"Kau yakin ini bakal berhasil?"

"Tentu saja."

"Ada apa, Sasuke-kun?"

"Sakura..."

"Yaa~?"

"Mau—maukah... maukah kau—"

"...?"

"—bikin Uchiha-Uchiha kecil denganku?"

"..."

"Sensei..."

"Ahaha sepertinya gagal, ya. Yare yare~"


Al-Shira Aohoshi deviantArt

Proudly Presents

.

a 2011 NARUTO FanFiction

©Andromeda no Rei

.

.

Side Story of "くそ! Sharingan Itu Memang Ajaib!"

.

TIGA TOMOE

「俺たちの貴重な巴」

.

.

Standard Disclaimer Applied

.

.

T-Rated

Family/Romance/Drama/Friendship/Humor

.

Warning :

Canon—Alternate Timeline, Next Generation Characters, (I'm trying so hard not to make it)OOC, Typo, abal, aneh, ngaco

.

.

DON'T LIKE? DON'T READ!

~I've Warned You~

.

.

.


BAB I

Tomoe Pertama, Uchiha Ken

.

.

.

JLEBB

"Whoaa~ Keren! Keren!"

"Nah, begitu cara melempar kunai yang benar!"

"Haah aku juga bisa!"

Terdengar desisan-desisan cempreng dari arah lapangan latihan dekat distrik Aburame siang itu. Tampak beberapa anak-anak akademi sedang mempraktekkan hal-hal mendasar dalam latihan ninja yang mereka pelajari di kelas. Dentingan logam yang saling beradu terdengar sangat nyaring di daerah itu, membuat beberapa serangga penghuni distrik Aburame sedikit kesal.

Eh? Serangga kesal?

Lupakan.

Di lapangan hijau itu tampak seorang anak laki-laki yang paling menonjol. Ah, mungkin karena ialah yang paling mahir mengendalikan kunai—melemparnya tepat sasaran tujuh kali berturut-turut—bahkan salah satunya mengenai sasaran yang berada di balik batu.

Uchiha Ken namanya.

Baru seminggu yang lalu penerus pertama klan Uchiha itu mengikuti upacara penerimaan murid baru di Akademi Ninja. Rambut raven jabrik dan postur tubuh sempurna, sangat Uchiha Sasuke. Mata viridian cerah dan kulit kuning langsat, sangat Haruno Sakura.

Namun, bagaimana mungkin anak laki-laki itu merupakan hasil fotokopi sempurna dari Sasuke dan Sakura yang notabene sangat kontras satu sama lain dan—yang paling penting : bukankah mereka musuh? Bukankah Sasuke itu salah satu tokoh antagonis yang tak termaafkan?

Dan lagi-lagi, kau harus tahu beberapa hal penting. Bukan Uzumaki Naruto namanya, jika tidak bisa menghentikan perang dunia shinobi keempat—sepuluh tahun yang lalu. Bukan putra kebanggaan Yondaime Hokage namanya, jika tidak bisa mengalahkan Uchiha Madara—yang pada kenyataannya, saat itu Uchiha Sasuke bahkan turut membantu sang jinchuuriki pirang. Dan bukanlah seorang Hokage sebutannya, jika tidak bisa melindungi teman yang paling berharga baginya.

Karena Konoha-lah tanah kelahiran Uchiha.

Karena Konoha-lah tempatnya, kakak laki-lakinya, dan seluruh keluarganya dibesarkan.

Karena Konoha-lah kampung halamannya—yang menyimpan sejuta kenangan menyakitkan dan menyenangkan secara bersamaan. Paling tidak, bukankah ia pernah mengatakan tidak ingin lagi kehilangan orang-orang yang berharga baginya? Bukankah itu artinya masih ada noktah bersih di antara gulita sanubarinya?

Karena bagaimanapun, rumah untuknya pulang adalah

—Konohagakure.

.

.

"Tuh 'kan, Ken-kun memang hebat!" seru seorang gadis kecil berkepang dua. "Mau nggak ngajarin aku dan Riku-chan dan Ryuu-kun?"

Anak laki-laki bermata lavender yang dipanggil Ryuu menaikkan sebelah alisnya. "Aku nggak perlu diajarin Uchiha! Aku bisa sendiri, kok," ujarnya seraya menepuk-nepuk dadanya. "Iya 'kan, Riku-chan?"

