Author's Notes: Setelah sekian lama bergelut dengan kehidupan (pekerjaan!) yang tiada hentinya, chapter ini dapat terupdate juga. Semoga berkenan di hati kalian.

Selamat membaca :)


Summary: Mampukah menemukan sehelai jerami di tumpukan jarum?

Genre: General

Rating: T

Disclaimer: Semua karakter Tekken milik Namco.


Sahabat Keluarga dan Hidupmu
oleh Another-of-Me

.

Chapter 3.2: Hey, Teman?

.

"Aku Menang!" Sahutnya riang sambil mengangkat kedua tangan ke atas seakan memperlihatkan keberhasilanya ke seluruh dunia. Sebaliknya hanya segelintir siswa yang sadar akan aksinya di kantin sekolah itu.

"Hanya sebagian, kawan, tidak sepenuhnya," balas temanya dengan mulut penuh nasi.

"Ohh….tetap saja perkiraanku tepat, Forest, ia kembali," kali ini ia sambil memainkan jari telunjuknya seperti seorang pemimpin lagu orchestra yang sebenarnya hanya untuk mengintimidasi temannya.

"Untuk enam bulan kedepan. Setengahnya saja tidak ada," ucap Forest masih mengutarakan pendapat radikalnya.

"Kalah tetaplah kalah, kawan, berikan saja hadiahku."

"Steve, Forest, bisakah kalian hentikan taruhan ini?" Tanya perempuan di sebelah Steve sambil membaca buku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan lainnya memutar-mutar gelas berisikan jus apel di atas meja, lalu menurunkan bukunya dan menghadap kedua temannya dengan tatapan seriusnya, "aku bosan mendengarnya!"

"Eits, tolong yang terlalu takut untuk taruhan tidak usah ikut campur dalam hal ini, oke?" Jawab Steve sambil mempraktekkan 'talk-to-my-hand' ke arahnya.

"Maaf, Julia, Steve ada benarnya: kali ini," tambah Forest dengan tambahan tawa kecil melihat aksi norak Steve.

"Kalian-!" Muka Julia merah merona dikatakan seperti itu. Ya, ia tidak ikut dalam taruhan karena itu bukan sifatnya. Merasa kalah ia minta bantuan temannya yang duduk di seberangnya. "Xia, bantu aku!"

Sayangnya yang diminta bantuan sedang sibuk dengan dunianya sendiri. Ia melamun lama menatap langit kantin yang penuh bercak debu. Kedua tangannya memainkan sumpit diatas meja padahal mie rebusnya sudah mekar karena terlalu lama terendam. Pikirannya melayang jauh di antara ada dan tiada.

"Xiaoyu!" Tegas Julia lagi.

Sepertii tersambar petir si pelamun segera tersadar dari mimpinya, sumpit hampir jatuh dari jari-jari kecilnya. Sesegara mungkin ia melahap hidangan di depannya sambil mengucapkan 'maaf' atau 'iya aku makan' di sela santapannya dan sesuai perkiraan lainnya ia tersedak oleh ulahnya sendiri.

Forest dan Julia segera membantunya, karena terdekat dengannya, yang satu menepuk-nepuk pundaknya yang lainnya menuangkan air ke gelas beningnya. Dua membantu, satu hanya melihat dengan tatapan malas.

"Kau tidak bosan?" Tanya Steve tanpa melepas tatapannya.

Xiaoyu menatap Steve panjang. Tatapan penuh perhatian darinya. Perhatian seorang teman, ia tahu itu. Anak laki-laki ini memang perhatian dengan orang-orang yang ia sayangi, terutama dengan... Ia tahu itu, dan sebaliknya ia pun juga perhatian terhadap Steve, terhadap Julia, terhadap Forest. Vice Versa.

"Tidak!" jawab Xiaoyu dengan penuh senyum lebar nan manis, sekejap meruntuhkan tatapan Steve yang dibangun sangat kokoh itu. Mereka, terutama si pirang, akan kalah dengan senyuman tulus dari si pendek ini.

Ini adalah cara persahabatan mereka, tidak tertutup satu dengan yang lain. Terbiasa mengatakan apa adanya di antara mereka. Baik atau buruk. Terkadang suka tersinggung dengan ucapan mereka sendiri, namun dituntaskan oleh mereka sendiri pula. Saling memaafkan, saling mendukung dan sama rasa.

