Sori baru sempet update sekarang. Aduh mak…. Tugas kuliah kok bejibun kayak gitu sih? Setiap hari begadang, rasanya kayak kerja rodi aja…

Oh ya, aku seneng banget liat akhir-akhir ini mulai bermunculan fanfic NaruGaa, karena pengaruhku? *ge-er

Ayo buat NaruGaa semakin Berjaya!

Ok, silahkan dinikmati! Ini chapter terakhir!


Sinar matahari yang menyelinap dari balik jendela membuat Gaara terbangun. Matanya mengerjap dan ia mencoba untuk bangkit. Namun, perutnya yang besar membuatnya kesulitan untuk bangun dan ia merebah kembali. Ia melihat ke sampingnya, mencari sosok suami tercintanya.

Lho… Naruto kemana?

Gaara berusaha bangkit pelan-pelan sambil mensupport perutnya yang besar. Matanya melirik ke arah jam dinding. Masih jam 8… Naruto biasanya pergi latihan jam 9…

Gaara membelai perutnya saat ia merasakan janin di perutnya bergerak-gerak, kehabisan tempat untuk menendang seperti dulu. Ia kini sudah menginjak umur kehamilan 9 bulan, ia bisa melahirkan kapan saja mengingat menurut Tsunade hari kelahiran janinnya sulit diprediksi.

Tinggal sebentar lagi…

Seandainya Gaara bisa bertemu dengan dirinya yang hidup di masa depan, ia ingin bertanya, apa yang akan terjadi padanya nanti? Tapi… belum tentu ia bisa hidup melewati bulan ini…

Gaara menggelengkan kepalanya, ia tidak boleh berpikir seperti itu! Ia harus tetap berpikiran positif, demi Naruto juga demi anak mereka.

Ngomong-ngomong soal Naruto…

"Okaa-san…!"

Nah, itu dia.

Gaara melihat Naruto memasuki kamar dengan nampan yang di atasnya terdapat beberapa potong roti bakar juga secangkir susu hangat. Melihatnya, Gaara segera tersenyum. Naruto dengan hati-hati menaruh nampan tersebut di meja di samping tempat tidur dan ia merunduk untuk memberi kecupan manis pada Gaara.

"Aku sudah membuatkanmu sarapan…," gumam Naruto ke telinga Gaara, membuat wajah Gaara memerah.

"Naruto…," protes Gaara sedikit saat sang suami malah mulai menciumi lehernya, memberikan banyak kiss mark baru. Naruto hanya menyeringai saat Gaara memukul pundaknya pelan karena dirinya mendorong sang istri untuk kembali merebah di atas tempat tidur dan ia merangkak ke atasnya.

Dengan sangat hati-hati, berusaha untuk tidak menekan perut Gaara yang besar, Naruto mencium istrinya dengan lembut, berusaha menikmati setiap rasa dan gerakan yang diberikan istrinya itu.

Gaara mengerang sedikit saat lidah Naruto memasuki mulutnya, tangannya segera melingkar ke leher Naruto, berusaha mendekap sang suami lebih dekat.

"Hyaa… Naruto!" pekik Gaara saat ia merasakan satu tangan Naruto menyelinap masuk ke piyamanya dan meremas dadanya yang sedikit membesar, seperti gadis dengan dada berukuran cup A.

"Ungh… hentikan…," gumam Gaara namun tak kuasa menahan erangan saat Naruto memberikannya kiss mark baru di sepanjang leher dan pundaknya sementara tangannya memanjakan dadanya yang tegang dan penuh dengan air susu itu.

"Tenang… aku tak akan kelewatan," gumam Naruto lembut, membuat Gaara sedikit lega. Semesum apapun Naruto, Gaara tahu suaminya itu tak akan membuat dirinya dan bayi dalam keadaan berbahaya.

Puas bermain-main dengan tubuh Gaara, Naruto segera bangkit, melihat sang istri sedikitnya mabuk kepayang karena sudah dimanja di pagi seperti ini.

Naruto sendiri sebenarnya kesulitan mengontrol diri, sejak Gaara memasuki trimester 3, ia tidak pernah melewati batas. Meskipun sangat menyakitkan bagi dirinya untuk menahan diri, tapi Naruto rela. Demi anak dan istrinya, apa sih yang tak akan dilakukan?