"Aku nggak keberatan diajarin Ken-kun," jawab gadis berambut pendek berponi yang memiliki warna mata yang sama dengan Ryuu, Hyuuga Riku. Ia tersenyum lebar. "Tapi sekarang nggak bisa. Kalian ingat 'kan okaa-san bilang kita harus pulang sebelum jam dua belas?"

"Benar juga," sahut Ryuu. Ia menatap si gadis berkepang. "Sekarang jam berapa, Mikan-chan?"

"Mana aku tahu," jawab Mikan—gadis kecil berambut brunette itu sambil melipat tangannya di depan dada. "Aku 'kan belum bisa pake byakugan seperti otoo-san."

"Eh? Memangnya byakugan bisa buat lihat waktu?" tanya seorang anak laki-laki berambut hitam sebahu. Tatapan mata saphire-nya berbinar-binar tak percaya.

"Aku nggak pernah bilang begitu, Takeshi-kun." Mikan membuang muka.

"Tadi kau bilang—"

"Haaahhh memangnya salah kalau aku belum bisa mengendalikan byakugan seperti Riku-chan dan Ryuu-kun?" Mikan menggaruk-garuk kepala brunette-nya frustasi. Ia kemudian menyambar pergelangan tangan Riku dan Ryuu dan menyeret mereka untuk bergegas pergi meninggalkan lapangan itu. "Ayo pulang, Riku-chan, Ryuu-kun! Aku nggak mau tahu kalau okaa-san marah lagi."

Ken menatap kepergian tiga anak kembar yang semakin menjauhi training field itu. Ia menolehkan kepala raven-nya pada satu-satunya anak yang tersisa—Nara Takeshi. "Kau masih mau latihan, Takeshi?" Ken menelengkan kepalanya, menatap Takeshi dengan pandangan oh-so-innocent kebanggaannya.

Takeshi mengangkat bahunya. "Aku juga harus pulang," jawabnya pelan. "Kaa-san pasti sibuk di toko bunga dan aku harus menemani Deishi bermain sekaligus menjaga Akira."

"Begitu..." desah Ken kecewa. "Shikamaru-jiisan pasti sibuk sekali, ne."

"Iya, too-san akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu di kantor Hokage dan kantor penyelidikan ANBU."

"Yasudah kalau begitu." Ken menghela napas berat. "Sampai nanti."

"Sampai nanti."

.

.

.

Kaki-kaki kecil Ken yang terbalut sandal ninja membawanya ke daerah pertokoan Konoha. Bibirnya kering, tampak sekali bahwa Uchiha kecil itu kehausan. Lalu mengapa tidak pulang saja dan meneguk habis sari jeruk di lemari es?

Tentu saja tidak bisa.

Rumahnya terkunci rapat karena kedua orangtuanya harus menjalankan pekerjaan mulia demi desa tercintanya. Sedangkan salah Ken sebelum berangkat ke akademi pagi tadi, ia mengatakan akan pulang lebih sore hari itu. Dan inilah bocah pemilik mata viridian itu sekarang, merutuki dirinya yang sedikit sok. Mirip siapa sih anak ini?

Jangan dijawab jika kau masih sayang nyawa.

Tiba-tiba raut wajah kusutnya berseri-seri kala mendapati seseorang yang baru saja keluar dari sebuah toko sayur yang agak ramai. Seorang wanita yang begitu dikenalnya. Wanita itu tampak mengenakan baju merah maroon yang dipadukan dengan rok pendek keunguan dan jas putih selutut. Rambut merah muda sebahunya bergoyang pelan ketika ia menganggukkan kepalanya, menyapa seorang yang mungkin dikenalnya. Wanita itu kelihatan sedikit kesulitan membawa belanjaannya dalam kertas cokelat dalam dekapannya.

Ken tersenyum lebar.

"KAA-SAAAANNN~!"

Haruno—err... Uchiha Sakura menolehkan kepala permen kapasnya ke asal suara cempreng yang begitu dikenalnya dan tersenyum lembut. "Ken-kun," ujarnya pelan.

Ken berlari ke arah sang ibu dan memeluk pinggangnya erat—mengingat saat itu ia hanya setinggi perut Sakura. "Kaa-san..." gumam Ken.

"Ne, Ken-kunkaa-san sedang membawa belanjaan," ucap Sakura disertai kikikan geli karena rambut jabrik Ken yang menggelitik perutnya.