Si pendek mengatakan, "Jika suatu hal yang buruk terjadi, dan semoga tidak," cepat-cepat ia tambahkan sebelum dipotong oleh teman-temannya, "aku tahu kemana aku harus pergi." Selesainya ia mengangkat tubuhnya dari kursi dan menepuk punggung Steve dengan puas lalu kembali duduk menyelesaikan makan siangnya.

Semua puas.

"Ahh Steve, itu makananmu datang dan kalian…" sambil menunjuk lainnya lalu melihat jam tangannya "mempunyai waktu sebanyak tiga menit untuk menikmatinya sebelum kita masuk ke mata pelajaran matematika yang kita cintai." Kata Julia dengan antusias.

"Siap, Laksanakan!" jawab Steve dan dengan segera melahap santapannya itu, akan tetapi langsung terhenti sejenak dan memberikan pandangan heran kepada Xiaoyu dan Law yang juga memberikan pandangan yang sama.

"Kita?"


Jin's POV

Aku tidak tahu apa yang aku lakukan benar atau salah. Meminjamkan buku tentu benar, namun meminjamkan ke seseorang yang tidak kita ketahui asal usulnya pasti salah, bukan? Apakah ia orang baik atau orang jahat? Di tempat ini, di kota ini, semua penuh ketidakpastian, tidak ada benar-benar putih atau hitam, semua serba abu-abu. Terkadang yang salah menjadi benar, yang benar menjadi salah.

Namun 'menolong' sudah menjadi sifat dasarku. Ya, sudah kupastika itu dan aku membencinya. Sekalipun aku mencoba memalingkan wajah, dadaku seperti mendapat pukulan telak dari musuh yang mampu membuatku seperti kehabisan nafas.

Ibu.

Ibu selalu memberi contoh yang tidak pernah bisa aku bayangkan. Ibu selalu mengatakan…

"Kazama!"

Tersentak aku menoleh kearah suara tersebut. Guru Matematika kami, Dick Emerson, menatap tajam sambil tersenyum jahat kearahku. Ia mendapatkanku lagi untuk bualannya. Aih... ini sudah kesekian kalinya dalam minggu ini.

"Ya, Pa-Sir Emerson? "

Satu-satunya guru yang hanya mau dipanggil dengan sebutan 'Sir' dengan alasan kalau ia adalah keturunan ksatria, yang kami percayai hanya bualan belaka, supaya para murid turut dan patuh kepadanya. Tinggi tubuhnya semampai dan kurus, serta rambut cepak kelimis selegam oli sama sekali tidak terlihat seperti keturunan para ksatria.

"Kau tahu apa salahmu kali ini?" Tanyanya.

Menulis saat dia berbicara. Mencari buku saat dia berbicara. Membuka halaman lain saat ia berbicara. Apa lagi kali ini? Kuberikan jawaban yang ia mau, menggelengkan kepalaku.

"Kau melamun!"

Oh, terlewatkan olehku. Aku segera mengucapkan permohonan maaf namun ia segera menghentikanku di tengah-tengah dan mengatakan, "Mungkin kau tidak akan mampu belajar dengan baik bila hanya meminta maaf. Karena itu aku akan membantumu untuk mengerti."

Pembual. Aku tahu persis bahwa ia hanya senang melihat murid-muridnya sengsara atas hukumannya. Aku sudah tertangkap basah di matanya, maka terpaksa aku ikuti hukuman-kesenangannya.

"Maju," katanya. Aku pun berdiri dan berjalan meninggalkan kursi dan mejaku yang semula adalah benteng pertahananku. Setidaknya aku merasa aman duduk di sana dengan buku-buku di atas meja dan alat tulis di tanganku. Aku bisa mencatat semua hal yang diajarkan dan mempunyai cukup waktu untuk menambahkan catatan kecil. "Sebagai hukumannya, kau tulis catatan ini di papan tulis."

Aku percaya ini akan berakhir saat pelajaran ini berakhir pula.

.