"Ah, Gaara, ayo cepat sarapan, nanti keburu dingin," kata Naruto, menuai cubitan di pinggangnya dari Gaara, membuatnya sedikit mengaduh kesakitan.

"Kan kamu yang malah menyerangku, dasar bodoh," omel Gaara membuat Naruto tertawa nervous.

Naruto membantu istrinya bangkit dan menyiapkan bantal agar istrinya bisa bersandar. "Aku bukan orang sakit…," gumam Gaara, tampaknya agak malu dimanjakan oleh Naruto seperti ini.

"Aku tahu, tapi si kecil ini kan sebentar lagi mau lahir…," kata Naruto, mencium perut Gaara dengan penuh kasih sayang.

Gaara hanya tersenyum melihatnya.

Sang istri segera menyantap sarapan yang disiapkan suaminya, sambil menahan Naruto yang kerap menciumnya di sini dan di sana, tak bisa membiarkannya makan dengan tenang.

"Kau tidak berangkat latihan?" tanya Gaara, selesai menghabiskan rotinya dan kini menengguk susu hangat.

"Aku sudah berangkat latihan," kata Naruto sambil menyeringai, Gaara segera memutar matanya. Pasti suaminya lagi-lagi berbuat curang, membuat kagebunshin untuk menggantikan dirinya latihan.

"Aku tidak mau jauh-jauh darimu…," gumam Naruto, mencium pipi Gaara lagi. Sang istri tersenyum kecil mendengarnya dan ia tidak menolak saat Naruto kembali mencium bibirnya.

"Aku cinta padamu…," gumam Naruto, membuat wajah Gaara memerah.

"Aku juga…," balas Gaara, mencium pipi Naruto.

Rasanya ia ingin waktu berhenti di sini, ia ingin terus begini. Bersama dengan Naruto, selamanya…

IoI

"Naruto, kau tidak apa-apa?"

Naruto – kagebunshin – tersentak saat Tsunade bertanya padanya. Di depannya terdapat bertumpuk-tumpuk gulungan yang disebut-sebut sebagai rahasia Negara tapi ia tidak tertarik sama sekali.

"Ah.. tidak kok…," kata Naruto sambil tersenyum, tapi Tsunade tahu kalau senyum itu tidak sepenuhnya tulus.

Tsunade mendesah, jujur saja, ia tidak tega melihat Naruto seperti itu. Wajah sedih tidak cocok untuk ninja yang sudah ia anggap sebagai keponakannya sendiri itu.

"Pakai kagebunshin pula, kalau para tetua tahu, kau bisa dipecat jadi calon Hokage," omel Tsunade, membuat Naruto tertawa serba salah.

"Ne.. Tsunade-baachan," gumam Naruto pelan, saat tawanya yang getir berhenti.

"Apa semuanya akan baik-baik saja ya…," gumam Naruto, membuat Tsunade merasa sedih. Wanita itu mendesah, sebagai ninja medis, bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Berat rasanya saat memberikan diagnose kalau pasien yang ia tangani umurnya hanya tinggal beberapa saat lagi atau kemungkinan hidupnya sangat tipis. Tapi, kali ini yang mengalaminya adalah Gaara, istri Naruto, membuat Tsunade merasa tidak berdaya.

"Semua yang akan terjadi, itu pasti yang terbaik," kata Tsunade sambil tersenyum pada Naruto. Naruto terdiam sebentar kemudian mengangguk.

Semoga itu semua benar…

Apapun yang terjadi, itu pasti yang terbaik…

IoI

"Ngh…"

Gaara mengerang sedikit, ia bisa merasakan perutnya menegang, membuat rasa sakit menjalar ke badannya.

Apa sudah waktunya?

Tapi… ia baru saja memasuki bulan ke 9… apa secepat itu…

Atau mungkin hanya kontraksi palsu saja?

Gaara melirik ke jam dinding, sudah tengah hari, ia sedang memasak makan siang sementara Naruto dan kagebunshinnya sibuk membersihkan rumah.

Namun, rasa sakit itu datang kembali, membuat Gaara tersentak dan piring yang ada di tangannya pun jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping.

"Gaara! Ada apa?" Naruto segera muncul di dapur begitu cepatnya, hingga membuat Gaara kaget. Wajah suaminya memucat saat melihat Gaara kesakitan dan tengah memeluk perutnya.

