Title: Heaven Hill

Genre: Fantasy, Romance

Ratting: 15+ (T)

Disclaimer: applied


PROLOG:

Musim panas baru saja dimulai di pulau kecil yang damai itu akan tetapi matahari yang bersinar terik seperti tidak peduli. Tanpa ampun melancarkan serangan panas menyengat ke seluruh penjuru pulau. Sengatan matahari yang begitu panas seperti berniat membunuh para penduduk desa.

Yang paling tangguh di antara semuanya adalah anak-anak. Mereka bertahan dari serangan yang membabi buta itu dengan cara mendinginkan diri di laut. Bermain air untuk bersenang-senang sekaligus berlindung dari panas. Pulau kecil yang dikelilingi bukit di sebagian sisinya itu memiliki pantai yang sangat indah di sisi lainnya, tempat anak-anak sering menghabiskan waktu mereka. Sementara para orang dewasa lebih pengecut dan memilih bersembunyi di dalam rumah. Mencoba bersembunyi dari intaian sinar matahari yang nakal.

Ketika lonceng gereja tanda tengah hari dan waktu makan siang berbunyi, para pekerja di ladang merasa sangat lega karena lonceng itu membebaskan mereka dari kewajiban bekerja di ladang. Lonceng yang berbunyi berarti saatnya untuk makan siang, istirahat dari pekerjaan, dan berlindung sejenak dari sinar matahari. Tapi di saat pekerja lainnya menghindari sinar matahari, seorang gadis berambut oranye panjang ikal itu tetap bersikeras bekerja di ladang jagungnya. Gadis berwajah cantik itu bukannya tidak mendengar suara lonceng gereja itu. Ia hanya tidak peduli. Gadis itu terlihat sangat bersemangat bekerja. Ia mengenakan overall tua dengan kaus putih pendek yang digulung lengannya, topi jeans usang, sepatu boot butut dan sarung tangan yang agak kebesaran dan sudah dekil. Kulitnya agak coklat terbakar matahari dan tubuhnya basah oleh keringat tapi semangat kerjanya tidak menurun.

Gadis dengan tato berwarna biru di lengan bagian atasnya itu itu terus saja menggarap ladang jagungnya meskipun beberapa pekerja ladang lainnya yang kebetulan lewat dan melihatnya memanggilnya dan mengajaknya beristirahat sejenak. Ia hanya akan mengangkat topi pada setiap orang yang menyapanya dan menggeleng pada setiap orang yang mengusulkan padanya untuk beristirahat. Seluruh desa mengenalnya, ia memang seorang gadis yang sangat menyukai pekerjaannya, lebih tepatnya ia sangat menyukai uangh yang dihasilkannya. Ladang jagungnya cukup luas dan di sebelahnya ada sepetak kecil tanah yang ditumbuhi beberapa pohon jeruk yang berbuah lebat. Buah jeruk yang menggantung dari pohonnya berwarna oranye terang dan berkilau ditempa sinar matahari, meskipun tampak sangat menggoda tidak ada yang berani memetik jeruk itu tanpa seijin sang pemilik pohon.

Ladang milik itu selalu diolahnya dengan cara ditanami bergiliran dengan tanaman sesuai musim. Di musim semi ia akan menanam lobak, kentang, kubis dan mungkin mentimun. Di musim panas ia akan menanam jagung dan tomat. Di musim dingin ia akan menanam paprika, wortel, bayam ataupun labu siam yang akan siap di panen di pertengahan musim. Namun pohon-pohon jeruknya yang ada di tepi ladang tidak akan pernah di tebangnya. Di musim dingin ladangnya memang kosong, kecuali untuk pohon-pohon jeruknya yang akan dilindunginya dari terpaan angin utara yang dingin dengan menggunakan plastik terpal. Tidak banyak yang bisa dilakukannya di ladang pada musim dingin tapi gadis yang suka bekerja itu akan menghabiskan waktunya dengan mencari kayu bakar di bukit. Tidak ada yang bisa membujuk gadis itu untuk berhenti bekerja sehingga akhirnya orang-orang pun membiarkan gadis itu terus bekerja di ladangnya.

