a/n : Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih banyak buat teman-teman yang sudah menyempatkan diri untuk mereview, memasang story alert, dan memfavoritkan cerita ini.

Chapter ini juga saya persembahkan sebagai tribute untuk memperingati hari wafatnya Alan Sidney Patrick Rickman pada tanggal 14 Januari 2016. We may depart here, but you stay in our heart. ALWAYS.

WARNING : Sekali lagi fanfic ini DARK. Banyak unsur kekerasan dan seksual di sini. Karena itulah, dianjurkan hanya pembaca berusia 17+ yang boleh membacanya.

Chapter 13 – The Quest

Hermione berhasil menghindar dari sabetan pedang yang menyasar lehernya. Ia berkelit, menepis pedang itu dengan belatinya dan menendang ulu hati penyerangnya kuat-kuat. Ia belum bisa bernafas lega karena seseorang menyergapnya dari belakang. Wanita itu menginjak kuat-kuat kaki prajurit Zion yang menyergapnya tadi, sambil membenturkan kepalanya ke belakang. Mengejutkan lawannya, sekaligus menghantam wajah lawannya itu secara efektif. Kedua penyerangnya itu roboh namun masih berusaha bangkit. Tanpa memberi kesempatan, Hermione merapal mantra yang mengubah tanah tempat keduanya berpijak menjadi lumpur tak berdasar.

Ia tak punya pilihan lain. Melempar kutukan hanya akan menyebabkan kutukannya terpental oleh perisai pelindung prajurit Zion. Hermione membalikkan badannya, memilih untuk tidak menyaksikan perjuangan keras disertai teriakan kedua prajurit wanita itu untuk terbebas dari kubangan lumpur hisap tersebut. Masih ada lawan yang harus ia hadapi.

Di saat yang bersamaan, terdengar denting pedang beradu. Severus sedang melawan dua orang prajurit Zion yang mengeroyoknya. Dengan gerakan lincah yang membuat jubah hitamnya berkibar dan berkelebat bak sebuah bayangan, Severus menebas leher salah satu penyerangnya dan menghujamkan pedangnya ke dada prajurit satunya. Percikan darah seketika mengenai wajah dan jubahnya. Dengan ekspresi datar, Severus mencabut pedangnya dari mayat musuhnya itu.

Ia mengedarkan pandangannya sekeliling, mencari Hermione dan mendapati wanita itu sedang menghadapi seorang prajurit Zion dengan perlawanan sengit. Sementara beberapa meter di belakang sana ada dua kubangan lumpur hisap yang menyisakan bagian atas kepala korbannya. Lumpur hisap sebenarnya tidak menenggelamkan seseorang, tetapi yang satu ini adalah pasir hisap yang diciptakan secara gaib dari sihir hitam. Tampaknya Hermione terpaksa mengeluarkan sihir hitam, sesuatu yang mulai dipelajarinya sejak ia berhubungan dengan Severus.

Teriakan kesakitan terdengar saat Hermione mendapat hantaman di wajahnya. Darah segar mengalir dari bibir wanita itu. Tubuhnya terbanting, jatuh terkapar. Sementara musuhnya sudah bersiap menancapkan bludgeon-nya yang kini berwujud pedang.

Dengan posisi yang membelakangi, tentu prajurit Zion tersebut tak tahu kalau Severus berjalan mendekatinya. Dengan demikian ia tak sempat mengeluarkan perisai pelindungnya jika Severus menyerangnya. Tanpa suara, tangan Severus mengibas. Seketika tubuh prajurit Zion itu terlempar dan terhempas hingga jatuh berguling-guling. Lalu berhenti dan tak bergerak lagi.

"Hermione, kau tak apa-apa?" tanya Severus.

Wanita berambut coklat itu hanya memejamkan matanya sambil mencoba mengatur nafas. Dia lelah. Sepertinya kekuatan sihirnya sudah ia kerahkan semuanya. Pertarungan yang baru saja selesai mereka hadapi telah berlangsung cukup lama. Penyihir wanita itu yakin jika ada banyak lebam di sekujur tubuhnya karena ia merasa sakit di beberapa bagian.

Ia lebih memilih menghadapi sepuluh orang Pelahap Maut ketimbang satu orang prajurit Zion. Setidaknya Pelahap Maut hanya berduel lewat sihir. Berbeda dengan prajurit Zion di mana mereka harus melawannya dengan kombinasi beladiri dan sihir. Itu sangat melelahkan. Menguras tenaga fisik dan kekuatan sihirnya.

"Aku tak apa-apa, Sev. Bagaimana denganmu?" Pelan-pelan Hermione berusaha bangkit dan berdiri meski agak sempoyongan. Ia melihat darah yang membasahi wajah dan leher Severus. "Oh, Sev... kau berdarah."

"Ini bukan darahku," ucap Severus datar. "Tapi kurasa bahu kiriku terkilir saat salah satu wanita iblis itu berniat mematahkannya."

Seandainya mereka bisa pergi dari sini. Mencari tempat aman untuk memulihkan diri, lalu menyusun rencana. Dissaparate sebenarnya akan sangat berguna. Mereka bisa kabur dengan cepat. Namun Apparition membutuhkan determinasi, destinasi dan deliberasi. Dalam situasi genting dan buta medan seperti ini, tentu Apparition bukan pilihan yang tepat.

Belum sempat mereka berdiskusi, tiba-tiba terdengar suara yang membuat bulu kuduk meremang. Suara yang seolah memperingatkan mereka akan adanya marabahaya. Seperti suara sangkakala. Bising dan bergemuruh, menggoyahkan hingga ke jiwa. Benar saja. Di kejauhan ada banyak sekali prajurit Zion yang menghampiri mereka. Puluhan orang. Salah satu di antaranya, yang berjalan memimpin, meniup sebuah terompet dari tanduk hewan. Suara mengerikan itu berasal dari terompet tanduk tersebut.

"Horn of the Death," ucap Severus, untuk sesaat sepasang mata hitamnya menyiratkan kengerian. Sorot matanya kemudian berubah marah, teringat semua penderitaan dan darah korban-korban tak berdosa yang tertumpah ketika terompet itu dibunyikan. "Terompet tanduk itu pertanda kematian. Biasanya mereka meniupnya sebelum menyerang dan menghancurkan desa-desa sasaran."

Panik, Hermione cepat-cepat membuka tas tangannya. "Aku bawa sapu terbang! Persetan mau kemana! Yang jelas kita harus pergi dari sini!"

"Sepertinya akan sulit," balas Severus, menatap tajam sesuatu yang ada di langit. Pria itu mengangkat tangannya, jarinya menunjuk ke objek yang menarik perhatiannya. "Aku yakin kawanan yang terbang mendekat itu bukan burung."

