memejamkan matanya dan merasakan betapa hatinya ikut tersayat mendengar tangisan wanita itu yang begitu pilu.

Apakah-

-wanita yang dicintainya itu begitu sangat terikat oleh Uchiha yang mempermainkannya?

Apakah-

-wanita yang dicintainya itu begitu hancur berpisah dengan Uchiha yang menyakitinya?

CEKLEK

Sasori sempat terperanjat. Ia memutar tubuhnya dan menatap pintu yang terbuka –kecil. Tanpa aba-aba pria itu langsung mendorong pintu itu dan mendapati Sakura yang berdiri lesu –memandangnya dengan tatapan yang begitu mengiris hati.

Kami-sama, pemandangan yang tak pernah ingin Sasori lihat seumur hidupnya.

Tangan pria itu meraih sosok yang rapuh itu dan mendekapnya erat.

"Sa-"

"Sasori." Sakura bergumam pelan. Suara tangisnya masih terdengar.

Lagi-lagi Kami-sama, jangan biarkan Sakura memanggil namanya dengan begitu pilu.

Tangan besar itu mulai beranjak –mengusap lembut surai merah jambu yang acak-acakkan itu. "Sudahlah, berhentilah menangis."

"Ta-tapi a-a-aku aku-"

"Sudah, tenangkan dirimu. Aku ada di sini, sudahlah." Dengan lembut Sasori memeluk Sakura erat, erat sekali. Ia mencoba menghentikan setiap ucapan yang hendak Sakura lontarkan dengan tersenggal-senggal. Dalam hidupnya, pria kelahiran Sunakagure ini tidak pernah melihat seseorang yang menangis dengan begitu pilu. Bahkan saat dirinya hendak pindah ke Suna, Sakura menangis tidak begini parah.

Tangan itu mengepal kuat.

Sialan.

Cuma karena Si Bocah Uchiha yang tidak tahu diri itu Sakura bisa menangis sebegini mirisnya. Karena seorang Sasuke Uchiha.

Rahang pria itu mengeras. Rasanya ingin sekali ia bertemu dengan Uchiha itu dan kembali meninjunya sampai habis. Bagaimana tidak? Dadanya terasa panas dan setengah mati ia menahan luapan amarah yang mulai membuncah itu.

"Pulanglah. Sudah malam, aku tak apa." Sakura mencoba menangkan diri. Ah, rupanya sebuah pelukkan bisa merendam emosinya yang kacau dan hendak meledak-ledak tak karuan.

Sasori tersenyum. Hm rupanya wanita itu masih mengkhawatirkannya juga. "Hei, bagaimana mungkin aku bisa meninggalkanmu sendiri di sini. Makanlah, aku sudah memesan makanan untukmu dan aku akan menemanimu tidur. Bagaimana? Aku akan bilang pada Kaa-san aku menemanimu di sini sampai Baa-san pulang."

Sakura membalas pelukan Sasori. Tangannya merenggut seragam yang digunakan pria itu erat. "Baiklah. Arigatou," ucap Sakura lesu.

~oOo~

Di tempat yang lain hal yang serupa terjadi. Rendahnya suhu udara dalam kamar tidak membuat Sasuke meringkukkan tubuhnya di balik selimutnya yang tebal. Dengan wajah frustasi ia duduk di tepi ranjangnya masih menggunakan seragam sekolahnya.

Hari yang buruk.

Terburuk.

Ia kembali menghubungi nomor telepon wanitanya –atau bisa dibilang mantan wanitanya 'kah?

Tak ada jawaban.

Lagi-lagi Sasuke merutuki nasibnya hari ini. Padahal hari ini memang masuk dalam daftar rencananya untuk memberitahukan pada Sakura yang sebenarnya. Tapi lewat mulutnya sendiri, dari dirinya sendiri, dan dengan caranya sendiri –bukan dari mulut pria yang paling dibencinya dan dengan caranya yang terlalu terang-terangan.

Rupanya dari awal sasaran Sasori memang Sasuke. Ia sudah memiliki firasat cepat atau lambat Sasorilah yang akan menjadi pihak yang mengacaukan semuanya. Sasuke mencoba paham maksud tujuan baik pria merah itu, tapi tetap saja caranya salah.

Sasuke salah.

Ia tahu itu. Tapi setidaknya ia sudah memikirkan cara yang terbaik untuk memberitahukan kebenaran pada Sakura.

Hari ini. Memang hari ini….dan semuanya kacau.

"Angkat Sakura!"

Beberapa pelayan yang lewat di depan kamar tuan muda itu bisa dengan jelas mendengar teriakan-teriakan yang Sasuke lontarkan. Hati mereka ikut teriris mendengar sirat keputusasaan yang terdengar dari dalam ruangan itu. Tak ada yang berani memanggil Sasuke –mereka masih ingin menikmati hidup.

Dengan cepat Sasuke sudah menjadi buah bibir dikalangan para pelayan yang bekerja di kediaman Uchiha.

Sasuke meremas seragamnya. Dadanya terasa sesak –apa lagi kiri bagian atas. Untuk pertama kalinya ia merasa begitu hancur, begitu merasa putus asa. Bukannya tidak ingin mengejar Sakura ke rumah wanita itu tapi hanya saja ia membiarkan Sakura yang shock itu menenangkan diri sebab ia paham bagaimana perasaan Sakura. Jika ia menampakkan diri di hadapan wanita itu sudah pasti Sakura akan menolak dan semakin hancur. Dan satu hal yang paling ia hindari-

-ia tak sanggup melihat wanita itu menangis, apa lagi ia sadar yang membuat wanita itu menangis adalah dirinya.

Satu pertanyaan. Tak mungkin 'kan seorang Uchiha menangis karena wanita?

TOK TOK

Rambut raven itu sedikit bergoyang saat Sang Pemilik menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar. Ia tak menghiraukannya. Ia pun kembali menundukkan kepalanya dan ibu jarinya masih senantiasa menekan tombol di handphone hitam kesayangannya.