"Ngh… tidak… perutku cuma agak… ah…," Gaara mengerang kembali saat otot-otot perutnya menegang. Naruto segera menghampirinya dan menopang Gaara dengan tangannya.

"A-Apa sudah waktunya?" tanya Naruto, berusaha keras mengendalikan dirinya agar tidak panik.

"Aku… tidak tahu… ungh… Tsunade-sama…," gumam Gaara, setengah memeluk Naruto, tubuhnya terasa sakit dan ia mulai kehilangan tenaga untuk berdiri.

Naruto tidak perlu diberitahu dua kali, ia segera menggendong Gaara dan berlari ke luar rumah, tidak peduli apakah rumahnya sudah terkunci atau belum atau kompornya sudah mati atau belum. Yang paling penting adalah Gaara!

IoI

Begitu Naruto membawa Gaara ke rumah sakit, Tsunade segera datang dan mempersiapkan segalanya. Gaara diminta untuk berganti pakaian dan berbaring sebentar selama tubuhnya diperiksa untuk persiapan operasi.

Meskipun para perawat selalu memintanya untuk tenang, ia tidak bisa merasa tenang.

Seperti berada di antara hidup dan mati. Ada yang bilang, perjuangan seorang ibu untuk melahirkan anaknya sama seperti seorang prajurit yang membela negaranya dalam perang. Meski Gaara tidak akan melahirkan dengan cara yang normal, tetap saja nyawa adalah taruhannya.

Lagipula, ia bisa merasakan rasa panas pada lubang anusnya, mungkin tubuhnya masih berusaha beradaptasi untuk melahirkan secara normal, tapi tak mungkin itu terjadi.

Naruto sudah lama diusir keluar dari ruangan karena si pirang sendiri harus bersiap untuk bagiannya saat anak mereka sudah lahir.

Ya, menyegel anak mereka.

Karena itu, meski Gaara menderita karena rasa kesepian dan ingin sekali Naruto berada di sisinya, ia tidak protes. Naruto akan sangat panik dan membuang banyak tenaga bila ia berada di sampingnya.

Lagipula, kecupan dan kata-kata Naruto sebelum diusir keluar dari ruangan sudah cukup.

'Semuanya akan baik-baik saja.'

Gaara percaya itu, ia sangat percaya.

"Kau sudah siap Gaara?" tanya Tsunade saat ia memasuki ruangan dimana Gaara berada. Gaara terlihat ragu dan cemas namun ia tetap mengangguk, ia tidak punya pilihan lain selain menghadapi ini semua.

"Ada pesan untuk Naruto?" tanya Tsunade lagi, Gaara terdiam sebentar.

Seandainya setelah ini ia tidak bisa bertemu Naruto lagi. Seandainya setelah ini Naruto terpaksa membesarkan anak mereka seorang diri saja.

"Tolong sampaikan pada Naruto…"

IoI

Dengan kemajuan medis saat ini, seorang wanita yang ingin melahirkan bisa memilih jalan untuk persalinan sesar. Dengan kata lain, mengoperasi perutnya untuk mengeluarkan bayi yang ada di dalam kandungan. Apakah cara ini sebenarnya lebih baik daripada proses persalinan biasa, sebenarnya itu tergantung kepada masing-masing orang.

Karena setiap operasi memiliki resiko.

Itu juga yang diketahui Tsunade. Anatomi tubuh Gaara, laki-laki yang mampu mengandung, berbeda dengan wanita biasa. Sehingga ia tidak punya pengalaman lain ataupun buku yang bisa memberinya petunjuk bagaimana sebenarnya anatomi tubuh Gaara itu.

Tidak tahu anatomi, ia bisa membunuh Gaara pada saar operasi.

Tapi, tidak ada jalan lain selain mencobanya.

Keadaan tubuh Gaara baik, janin pun tak ada kelainan. Hanya tinggal operasi ini saja. Ia harus bisa menyelamatkan kedua nyawa yang ada di tangannya sekarang.

Karena Naruto sudah menunggu di luar sana.

Tsunade menarik napas, ia kemudian menatap Sakura dan Shizune yang menjadi asistennya.

"Ayo kita mulai, pisau.."

IoI

Yang paling Naruto benci adalah menunggu. Karena saat menunggu artinya ia tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya menunggu apa yang akan terjadi, seakan pasrah dengan semua yang akan terjadi.