Hermione mencermati arah yang dimaksud Severus dan terkesiap. Ya, dia sudah tahu apa itu. Makhluk-makhluk buas bersisik dan bersayap lebar, berleher panjang, berkaki dua dengan cakar-cakar tajam dan memiliki ekor yang ujungnya runcing berbisa. Kerabat dekat naga yang tak kalah ganasnya. Wyvern. Jumlah mereka banyak sekali.

Seandainya mereka bisa meloloskan diri dari serbuan prajurit Zion, belum tentu mereka mampu lolos dari kejaran wyvern. Dengan tubuh yang lebih kecil dari naga, predator itu punya gerakan yang lebih gesit dan kemampuan terbang yang jauh lebih cepat.

Genggaman tangan Severus menyadarkan Hermione dari ketegangan yang mencekam jantungnya. Pria yang dikasihinya itu hanya memberinya senyum tipis. Sesuatu yang sangat langka karena Severus jarang sekali tersenyum. Tatapan mata Severus seolah menguatkannya, membebaskan tubuhnya yang tadinya membeku terperangkap rasa takut.

"Berdirilah di belakangku, love," ucap Severus lembut. Nada lembut dalam suaranya membuat hati Hermione terketuk. Ia menggeleng. Berharap Severus tidak bermaksud mengorbankan dirinya. Namun pria itu tak mau berdebat. Dengan sekali tarik, tubuh Hermione terlindung aman di balik punggungnya.

Severus mengangkat kedua tangannya, mengarahkan telapaknya ke arah puluhan prajurit Zion yang kini berlarian menyerbu. Derap langkah kaki mereka bergemuruh, debu-debu hitam berterbangan di kaki mereka. Terdengar teriakan-teriakan mengancam yang sahut menyahut. Menyerukan kematian bagi siapa saja yang nekat melawan.

Di saat bersamaan, kegelapan menyelimuti wajah Severus. Ia mengumpulkan kebenciannya, rasa murka dan segala macam hasrat terlarang yang menjadikan jiwanya kelam dan berdosa. Dari dalam kedua telapak tangannya keluar kabut hitam, menguar tipis seolah menari dipermainkan angin. Makin lama makin besar dan berubah menjadi api hitam yang berkobar, bergelung-gelung membumbung tinggi. Berputar seperti sebuah angin puting beliung.

Kibasan energi yang dihasilkan oleh gulungan api hitam itu menyibak liar rambut coklat ikal Hermione. Ia mencengkram erat jubah Severus. Tubuh tinggi Severus melindunginya dari hantaran kekuatan sihir hitam yang bersiap mengantarkan maut.

Api hitam raksasa itu bergerak cepat laksana sebuah tornado, menyongsong puluhan prajurit Zion dan menerjang tanpa ampun. Jerit kesakitan dan teriakan ngeri terdengar memekakkan telinga. Satu demi satu tubuh prajurit wanita itu meleleh menjadi kubangan-kubangan berwarna hitam. Musuh yang tadinya puluhan, kini habis tak bersisa.

Melihat pemandangan yang mengerikan itu Hermione lupa bernafas. Matanya tak berkedip. Tubuhnya terpaku. Baru kali ini ia melihat sendiri kekuatan dahsyat dari sihir hitam yang dimiliki Severus. Tak salah jika Daily Prophet menjuluki pria itu sebagai salah satu penyihir hitam terhebat di Britania Raya.

Sesaat setelah semua api hitam itu lenyap, Severus jatuh berlutut. Kedua tungkainya lemas. Ia sudah mengerahkan salah satu sihir hitam pada tataran tertinggi. Kini tenaganya hampir habis. Tubuhnya terasa seakan tak bertulang. Yang diinginkannya hanyalah berbaring dan memulihkan diri. Namun sayangnya mustahil terwujud. Suara kepak sayap yang terdengar menderu dari langit menandakan para wyvern sudah semakin dekat.

Hatinya mencelos saat menyadari Hermione berdiri dengan berani di depannya, bermaksud berganti melindunginya. Wanita itu sudah mencabut tongkat sihirnya. Siap meluncurkan kutukan apa saja untuk melawan kawanan wyvern. Wajah kekasihnya itu penuh tekad. Tak mau mundur atau pun lari.

Dari jarak yang semakin dekat ini, terlihat wyvern-wyvern itu dinaiki manusia. Jumlah mereka ada belasan. Satu ekor wyvern membawa satu orang prajurit yang bersenjatakan pedang, busur atau tombak. Sepertinya satwa-satwa gaib itu dimanfaatkan sebagai kendaraan perang karena tubuh bersisik mereka dipasangi semacam tameng-tameng besi berduri. Satu demi satu mereka mendarat dengan suara debum keras, menghempas debu-debu ke udara.

Hermione menunggu dengan penuh kewaspadaan. Ia berusaha terlihat garang meski tongkat sihirnya gemetar. Ia harus melindungi Severus yang sedang kelelahan. Mereka berdua harus selamat. Mereka tidak datang kemari untuk mati.

Seorang pemuda melompat turun dari wyvern yang ditungganginya. Dari wajah dan posturnya, ia masih sangat muda. Mungkin usianya belum dua puluh tahun. Rambut pirang sebahunya tersibak angin dan mata birunya menatap takjub kepada pasangan yang ada di depannya. Ia sedikit was-was saat Hermione menodongkan ujung tongkat sihir ke arahnya. Namun pemuda itu memaklumi posisi siap tempur wanita berambut keriting lebat itu. Sementara pria si penyihir hitam tampak duduk bersimpuh terlindungi oleh tubuh si wanita.

Prajurit-prajurit lain di belakang pemuda itu pun ikut turun dari wyvern mereka. Ekspresi mereka bermacam-macam. Ada yang curiga, ada yang ingin tahu, dan lain-lain. Namun mereka semua siap dengan senjata masing-masing.

"My lord!" panggil salah satu prajurit di belakang pemuda itu. Tetapi pemuda itu hanya mengibaskan tangan kanannya, mengisyaratkan agar mereka semua diam di tempat dan jangan menyerang.

My lord? Kedua mata Hermione terbelalak. Tidak mungkin Lord Carloseus masih semuda ini. Semula Hermione memprediksi usia sang penguasa Arcelia itu hampir sama dengan Severus. Bukan pemuda yang baru saja selesai akil baligh begini.

"Salam," kata pemuda berambut pirang itu, menyambut dengan antusias. Ia lalu mengangkat kedua tangannya, pertanda ia tak berniat jahat. "Kami semua sudah menunggu kalian sejak lama. Kalian datang sesuai ramalan The High Priestess."