Lagi-lagi wanita itu tak menjawab panggilannya.

Suara ketukkan itu terdengar lagi –saling tersahutan. Kali ini pun Sasuke hanya melirik pintu kamarnya yang tertutup rapat lewat ekor matanya yang tajam. Ia menghentikan sejenak kegiatannya dan menatap sendu gambar yang terpampang jelas di layar telepon genggamnya.

Sebuah gambar yang melukiskan dirinya dan Sakura.

Ah! Dia ingat betul itu adalah foto yang ia ambil saat Sakura menginap di sini –bersama dirinya di kamar ini.

Lagi-lagi dadanya berdenyut nyeri. Apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia mengejar Sakura, menahan wanita itu dan bertekuk lutut mohon ampun di depannya? Tidak. Bukan itu yang harus ia lakukan.

Bukan.

Bukan karena gengsi. Otak jeniusnya tahu hal itu tak cukup menebus kesalahannya. Jika ada hal yang harus ia lakukan saat ini adalah mundur sesaat dan memikirkan lebih matang lagi –ia tak mau membuat kesalahan yang sama hanya karena kurang memikirkan sesuatunya dengan matang.

CLEK

Pintu itu terbuka perlahan.

"Maaf Sasuke aku terpaksa memakai kunci cadangan."

Sosok itu berjalan mendekat dan duduk di samping Sasuke yang masih menundukkan kepalanya lesu. "Ada apa?"

"Bukan urusanmu."

Di luar dugaan, rupanya adik kecilnya itu langsung menjawab –meski ketus dan dingin seperti biasanya.

Itachi mendesah pelan. "Ayolah. Kau selalu melaporkan apa-apa padaku. Haaah cepat sekali kau berubah. Ada apa? Kau tampak kacau," ucap Itachi pelan dan menepuk-nepuk pelan baju adik satu-satunya itu.

Sasuke terdiam sejenak dan Itachi pun tak berniat bersuara kembali. Putra sulung dari keluarga Uchiha itu turut diam menunggu jawaban yang akan Sasuke katakan. Bukan pertama kalinya membujuk Sasuke,setelah bertahun-tahun hidup bersama tentu pria yang sangat jenius ini tahu bagaimana menghadapi manusia sekeras kepala saudaranya.

"Itachi-nii," ucap Sasuke pelan. Ia kemudian meletakkan handphone hitamnya di samping kanannya dan dengan ragu menolehkan kepalanya. "Itachi-nii."

DEG

Itachi merasakan jantungnya berdenyut kencang. Pasalnya pemandangan yang harus ia lihat saat ini entah mengapa membuatnya ikut hanyut dan hendak hancur bersama. Untuk pertama kalinya Sasuke terlihat begitu rapuh dan begitu frustasi.

Sepanjang hidupnya Sasuke selalu mulus dalam melewati segala cobaan dan segala ujian bisa ia lalui dengan hasil yang terbaik. Semua kehendaknya bisa ia dapatkan dengan mudahnya tanpa ada pihak yang berani melawan. Tapi kali ini..hei ada apa dengan adiknya?

"Sa-sasuke!? Kau kenapa? Cepat katakan!" Itachi yang mencoba tenang sedari tadi tidak tahan memperlihatkan kekhawatirannya. Adiknya yang selalu berkharisma dan penuh dengan rasa gengsi saat ini sedang menatapnya dengan tatapan redup yang putus asa. Hal separah apa yang terjadi? Apa ini menyangkut Kaa-san dan Tou-san mereka? Atau karena apa?

"Itachi-nii, aku melukainya. Aku membuatnya menangis," jawab Sasuke pelan –seperti berbisik. Apakah suaranya mulai habis setelah berteriak tak karuan sejak tadi?

"Siapa!? Siapa yang kau maksud?" Suara Itachi meninggi. Tak biasanya Sasuke bertele-tele. Tapi kali ini ia harus sabar. Tidak mungkin ia menekan Sasuke terus menerus. "Tenang Sasuke, ada apa? Ceritakan pada Nii-chan dengan perlahan."

Itachi meraih pundak sosok bermata onyx yang sama dengan miliknya. Ia mengusap pelan bahu kokoh itu dan dengan tulusnya membawa Sasuke untuk lebih tenang.

Sasuke pun kembali menundukkan kepalanya dan membuka mulutnya –hendak berbagi cerita dan pikirannya pada Sang Kakak yang paling dipercayainya.

Setidaknya kehadiran Itachi di samping Sasuke sangat berarti dan begitu penting seperti saat ini.

~oOo~

Sasori menyenderkan kepalanya ke tepi ranjang. Bulan mulai menguasai langit ditemani oleh ribuan bintang pada malam ini. Awan yang gelap tak tanggung-tanggungnya meneteskan air hujan yang membuat malam ini terasa begitu miris bagi pria muda ini.

Tangannya yang besar senantiasa menggenggam tangan mungil yang dingin yang kini tergeletak lemas di atas ranjang. Ibu jari pria lembut ini mengusap-usap tangan dingin itu. Sudah hampir dua jam setelah ia membujuk Sakura makan dan wanita itu menurutinya –meski hanya sedikit –tapi cukup membuat Sasori lega.

Sakura mulai terlelap ditemani oleh suara lembut Sasori. Ia tak akan meninggalkan wanita ini sendiri. Seperti yang sudah ia janjikan pada Sakura, maka Sasori pun menemani wanita itu tidur sambil menggenggam tangannya.

Biasanya ia bukan siapa-siapa, bahkan hampir menjadi sosok yang dilupakan. Tapi saat ini berterima kasih pada Kami-sama karena bisa menjadi sosok yang berguna, yang menguatkan Sakura di saat wanita ini merasa begitu sendiri dan hancur. Yang ia bisa saat ini menangkan dan menemani wanita ini. Ia tak akan menekan wanita ini seperti beberapa hari yang lalu. Untunglah, setidaknya Sakura tahu yang ia katakan bukanlah kebohongan untuk membuat wanita itu berpisah dengan sosok yang begitu dicintai wanita itu –tapi semua demi kebaikkan wanita itu sendiri.

