Minna~
Sekali lagi bong musti sujud buat mohon ampun, karena lagi-lagi bong bukannya update tapi malah publish fic baru. Silahkan pukulin bong kalo bisa *smirk*

.
Oke, fic ini bong bikin khusus untuk Nesha Nareswari. {Sha-chan, moga gak kecewa ya. Dan awas aja KALO GAK NGASIH RIPYU! *ngasah golok*}

.
Hm, bong cuma mau ingetin. Fic ini mungkin agak nyrempet ke rate M *tapi gak ada 'itu'nya kok, SUERR! Tapi secara keseluruhan fic ini masih aman nyandang rate T. Hehe..

.
Beribu-ribu maaf bong ucapin buat HinaLovers, mungkin karakter Hina di fic ini udah kelewat OOC. Makanya, jangan ngerasa aneh disana-sini ya. *bong udah ingetin loh*

.
Dan yang terakhir, fic bong SELALU jauuuuh dari kata SEMPURNA, jadi jika ada kesalahan mohon dimaafkan. Silahkan jika mau ngasih masukan apapun itu, entah saran, kritik, maupun yang berbentuk flame sekalipun Bong siap nerima {karena datangnya flame mungkin gara-gara keteledoran diri bong sendiri}.
WARNING : AU, OOC, TYPOS, etc.

.
INI BUKAN KAMAR YANG DISEWA SAI!
Ya, Tuhan.. Jadi ini kamarnya siapa? Aku akan memotong leherku sendiri jika tebakanku ini salah. Kamar ini bukan kamar Sai. Ya, pasti bukan. Astaga! Jadi semalam aku telah
making lovedengan siapa?

.
Disclimer : demi Jashin, Naruto kalo punya bong bakalan bong bikin Orochimaru jadi DUKUN. Tapi sayangnya Naruto punya Masashi Kishimoto
Genre : Romance
Pair : sasuhina foeva~
Rate : T
.

First chappie

.

Nyuut. . Nyuut. . Nyuut. .
Kurasakan kepalaku berdenyut hebat. Dan kudapati kedua tanganku sudah mencengkeram erat rambut panjangku saat mataku perlahan mengerjap karena sinar terang sang surya yang cukup menyilaukan. Setelah penglihatanku cukup jelas, kuperhatikan sekelilingku untuk mencoba menebak dimana diriku berada. Kini aku berada di sebuah ruangan yang cukup besar dengan diterangi oleh cahaya matahari yang masuk lewat dua jendela besar yang ada di sisi ranjang. Berusaha mengumpulkan energi dengan menarik napas dalam-dalam, perlahan kuangkat kepalaku dari atas bantal. Astaga. Kepalaku sakit sekali. Sekali lagi kupaksakan tubuhku untuk bangkit walaupun dengan menggeram sambil menjambak rambutku. Aku berhasil juga untuk duduk. Kepalaku rasanya sudah mau pecah dan mulutku terasa kering. Rasa sakit kembali menjalar ke kepalaku, dan sekali lagi kujambak rambutku kuat-kuat.
Astaga, entah berapa banyak wine yang sudah kuminum semalam. Tubuhku memang kurang bersahabat dengan minuman yang kadar alkoholnya cukup tinggi. Sekali lagi kuperhatikan sekelilingku. Kini dengan keadaan duduk, aku bisa lebih melihat seisi kamar dengan jelas. Sepertinya aku berada di dalam kamar hotel. Kamar hotel yang mewah karena barang-barang yang ada di dalam kamar ini dapat dikategorikan sebagai barang mahal. Satu set sofa ada di sebelah kanan dan TV plasma menempel pada dinding di depan tempat tidur. Selain itu kamar hotel ini memiliki meja kerja yang terbuat dari kayu bercat putih. Dan juga sebuah laptop berwarna putih tengah terbuka diatas meja itu.
Kembali kuhirup udara pagi dalam-dalam. Berusaha memasukkan udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. Tanganku sedikit meraba-raba kepalaku yang masih terasa sakit akibat efek alkohol dalam darahku.
Kusingkapkan selimut yang menutupi tubuhku, bermaksud berdiri namun kemudian kurasakan detak jantungku seolah berhenti seketika. Ya, Tuhan.. Ya, Tuhan.. Aku tidak mengenakan apa-apa di bawah selimut itu selain bra dan celana dalamku. Buru-buru kutarik selimut itu hingga ke dagu.