"Apa maksudmu? Siapa kau?" tanya Hermione saat pemuda itu berjalan mendekati pelan-pelan, masih mengangkat kedua tangannya. Dari pakaian yang dikenakannya dan pedang di pinggangnya, ia terlihat seperti seorang ksatria.

"Namaku Maxim, my lady," jawab pemuda itu, menunduk hormat. "Kami melihat kalian sedang diserang pasukan pemberontak dan bermaksud membantu. Tapi ternyata kalian bisa menyelesaikannya sendiri. Sihir hitam yang sangat luar biasa. Baru kali ini aku melihat yang seperti itu."

Hermione menatap tajam pemuda bernama Maxim, memastikan kalau ia benar-benar berada di pihak mereka. Keningnya berkerut saat ia merasa tidak asing dengan wajah Maxim. Seperti pernah melihatnya entah di mana. Detik berikutnya Hermione terkesiap. Wajah Maxim mengingatkannya kepada Cara Mason.

"Aku Hermione dan dia Severus. Prajuritmu memanggilmu lord. Ka-kau anak raja?" Hermione, berusaha tampak tenang. Sementara itu Severus sudah bisa bangkit dan berdiri di samping Hermione.

Maxim tersenyum muram. "Bisa dibilang seperti itu. Ayahku, Lord Carloseus, adalah penguasa terdahulu. Sementara ibuku hanya gadis rakyat jelata. Aku yatim-piatu, lady. Ibuku terbunuh saat prajurit Zion menyerang desa kami. Mereka menyerang atas perintah Lord Carloseus yang tak menginginkan pewaris tahta. Aku baru saja berumur beberapa hari, bahkan belum dinamai. Untunglah High Priestess berhasil menyelamatkanku. Beliau yang menamaiku Maxim dan membesarkanku. Saat ini beliau menunggu kedatangan kalian di D'Bastillion."

Hermione berpaling ke Severus, kedua matanya penuh tanda tanya. Namun kekasihnya itu hanya menggeleng.

"Kau bilang tadi ada ramalan tentang kedatangan kami kemari?" tanya Severus, mengalihkan pembicaraan. Sebenarnya ia juga terkejut dan mengenali kemiripan fisik Maxim dengan Cara, namun ia memilih untuk tidak membahasnya. Berpikir bahwa sekarang bukan saatnya.

"Ya," sahut Maxim, mata birunya bersinar. "Bahwa kalian berdua akan datang dari tempat yang jauh untuk mengembalikan milik kami ke tempat yang seharusnya."

"Aku tidak yakin. Kami tidak membawa apa-apa." Hermione kebingungan, meski ia familiar dengan kalimat terakhir Maxim ini. Tempat yang seharusnya. Seperti kalimat pertama yang tertulis di perkamen misterius.

Maxim tersenyum cerah, jarinya menunjuk tas tangan yang dibawa Hermione. "Kau membawa sesuatu milik kami, my lady. Ada di dalam sana. Bukalah. Kau akan menemukannya."

Masih belum paham, Hermione segera membuka tas tangannya. Ia menemukan sesuatu yang berbentuk kotak, ada ukiran di sisi-sisinya dan berukuran sebesar batu bata. Ia pun terkesima saat mengeluarkan benda itu. Sebuah peti yang entah bagaimana bisa masuk ke dalam tasnya. Sejak kapan dan siapa yang memasukkannya?

"Peti Orpheus," ucap Severus, tak bisa menyembunyikan rasa takjub di wajahnya. Peti yang dicari-carinya saat ia masih sangat muda hingga mempertaruhkan nyawa dan berakhir gagal ia dapatkan. Hermione bahkan tak perlu susah payah mencari. Justru peti itu sendiri yang memilih siapa yang berhak menemukannya. Voldemort pasti akan mengamuk di dalam liang kuburnya jika tahu hal ini.

"Perkamen misterius itu," bisik Hermione, masih sulit mempercayai pengelihatannya. "Aku memasukkan perkamen itu ke tas ini, Sev. Kukira akan berguna saat pencarian. Ternyata peti Orpheus adalah perkamen itu. Dia berubah wujud untuk menyembunyikan dirinya."

"Peti itu adalah peti Orpheus yang terakhir. Puluhan tahun hilang dan selama itu pula penduduk Arcelia mencarinya. Kini dengan sihir murni dari peti itu, The Magic of Life, perdamaian akhirnya bisa terwujud. Perang berkepanjangan bisa berakhir," ujar Maxim dengan nada bergetar. Ekspresinya menahan semua emosi yang bergejolak. Lega, bersyukur, haru dan bahagia. Ia menempelkan telapak tangan kanannya di dada sambil menunduk hormat. "Atas nama seluruh penduduk Arcelia, aku, Lord Maximus, mengucapkan terima kasih kami sebesar-besarnya."

Satu demi satu prajurit yang mengawal Maxim berlutut memberi hormat. Hermione dan Severus hanya bisa menatap mereka semua tanpa bisa berkata-kata. Tidak menyangka perjalanan mereka akan membawa akhir yang bahagia untuk sebuah negeri yang dilanda kekacauan dan peperangan selama puluhan tahun.

Tanpa sadar airmata Hermione menetes. Ia merasakan usapan-usapan hangat Severus di punggungnya. Hanya bisa memasrahkan diri ketika kekasihnya itu merengkuhnya ke dalam pelukan.

Oooo000oooO

Hermione dan Severus dipersilahkan untuk tinggal di D'Bastillion selama yang mereka mau dan menikmati semua keramahan yang ditawarkan oleh Maxim. Namun mereka berdua memutuskan menginap dua hari saja, untuk sekedar menyembuhkan luka-luka dan memulihkan kekuatan. Selain itu mereka ingin kembali ke Hogwarts di hari Senin, mereka masih ingat pekerjaan.

Meskipun waktu mereka di Arcelia sangat singkat, mereka masih sempat mengikuti prosesi penobatan Maxim sebagai raja baru Arcelia yang dilangsungkan keesokan harinya. Acara penobatan itu terbilang sederhana, mengingat negeri itu sedang berusaha bangkit dari kerusakan perang. Rakyat Arcelia menyambut raja muda mereka dengan sangat meriah. Sorak-sorai bergemuruh ke seluruh D'Bastillion. Wajah-wajah mereka penuh rasa syukur dan bahagia. Makanan dan minuman disediakan melimpah, ada musik dan pesta dansa. Juga kembang api.