Gadis itu terus bekerja. Sesekali memang angin akan mampir membelainya, tapi selebihnya ia tidak memiliki perlindungan terhadap sinar matahari kecuali topi usangnya yang sedikit membantunya. Setelah bertahan untuk terus bekerja, akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan kerjanya sejenak. Ia tetap berada di tengah ladang, tetap berdiri, dan tetap kepanasan. Tapi itu sudah menjadi istirahat yang cukup untuknya. Ia menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangannya yang mengenakan sarung tangan dekil dan berwarna cokelat karena penuh tanah. Sambil mengendurkan otot-otot pinggangnya, ia mendongak menatap langit yang begitu biru dan bersih tanpa warna putih awan yang menghiasinya.

Saat baru saja akan kembali melanjutkan pekerjaannya, gadis itu menyadari sesuatu. Sebuah benda menyerupai seekor burung raksasa yang sangat berisik dan mengeluarkan asap dari bagian sayapnya terbang rendah di langit di atasnya. Lama kelamaan benda itu terbang semakin rendah dan menuju ke arah gadis itu yang menaungi pandangannya dengan telapak tangannya. Setelah bebearapa saat terpesona melihat benda yang sebelumnya nyaris tidak pernah dilihatnya itu, gadis itu pun tersadar bahwa benda itu adalah sebuah pesawat mini. Sekalipun tidak tahu mekanisme cara kerja pesawat, tapi ia tahu kalau ada masalah dengan pesawat itu. Ia sangat yakin bahwa biasanya pesawat tidak akan terbang serendah itu—atau mengeluarkan asap sebanyak itu. Ada yang salah dengan pesawat itu. Pesawat itu hanya dapat menampung dua orang termasuk seorang pilot, dan entah apa yang sedang dilakukan pilot pesawat itu saat ini.

Gadis itu tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak bergeming sedikit pun padahal jelas-jelas pesawat itu tengah menuju ke arahnya dan semakin mendekat. Beberapa penduduk desa yang kebetulan melintas melewati area ladang jagung itu menyadari bahwa gadis itu tengah dalam masalah. Mereka memanggil nama gadis itu mencoba menyadarkannya dan membuatnya segera berlari meninggalkan tempat itu. Tapi gadis itu tetap saja berdiri di tempatnya tanpa mengacuhkan panggilan-panggilan yang ditujukan padanya itu. Ia mendengar suara-suara yang memanggil namanya itu hanya saja ia merasa tidak punya alasan untuk mematuhinya. Ia tidak bergeming bahkan ketika pesawat itu mendarat dengan kasar di tengah ladang jangungnya. Hanya beberapa meter di hadapannya.

"Ada pesawat jatuh!"

"Gawat! Cepat panggil kepala desa!"

"Ah... beritahu dokter juga!"

"Cepat!"

Para penduduk desa yang entah sejak kapan mulai terkumpul di tempat itu langsung ribut dan panik. Tapi di tengah semua kebisingan dan kepanikan itu, gadis itu hanya terdiam. Semua khebohan di sekitarnya berubah seperti tanyangan lambat sebuah film bisu hitam putih. Kepala gadis itu terasa kosong, dan sebelum ia sempat menyadari apapun ia sudah berlari menerobos ladang jagungnya tanpa menghiraukan suara-suara penduduk desa yang mencoba mencegahnya. Ia berlari menuju pesawat yang kini teronggok di tengah ladangnya itu. Para penduduk desa yang memenuhi tepian ladang jagungnya itu mencoba memanggil dan mencegahnya tapi tidak ada yang dapat menghentikan gadis itu. Ia tidak mendengarkan apapun. Ia hanya berlari dan terus berlari. Saat semua suara sibuk memanggilnya untuk segera berlari menyingkir dari ladang, ada suara lain yang memintanya segera menghampiri pesawat itu. Suara itu berasal dari dalam kepalanya.

"Jangan Nami!"

"Hentikan, itu berbahaya!"

"Kembali Nami!"

Meskipun para penduduk desa memanggilnya dan memintanya menjauh, suara-suara lain menjerit-jerit di kepala gadis itu. Tidak mungkin mengidahkan suara-suara di dalam kepalanya itu. Suara-suara yang memanggilnya itu terus mendesaknya untuk menghampiri pesawat itu. Menolong siapa pun yang ada di dalam pesawat itu. Meskipun ia tahu, adalah hal yang bodoh berlari ke arah pesawat yang bisa meledak kapan saja. Dan juga ia bahkan tidak tahu apakah penumpang dalam pesawat itu masih hidup atau tidak. Tapi di luar semua itu ia sama sekali tidak peduli apapun yang akan terjadi kemudian. Ia hanya ingin berlari ke arah pesawat itu dan melakukan apapun yang dapat dilakukannya. Ia bahkan tidak sempat memikirkan apa yang akan dilakukannya sesampainya di pesawat itu nanti. Ia hanya berlari dan berlari. Ia tidak peduli apa pun yang akan menimpa dirinya nanti.