Ken melepaskan pelukannya dan mendongak menatap Sakura dengan wajah berbinar-binar. "Kaa-san," ujarnya seraya menengadahkan kedua tangan kecilnya. "AKU MAU ADIK."

Ohh ternyata ia—APAA?

Sakura membelalakkan matanya. Ia pasti salah dengar, ia pasti salah dengar! Mengapa—mengapa Ken harus mengatakan hal seperti itu—di tengah daerah pertokoan yang cukup ramai—dengan nada riang dan cukup keras untuk didengar semua pejalan kaki yang melewati mereka?

Sakura nyengir kuda. Ia tidak tahu harus menjawab apa di saat mukanya sudah semerah tomat yang baru dibelinya tadi. "Err... Ken—"

"Riku, Mikan, dan Ryuu punya adik. Ma-maksudku... mereka memang kembar, tapi tetap saja Mikan dan Ryuu itu adiknya Riku," Ken membuang mukanya dan menggembungkan pipi tembemnya yang sedikit memerah. "Takeshi juga punya Deishi, dan baru dua minggu lalu punya adik bayi lagi, Akira."

Sakura seakan tidak percaya atas apa yang didengarnya.

"Lalu kenapa aku nggak punya saudara?"

Lagi-lagi Ken mengucapkan kalimat-kalimat yang membuat seluruh ibu di dunia blushing berat. Dan mengapa sih bocah itu harus mengucapkannya dengan suara cempreng yang (agak) keras? Belum puaskah ia membuat sang ibu dilirik-lirik oleh hampir setiap warga dan shinobi yang lewat dengan muka merah padam sejak semenit yang lalu?

Oh baiklah, sekarang wanita berambut sewarna bubble gum itu merutuki pemilik toko bunga Yamanaka—sahabatnya sendiri—yang memiliki tiga orang anak dalam waktu yang relatif singkat! Bahkan ia sempat dengar dari ibu si kembar-tiga—Hyuuga Tenten—bahwa Ino berencana nambah satu lagi tahun depan. Apa-apaan itu? bukankah Shikamaru pernah bilang cuma ingin punya dua anak—laki-laki dan perempuan? Yang benar saja!

"Kaa-san?" Ken menelengkan kepalanya, bingung menatap Sakura yang hanya bengong menatap putra semata wayangnya dengan ekspresi—err... pasrah? "Kaa-san baik-baik saja?"

"D-daijoubu yo, Ken-kun," jawab Sakura dengan suara bergetar.

"Terus kena—"

"Sakura? Ken?"

Suara itu.

Suara baritone itu.

Suara seksi mandraguna yang saat ini tidak ingin didengar Sakura. Tidak cukupkah Ken membuatnya malu saat ini? Mengapa pula suara itu turut membuat mukanya semakin merah?

"Ah, too-san!"

Ken memutar tubuh-tujuh-tahunnya dan mendapati sang ayah berdiri di atap sebuah toko. Senyum puas terukir di wajah segar bocah itu.

Uchiha Sasuke melompat turun dan berpijak tepat di sebelah Sakura yang masih mematung dengan keringat dingin bercucuran di pelipisnya serta wajah yang semakin menyamai baju yang dikenakannya.

"Kau kenapa, Sakura?" sebelah alis Sasuke terangkat melihat kondisi istrinya yang agak aneh. Iris onyx-nya kemudian beralih pada makhluk kecil berambut raven di bawahnya. "Kau apakan kaa-san, Ken?"

"Apa? Aku cuma minta sesuatu kok," jawab Ken dengan watadosnya.

"Hadiah—maksudmu?" Sasuke berjongkok dengan bertumpu pada sebelah lututnya, menyamakan tingginya dengan sang buah hati. Ken mengangguk mantap. "Apa yang membuatmu pantas atas sebuah hadiah?"

Senyum di wajah Ken lenyap seketika. Ia menatap Sasuke dan mengernyit.

Ck, dasar didikan Uchiha.

"Karena aku yang terbaik di kelas dalam latihan dasar penggunaan senjata ninja," jawab Ken mantap.