"Ngg.."

"Stt…" Lagi-lagi Sasori mengusap tangan dingin itu. Kenapa tangan Sakura terasa begitu dingin? Padahal ia sudah menyalakan penghangat ruangan dan menutup semua jendela –bahkan ia sudah menutupi raga wanita itu dengan selimut yang tebal. Dingin itu..apakah dingin yang ia rasakan dalam dirinya? Apa hatinya sedang beku?

Ah.

Memikirkannya saja membuat Sasori juga ingin menangis. Karena dirinyakah Sakura menjadi begitu miris pada malam hari ini? Apa karena ucapannya yang memberitahu semuanya membuat Sakura begitu menderita?

Andai saja ia tak pernah mengatakannya, maka saat ini Sakura pasti sedang bersenandung senang sambil menatap layar ponselnya seperti biasa dan-

-mengasingkan keberadaannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Bagaimana menurutmu Itachi-nii?" tanya Sasuke putus asa.

Itachi nampak memikirkan sesuatu. "Kau yakin Sasuke? Apa kau sudah memikirkan segala kemungkinan kedepannya? Apa kau sudah menetapkan hatimu? Apakah kau s-"

"-Itachi, jangan menekanku."

Itachi pun kembali diam. Ia tersenyum kecil, "Maafkan aku." Pria yang selalu dikuncir satu itu pun bangkit dan menyentuk dahi adiknya dan terkekeh pelan. "Baguslah jika kau sudah bisa berpikir! Katakan pada Kaa-san dan Tou-san, mereka yang paling mengerti –kurasa."

~oOo~

Dengan langkah yang ragu dan kaku Sakura melangkahkan kakinya ke dalam kelas yang sudah penuh dan ramai. Teman-temannya terlihat sedang sibuk membuka buku mereka masing-masing –saling terdempetan. Ah –mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah seperti biasanya.

"Ohayou, Sakura!" sapa Ino yang tengah berdesak-desakkan dengan teman lainnya –memperebutkan posisi terenak untuk menyalin pekerjaan temannya yang sudah selesai lebih dulu.

"Hm, ohayou," jawabnya lesu. Tak ada senyuman, tak ada tawa, tak ada keceriaan seperti yang biasa Sakura Haruno pancarkan.

Sakura melanjutkan langkahnya dan mengepalkan tangannya melihat sosok yang sudah membuatnya dua hari ini menangis tanpa henti tengah menundukkan kepalanya –fokus pada layar ponselnya. Ah, rasa sakit itu seperti datang kembali.

Mencoba acuh, Sakura menarik bangku miliknya, menaruh tas sekolahnya di atas meja dan kemudian ia pun terduduk sambil menatap jendela yang terbuka –syukurlah tempat duduknya sudah berubah.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pria itu sudah berhenti menghubunginya.

Berhenti mengejarnya –mungkin.

Apakah pria itu sudah lupa dengan sosok yang sempat mendampinginya dengan jangka waktu yang lumayan lama?

.

.

.

.

.

.

.

.

Bukan rahasia lagi. Kabar kandasnya hubungan yang sempat menggemparkan segala kalangan di sekolah pun sudah menjamur dimana-mana. Sudah dua minggu hampir setelah kejadian itu. Sasuke maupun Sakura enggan berbicara –menyinggung masalah hubungan mereka.

Bahkan bisa dibilang Sakura juga menjadi buah bibir yang paling ngetop di sekolah ini. Banyak para gadis yang meremehkan Sakura. Banyak yang menjadi membenci wanita musim semi itu. Semua beranggapan bahwa Sakuralah yang menyebabkan Sasuke nampak lebih dingin dan lebih pendiam dari sebelum mereka menjadi sepasang kekasih.

Saat ini Sasuke membuat jarak pada teman-temannya. Ia jadi lebih sensitif dan galak. Bahkan, saat ini Sasuke Uchiha sudah mendapatkan gelar baru sebagai kutu buku tampan. Setiap hari membawa buku-buku tebal ke sekolah dan membacanya setiap waktu. Naruto yang terkenal dekat dengannya bahkan ditolak mentah-mentah keberadaannya.

Selain itu melihat kondisi Sakura yang menjadi menempel terus dengan Sasori membuat keadaan semakin panas. Hm, meski orang tahu Sasorilah yang lebih dominan mengejar wanita yang satu ini –tetap saja mereka menanamkan dalam benak mereka kalau Sakuralah yang salah. Sakuralah yang tidak perhatian.

Ino, Tenten, Hinata dan Temari hanya bisa diam dan menyinggung masalah lain jika sedang berbicara. Rasa-rasanya mereka takut Sakura akan memberikan respon diluar perkiraan mereka seperti itu.

Saat ditanya bagaimana hubungan wanita pink itu dengan pria yang menjadi idola –Sakura langsung menampakkan tatapan kosong dan air mata bisa langsung keluar tanpa aba-aba dan suara. Yang semua mereka tahu –Sakuralah yang paling sakit. Haah sayang, jika saja Sasuke atau pun Sakura mau bersuara memberikan kesaksian, mereka tak akan lagi menjadi misteri yang selalu hangat disinggung di sekolah itu.

~oOo~

"Bagaimana ujianmu Teme!? Ah! Kau kan pintar! Iya 'kan!? Tebakkanku benar 'kan!?"

"Iya Sasuke, kau pasti akan menjadi lulusan terbaik diangkatan kita. Cih, menyebalkan!"

Suara gaduh terdengar disebuah lorong yang sudah mulai kosong. Hanya ada orang itu yang berjalan tanpa melihat lantai yang dipijakinya dan sekawanannya.

"Sasuke, dengarkan kami. Setidaknya berilah kami respon."

Sasuke kemudian menutup bukunya dan menghela nafas. "Perlu kukatakan berapa kali? Jangan ganggu aku!"