Seperti saat ini. Ia menatap ruang operasi dengan perasaan kalut. Seperti jantungnya ingin melompat keluar dari mulut. Matanya dengan lurus hanya menatap pintu operasi, berusaha untuk tidak membayangkan apa yang ada di balik sana.

Ia tahu Tsunade akan melakukan yang terbaik dan Gaara pun akan berjuang sekuat tenaga.

Sekarang ia hanya bisa berdoa, berharap Gaara dan bayi mereka dapat selamat kemudian mereka akan menjadi keluarga yang bahagia.

Seandainya Gaara tidak selamat, Naruto tidak mampu membayangkan apa yang akan terjadi. Bagaimana ia akan membesarkan bayi mereka seorang diri? Mampukah ia melihat wajah anaknya bila ia begitu mirip dengan Gaara? Bagaimana bila ia menanyakan tentang Gaara nanti? Apa yang harus ia lakukan?

Naruto tidak mau membayangkan, rasanya terlalu pahit. Matanya terasa panas, air matanya terasa ingin menetes. Tapi, ia tidak boleh menangis.

Tidak sebelum operasi selesai.

"Yo, Naruto."

Naruto tersentak dan menoleh untuk melihat dua guru mesumnya datang menghampirinya.

"Kakashi-sensei, Ero-sennin," gumam Naruto sedikit terkejut.

"Kau baik-baik saja?" tanya Jiraiya, segera duduk di samping Naruto. Anak didiknya itu hanya bungkam, tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Wajahnya seperti awan mendung yang belum hujan.

"Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja," kata Jiraiya, menepuk pundak Naruto. Si ninja berambut pirang itu hanya mengangguk pelan.

Kakashi bersandar di dinding tak jauh dari mereka, ia membuka novel mesumnya tapi matanya tak membaca kata yang ada di sana. Begitu pula Jiraiya yang ikut memperhatikan pintu ruang operasi. Mereka berdua sedikitnya bisa merasakan apa yang Naruto rasakan.

Meski tentu saja, apa yang Naruto rasakan lebih berat.

Detik demi detik berlalu, baru kali ini Naruto merasakan betapa panjang waktu satu detik itu. Setiap detik itu selalu ia panjatkan doa. Entah apakah Kami-sama mendengar doanya atau tidak, tapi ia tidak bisa berhenti berharap dan berdoa.

Ia akan melakukan apa saja asalkan Gaara selamat, apakah itu setengah dari umurnya, bagian tubuhnya atau kebahagiaannya, ia mau merelakan itu semu asalkan Gaara dan anak mereka selamat.

Ia sangat mencintai istrinya, sangat… ia tidak tahu sejak kapan tapi ia tidak bisa hidup tanpa Gaara sekarang.

Ia yang dulu selalu hidup sendirian, tidak mengerti apa itu arti sebuah keluarga, selalu berharap untuk bisa memiliki keluarga, kini setelah memiliki keluarga, ia tidak ingin kehilangan hal itu lagi.

Meski ia dan Gaara sama-sama tidak mengerti bagaimana menjadi orang tua, tapi mereka tetap belajar bersama. Hidup bersama, belajar saling mencintai. Meski kadang ada pertengkaran juga tangis, tapi lebih banyak kenangan bahagia yang terukir pada ingatan tentang keluarga barunya.

Gaara sudah mengabulkan permintaannya yang paling dalam, keinginannya untuk memiliki sebuah keluarga.

Memiliki orang untuk dilindungi, memiliki orang yang menanti di rumah, memiliki orang yang senantiasa mengkhawatirkan keadaannya, memiliki orang yang bisa diajak bicara di rumah… semuanya dikabulkan oleh Gaara.

Setiap ia pulang selalu ada Gaara yang setia menantinya, terdapat makanan hangat tersedia di meja makan. Rasanya semua rasa lelah segera sirna.

Bagaimana ia bisa tidak mencintai istrinya itu?

Sekarang, ketika ia sudah terbiasa hidup bersama Gaara, bagaimana ia bisa hidup tanpa istrinya itu?

Ia tidak tahu apakah ia bisa bertahan tanpa melihat Gaara yang sedang memasak sarapan di pagi hari, tanpa mengecup dan mengucapkan salam sayang padanya, tanpa memakan masakan buatannya yang enak dan hangat…

Kami-sama… tolong, bagaimana pun caranya selamatkan lah Gaara…

"Oeek… oeek…"

Dan terdengar sebuah tangisan yang seperti suara malaikat.