"Hanya itu?" Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

Ken menggeleng cepat. Ia kemudian menangkap pergelangan tangan sang ayah dan berlari menyeretnya. Sasuke yang sempat kaget sepersekian detik akibat ulah anaknya yang tiba-tiba itu reflek menarik lengan Sakura dan turut menyeretnya mengikuti langkah Ken. Dan terjadilah seret-menyeret sebuah keluarga kecil yang baru terbentuk delapan tahun lalu itu—membuat beberapa pengunjung daerah itu cekikikan dan sweatdrop pada saat yang bersamaan.

.

.

.

Ken menghentikan langkahnya di tepi sungai tak jauh dari distrik Inuzuka. Tubuhnya sedikit kelelahan karena setelah latihan yang cukup berat dengan teman-temannya, ia harus menyeret ayahnya—yang ternyata juga menyeret ibunya.

Ken membalikkan badannya dan menatap Sasuke intens. "Lihat!" serunya sambil menepuk tinjunya pada sebelah tangan. Ia menarik napas dalam-dalam dan dengan cepat membentuk sebuah segel jurus yang tak asing lagi.

"KATON : RYUKA NO JUTSU!"

GHROAAAAA

Dan itulah yang membuat sepasang iris onyx terbelalak tak percaya, serta sepasang iris viridian yang terkagum-kagum. Naga api itu luar biasa besar untuk ukuran pemula seperti Ken. Lidah-lidah apinya menyala-nyala ganas melingkarai Ken yang malah tersenyum ramah—menyipitkan matanya.

Perlahan naga api itu memudar dan menghilang tanpa jejak. Sasuke menatap Ken dengan pandangan yang sulit diartikan. Sebelah sudut bibirnya terangkat.

"Ne..." Ken masih tersenyum. Ia kemudian menjentikkan jarinya dan terciptalah kobaran api kecil yang menari-nari di atas tangan kanannya. "Aku sudah bisa sedikit menguasai elemen api, too-san," lanjut Ken disertai senyum manisnya.

Sasuke tak sanggup berkata-kata. Ia tidak dapat memungkiri bahwa ia benar-benar bangga pada bocah bermata viridian itu. Bagaimana bisa anak berusia tujuh tahun yang bahkan baru masuk akademi selama dua minggu bisa menggunakan jurus katon level menengah seperti naga api? Mungkinkah karena paduan antara kepintaran otak Sakura dan bakat alamiah turun temurun seorang Uchiha? Sungguh DNA yang mengerikan.

"Jadi...?" suara cempreng Ken kembali terdengar.

"Hn?"

"—boleh aku minta hadiahku?" senyum lebar itu kembali terkembang.

Sakura bergidik ngeri. Ia reflek meremas lengan baju hitam yang dikenakan Sasuke dan menelan ludah dengan gugup.

"Kau kenapa, Sakura?" Sasuke menoleh ke arah Sakura yang nyaris membuat lengan bajunya sobek. Tidak mendapat respon dari sang istri, Sasuke kembali ke menolehkan kepalanya ke arah Ken. "Baiklah, kau mau apa?"

"Sasuke-kun!"

"Ada apa lagi, Sakura?" gumam Sasuke malas.

"AKU MAU ADIK."

.

.

Hening.

.

.

3 detik

.

4 detik

.

5 detik

.

.

PEEEESSSSSSHHHHHHH

.

.

"Ap-apa?" Sasuke merona—eh, memanas—ah, bukan. Tapi mendidih! Wajahnya benar-benar merah padam, semerah tomat kesukaannya. Sekarang ia baru mengerti mengapa sejak tadi Sakura bertingkah aneh.

Ken mengerucutkan bibirnya, kesal merasa tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya. "Aku mau adik, too-san!" serunya seraya berkacak pinggang. "AKU MAU ADIK! SE-KA-RANG!"

"Ken, itu—"

"Too-san bilang bakal memberiku hadiah, 'kan?" serunya lagi. Ia menengadahkan tangannya. "Sekarang mana hadiahku?"

"..."

"Too-san! Kaa-san!"

"..." Sasuke dan Sakura masih diam.

"Aku mau adik—seperti Takeshi dan yang lainnya!"

"Iya, iya, Ken-kun," ujar Sakura setengah berteriak. Mukanya sudah sangat panas saat ini. Ken tersenyum puas. "Tapi kita pulang dulu, ya?"

"Hn? Kenapa mesti pulang dulu, Kaa-san? Aku maunya sekarang! SEKARANG!"