Semua kegembiraan yang dirasakan rakyat Arcelia membuat hati Hermione hangat. Namun sayangnya perasaan positif ini kemudian dikacaukan oleh seseorang. Seseorang itu bernama Maeve, sang High Priestess. Beliau adalah salah satu pemimpin pemberontakan melawan rezim Carloseus. Setelah berhasil menumbangkan penguasa lalim itu, Maeve ditunjuk sebagai king regent (wali raja) sampai Maxim cukup umur dan naik tahta.

Malam harinya, sang High Priestess datang mengetuk pintu kamar Hermione dan Severus. Beliau seorang wanita tua yang tampak agung, bijak dan misterius. Ia mengenakan jubah berwarna biru muda dan diadem di kepalanya. Tatapan teduhnya mampu membuat siapa pun menaruh rasa hormat kepadanya. Itulah yang awalnya dirasakan Hermione kepada Maeve. Sampai Maeve mengatakan bahwa Hermione dan Severus mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya.

"Maksudmu kami tahu siapa sebenarnya ibu kandung Maxim?" tanya Hermione, menyipitkan kedua matanya.

Dengan tenang, Maeve mengibaskan tangannya, menyihir agar percakapan mereka tak terdengar sampai keluar ruangan. Wanita itu menyunggingkan senyumnya yang penuh keibuan sebelum balas bertanya "Kalian sudah tahu cara kembali ke tempat asal kalian?"

Tangan Severus menggenggam tangan Hermione, menatap kekasihnya itu dengan tatapan memperingatkan. "Ya, High Priestess. Kami sudah tahu. Kami punya batu ajaib yang bisa membawa kami melewati selubung Pembatas."

Salah satu alis Maeve terangkat, masih tersenyum ramah. Sayangnya Severus merasa ada yang tersembunyi dalam senyuman ini. "Ah, batu ajaib yang didapat dengan cara membunuh pendahuluku rupanya. Seorang High Priestess pada masa itu."

Ekspresi cemas Hermione tertangkap mata Severus. Ya, memang batu itu didapatkan dari seorang pendeta tertinggi yang tewas dan yang membunuhnya adalah Lord Voldemort. Tetapi sepertinya Maeve menyimpan dendam kepada mereka berdua.

"Dia adalah kakakku, Taran. Sampai sekarang aku masih merindukannya," jelas wanita tua itu sambil menerawang di kejauhan. "Apa kalian tahu kalau batu itu hanya untuk perjalanan satu orang?"

"Tidak.. kurasa tidak," jawab Severus, keningnya berkerut. Perasaannya mulai tidak enak.

"Sayangnya kalian hanya memiliki satu batu, sementara kalian ada dua orang. Tentu tidak mungkin jika salah satu dari kalian terpaksa tertinggal di sini." sambung Maeve, mengabaikan wajah terkejut dari kedua tamunya. "Aku bisa membantu kalian, tentu saja. Kita bisa saling membantu."

Severus berusaha tetap tenang. Ia paham betul apa yang dimaksudkan oleh sang pendeta tertinggi. Wanita itu meminta Severus dan Hermione merahasiakan jati diri ibu kandung Maxim. Dengan imbalan akan membantu mereka berdua keluar dari Arcelia. Sebenarnya Severus sendiri tidak yakin batu ajaib itu masih memiliki kekuatannya seperti dahulu. Terakhir kali ia memakainya adalah dua puluh tahun lalu. Itu pun hanya seorang diri, bukan berdua seperti sekarang.

Lagipula ia enggan terlibat dalam drama keluarga. Intrik-intrik kerajaan dan segala rahasianya bukan hal yang ia sukai. Ia tak keberatan menyanggupi syarat yang ditawarkan Maeve. Lain halnya dengan Hermione yang terlihat sangat marah. Jelas kekasihnya itu tak setuju.

"Menyembunyikan seorang anak dari ibu kandungnya adalah salah! Bagaimana bisa kau menyelamatkan seorang bayi, tetapi kau malah meninggalkan ibunya sendirian menghadapi serangan prajurit Zion? Merlin, kau bisa menyelamatkan keduanya!" ujar Hermione berapi-api. "Seumur hidupnya kau membohongi anak malang itu! Kau juga membuat ibunya percaya kalau anaknya sudah terbunuh! Teganya kau!"

"Hermione," panggil Severus. Menggenggam tangan kekasihnya lebih erat lagi.

Mata coklat Hermione berkaca-kaca saat bertatapan dengan Severus. Tak hanya marah, wanita itu juga sedih. Mendadak Severus teringat bahwa dulunya Hermione memodifikasi ingatan kedua orangtuanya sebelum berangkat memburu horcrux bersama Potter dan Weasley. Hermione membuat orangtuanya lupa kalau mereka memiliki seorang putri. Meski tujuannya untuk melindungi mereka, Hermione merasa sangat bersalah. Rasa bersalahnya semakin dalam karena ingatan keduanya belum juga bisa dipulihkan sampai sekarang.

Situasi yang dialami Cara dan Maxim secara langsung mengingatkan Hermione pada kesalahan fatalnya ini. Ia bisa merasakan berada pada situasi yang sama karena ia sendiri mengalaminya.

"Sekarang Maxim sudah menjadi raja Arcelia, lady. Dia mengemban kewajiban penting ke seluruh negeri. Menurutmu apa yang ia rasakan kalau tahu ibu kandungnya adalah prajurit Zion? Kalau kau belum paham, rakyat Arcelia sangat membenci seluruh pengikut Carloseus. Kalian lihat sendiri apa hukuman bagi prajurit Zion dan kroni-kroni mereka," jelas Maeve sabar, seakan sedang meladeni anak kecil. "Rakyat akan berontak jika tahu hal ini. Aku hanya ingin melindungi Maxim."

Untuk sesaat Hermione terdiam. Ya, dia melihat sendiri apa hukuman bagi musuh kerajaan, termasuk prajurit Zion. Sangat mengerikan dan sadis. Membuat wanita itu trauma.

Ia ingat kedatangan mereka di D'Bastillion disambut dengan pemandangan menyeramkan. Tiang-tiang pancang berukuran besar ditanam mengelilingi benteng. Pada setiap tiang itu bergantungan mayat-mayat para pemberontak. Ujung tiang pancang yang runcing tampak menembus badan mereka mulai bagian bawah hingga ke leher atau dada korbannya. Tampaknya korban sengaja dibiarkan sekarat dan mati dengan sendirinya dalam keadaan seperti itu, karena tadi Hermione masih mendengar sayup-sayup rintihan dari tiang-tiang tersebut.

Berbeda dengan Hermione yang tampak pucat karena ngeri, Severus berusaha tenang. Ia tahu jenis hukuman sadis dan brutal seperti ini pernah diterapkan di era medieval. Hukuman semacam ini disebut impalement.