Naruto terdiam mendengarnya, air matanya mengalir tanpa sadar.

Itu… anaknya?

"Naruto…," tepuk Kakashi pada pundak Naruto, menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.

Naruto masih terpaku di tempat. Anaknya… sudah lahir? Selamat dan sehat? Bagaimana dengan Gaara? Ga-Gaara!

Pintu operasi tak lama terbuka, keluarlah Sakura yang menggendong sebuah bungkusan kecil. Mata Naruto segera terarah padanya tapi wajahnya masih terlihat bahwa ia tak percaya dengan apa yang terjadi.

"Naruto…," panggil Sakura, senyum kecil terpulas di wajah sahabatnya itu.

Naruto bangkit perlahan menghampirinya, bertanya-tanya apakah ini sebenarnya mimpi atau kenyataan.

Naruto melihat sosok bayi yang masih agak merah yang terbalut oleh kain berwarna putih, rambutnya tipis dan agak lepek berwarna oranye, matanya masih terpejam dan bayi itu masih menangis pelan.

"Dia laki-laki," kata Sakura lagi. Ninja medis itu segera menyerahkan bayi mungil itu ke dekapan Naruto yang masih sulit mencerna apa yang sedang terjadi.

Ada rasa takut saat Naruto mendekap bayi itu, begitu kecil dan rapuh, apakah tangannya yang terbiasa memegang senjata ini bisa menggendong bayi itu tanpa melukainya. Tapi, rasanya begitu kecil dan hangat.

Mata bayi itu terbuka, membuat Naruto terpana.

Warna matanya… berbeda antara kanan dan kiri?

Yang satu berwarna biru langit, yang satu berwarna kehijauan.

Warna matanya dan Gaara…?

Sepasang mata kecil itu menatapnya sebentar sebelum terpejam kembali.

"Naruto… ini saatnya…," Naruto mendengar salah satu gurunya bicara namun ia tidak bisa mengenal siapa yang bicara padanya.

Benar… benar…

Ini adalah saatnya untuk melakukan penyegelan.

IoI

Kakashi dan Jiraiya dengan serius menatap Naruto yang menggambarkan banyak huruf di lantai dengan darah yang mengalir dari tangannya. Bayi mungil yang terbungkus kain putih itu tertidur di tengah lingkaran yang berhiaskan banyak huruf yang ditulis Naruto.

Butuh sebulan untuk Naruto agar ia bisa mengingat semua huruf ini, biasanya setiap latihan, ia selalu membuat kesalah di sini dan di sana. Tapi, sekarang Naruto menulisnya dengan lancar dan cepat. Wajah Naruto yang lurus, tanpa ekspresi, membuat Kakashi sempat bingung apakah pemuda itu adalah muridnya atau bukan.

Begitu Naruto selesai menuliskan huruf terakhir, Naruto segera berjalan menuju tengah lingkaran. Bayi yang tertidur di tengah sana adalah tujuannya. Naruto menuliskan beberapa huruf di tubuh bayi itu, kemudian ia menaruh telapak tangan kanannya pada bayi itu.

Jiraiya dan Kakashi memandang tubuh Naruto mulai diselimuti chakra berwarna merah. Matanya segera berubah menjadi berwarna merah. Huruf-huruf yang tertulis di lantai segera menyala berwarna merah dan bergerak tertarik ke arah bayinya.

Naruto bisa merasakan ada chakra lain yang berada di tubuh bayi itu. Chakra yang aneh yang membuat chakra bayi itu sedikit tidak beraturan.

Inilah chakra yang harus disegel.

Yang harus dipisahkan dengan chakra utama pada tubuh bayi itu.

Memisahkan chakra itu untuk disegel terasa sulit. Naruto tidak bisa mengetahui dengan jelas dimana ujung chakra tersebut. Seperti kedua chakra itu sudah hampir menyatu seluruhnya. Keringat Naruto mengalir, ia berusaha menarik chakra yang harus ia segel sambil bertanya-tanya apakah chakra bayi itu pun akan tertarik dan tersegel olehnya.

Tapi… ia tidak boleh ragu.

Setelah menarik chakra yang harus ia segel, Naruto segera mengeluarkan chakra lebih banyak, membuat segel, menarik semua huruf yang ia gambar ke bawah tangannya.