"Ke-kenapa Teme!? Sejak kabar kau putus dengan Sakura-chan kau jadi aneh! Ada apa!? Katakan!" paksa Naruto. Ia sudah mulai muak. Ia kesal dengan sikap Sasuke yang terus-terusan mengacuhkan dirinya dan teman sepermainan mereka secara mendadak.

"Kau ini jika ada masalah katakan pada kami," timpal Neji. "Kau bukan tipe yang terbuka tapi kurasa ini sudah cukup."

Lee menepuk bahu Sasuke. "Jujur saja, aku khawatir denganmu –dan juga dia."

"Apakah ada kejadian yang lain setelah kita selesai turun dari stage saat festival? Sejak hari itu kau jadi menutup diri. Hm…aku penasaran." Kiba menggaruk-garuk dagunya.

"Teme!"

"Biarkan dia Naruto." Sebuah suara yang sangat familiar bagi Sasuke terdengar dari ujung lorong. Sosok itu mendekat dan tersenyum lembut. "Ujianmu lancar 'kan?"

"Aniki?"

"Yo! Kau lama sekali. Aku tak betah menunggumu di mobil."

"Itachi-nii! Adikmu yang bodoh ini –kenapa dia!?" tanya Naruto heboh. Ia langsung menarik Itachi mendekat dan menunjukkan ekspresi khawatirnya. Bagaimana tidak? Ini sih sudah bukan seorang Sasuke Uchiha bagi Naruto.

Tanpa menjawab dengan penjelasan lengkap dan bertele-tele –Itachi hanya lagi-lagi tersenyum. Ia mengacak-acak rambut kuning cerah milik sahabat adiknya itu. "Tak perlu khawatir. Dia sedang dalam proses menjadi yang lebih baik. Begitukan, Sasuke?"

Onyx itu menatap ragu. Ia mengerti pandangan kakaknya yang sudah menyampaikan sebuah pesan di sana. Maka itu, Sasuke membalikkan tubuhnya dan menghadap teman-temannya –mendapati berbagai macam ekspresi dari teman-temannya yang menjadi sumber kasus macam ini.

"Gomen. Mungkin pada awalnya kalian yang memulai, tapi karena aku yang menjalaninya maka aku yang akan menyelesaikannya." Sasuke pun kembali membalikkan tubuhnya, membuka bukunya dan kembali melangkah tanpa menoleh.

"Ayo aniki. Aku sudah siap."

"Duluan ya! Sasuke tunggu dulu!" Itachi pun segera pamit pada para juniornya dan langsung mengejar Sasuke yang sudah melenggang pergi lebih dulu darinya.

Ekspresi wajah bungsu Uchiha itu berubah. Mengingat teman-temannya yang selalu gencar mengejarnya –apakah sudah begitu lama ia diam?

"Sasuke, bukankah itu Sakura? Siapa laki-laki yang bersamanya?" ucap Itachi refleks begitu melihat sosok manis Sakura melintas di depan mobil pribadinya yang masih terparkir rapi di tempatnya.

Rahang Sasuke mengeras. Bukannya melupakan, diam-diam matanya sesekali mengikuti jejak kemana wanita itu pergi dan sakit hatinya bukan main melihat sosok yang bisa jalan berdampingan dengan wanita musim semi itu bukan dirinya lagi.

"Jalan Itachi-nii," ucapnya parau.

~oOo~

"Sudahlah Sasori, aku sudah baik-baik saja. Aku juga sudah tenang. Semua sudah beres –masalah, ujian semuanya sudah selesai kulewati. Sekarang saatnya menunggu kelulusan saja."

"Kau pikir aku akan percaya?

"Jadi kau tidak mempercayaiku?"

Kedua pipi Sakura nampak menggembung tak suka. Ia mengalihkan pandangannya ke jam yang melingkar manis di tangannya. "Sebentar lagi aku pulang. Kau duluan saja," ucap Sakura –sedikit memaksa.

Pasalnya jujur saja ia merasa tak enak pada Sasori yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama dirinya. Bahkan seperti di toko buku seperti ini pun Sasori tak keberatan mengantar wanita itu.

"Tidak. Aku memang tidak mempercayaimu! Biar saja aku menunggumu lalu kita bisa pulang bersama," balas Sasori tak mau kalah –tetap dengan pendiriannya. Ia menjulurkan lidahnya dengan wajah meledek Sakura –menimbulkan senyuman kecil di wajah cantik wanita itu.

"Hm.. okay okay! Karena kau itu batu sekali, kalau begitu ayo pulang sekarang saja. Kalau sampai nilaimu jelek nanti mereka akan memarahiku."

Sasori tertawa kecil. "Bagaimana mungkin? Ujian terakhir kita baru saja usai siang tadi. Sekarang aku bisa menghabiskan banyak waktu untuknya. Haah jujur saja, kau senang kan?" ledeknya lagi.

"Tidak. Kau menggangguku!"

"Benarkah? Kalau begitu…aku akan tetap mengganggumu! Rasakan!"

Huh, sungguh kekanak-kanakkan sekali.

"U-gh!"

"H-hei! Kau tak apa? Kumat lagi? Mau kubelikan teh hangat? Air putih?" Sasori segera mungkin merangkul Sakura dan memijat pelan bahu mungil itu.

Sakura pun menggeleng. "Tak perlu, Sasori. Kan sudah kukatakan jika aku i-ugh..hoeeek!" Secepat mungkin Sakura langsung menutup mulutnya dengan tangannya. Ia menepuk-nepuk pelan dadanya dan menarik nafas pelan-pelan –mencoba menahan gejolak aneh yang lagi-lagi menggetarkan tubuhnya.

"Kau ini! Untung aku tidak pergi tadi. Sudah seminggu ini kau pusing dan mual bahkan sampai muntah mendadak. Apa kau yakin kau tak apa-apa?"

"I-iy-hoeek…"

Wajah Sakura perlahan memerah dan air mata sedikit keluar di sudut matanya.