Menusuk para pemberontak di tiang sampai mati dan menanam tiang tersebut beserta mayatnya mengelilingi benteng adalah salah satu strategi untuk mengintimidasi lawan yang ingin menyerang. Lebih bagus lagi jika mayat-mayat tersebut sampai membusuk dan menebarkan bau bangkai. Nyali musuh akan ciut sebelum menyerang.

"Rakyat tidak akan sudi menerima raja yang lahir dari rahim seorang prajurit Zion. Mereka pembunuh berdarah dingin yang sudah semestinya diadili dan dihukum setimpal di tiang pancang," ujar Maeve tegas, kedua matanya berkilat.

"Ayah Maxim, Lord Carloseus, juga pembunuh yang kejam..." balas Hermione tak mau kalah.

"Ya. Tapi Lord Carloseus adalah raja. Yang juga berasal dari garis keturunan raja-raja agung selama beberapa dekade," pendeta wanita itu tersenyum menyesal. "Memang ini tidak adil, tapi rakyat lebih bisa menerima Maxim sebagai keturunan raja, ketimbang sebagai anak yang dilahirkan oleh prajurit Zion."

"Cara tidak memilih menjadi prajurit Zion. Demi Morgana, bahkan kalian tahu semua prajurit Zion tidak punya pilihan. Mereka diculik sejak masih kecil. Dicuci-otak dan dididik untuk membunuh! Mereka cuma alat yang mengikuti perintah Lord Carloseus!" bantah Hermione lagi.

"Pembunuh tetap saja pembunuh. Mereka musuh kerajaan. Sampai saat ini pun prajurit Zion yang tersisa masih berusaha merebut kekuasaan. Seperti yang kalian alami sewaktu tiba di sini, benar? Mustahil rakyat kami mau menerima mereka. Meski mereka sudah betul-betul bertobat sekalipun. Terlalu banyak kenangan pahit dan duka akibat ulah mereka."

"Sekarang sudah ada peti Orpheus di tangan kalian. Bukankah Maxim bisa memakainya untuk memerintahkan rakyat dan prajurit Zion hidup berdampingan?" tanya Severus. "Dengan begitu tak masalah siapa pun ibu kandung Maxim, rakyat akan tetap menerimanya,"

"Kekuatan sihir yang paling murni tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi." Maeve menggeleng. "Jika raja menggunakannya untuk mewujudkan keinginan pribadinya, maka peti itu akan hancur dan negeri ini akan kacau. Itulah yang terjadi pada Lord Carloseus dua puluh tahun lalu. Kami tak ingin mengulanginya lagi. Penderitaan dan kehancuran selama dua puluh tahun sudah terlalu lama bagi kami."

"Tapi... Kalau aku punya orangtua, aku ingin mereka tahu aku masih hidup," kata Hermione getir, setetes airmata jatuh di pipinya. Suara isakannya tertahan. "Dan kalau aku punya anak, aku ingin selalu ada mendampingi mereka sampai nafasku berhenti dan ajal menjemput. Ini tak adil bagi Maxim dan Cara! Ini salah!"

Severus hanya bisa terdiam. Hatinya ikut tergores melihat airmata di wajah wanita yang dikasihinya itu. Ia ingin mendekap kekasihnya, memberikan dadanya sebagai tempat mencurahkan kesedihan. Namun ia tak bisa melakukannya di hadapan Maeve, yang masih menatap Hermione tanpa ekspresi berdosa.

"Maaf. Tapi aku tak bisa... p-permisi." Tak tahan lagi, Hermione beranjak dari kursinya.

Menghela nafas panjang, Severus memandangi kepergian Hermione. Wanita itu berjalan keluar menuju ke balkon, sepertinya berusaha menenangkan diri di sana sambil mencari udara segar.

"Aku tak punya pilihan. Itu jalan yang terbaik untuk Maxim dan rakyat Arcelia," kata Maeve muram.

"Aku akan membujuknya," kata Severus. Saat ini yang terpenting baginya adalah bagaimana mereka bisa kembali ke Hogwarts. Rahasia tentang siapa ibu kandung dari raja Arcelia boleh saja tenggelam ke dasar palung Marina.

Sang High Priestess tersenyum kecil. Yakin dan puas karena Severus berada di pihaknya. "Baiklah, wizard. Besok kalian akan kami antar ke Pembatas. Bantuanku untuk kalian akan kuberikan di sana."

Setelah menjanjikan ini, wanita tua itu keluar dari kamar tempat Severus dan Hermione menginap. Meninggalkan Severus dalam kegalauannya untuk membujuk Hermione. Entah bagaimana caranya.

Oooo000oooO

Semalaman Hermione mengurung diri di kamar mandi (kamar tidur mereka punya kamar mandi pribadi), dan baru menyusul Severus ke ranjang menjelang dini hari.

Severus tentu tidak tinggal diam. Dia berusaha membujuk Hermione untuk keluar. Ia bahkan berniat meledakkan pintu kamar mandi saat mendengar suara tangis Hermione dari dalam sana. Tapi ia mengurungkannya karena tak mau dianggap tamu kurang ajar. Awalnya ia meminta Hermione keluar, kemudian memohon, merayu, membujuk dan memerintahkan. Semua sia-sia. Akhirnya dengan berat hati Severus tidur seorang diri di ranjang yang besar dan dingin. Berharap Hermione kembali bersikap wajar pagi harinya. Hell, ia bingung menghadapi wanita yang sedang melankolis.

Keesokan harinya Hermione memilih untuk sarapan di kamar, memaksa Severus untuk sarapan bersama Maxim dan Maeve di ruang makan utama. Severus pun harus mengarang alasan kalau Hermione sedang kurang sehat.

Kembali dari ruang makan utama, Severus kaget sekali saat menjumpai orang berjubah hitam di kamar tidurnya. Ia tak mengenali Hermione yang rupanya memakai jubah bertudung untuk menutupi sebagian besar wajahnya. Untunglah Hermione cepat-cepat membuka tudungnya.

"Sectum... Damn, witch! Aku kira kau grim reaper!" Severus memegangi dadanya di bagian jantung, tongkat sihirnya sudah siap di tangan.

"Kau mau mengutuk grim reaper?" tanya Hermione, mengerutkan keningnya.

"Kenapa kau berpakaian seperti itu?" tuntut Severus.

"Aku tidak bisa keluar dengan wajah seperti ini, Sev. Sebagai informasi, aku menangis semalaman," jawab Hermione kesal. Semua pria memang tidak pernah peka.

Severus hanya mengangkat salah satu alisnya. Tak ada yang salah dari wajah Hermione. Kekasihnya itu memang tampak pucat, matanya sembab dan sedikit lelah. Tapi itu bukan alasan untuk berpakaian aneh dan menakuti orang-orang.