Normal POV

"Julia, kau percaya ini? Ini sudah ke tiga dalam minggu ini." Bisik Steve kepada teman di depannya.

Julia tidak menjawab.

"Empat. Aku melihat Sir Dick memberikan poin kepadanya karena membawa minuman ke perpustakaan." Bisik Forest yang duduk di sebelah kiri Julia.

"Kapan?" Tanya Xiaoyu dari belakangnya.

"Hari Rabu, setelah pulang sekolah."

"Ibu Susana tidak mempermasalahkannya selama tidak merusak buku...kan?" Tanya Xiaoyu dengan penasaran.

"Benar, namun tidak untuk Tuan Dick itu." Bisik Steve namun tegas.

"Sssstttt!" Julia segera menolong teman-temannya sebelum mata sang guru mendelik ke arah mereka.

.

Lagu Beethoven menderu di lorong sekolah menandakan usainya kegiatan belajar-mengajar di dalamnya. Para guru segera menutup pelajarannya dan ketua kelas segera membeikan instruksi kepada teman-temannya untuk memberi salam. Selanjutnya mereka segera meninggalkan ruangan untuk melanjutkan aktivitas di luar sekolah, mungkin pulang, mungkin menghadiri bimbingan belajar, mungkin kerja sambilan, atau hanya berkumpul dengan teman-temannya.

Jin hanya berjalan pelan menuju mejanya. Ia memberikan instruksi salam dari depan sehingga tidak sempat membereskan buku-bukunya. Menulis selama dua jam mata pelajaran cukup membuat kakinya lelah, tidak diijinkan duduk atau berhenti. Ibu jari dan jari telunjuknya serasa kaku saat ia coba menggerakkannya. Sesampainya di benteng, ia segera membenamkan kepalanya di kedua lengannya. Mencoba mengistirahatkan kepala, tangan, punggung dan kakinya sejenak, atau mungkin setengah jam, baru ia lanjutkan perjalanannya kerumah setelah catatan...

Itu rencana yang ia pikirkan, namun kenyataannya ia tidak bisa seperti itu. Ia harus segera pulang sebelum gelap. Jalan di perumahannya bukan tempat yang aman bagi anak sekolahan sepertinya. Terbukti saat ia kehilangan dompetnya. Arghh! Serunya dalam hati.

Jin menatap ke papan tulis, ia masih harus mencatat semua itu, namun ia sudah tertinggal jauh karena bagian yang sebelumnya telah terhapus. Satu-satunya cara adalah ia harus meminjam dari temannya, namun siapa? Semua selalu menolak atau memberikan alasan lain yang membuatnya tidak mampu untuk mencatat. Terakhir yang bisa ia minta tolong adalah Xiaoyu, namun ia sungguh terlalu takut untuk memberikannya. Haruskah ia minta pertolongannya lagi?

Sekali lagi Jin membenamkan kepalanya, kali ini dengan sedikit tambahan tekanan dan tidak ada tangan sebagai bantalannya, sehingga keningnya menyentuh buku di atas mejanya dengan bunyi berdebum.

Sampai akhirnya ia sadar bahwa ada tambahan buku di atas mejanya. ia ingat semua bukunya di sampul dengan rapi, namun yang tersentuh di keningnya…tanpa busana. Ia segera mengangkat lagi kepalanya dan melihat buku itu. Bukan, ini bukan miliknya. Punya sia-? Sebelum ia menyelesaikan pertanyaan di dalam kepalanya, secarik kertas terjulur keluar dari lembar buku itu. Ia menariknya keluar dan ada catatan kecil di sobekan kertas itu…

Ini seluruh catatan yang kau tulis di depan, anggaplah ini sebagai balas budi atas bantuanmu untuk meminjamkan catatanmu. Sesegera mungkin ku selesaikan.

Kembalikan saja buku ini kapanpun yang kau mau. Aku tak akan memintanya. Tak yakin pula mampu menyelesaikan catatanmu sampai besok pagi.

-Hwoarang.

Ps: Maaf tulisanku jelek hehehe… Uhh…teman?

Jika kita melakukan hal baik, maka hal yang baik pula yang datang kepada kita. Itulah yang ibu katakan….

-Bersambung-

Authtor's notes: Terima kasih, semuanya.