"Astaga! Aku lelah jika harus sedikit-sedikit seperti ini. Rasanya tak enak sekali!" ucap wanita itu kesal.

"Sudahlah, kau istirahat saja ya. Aku kasihan melihatmu harus terus-terusan seperti ini. Apa lagi kemarin kau muntah sampai lemas, makanya aku tidak membiarkanmu pergi sendiri hari ini. Untung kau bisa mengerjakan ujian dengan baik," ucap Sasori dan kemudian bernafas lega.

"Iya, sejak seminggu yang lalu aku memang seperti orang keracunan. Padahal aku yakin betul aku tidak salah makan."

Sasori pun mengawal Sakura pulang. Mereka berdua berjalan beriringan menuju halte bus dan menunggu kedatangan bus yang akan membawa mereka ke kediaman mereka. Langit sudah mulai berubah warna menjadi jingga kemerahan.

Sakura nampak mengambil ponsel dalam sakunya dan membaca satu pesan yang tak lain dari ibu tercintanya, sedangkan Sasori –ia mengadahkan kepalanya ke langit –menatap burung-burung yang terbang secara bebas di latar belakangi awas-awas lembut yang menggumpal.

Angannya ikut melayang.

Sambil memasukkan tangannya ke dalam saku dan menyentakkan kakinya perlahan beberapa kali sambil bergumam tiba-tiba Sasori tersedak dengan ulahnya sendiri. Iris matanya langsung membulat dan langsung menolehkan kepalanya cepat ke arah Sakura.

"Sakura! Katakan padaku kau tidak mungkin.. tidak mungkin.."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Di lain tempat dan di waktu yang berbeda –entah siapa yang memulai namun yang pasti ruang makan kediam Uchiha yang sudah dipenuhi dengan berbagai macam aneka makanan buatan koki pribadi keluarga Uchiha menghiasi meja makan mereka yang besar ini menjadi sangat kaku dan menegangkan.

"Sasuke? Apa kau sedang sakit, nak?" Mikoto langsung meninggikan suaranya. Ia sempat tersedak oleh teh hangat yang sebelumnya sedang ia nikmati.

"Kaa-san tahu kan bagaimana adikku ini?" Itachi menjawab pertanyaan ibunya yang sebenarnya ditujukan pada Sasuke –adiknya.

"Ta-tapi bagaimana bisa anak Kaa-san berpikir sejauh ini? Sasuke apa kau melakukan sesuatu yang sudah berlebihan? Apa Kaa-san akan segera me-"

"-Kaa-san, dengarkan dia sebentar." Lagi-lagi Itachi mencoba menenangkan ibunya yang mulai terlihat resah.

"Kaa-san, aku mohon." Sasuke pun langsung berdiri dari bangkunya dan membungkukkan tubuhnya tepat di hadapan Mikoto yang membelalakkan matanya.

Selama ia merawat Sasuke, tak pernah putranya yang satu ini meminta sesuatu padanya sampai memohon –ah lebih tepatnya putranya ini tidak pernah meminta sesuatu padanya sejak masih kecil sekalipun.

Mikoto pun melemaskan bahunya yang sempat menegang. Ia membenarkan posisi duduknya. "Entah apa yang harus aku katakan pada Fugaku ya," ucapnya monolog. "Sasuke, kau masih muda sekali. Kaa-san pikir mungkin kau terlalu cepat, maksud Kaa-san ini baru pertama kali bagimu. Jujur saja, apakah kau melakukan hal yang perlu tanggung jawab besar apakah Sakura-chan mengandung darah kita?"

BANG!

Terlalu terang-terangan.

Bukan ini maksud arah pembicaran Sasuke. Ia bahkan tidak pernah berpikir sejauh itu. Tapi bisa jadi apa kata ibunya barusan ada benarnya? Bagaimana jika-?

"Haah, Sasuke lain kali kau-"

"-tidak Kaa-san!" tubuhnya yang membungkuk tadi pun langsung berdiri tegap dan menatap ibunya dalam. "Aku tak tahu perasaan macam apa ini tapi jika Kaa-san menanyakan masalah alasan, jujur saja…aku tidak punya alasan."

"Lalu?"

Mengerti posisi Sasuke yang lagi-lagi tertekan Itachi pun memegang tangan ibunda tercintanya. "Sasuke, katakan saja secara singkat yang ada dibenakmu. Sudah kukatakan Kaa-san dan Tou-san yang paling mengerti."

~oOo~

Itachi hanya duduk terdiam di dalam kamar adiknya. Bisa jadi nampaknya iya seperti memperhatikan tayangan yang dimunculkan di layar TV, tapi pikirannya terus melayang –seakan tersambung dengan pikiran adiknya.

Ia sesekali melirik Sasuke yang sibuk bermondar-mandir tepat di depan pintu balkon kamarnya. "Sasuke jangan gelisah seperti itu."

Sasuke tak begitu menanggapinya. Ia masih serius dengan pikirannya. Serentetan rencana dalam otaknya mulai tersusun berbaris satu persatu dan membuat Sasuke memejamkan matanya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

Langkahnya terhenti dan kemudian ia menyenderkan tubuh tegapnya pada tembok –membebani massa tubuhnya di bidang itu. Bisa dilihat sesekali alisnya bertekuk –menggambarkan dirinya yang sedang berpikir keras. Segala rekaan ingatan dalam pikirannya terasa berputar kembali dengan cepat.

"Sasuke su-"

Sontak Sasuke membuka matanya dan langsung menuju meja di samping ranjangnya. Merampas ponsel dan kunci mobil miliknya dengan cepat. Tak lupa ia juga mengambil jaket kulit kitam yang tergeletak asal di atas ranjangnya.

"He-hei! Sasuke mau kemana kau tengah malam seperti ini!?"

"Aku tak bisa bersabar lagi Itachi-nii!"

Dan yang selanjutnya yang bisa Itachi dengar adalah suara hantaman pintu kamar yang begitu kencang.