"Ada alasan lain kenapa kau ingin mengenakan kostum Halloween lebih awal?" tanya Severus, sudut bibirnya berkedut menahan senyum. Hermione menghadiahinya lemparan bantal dan meleset. "Hey!"

Belum sempat pria itu membalas, pintu kamar mereka diketuk dari luar. Rupanya Maeve datang disertai dua orang pengawal. Mereka datang untuk memastikan Severus dan Hermione sudah siap berangkat.

"Kami sudah siap, Madam," jawab Severus, melirik Hermione yang mengenakan kembali tudung jubahnya.

Maeve mencermati penampilan Hermione, sebelum bertanya, "Kau baik-baik saja, Lady?"

Terdengar hela nafas panjang dari dalam tudung. Hermione pun menjawab, "Aku tak bisa menatap mata seseorang ketika ada yang harus kurahasiakan darinya. Karenanya aku memakai tudung ini. Ditambah lagi, aku tidak percaya diri dengan wajahku sekarang."

Penjelasan dari Hermione dapat diterima oleh Sang High Priestess. Wajah pucat dan sembabnya pasti akan memancing kecurigaan Maxim. Lagipula ia tak mendeteksi kebohongan dalam ucapan Hermione. Kalau wanita itu perlu menutupi wajahnya demi mencegah rahasia terbongkar, biarlah saja.

Oooo000oooO

Severus dan Hermione memilih untuk terbang berdua menggunakan sapu ketimbang naik wyvern. Severus merasa lebih suka menaiki sesuatu yang tak bernyawa. Sementara Hermione yang benci terbang, merasa lebih aman jika ia ikut naik sapu terbang yang dikendalikan Severus. Dengan kemampuan pria itu di atas sapu terbang, mereka pun bisa mengimbangi kecepatan para wyvern.

Perjalanan lewat udara memakan waktu sekitar dua jam lamanya, melintasi wilayah Arcelia yang sangat luas. Dengan dikawal sepuluh orang prajurit di atas wyvern. Maxim dan Maeve juga ikut mengantar, mereka berdua menaiki seekor wyvern yang berukuran lebih besar dari yang lain.

Pemandangan dari atas sebenarnya sangat indah. Dengan banyak hutan, bukit dan gunung. Mengingatkan Hermione kepada pemandangan di Selandia Baru. Namun keindahan itu terusik dengan banyaknya desa yang tampak hancur akibat diserang musuh. Mereka melewati beberapa benteng dan medan bekas terjadinya pertempuran. Di sana juga tampak tiang-tiang besar yang digelantungi mayat musuh yang membusuk. Hermione bergidik dan memejamkan mata, sambil memeluk pinggang Severus erat-erat.

Selubung Pembatas, tempat yang dituju mereka, adalah semacam selubung yang tingginya hingga menembus awan, diciptakan oleh sihir hitam kuno yang sangat kuat. Selubung itu membatasi sekeliling wilayah Arcelia, sekaligus melindungi mereka dari serangan musuh dunia luar.

Hermione takjub saat melihat selubung itu. Wujudnya cantik dan memancarkan cahaya seperti aurora.

"Indah sekali. Seperti tirai raksasa yang bercahaya," ujar Hermione, mata coklatnya terbelalak kagum.

"Jangan tertipu dengan keindahannya, witch. Selubung itu juga terhubung dengan underworld. Melewatinya akan sangat susah dan berbahaya. Bahkan dari perjalanan kita di Arcelia, selubung itulah yang paling membahayakan," jelas Severus.

Mengigit bibir bagian bawahnya, Hermione membenarkan ucapan kekasihnya. Dari jurnal perjalanan milik Severus, ia tahu bahwa selubung itu penuh dengan godaan dan tipu daya menyesatkan. Siapa pun yang nekat menembusnya akan mendengarkan semua jeritan dari penghuni underworld. Jeritan-jeritan memilukan menyayat hati dari jiwa-jiwa yang disiksa di kehidupan sesudah mati. Banyak yang tak mampu melewatinya dan malah tersesat masuk ke underworld, bergabung dengan penghuni-penghuni yang memanggilnya dari balik selubung.

Mereka semua mendarat beberapa meter dari Selubung Pembatas. Maxim dan Maeve menghampiri pasangan penyihir itu untuk mengucapkan perpisahan. Hermione menerima pelukan hangat dari Maxim. Kemudian pemuda itu berjabat tangan dengan Severus.

"Jadilah raja yang baik, Maxim," pesan Hermione. "Kapan-kapan kunjungi kami di Hogwarts."

Pemuda pirang itu tersenyum ramah. "Kurasa itu mustahil. Selama masih ada selubung ini, kami tidak bisa keluar dari Arcelia. Belum pernah ada orang Arcelia yang bisa menembus selubung ini."

Andai saja Maxim tahu bahwa satu-satunya orang Arcelia yang bisa keluar dengan selamat adalah ibu kandungnya sendiri, batin Hermione miris. Tapi ia memilih untuk diam. Wajahnya tertutup tudung, menyembunyikan ekspresinya saat mendengar jawaban Maxim.

"Sebagai rasa terima kasih, ini adalah bantuan dari kami. Untuk memudahkan kalian keluar dari Arcelia," kata Maeve. Wanita tua itu mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak yang dibawanya. Sebuah obor yang belum dinyalakan. "Ini adalah salah satu pusaka kami yang sangat berharga. Obor dewi Hecate."

Severus menerima obor itu dengan hati-hati. Mata hitamnya mencermati rune kuno yang terukir di sekeliling obor itu. "Apa arti semua tulisan ini?"

"Tak ada dari kami yang tahu karena hanya penyelamat Arcelia yang bisa membacanya," jawab Maeve tersenyum. Salah satu tangannya terulur. Ia meminta sesuatu.

Dengan sedikit keraguan, Severus merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan batu ajaib yang dahulu digunakannya untuk menembus Selubung Pembatas. Kemudian batu itu diserahkannya kepada Maeve.

Sang High Priestess tampak sedikit emosional saat menerima batu itu. Wajah keriputnya seakan bertambah tua dikarenakan kesedihannya yang terlihat jelas. "Karena sebutir batu ini, nyawa kakakku melayang. Karena batu ini juga banyak penyusup dari dunia lain berdatangan. Maka dari itu, demi kebaikan rakyat Arcelia, batu ini kumusnahkan."

Seketika itu batu di dalam genggaman Maeve hancur menjadi debu. Wajah Sang High Priestess kembali tenang dan bercahaya. Seperti semula.