"Nggak mungkin bisa dapat sekarang, Ken-kun," ucap Sakura berusaha menenangkan putranya yang entah-mirip-siapa jadi sekeras kepala ini.

"Kenapa nggak bisa sekarang?"

"Karena too-san harus membuatnya dulu—AAARRGGGGHHH~!" kata-kata Sasuke terpotong ketika sang istri menginjak kaki malangnya dengan sadis. Pria berambut mirip pantat bebek itu meringis dan menatap Sakura yang hanya memberikan deathglare gratis kepadanya.

"Jangan bicara yang nggak-nggak, Sasuke-kun no baka," desis Sakura dengan aura membunuhnya.

"Mau bagaimana lagi?" balas Sasuke yang berlutut memegangi kakinya yang sedikit bengkak.

Belum sempat Sakura membuka mulut untuk berargumen—

"MASIH HARUS BIKIN DULU?"

Sakura dan Sasuke reflek menatap anak sematawayang mereka yang kini berdiri menelengkan kepala kecilnya dengan saaaaangat polos.

"KALAU BEGITU BIKIN SAJA DI SINI," lanjut si bocah tak berdosa dengan senyum lembutnya. "AKU MAU LIHAT."

Sakura kaget dan reflek menutup kedua telinga Sasuke dengan kedua tangannya. "Jangan dengarkan itu, Sasuke-kun! Jangan dengarkan itu!" teriaknya lebay. "Anakmu itu berbahaya! Dia jenius, jahat, dan polos di saat yang bersamaan!"

"Berisik!" Sasuke bangkit dan dengan kasar melepaskan tangan Sakura yang menutupi kedua telinganya. "Dia anakmu juga, baka!"

"Tapi kau yang bikin!"

"Tapi kau yang membantuku!"

Ken hanya terpaku menatap kedua orangtuanya saling berargumen tidak jelas dan saling membentak satu sama lain. Ada secuil rasa bersalah muncul di hatinya. Bocah laki-laki berambut raven jabrik itu menundukkan kepalanya. Bulir-bulir bening di pelupuk mata beriris viridian-nya siap tumpah.

"Aku..." suara Ken begitu lirih dan bergetar, namun mampu mengalihkan perhatian kedua orangtuanya. "...aku nggak boleh punya adik, ya."

Sakura terperanjat. Ia mendekati Ken dan berlutut di hadapannya, menyamakan tingginya. "Ken-kun," bisik Sakura melingkarkan lengannya pada leher kecil Ken. Sebelah tangannya bergerak membelai pipi sang anak dan menghapus air mata yang siap mengalir. "Gomen ne... Ken-kun bukannya nggak boleh punya adik. Tapi untuk dapat hadiah adik yang seperti Ken-kun inginkan itu nggak bisa dalam sekejap."

Ken menatap mata viridian di hadapannya. "Apa itu artinya aku harus menunggu?"

Sakura mengangguk pelan dan tersenyum lembut.

"Berapa lama?"

"Sampai Ken-kun genap delapan tahun."

"Sampai tahun depan?" Ken membelalakkan matanya.

"He'em..."

"Lama sekali..." Ken mendesah kecewa.

Sakura tertawa kecil dan mengacak rambut Ken. "Kau dulu juga begitu Ken-kun," ucapnya pelan. "Too-san dan kaa-san harus menunggu selama sembilan bulan agar kau bisa lahir dengan sehat."

"Sungguh?" tanya Ken berbinar-binar.

"Iyaa..."

"Hnn masih harus bikin dulu, ya," ujar Ken entah pada siapa sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana pendeknya. "Boleh aku membantu membuatnya?"

"NGGAK BOLEH."

Itu suara tegas dari balik punggung Sakura yang sweatdrop—suara Sasuke.

Ken mengerutkan dahinya yang tertutup poni. Ia mendongak menatap sang ayah dengan pandangan kesal. "Too-san pelit!" serunya.

Benar. Sasuke memang pelit. Mengapa Ken tidak boleh membantu membuat hadiahnya—adiknya sendiri? 'Kan Ken cuma ingin membantu. Mengapa tidak boleh? Ken sudah sering kok membantu warga sipil di Konoha semampunya. Bahkan kadang Ken juga membantu Iruka-sensei menangkap kucing Hinata-sensei—istri Rokudaime Hokage—yang nakalnya luar biasa. Sekarang, mengapa cuma sekedar membuat adik saja Ken dianggap tidak pantas membantu?