Jantungku kembali kurasakan berdetak, namun kini irama detaknya tidak keruan dan terasa begitu kencang. Napasku sedikit memburu dan pikiranku sudah berpikiran yang macam-macam. Kembali kutarik napas dalam-dalam. Sesekali aku berdo'a agar apa yang beberapa detik yang lalu kulihat hanyalah halusinasi. Sekali lagi aku mengintip ke dalam selimut untuk memastikan bahwa aku memang hanya mengenakan pakaian dalam. Kembali kurasakan jantungku seperti terkena sengatan listrik. Astaga. Pemandangan di bawah sana tidak berubah dari sepuluh detik yang lalu dan untuk kedua kalinya napasku tercekat. Mataku mulai terasa panas karena pikiranku dipenuhi pikiran-pikiran kotor tentang diriku sendiri.
Kugigit bibirku keras-keras berharap jika aku tidak merasakan rasa sakit sehingga dapat dipastikan bahwa semua yang kulihat pagi ini adalah mimpi. Mimpi. M-I-M-P-I. HARUS MIMPI!
Berusaha menguasai diriku sendiri. Aku mulai meneliti sekitarku sekali lagi. Tempat yang kutiduri berukurang king dan masih terlihat rapi, meskipun dua bantal besarnya kini sudah tidak berada di tempat yang semestinya. Kujambak lagi rambut panjang indigoku untuk memaksa otakku bekerja ekstra keras mengingat-ingat apa yang telah kulakukan semalam. Aku hanya bisa ingat suara musik klasik yang berasal dari perpaduan antara piano dan biola, dekorasi lobi hotel yang super mewah dihiasi oleh bunga-bunga mawar putih, bergelas-gelas wine, dan suara tawa bahagia serta ucapan-ucapan selamat yang ditujukan untuk pertunanganku dengan Sai. Entah berapa banyak alkohol yang sudah masuk dalam tubuhku seusai pesta itu karena ditantang oleh sahabat-sahabatku serta sahabat Sai untuk minum bergelas-gelas wine yang beralkohol.
Sai.
Benar, mungkin tunangankulah yang telah membawaku kemari. Tapi, kenapa dia harus melakukan ini padaku. Oke, aku tahu dia dan aku sudah terikat dalam tali pertunangan, tapi setidaknya dia harus meminta persetujuanku dulu kan jika ingin err.. Making love denganku. Lagipula untuk apa dia sampai menyewa kamar hotel segala. Bukankah dia paling benci tidur selain di tempat tidurnya sendiri. Aku masih ingat ketika dia sakit, dia sampai marah dan mogok bicara karena aku dan keluarganya memaksa Sai untuk dirawat di rumah sakit. Lagipula, bukankah Sai semalam setelah pesta pertunangan usai, dia meminta izin padaku untuk pergi ke Newyork karena ada sedikit masalah dengan bisnisnya yang bergerak dibidang jual-beli saham. Hm, dan sejak kapan laptop Sai berubah warna dari hitam menjadi putih?
Deg

.

.
Astaga

.

.
Deg

.

.
Apa mungkin

.

.
Deg

.

.
Tapi. . .

.

.
Deg

.

.
Mungkin juga

.

.
Deg

.

.
Ini

.

.
Deg

.