"Sudah saatnya kita pergi," kata Severus. Ia menyerahkan obor dewi Hecate kepada Hermione dan tentu saja wanita itu bisa membaca rune yang tertulis di sana dengan mudah. Sama halnya ketika mereka mencari jalan untuk masuk ke Arcelia, dewi Hecate membantu mereka melalui obornya.

"Di sini tertulis 'bukalah jalan kami untuk kembali'."

Kening Hermione berkerut saat menyadari Severus menatapnya dengan ekspresi aneh. Seolah ia baru saja bicara dengan bahasa asing. Well, memang seperti itulah yang terjadi. Kalimat yang dibaca Hermione di obor itu ditulis dengan bahasa Yunani Kuno pada abad 9 sebelum masehi, bahasa yang kini sudah punah.

"Aku guru pelajaran Rune Kuno, Sev. Tentu saja aku menguasai beberapa bahasa asing," kata Hermione mengingatkan. Kedua pipinya tersipu melihat tatapan panas kekasihnya.

"Terdengar seksi di telingaku. Mungkin kau harus sering menggunakannya saat kita bercinta," balas Severus, menyeringai menggoda. Pria itu lalu mengulurkan tangannya. "Kau sudah siap melintasi underworld, witch?"

Wanita berambut keriting lebat itu melambaikan tangannya sekali lagi kepada Maxim, sebelum menyambut uluran tangan Severus. Ia menarik nafas panjang untuk menenangkan debar jantungnya. Underworld, kami datang.

"Ucapkan mantranya, witch!" perintah Severus, seraya mengangkat tinggi obor dewi Hecate. Salah satu kakinya sudah siap untuk masuk menembus selambu.

"Bukalah jalan kami untuk kembali!" teriak Hermione lantang, tangan kirinya menggenggam erat tangan Severus. Tangan kanannya mencengkram ujung tongkat sihirnya.

Seperti yang terjadi di museum, obor dewi Hecate seketika itu menyala terang. Kobarannya berwarna merah membara. Cahayanya bahkan mampu membuat selubung gaib di hadapan mereka bergejolak dan terbelah. Membuka sebuah jalan lurus menuju ke dunia luar. Sinar putih terang menunggu mereka di ujung jalan tersebut.

"Demi Merlin... ini luar biasa," gumam Hermione. "Kurasa dewi Hecate membantu mempermudah perjalanan kita, Sev!"

Severus tidak menunjukkan antusiasme yang sama. Ia masih tetap waspada. Mata hitamnya menatap Hermione dalam-dalam, ia berkata, "Apa pun yang terjadi di sana, jangan pernah menoleh ke belakang, witch. Jangan pernah lepaskan tanganku. Sekali kita terpisahkan, kita akan terjebak. Kau ingat kisah Orpheus dan Eurydice? Jangan sampai kisah kita berakhir seperti mereka."

Oooo000oooO

Orpheus dan Eurydice adalah kisah cinta dari mitologi Yunani yang berakhir tragis. Orpheus, seorang musisi piawai, memperistri Eurydice, salah satu putri dari dewa Apollo. Suatu ketika Eurydice digigit ular dan tewas. Orpheus yang tenggelam dalam kesedihannya memutuskan untuk pergi ke underworld, membujuk raja dan ratu Underworld agar mengembalikan istrinya ke alam kehidupan. Hades, sang penguasa underworld, mengabulkan keinginan Orpheus. Ia diperbolehkan kembali ke alam kehidupan membawa istrinya dengan satu syarat. Syaratnya adalah dalam perjalanan mereka melintasi underworld, Orpheus dilarang menoleh ke belakang.

Dengan bergandengan tangan, Orpheus dan Eurydice pergi meninggalkan underworld. Perjalanan mereka hampir selesai. Orpheus baru saja menapakkan satu kakinya di alam kehidupan, istrinya mengikuti di belakang. Karena tak bisa mengendalikan rasa bahagianya, Orpheus melupakan syarat dari Hades. Ia menoleh ke belakang, ke arah istri yang digandengnya dengan penuh cinta. Seketika itu juga tubuh Eurydice menghilang, ditarik kembali ke underworld dan terpisah dari suaminya kali ini untuk selamanya.

Mengingat akhir cerita mitologi Yunani itu membuat Severus menggenggam tangan Hermione erat-erat. Ia juga menguatkan tekadnya untuk tetap fokus ke depan. Ke cahaya putih yang ada di ujung sana.

Kendalikan emosi. Disiplinkan pikiran.

Itulah yang dilakukannya saat menembus Selubung Pembatas dua puluh tahun lalu. Ia masih berumur delapan belas tahun, baru saja bergabung dengan Pelahap Maut, dan belum pernah ikut andil dalam kematian seseorang. Ia bisa melewati panggilan-panggilan dari alam baka hanya dengan penerangan sebuah batu yang bersinar.

Untuk kali ini, cobaan yang dihadapinya jauh lebih berat. Di awal perjalanan memasuki selubung, Severus mendengar suara ayah dan ibunya. Memanggilnya untuk meminta maaf. Tak berapa lama kemudian terdengar suara James Potter, Sirius Black dan Lupin, yang menyalahkan Severus atas kematian mereka. Kemudian suara Voldemort yang menyatakan kalau Severus seharusnya mati. Dan yang terakhir, yang paling ditakutkannya, suara Lily Potter.

"Severus!" panggil Hermione, cemas karena pria yang menggandeng tangannya itu tiba-tiba berhenti.

Sejauh ini Hermione bisa mengabaikan semua panggilan dari balik selambu. Ia mendengar suara teman-temannya yang terbunuh dalam Battle of Hogwarts. Suara Tonks, Fred, Collin, professor Moody, dan lain-lain. Mereka meminta pertolongan. Menuduhnya kejam karena membiarkan mereka semua mati. Mereka ingin ditemani.

"Kalian tidak nyata," gumam Hermione berulang-ulang. Ia memusatkan perhatiannya kepada Severus yang berjalan di depannya, sambil tetap bergandengan tangan. Tangan Severus kini mendadak berubah dingin. Badan pria itu mematung tak bergerak. "Severus!"

Dengan tudung yang menutupi sebagian wajahnya, Hermione tidak bisa melihat jelas apa yang terjadi. Tapi ia menyadari ada yang salah. Cepat-cepat ia melepas tudungnya dan terkejut saat tahu apa yang membuat perjalanan mereka terhenti.

Lily Potter, atau sosok transparant yang menyerupai mendiang ibu Harry, berdiri di sisi kiri Severus. Ia merentangkan kedua tangannya, seolah ingin menyambut Severus ke dalam pelukannya.