Tunggu.

Dianggap tidak pantas—atau memang tidak boleh?

Pikiran-pikiran jahat tentang figur seorang ayah yang pelit melayang-layang di otak Ken. Ia semakin tidak terima ketika ayahnya yang menjabat sebagai kepala keamanan Konoha itu hanya meresponnya dengan kata 'hn'-nya yang biasa. Bahkan Ken tidak yakin 'hn' itu adalah sebuah kata.

"Sssstt... Ne, Ken-kun," bisik Sakura di depan wajah Ken yang masih merengut kesal. "Kau boleh membantu kaa-san, kok."

"Benarkah?" senyum sumeringah menghiasi wajah sang penerus Uchiha.

"Tentu saja~"

"Bagaimana caranya, Kaa-san?"

"Kau harus membuat too-san mengabulkan setiap apa yang kaa-san inginkan nantinya."

Alis Ken kembali bertaut. Otak kritisnya kembali bekerja. Setiap apa yang ibunya inginkan? Terdengar egois, ya? Oh, tunggu sampai bocah itu mengerti apa yang di sebut ngidam. Dan sepertinya, otak cerdas Sakura bisa memanfaatkan hal ini dengan sangat bijak.

"Baiklah," jawab Ken akhirnya.

"Anak pintar," ucap Sakura seraya mengacak rambut Ken sekali lagi dan mencium pipinya dengan gemas.

Sasuke menatap kedua makhluk itu dengan ekspresi bosan. Ada sesuatu yang mengocok perutnya. Seperti—err... kupu-kupu? Hei, bagaimana bisa serangga Shino berada dalam perutnya? Jangan bercanda!

Dan tepat saat Sakura bangkit dari posisinya, Sasuke menyambar lengannya dan menyatukan bibir mereka. Sakura terbelalak dan sedikit panik saat ia menyadari Ken memperhatikan adegan mereka yang seharusnya belum bisa dipertontonkan pada anak seusianya.

Sakura berusaha melepaskan diri dari sang Uchiha namun tangan Sasuke merambat ke belakang kepala merah muda wanita itu, menekannya agar tak bergerak.

'Hahh... mereka melakukannya lagi. Too-san pasti sangat lapar,' batin Ken sambil sweatdrop. "Aku sudah bosan," ujarnya pelan seraya melangkah pergi dengan kedua tangan bertengger di dalam saku celananya.

.

.

.

"OOIII, TEMEE~! SAKURA-CHAAANN~!"

"Dasar Rokudaime berisik!"

"Coba tebak—Hinata positif! Hinata positif!"

"..."

.

.

.

.

つづく

[to be continued]


Author's Note :

ada sedikit perubahan! rei pake 'viridian' untuk warna mata jenis sakura dan ken~ bukan emerald lagi ^^a soalnya emang lebih mendekati warna itu sih~

Tomoe : (tiga) koma yang mengelilingi pupil dalam mata Sharingan. Sasuke baru bisa punya tiga tomoe waktu ngelawan naruto di air terjun perbatasan negara Hi sama desa bunyi (Valley of The End).

Daijoubu yo : nggak apa-apa, kok.

Sasuke-kun no baka! : dasar sasuke-kun bodoh!

Pembukaan~ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangs—hmmmmpphh *dibekep* Ohh, halo semuanya~ rei di sini *dadah dadah*

Hanya sebuah cerita ringan dan sederhana yang dibuat berdasarkan harapan rei untuk seri NARUTO ke depannya. Sebuah SIDE STORY dari fanfiksi rei yang berjudul "くそ! Sharingan Itu Memang Ajaib!". Ada yang sudah pernah baca? #pundung

Persembahan spesial buat reviewers fanfiksi tersebut yang minta lanjutan cerita SasuSaku dan anak-anak mereka, khususnya buat Bunga (Devil's of Kunoichi) dan Dai (rei lupa pen-name dai yang suka ganti-ganti)—yang sudah dengan sangat setia nagih side story ini untuk dipublish.

Dan sekaligus juga untuk meramaikan fic SasuSaku canon.

SEMOGA SUKAAA~

Bersediakah meninggalkan kritik, saran, dan kesan dalam sebuah REVIEW? ^^

Arigato gozaimashita sudah mau mampiiiirr~

Salam,

Al-Shira Aohoshi

a.k.a Andromeda no Rei