~oOo~

Sakura menghela nafas berat. Ia menyenderkan kepalanya yang terasa pening pada sofa merah di ruang tamunya. Jam sudah menunjukkan hampir pukul satu dini hari.

Sakura baru saja menyelesaikan urusannya –mengeluarkan semua apa yang dimakannya hari ini. Ia pun segera bangkit dan menuangkan air minum ke dalam gelasnya –menegaknya habis kemudian.

Malam ini hujan mengguyur Konoha –hm tidak seperti biasanya.

Sejak kemarin kedua orang tua Sakura pergi ke Iwa untuk mengurusi masalah kota yang menjadi tanggung jawab mereka berdua dan itu membuat Sakura terpaksa diam di rumah sendirian. Tubuh yang lemas membuatnya ingin segera kembali ke kamarnya dan memejamkan mata.

Bebannya sudah selesai. Ujian sudah berhasil ia lewati dengan kuat, semangat dan tegar meskipun beberpa minggu sebelumnya ia seperti orang yang hampir gila –menjadi tegar di depan semuanya dan hancur saat hanya ada dirinya seorang.

Wanita musim semi itu melangkahkan kakinya ke arah pintu rumahnya –hendak mengunci dan mengecheck apa semua sudah terkunci dan lampu-lampu sudah ia matikan. Namun gerakkannya yang hendak mematikan saklar lampu terhenti saat mendengar ketukkan yang bertubi-tubi dari pintu utama rumahnya.

TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK TOK

Tangan mungil itu meraih gagang pintu dan membukanya perhalan. Namun baru saja menunjukkan sedikit celah –orang yang ada di luar sudah mendorongnya cukup kuat.

"Seperti dugaanku. Kau sendiri," ucap pria itu sambil tersenggal-senggal.

Tanpa aba-aba Sakura langsung menarik pintu rumahnya dengan cepat. Namun sayang, lengan Sasuke –Sang Tamu sudah lebih cepat menahan pergerakkan itu. Sikunya terhantam pintu dan tembok –tapi bukan masalah besar baginya.

"Untuk apa ke sini?" tanya Sakura datar dan dingin.

Tahu tak akan bisa mengalahkan tenaga Sasuke, ia membiarkan Sasuke menahannya dan berdiri di depan muka pintu yang sudah terbuka. Wanita itu menundukkan kepalanya dan membalikkan tubuhnya.

Merasa segan dengan tetangga yang lain Sasuke pun melangkahkan dirinya masuk lebih dalam dan menutup pintu serta menguncinya.

Degupan jantung Sakura bisa terdengar jelas –meski ditemani dengan suara rintik hujan mala mini.

Sasuke sedikit meringis melihat punggung wanita itu yang terlihat begitu rapuh –begitu pedih. Panggilan yang ia rasakan tak bisa ia tepis lagi. Dengan cepat ia menyambar tubuh mungil Sakura dan menariknya dalam pelukkannya. Ia memeluk wanita itu erat –sangat erat dari belakang.

Pria itu memejamkan matanya merasakan Sakura yang mulai berontak dan mencoba melepaskan tangannya yang melingkar di pinggang ramping wanita itu.

"LEPASKAN!" teriak Sakura histeris. "LEPAS!"

Sasuke menghiraukannya. Ia tetap diam dan menahan agar tangannya tertap melingkar di tempatnya. Sasuke bahkan mempererat pelukkannya dan mencoba mengunci segala pergerakkan Sakura.

"Sttt..tenang Sakura," bisiknya pelan.

Perlahan tapi pasti, Sasuke bisa merasakan getaran di seluruh tubuh Sakura terasa makin kuat. Tangan wanita itu bergemetar hebat –sama pula dengan bahunya. Suara isakkanpun mulai terdengar menggema di rumah yang sepi itu.

Dengan rambut yang setengah basah Sasuke menenggelamkan kepalanya yang penat pada pundak wanita itu seenaknya. Ia lagi-lagi mempererat pelukkannya dan menghirup segala aroma yang keluar dari tubuh wanita itu.

Rindu.

Aroma yang membuatnya ingin semakin semakin semakin mempererat pelukkannya. Sayang, tak mungkin ia lakukan jika ia masih ingin melihat Sakura hidup.

"Sakura, beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya."

Sakura meresponnya dengan gelengan lemah. "Cukup Sasuke. Semuanya sudah lewat, aku sudah melupakannya. Sekarang pergilah, pergi dari hidupku secepat mungkin. Jangan kembali," ucap Sakura –terdengar parau.

"Semua berawal ketika aku harus menjalankan hukuman dari teman-temanku itu. Mereka memintaku mendapatkanmu seutuhnya –semuanya. Dan aku –menerimanya."

Sasuke terdiam sesaat dan kembali membuka mulutnya –tak mendapati Sakura yang melawan atau memberikan respon yang berarti.

"Kupikir bukan masalah besar. Semua berjalan begitu saja dengan alaminya –tanpa perlu kupikir. Bukan karakterku memanjakan wanita, tapi kau –semua terjadi begitu saja. Aku tahu kau mencintaiku tanpa tahu bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Aku menjalaninya tanpa rasa –tanpa sesuatu yang perlu kubebankan."

"Dan, akhirnya aku bisa mendapatkanmu dan taruhan itu selesai."

Kalimat terkahir Sasuke membuat tubuh Sakura melemas seketika. Tubuh wanita itu terperosot ke bawah dan Sasuke yang memeluknya ikut menekuk lututnya perlahan sambil menopang beban tubuh Sakura.

"Aku akan bertanggung jawab. Maka itu, beri aku satu kesempatan. Biarkan saat ini aku memintamu untuk menikah denganku dan memulai semuanya dengan baru."

Di luar dugaan –Sakura segera melepaskan tangan Sasuke yang menguncinya dan mengeluarkan sesuatu dari saku piyamanya. Ia membalikkan tubuhnya dan melempar benda itu ke arah Sasuke.