Ia bisa merasakan chakra perlahan-lahan mulai terkuras. Ia tidak menyangka chakra yang harus ia segel sedemikian besar. Tangannya mulai terasa sakit tapi ia tidak peduli.

Ia harus menyelesaikan segel ini.

"Naruto!"

Sayup-sayup ia bisa mendengar teriakan dan panggilan dari beberapa orang tapi ia tidak mendengarkannya. Fokusnya mulai pecah tapi ia mengerahkan seluruh tenaganya pada satu titik.

Ia harus berhasil.

Harus berhasil.

Sedikit lagi.

Sedikit lagi…

Sedikit…

"Naruto!"

Itulah yang ia dengar sebelum pandangannya menjadi hitam dan tubuhnya ambruk ke lantai.

IoI

Sinar matahari yang tanpa ampun menerjang dari balik jendela membuat Naruto mengerjap dari tidurnya karena silau. Matanya perlahan-lahan terbuka sebelum mengerjap sedikit karena silau dengan sinar matahari.

"Ukh…," erangnya, merasakan tubuhnya terasa kaku dan sakit.

"Naruto! Kau sudah sadar?" ia bisa mendengar seseorang di sampingnya.

"Sakura…?" tanya Naruto, kepalanya masih terasa pusing dan ia tidak bisa fokus.

"Dasar bodoh! Kau tahu kau membuat kami semua khawatir! Apa-apaan kamu mengeluarkan semua chakramu sampai hampir habis seperti itu!? Kau bisa mati, kau tahu!?" omel gadis berambut pink itu, bulir air mata menggenang di sudut matanya.

Naruto tidak benar-benar mendengar apa yang dikatakan temannya itu, tapi ia tahu gadis itu sangat marah juga khawatir padanya.

"Maaf…," gumam Naruto sambil tersenyum lemah.

Naruto menutup matanya lagi, ia masih merasa lelah dan tubuhnya sakit. Ia ingin tidur…

Tapi, sosok berambut merah terbesit di benaknya sebelum ia bisa melayang ke alam mimpi.

Gaara!

"Gaara! Apa yang terjadi pada Gaara? Gaara!" Naruto segera bangkit dan panik di atas tempat tidur, membuat Sakura terkejut.

"Naruto, tenanglah! Chakra masih tipis! Jangan bergerak terlalu banyak!" omel gadis itu, berusaha memaksa pemuda itu kembali merebah di tempat tidur.

"Gaara baik-baik saja!" kata-kata itu membuat Naruto berhenti meronta dan terpana. Ia membiarkan dirinya di dorong kembali ke tempat tidur.

"Benarkah…?" tanya Naruto.

"Yah, sebenarnya Gaara sempat mengalami kritis karena perdarahan hebat, tapi kondisinya sudah stabil, jadi ia akan baik-baik saja," jelas Sakura.

Beban yang selama ini menghantui perasaan Naruto tiba-tiba lenyap, membuat hati Naruto terasa lega.

"Penyegelan anakmu juga sukses, ia sedang tertidur bersama Gaara di kamar lain," kata Sakura lagi, membuat semua rasa khawatir Naruto menghilang.

Sekarang setelah semua bebannya menghilang, Naruto merasa dirinya sangat lelah dan mengantuk.

"Tidur lah, nanti habis tidur kau bisa menemui mereka," bujuk Sakura, menyelimuti tubuh Naruto. Naruto mengangguk pelan dan matanya segera terpejam. Sakura hanya tersenyum, akhirnya Naruto bisa tidur dengan wajah damai dan tenang.

IoI

"Gaara!"

Gaara tersentak dari tempat tidurnya, ia terkejut saat mendadak kamar tempatnya dirawat tiba-tiba didobrak masuk oleh sosok ninja berambut kuning seperti durian.

Senyum terpulas di wajahnya, melihat suaminya yang panik segera menghampiri dirinya.

"Naruto! Sudah kubilang jangan lari-lari dulu, bodoh!" sayup-saup ia bisa mendengar teriakan Sakura dari luar.

Tapi, Naruto tidak mendengarkannya dan segera menghampiri Gaara. Wajah Naruto keringatan, matanya terbelalak dan terpaku pada Gaara yang tersenyum padanya. Tangannya sedikit gemetaran, segera terangkat dan meraih wajah Gaara. Gaara balas menggenggam tangan suaminya itu di pipinya.