Hermione kurang bisa mendengar apa yang diucapkan hantu Lily kepada Severus, tapi ia merasakan pria itu sedang mengalami pertentangan batin hebat. Severus menggeleng keras, salah satu tangannya terangkat seakan ingin mencegah Lily mendekat. Ekspresi di wajah Lily mengiba dan memohon. Bibirnya mengucapkan sesuatu. Hermione berusaha membaca gerak bibirnya.

"Kau seharusnya tetap mencintaiku, Severus. Kau seharusnya bersama denganku. Kita bisa kembali seperti dulu..." Kedua mata Hermione menyipit. Timbul amarah di dadanya. Ia yakin kalau sosok itu bukan Lily Potter, melainkan makhluk kegelapan seperti Dementor.

Berbeda dari Dementor yang menghisap kebahagiaan, makhluk yang satu ini memanipulasi kesedihan, rasa duka dan rasa bersalah manusia, supaya mangsanya terlena dan tersesat di dalam selubung, lalu menjadi makanan mereka.

Tangan Hermione yang memegang tongkat bergetar dan teracung. "Expecto Patronum!"

Gumpalan asap bercahaya keperakan muncul dari ujung tongkat Hermione. Semakin besar dan semakin jelas. Membentuk wujud seekor binatang berkaki empat seperti singa, tapi bersayap dan berkepala burung pemangsa. Seekor Griffin.

Sekian lama tak pernah merapal mantra Patronus, Hermione tercengang mengetahui bahwa bentuk patronusnya sudah berubah. Yang semula berang-berang, kini menjadi seekor Griffin, makhluk yang sangat kuat dan agung.

Patronus Hermione segera menunjukkan kehebatannya. Ia berlari dengan keempat kakinya dan menerjang sosok transparan yang mirip Lily Potter. Sosok itu pun jatuh terjengkang. Serangan sang Griffin masih belum berhenti. Ia berdiri, mengangkat kedua kaki depannya, lalu menghujamkan paruh tajamnya ke sosok transparan itu. Merobek-robeknya hingga sosok itu tercerai-berai dan lenyap.

Seakan tersadar dari lamunannya, tubuh Severus tersentak. Cepat-cepat ia kembali menggandeng Hermione dan melanjutkan perjalanan mereka yang sempat tertunda. Dengan dikawal patronus yang menyeruduk satu demi satu makhluk kegelapan yang nekat mendekat, akhirnya mereka tiba di ujung jalan. Secara ajaib, selubung itu memilih hutan terlarang Hogwarts sebagai tujuan mereka berdua.

Obor dewi Hecate seketika itu padam begitu Hermione keluar selubung. Severus memastikan mereka sudah berada beberapa meter menjauhi Selubung Pembatas sebelum ia berbalik dan mendekap Hermione erat-erat.

"Syukurlah. Syukurlah..." bisik Hermione, membenamkan wajahnya di dada bidang Severus. Ia bisa mendengar jantung kekasihnya berdebar kencang. Kejadian di dalam selubung tadi nyaris membuat mereka terpisah.

Masih memeluk Hermione, Severus mengecup kening kekasihnya itu dengan penuh rasa sayang. Ia bersyukur mereka bisa keluar dari Arcelia dengan selamat. Tadinya ia hampir putus asa ketika sosok yang mirip Lily Potter muncul. Rasa bersalahnya yang dalam atas kematian wanita itu membuat Severus hampir menyerah. Namun patronus Hermione berhasil menyelamatkan mereka. Berbentuk seekor Griffin. Bayangkan saja!

Didorong rasa penasarannya, Severus mengacungkan tongkat sihirnya. "Expecto Patronum!"

Seekor burung besar bercahaya perak menyilaukan muncul dari ujung tongkat Severus. Patronusnya adalah seekor burung elang.

Merentangkan kedua sayapnya lebar-lebar, patronus Severus terbang berputar di atas kepala mereka. Tak lama kemudian, patronus Hermione terbang menyusulnya. Kedua hewan patronus itu saling menggoda, bermain-main mematuk ekor satu sama lain, lalu beriringan mengangkasa dan menghilang bersama hembusan angin.

"Merlin..." Severus tertegun. "Sepertinya patronus kita berjodoh."

Hermione tersenyum, hatinya penuh kebahagiaan. "Ayo kembali ke Hogwarts, Sev. Sebentar lagi jam sarapan."

Udara pagi hari belum pernah terasa sesegar ini dan hutan terlarang tampak lebih ramah dari biasanya. Severus dan Hermione menatap selubung gaib yang perlahan-lahan menghilang di belakang mereka. Sebuah petualangan tak terlupakan telah mereka alami. Pergi ke sebuah negeri yang belum tentu pernah didatangi orang lain. Kemudian pulang dengan selamat membawa cerita yang mungkin susah dipercaya.

"Err.. Sev, apa yang terjadi dengan obornya?" Kedua mata coklat Hermione terbelalak kaget. Bibirnya setengah terbuka.

"Apa maksudmu? Dari tadi aku memegangnya," balas Severus, sontak mengangkat obor yang diberikan Maeve. Ia terkejut saat menyadari obor mereka berubah menjadi emas. Tampak berlian, jamrud, rubi dan safir menghiasinya. Indah sekali.

"Astaga... astaga... " Hermione sampai lupa berkedip. "Ini... ini hadiah dari rakyat Arcelia untuk kita."

"Ternyata mereka tahu cara berterima kasih," kata Severus sambil mengangkat salah satu alisnya.

Well, obor emas itu lumayan berat. Batu berliannya saja mungkin lebih dari seratus butir. Mereka bisa menjual obor ini dengan harga sangat mahal. Atau melebur emasnya dan mencopoti semua permatanya. Melakukan apa saja yang mereka mau. Membeli rumah di London, berkeliling dunia, atau... atau menikah.

Sambil memikirkan hal ini, Severus menatap wanita yang setia mendampinginya selama lima tahun terakhir, bahkan rela berduel untuknya ketika seorang penggoda datang.

Hermione dan Severus. Gryffindor dan Slytherin. Mereka berselisih. Mereka berbaikan. Mereka tetap bersatu.

Ya. Sudah saatnya mereka menikah.

The End

A/n : Epilogue perlu kah? ^_^

It's been a long journey. Dari tahun 2011 ke 2020. Hiatusnya yang bikin lama hihihi... Ada rasa tidak rela untuk menyelesaikan fanfic ini. Fanfic terpanjang yang pernah saya tulis (60K). Mungkin saya akan bikin fanart-nya dan diupload ke IG opaldotchalice (dot diganti titik ya).

I hope you enjoy it. Jangan lupa reviewnya please. Saya sangat ingin dapat masukan berharga dari para reader ^_^