Wajahnya sudah basah sepenuhnya dengan air matanya. "Jika memikirkan tentang malam itu –lupakan saja! Saat itu aku memang bilang aku tak akan menyesal karena bersama Sasuke-kun, semua karena yang kutahu kau mencintaiku. Namun setelah mengetahui semuanya aku tetap tidak akan menarik ucapanku. Tak perlu khawatir. Aku sudah mencoba 3 kali dan hasilnya sama, jika kau takut aku mengandung anakmu –maaf saja, hasilnya negative. Jadi cepatlah pergi, kau tak perlu repot-repot mengurusiku lagi! Kau tak perlu bertanggung jawab atas bentuk apapun juga, termasuk memintaku menikah denganmu."

Sasuke sempat membatu mendengar penuturan Sakura. Hatinya terasa panas dan terbakar.

"Kenapa baru muncul sekarang? Kenapa?"

Sasuke tak terbiasa mendengar suara tangis itu.

Tidak.

Ia tak terbiasa dan ia tak mau.

"Dengarkan aku!"

Sasuke pun mendekatkan posisinya dengan wanita itu lagi dan menarik tengkuk wanita itu –menyatukan dahi mereka. Sasuke pun bisa merasakan tetesan air mata Sakura yang jatuh di telapak tangannya –yang menggenggam tangan Sakura dipangkuan wanita itu.

"Awalnya aku tak memikirkannya, kupikir semua bisa kuselesaikan. Tapi pertama kali aku mengecup bibirmu itu aku bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir. Itu ciuman pertamaku. Semua –semua yang kulakukan bersamamu itu yang pertama dalam hidupku dan bahkan rasa yang selama ini mengusik hatiku aku baru memahaminya. Aku baru memahaminya disaat aku tahu kau menjadi milikku."

"Sudah cukup Sasuke, jangan lanjutkan lagi."

Tanpa memperdulikan ucapan wanita itu Sasuke melanjutkan perkataannya –tangannya masih tetap menggenggam dan satunya lagi menahan tengkuk Sakura. Ia memejamkan matanya –berharap apa yang ada pada dirinya bisa tersampaikan.

"Aku tak memberitahumu karena untuk pertama kalinya dalam hidup aku merasa takut. Takut akan kehilangan. Dan aku memang kehilanganmu karena kebenarnya muncul melalui jalan yang salah. Saat ini aku tahu perasaanku. Aku tak akan berbohong lagi, ak-"

"CUKUP SASUKE!" suara isakkan itu kembali terdengar –bahkan lebih kuat dari sebelumnya. "Jangan memberikan aku kalimat-kalimat yang semakin menyakitiku. Jangan membohonginya lagi. Semua akan lebih baik jika menyelesaikannya sekarang dan hapus semuanya. Anggap saja semua tak pernah ada, anggap saja aku bukan siapa-siapa. Aku ini hanya objek unt-"

"-aku mencintaimu."

Sakura terasa seperti berhenti bernafas. Kalimat itu, kalimat itu –suatu yang tak pernah Sakura dengar dengan jelas pada pendengarannya. Kalimat yang selalu dinantinya, kalimat yang paling ingin ia dengar …

…saat semua masih baik-baik saja.

"Maaf, tapi aku membencimu," jawab Sakura sedingin mungkin. "Aku sudah begitu membencimu. Tak perlu kau katakan kalimat rujukkan seperti itu, semua sia-sia. Jangan memohon kesempatan sebab aku tahu kau tak membutuhkan kesempatan itu. Mungkin kau tidak sadar akan perkataanmu, saat ini kau tak berpikir sama seperti saat itu. Jangan membohongi dirimu lagi Sasuke."

"BODOH! JIKA MEMANG AKU TIDAK SERIUS, TAK MUNGKIN AKU DATANG KEMARI!"

Cukup.

Sasuke tidak bisa menahan luapan emosinya. Sesak rasanya. Terlalu sesak baginya menahan sesuatu yang tak bisa ia katakan. Apa kata-katanya tak tersampaikan? Apa ini artinya sudah tak ada kesempatan? Inikah akhirnya? Tak mendapatkan kesempatan? Ketakutan yang menghantuinya –inikah kenyataannya?

Perlahan Sasuke menarik tubuhnya menjauh –kembali pada posisi duduknya yang tegap. "Kau membenciku?" tanyanya pelan –seperti berbisik. Rasanyatak sanggup lagi ia bicara.

"Iya, aku sangat membencimu!"

"Kalau begitu…apakahkau…sudah tidak mencintaiku?"

Dan Sakura pun tak bisa menjawab.

Ia meremas dada kiri atasnya kuat –ada yang menusuk di sana.

Jangan lagi.

Jangan.

Kenapa pertanyaan itu lagi.

"Kurasa…" Sakura menghelakan nafasnya pelan. "Itu sesuatu yang tak mungkin bisa berubah."

Habis sudah. Dulu atau pun sekarang, Sakura yang paling memahami bagaimana hatinya. Bagaimana hatinya bisa bertahan begitu lama?

"Itu suatu yang tak perlu kau tanyakan Sasuke. Harusnya aku yang bertanya, seharusnya…aku yang mengatakannya sejak dulu dimana aku sudah merasakannya! Harusnya aku yang mendapat jawaban, seharusnya aku yang mengatakan apakah kau mencintaiku?"

Sasuke menyentukkan kembali dahinya. Ia memejamkan matanya erat dan mengatur nafasnya normal kembali. Ia menurunkan posisi wajahnya -membiarkan permukaan kulit putihnya basah terkena air mata wanita itu yang tak kunjung mongering.

Ia mengecup wanita itu sekali lagi.

Lembut.

Tenang.

Tulus.

Biarkan kali ini ia yang membiarkan Sakura merasakan kehangatan rasa cinta yang mengalir. Biarkan kali ini Sakura yang tahu –yang merasakannya sendiri. Selama ini Sasuke bisa merasakan kehangatan yang wanita itu berikan padanya, maka itu ia tahu bahwa wanita itu begitu mencintainya dan kali ini…biarkan semuanya berbalik.