"Maaf sudah membuatmu khawatir," gumam Gaara.

Air mata segera mengalir setetes demi setetes dari sepasang mata biru langit itu. Ia mendekap Gaara tiba-tiba, membuat istrinya itu kaget.

"Syukurlah… syukurlah…," gumam Naruto, menenggelamkan kepalanya ke pundak Gaara.

Gaara hanya tersenyum lembut, dengan pelan ia mengelus-elus punggung Naruto yang gemetaran.

Sakura hanya memandang mereka dari dekat pintu dan tersenyum. Setelah Naruto bangun tadi, yang langsung ia lakukan adalah mencabut infuse dan berlari ke luar kamar seperti orang kesetanan. Meski tahu Gaara baik-baik saja, mungkin pemuda itu tidak akan percaya sebelum melihat dengan matanya sendiri.

"Lihat… anak kita…," gumam Gaara, membuat perhatian Naruto teralih.

Naruto melepaskan pelukan Gaara perlahan dan melihat box kecil yang ada di samping tempat tidur Gaara.

Di dalam sana terbaring sesosok bayi kecil berambut oranye. Kulitnya masih agak merah dan matanya terpejam. Perlahan-lahan senyum mengembang di bibir Naruto. Bayi itu kelihatan seperti malaikat kecil. Begitu manis dan damai.

"Namanya…?" tanya Naruto.

"Aku juga belum tahu…," jawab Gaara.

Naruto mengulurkan tangannya, meraih bayi itu dengan lembut. Ia mendekapnya dengan hati-hati. Lalu ia berjalan menghampiri Gaara yang terbaring di tempat tidur. Ia pun duduk di samping Gaara yang masih kelihatan lelah.

"Ia mirip denganmu," gumam Naruto sambil tersenyum. Wajah Gaara agak kemerahan mendengarnya.

"Matanya berbeda warna lho, antara kanan dan kiri," kata Naruto lagi, ia mengelus-elus pipi bayinya dengan jarinya.

"Iya… kata Tsunade, mungkin pengaruh dari chakra para bijuu," kata Gaara.

"Kau tidak menyusuinya Gaara?" tanya Naruto membuat wajah Gaara memerah.

"Na-Nanti kalau sudah bangun…," gumam Gaara dengan wajah merah.

Naruto hanya ber-hmm saja. Ia memandang wajah bayinya dengan perasaan damai.

Anak ini adalah darah dagingnya dan Gaara. Hasil cinta mereka.

Akhirnya, setelah 9 bulan penuh rintangan dan cobaan, mereka sampai pada hari ini…

"Ryuuki…"

Naruto menoleh pada Gaara. Wajah istrinya itu masih agak kemerahan. "Ryuuki… daritadi aku memikirkan nama itu, menurutmu bagaimana?"

"Ryuuki? Ksatria naga?" tanya Naruto, Gaara mengangguk pelan.

Naruto tersenyum, Ryuuki… ya?

"Bagus kok… aku suka," jawab Naruto. Gaara merasa lega mendengarnya.

Mereka terkejut saat ada orang lain yang masuk ke kamar mereka.

"Tsunade-baachan?" tanya Naruto. Tsunade hanya mendengus, tidak mau menanggapi panggilan Naruto padanya.

"Ternyata kau juga ada di sini, baguslah… ada yang harus aku beritahukan padamu," kata Tsunade, membuat Naruto dan Gaara saling berpandangan dengan khawatir.

"Ini soal anak kalian…," gumam Tsunade.

"Ryuuki," ralat Naruto. Tsunade sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum.

"Ya, Ryuuki. Penyegelan chakra Ryuuki berjalan dengan sukses, hanya saja…," kata-kata Tsunade terputus membuat Naruto dan Gaara menjadi cemas.

"Hanya saja… apa?" tanya Gaara.

"Chakra Ryuuki ikut tersegel, hampir setengahnya," jawab Tsunade. Mereka berdua tidak mengerti apa yang akan terjadi karena itu.

"Intinya mulai dari sekarang, Ryuuki hanya memiliki setengah chakra dari orang biasanya pada umumnya," jelas Tsunade dengan pahit.

Setengah chakra orang biasa?