Para penduduk desa ingin mencegah gadis itu, tapi tidak ada satu pun yang berani mengejarnya. Sementara mereka berteriak-teriak memanggilnya, gadis itu terus saja menerobos ladang jagungnya. Ia tidak peduli harus merobohkan dan menginjak berapa pun tanaman jagung yang sangat disayanginya itu. Yang diinginkannya hanyalah agar segera sampai di sisi pesawat itu.

Gadis itu menghabiskan banyak waktunya di ladangnya itu dan ia hafal benar luas ladangnya itu. Ia tahu berapa banyak waktu yang seharusnya digunakannya untuk sampai di pesawat itu tapi saat itu ia merasa kalau ladangnya menjadi bertambah luas beberapa kali lipat. Padahal ia sudah mempercepat langkahnya kan tetapi ia tidak juga sampai di dekat pesawat itu. Padahal seharusnya itu tidak memakan waktu selama ini.

Setelah waktu yang dirasa amat lama dan jarak yang dirasa sangat jauh akhirnya gadis itu pun sampai di depan pesawat itu. Ia bahkan tidak sempat mengambil napas dan segera berlari ke arah pintu pesawat itu. Ia dapat melihat seseorang di dalam pesawat itu. Ia tidak tahu apakah orang itu masih hidup atau tidak, yang jelas sosok itu tidak bergerak sama sekali. Asap menyelimutinya, ia tidak dapat melihat dengan jelas. Napasnya terasa sesak karena asap. Gadis itu mencoba membuka pintu pesawat itu dengan sekuat tenaga tapi pintu itu tidak juga terbuka.

Dengan kesal ia membuka kedua sarung tangannya. Kedua telapak tangannya basah oleh keringat ia mengelapkannya dengan pakaian yang dikenakannya dan mencoba sekali lagi untuk membuka pintu pesawat itu.

Saat tangannya menyentuh pintu pesawat itu telapak tangannya terasa terbakar. Api membuat panas pegangan pesawat yang terbuat dari baja itu. Meskipun telapak tanganya mulai memerah dan melepuh tapi gadis itu tidak menyerah. Ia mengerahkan segenap kekuatannya untuk membuka pintu itu meskipun usahanya sia-sia. Tangannya semakin memerah dan terasa sakit karena terbakar api. Seharusnya ia menghentikan usahanya yang sia-sia itu tapi ia enggan untuk di dalam kepalanya terus menerus berteriak memintanya berusaha dan terus berusaha. Tidak peduli apakah tangannya terluka parah ataupun banyak asap yang telah dihirupnya, gadis itu menarik pintu itu sekuat tenaga. Tapi pintu itu tidak sedikitpun bergerak. Ia tahu kalau usahanya itu sia-sia dan tidak banyak waktu yang dimilikinya, ia ataupun orang yang akan ditolongnya itu akan segera mati karena terlalu banyak menghirup asap kalau ia tidak segera berhasil membuka pintu pesawat itu. Ia sadar tidak ada yang bisa lakukan selain terus berusaha. Ia tahu ia tidak bisa mengandalkan orang lain kecuali dirinya sendiri.

Gadis itu tidak ingin menyerah. Ia berhenti sejenak untuk menghela napas dan mengumpulkan kekuatan. Ia mengusapkan tangannya yang berkeringat ke overallnya. Tangannya melepuh dan terasa sangat sakit tapi ia tidak peduli. Sambil berdoa dalam hati ia berusaha mengumpulkan tenaga.

Ia menggumam perlahan sambil menatap langit biru yang menyilaukan, "Kumohon, Ace, bantulah aku..."

Setelah kembali memperoleh keyakinan dan sedikit tenaga tambahan gadis itu kembali berusaha menarik pintu itu. Kali ini ia benar-benar menghabiskan seluruh tenaga yang ada di tubuhnya. Terdengar bunyi "Krak" saat akhirnya pintu pesawat itu terbuka.

-prologue: end-