Sasuke bisa merasakan bibir tipi situ sedikit bergetar. Maka Sasuke pun menarik salah satu tangan Sakura yang mengepal dan meletakkannya tepat di dada bidangnya. Ia menekan tangan Sakura kuat di sana.

Sakura pun terbelalak merasakan ada tetesan air yang jatuh di lengannya.

Jangan katakan jika-

-pria ini menangis.

Perih, sakit, pedih, hancur, rapuh, dingin dan hangatnya bisa semua Sakura rasakan. Ia memejamkan matanya erat dan balas meremas kemeja kusut yang Sasuke kenakan.

"Kau..apa bisa merasakannya?" bisik Sasuke pelan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Aku akan menikah dengannya!" ucap Sasuke lantang.

"Apa kau gila Sasuke!? Kenapa kau jadi ingin menikahinya? Bukankah kalian bertengkar? Bukannya semua berakhir?"

Sasuke menatap Itachi dalam. "Justru karena semua itu. Karena semuanya hancur aku tahu bahwa aku ingin selalu bersamanya. Aku akan mempertanggung jawabkan masalah yang kubuat ini."

"Semua tak semudah itu. Kau bahkan lebih muda dariku, apa kau sudah kuat untuk berkeluarga?" tanya Itachi apa adanya. Ya, memang itu bukan yang menjadi kekhawatiran seorang kakak.

"Berikan aku waktu mengambil alih semuanya. Aku akan menjauhinya sementara memberikannya ketenangan dan bagiku pula. Aku bisa fokus untuk lulus dengan baik dan setelah itu aku akan bekerja bersama Tou-san sambil kuliah. Setelah kelulusan nanti aku akan memintanya menjadi istriku dan menikahinya. Semua akan baik-baik saja. Aku pastikan semuanya akan kutangani."

Demi Kami-sama! Ini kalimat yang paling panjang dan kompleks yang pernah Itachi dengar dari adiknya. Biasanya yang dia dengar hanya suara rengekkan dan suara kemarahan Sasuke karena keusilanya. Tapi kali ini ia mengakui –adiknya telah dewasa.

"Baiklah Sasuke, segera beritahu Kaa-san agar semuanya seperti yang ada pada otakmu. Dan Tou-san, kau harus kuat mental untuk itu."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ingin bersamanya, ingin menjaganya, ingin melindunginya dari segala yang berbahaya, menghabiskan waktunya, ingin melihat senyumnya, ingin selalu mendengar suaranya, ingin melihatnya terus berada di sisiku dan yang paling aku tahu…aku tak ingin kehilangannya, yang aku tahu..melihat air matanya begitu sakit –di sini."

Mikoto tertegun mendengar penuturan putra bungusnya yang sangat jauh dari karakternya. Seumur hidup Mikoto tak pernah menyangka anaknya akan berbicara seperti itu di hadapannya dengan ekspresi kacau. Hancur, yakin, semangat, pedih, putus asa –semua terlihat menjadi satu.

"Kau baru akan lulus, Sasuke. Tak semudah itu menikah. Kau apa sudah memikirkan semuanya sematang itu Sasuke? Nak, Kaa-san ingin kau tidak menyesalinya."

"Aku akan menyesal jika tidak mendapatkannya kembali di sisiku. Aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari apa yang bisa kulakukan di perusahaan Tou-san! Aku akan kuliah sambil bekerja di perusahaan Tou-san, aku sudah dewasa –bukan lagi anak kecil yang tidak bisa apa-apa!"

Mikoto hanya bisa tersenyum kecil mendengar penuturan-penuturan Sasuke berikutnya. Niatan putranya itu, tekad putranya itu memang sungguh-sungguh.

Dia tahu itu.

"Baiklah, Kaa-san mengerti. Jangan gegabah Sasuke, biarkan Kaa-san membicarakan pada Tou-san," ucap Mikoto tenang. Ia kemudian memanggil putra bungsunya itu untuk mendekat padanya. Mikoto memberikan pelukkan yang paling hangat dan mengusap lembut rambut Sasuke. "Kaa-san tahu jika kau tahu yang terbaik. Kaa-san percaya."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Ja-jadi…kau.."

"Hn, aku mencintaimu."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TAMAT

FINALLY LAST CHAP! :D

Bagaimana? Aku tahu mungkin ini bukan ending yang bagus dan greget, tapi ini sebisa yang aku persembahkan untuk para readers semua ^^

Aku ingin mengucapkan banyak banyak banyak banyak terimakasih atas komentar dan respon minna-san semua atas fic keduaku. Aku gak nyangka akan respon baik dan apapun yang diberikan untuk fic ini!

Untuk chap ini aku minta maaf atas ga ada feel berarti di fic ini, pendek, dan typo(s)… aku sudah ngantuk tp bgtu pengen menyelesaikan fic ini! Maaf atas segala keburuk rupaan fic ini, namanya juga orang belajar ya :P

Perjalanan panjang! Hehehe jujur saja, bagiku sulit membuat fic ini :P dan terima kasih lagi atas kemakluman pada readers semua atas segala kekurangan yang ada di fic ini. Terima kasih yg udah REVIEW! SEMUANYA! Yg ngefav juga terima kasih banyak :D

Selain ini aku ada multhichap baru, judulnya We're Different, bisa dilirik juga mungkin hahaa XDDD

Waktu yang semakin mendekati waktu ujian membuat waktu semakin padat. Maaf untuk semua yang merasa update semua fic jadi lama banget sekarang, ya itu semua karena waktu yg tidak memadai.

YOSUD! Bagaiman kesan dan pesan minna untuk fic ini dan mungkin untuk fic lainnya untuk kedepannya? Masukkan yang membangun sangat diharapkan dan celaan yang bisa dijadikan bahan refleksi diri untuk lebih baik menulis fic kedepannya ^^

RIPIU PLIS?

\(^_^)/

KLIK

V

V

V

V

V

V

V

V