Dada Naruto seperti diremas, apa ini karena penyegelannya salah? Ia melakukan kesalahan?

"Tapi tenang saja, nyawanya tidak terancam. Ia hanya akan butuh waktu tidur lebih lama juga makan lebih banyak dari orang biasa… mungkin juga…," kata-kata Tsunade terputus lagi.

Naruto dan Gaara terdiam di tempat, menanti Tsunade melanjutkan kata-katanya.

"Mungkin… ia tidak bisa jadi ninja nanti," lanjut Tsunade, seperti menusuk hati Naruto.

Tidak bisa jadi ninja?

Ia menatap bayi yang tertidur di dalam dekapannya.

Ini semua salahnya?

"Tapi kita masih belum tahu, kita bisa lihat saat ia sudah besar nanti, tenang saja Naruto," kata Tsunade menenangkan Naruto.

Naruto mengangguk pelan.

"Ia lahir sehat dan utuh saja sudah cukup kan, Naruto?" tanya Gaara, membuat Naruto tersenyum tipis.

Benar… itu benar…

"Setelah ia cukup besar nanti, kita bisa mencari cara lain untuk memperbaiki chakranya, tapi untuk sekarang ia akan baik-baik saja," tambah Tsunade. Naruto mengangguk lagi, kali ini lebih pasti.

"Terima kasih," katanya.

"Oh, dan Gaara, kau bisa mencoba menyusui Ryuuki segera setelah ia bangun," kata Tsunade, membuat wajah Gaara memerah lagi.

"I-iya, terima kasih, Tsunade-sama," katanya terbata-bata.

Tsunade hanya tersenyum dan segera pergi keluar, meninggalkan keluarga baru itu. Naruto segera menyerahkan bayi itu ke dalam pelukan Gaara. Mereka berdua termangu saat mata bayi mereka perlahan-lahan terbuka. Sepasang mata yang berbeda warna itu menatap mereka. Tangannya yang kecil berusaha meraih sesuatu, membuat air mata Gaara menggenang.

Ia tidak peduli apakah Ryuuki bisa menjadi ninja atau tidak tapi… bayinya bisa lahir sehat dan utuh saja, ia sudah sangat bersyukur.

Ia mengecup kening bayinya dengan lembut, merasakan cinta yang meluap dari hatinya untuk bayi kecilnya itu.

"Gaara, waktunya kamu menyusui Ryuuki," kata Naruto, memecah perhatian Gaara.

Gaara menoleh padanya dengan kesal, wajahnya agak merah. Tapi ia kemudian mendesah dan menurut.

Ia membuka baju rumah sakit yang ia kenakan sedikit. Memperlihatkan dadanya yang kecil namun penuh dengan air susu. Dengan hati-hati ia mengarahkan Ryuuki ke dadanya dan bayi kecil itu dengan instingnya, segera menyusu dengan lahap.

"Aku juga mau…," gumam Naruto, menuai cubitan dari Gaara.

"Dasar mesum! Tidak boleh!" omel Gaara, membuat Naruto cenge-ngesan saja.

Naruto tersenyum melihat Gaara dengan hati-hati menyusui Ryuuki. Keluarga kecilnya ini… meski aneh, tapi ia sangat mencintai mereka.

"Aku cinta kalian berdua," gumam Naruto kemudian mengecup pipi Gaara.

Gaara mengangguk dan bersandar pada dada Naruto yang duduk di sampingnya.

Ia juga merasa sangat bahagia… sangat bahagia…

Ia bersyukur pada hari itu, Sai memberikan saran agar mereka berdua menikah pura-pura, kemudian mereka menikah, Naruto menyerangnya dan ia pun hamil, tapi… semua rangkaian kejadian itu memberikannya hadiah yang tak tergantikan harganya.

Seorang bayi yang seperti malaikat juga suami yang pengertian.

"Aku juga mencintai kalian berdua," gumam Gaara, mengecup pipi Naruto balik.

Ya, mereka sangat bahagia.

Sangat bahagia.

Fin


Tamat! Tamat! Akhirnya!

Terima kasih untuk para reviewer sampai sekarang! Terima kasih banyak!

Ok, segera voting! Ada yang mau sekuelnya? Isinya tentang bagaimana Gaara dan Naruto berusaha membesarkan bayi mereka kemudian Gaara hamil untuk kedua kalinya. Yosh! Review! Voting!