.
INI BUKAN KAMAR YANG DISEWA SAI?
Ya, Tuhan. . . Jadi ini kamarnya siapa? Aku akan memotong leherku sendiri jika tebakanku ini salah. Kamar ini bukan kamar Sai. Ya, pasti bukan. Astaga. Jadi, aku telah making love dengan siapa?
Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada suara shower yang sedang dihidupkan. Itu berarti bahwa aku tidak sendirian di dalam kamar hotel ini. Panik melanda jiwa dan ragaku. Pelipisku sudah dipenuhi keringat dingin, padahal aku yakin suhu kamar ini telah disesuaikan dengan temperatur yang sengaja diatur oleh AC, 18 derajat celcius. Seharusnya aku sudah menggigil kedinginan karena aku memang tipe orang yang tidak tahan pada suhu dingin apalagi dengan tubuhku yang telanjang. Ralat. Setengah telanjang.
Aku mencoba menenangkan rasa panik yang kian meneror diriku. Hinata, tenanglah. Itu mungkin salah satu sahabatmu yang sedang mandi. Jika bukan Sakura, maka dia pasti Ino. Ya, ya.. Pasti begitu. Tapi apa Ino dan Sakura akan tega membiarkanku tidur tanpa baju begini? Mereka sahabatku sejak SMP dan tahu tentang kelemahan tubuhku yang rentan pada udara dingin.
Tiba-tiba aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena tidak mengindahkan kata-kata Sai sebelum dia pergi dari lobi hotel, tempat pesta pertunanganku dan dia berlangsung. Sai mengatakan agar aku cepat pulang dan tidak usah ikut teman-temanku yang lain minum-minum. Namun, sebagai tuan rumah yang harus ramah pada tamunya aku tidak mempedulikan sarannya. Aku bersama Sakura, Ino, Naruto, Sasori, Gaara dan tamu lainnya berpesta-ria dengan mengadakan game memutar botol dan orang yang ditunjuk oleh leher botol harus minum segelas wine.
Dan sialnya aku berkali-kali kena. Sehingga aku harus minum wine yang entah sudah berapa gelas.

.

.
Perlahan aku bangun dari tempat tidur dan tanpa menghiraukan tubuhku yang setengah telanjang aku mulai mengelilingi ruangan untuk mencari bajuku. Kutemukan gaun selututku yang berwarna putih berenda berlengan pendek tersampir di lengan sofa. Aku segera mengenakan gaun itu sebelum kemudian mulai mencari sepatu putihku yang berhak tujuh senti. Kutemukan sepatuku di bawah meja kerja, pada saat itulah aku menyadari bahwa ada sepasang sepatu laki-laki persis disebelah sepatuku. Kubekap mulutku agar teriakanku tidak keluar karena terkejut. Jantungku lagi-lagi terasa seperti mau lompat dari tempatnya. Aku janji akan segera memeriksakan jantungku ke rumah sakit setelah aku bebas dari kandang singa ini. Ya, Tuhan. Apa aku kenal laki-laki pemilik sepatu ini? Jadi, benarkah semalam aku telah making love dengan laki-laki pemilik sepatu itu.
Panik, buru-buru kutarik sepatuku dari bawah meja. Air mataku sudah hampir berhasil mendobrak keluar dari mataku. Jangan menangis Hinata. Untuk apa menangisi sesuatu yang sudah terjadi? Siapapun yang meniduriku semalam tidak penting, yang penting sekarang aku harus pergi dari sini secepat mungkin. Lagipula kenapa aku sampai tidak ingat bahwa aku dibawa kemari oleh seseorang.
Jantungku sekali lagi kurasakan berhenti saat aku tiba-tiba menyadari bahwa sudah tidak ada bunyi shower lagi. Tangisku sudah pecah. Ya, Tuhan. Bukankah tadi malam aku sudah mengikatkan diri pada laki-laki yang sudah hampir delapan tahun menjadi kekasihku dengan tali pertunangan? Lalu apa yang kulakukan setelahnya? Aku.. Aku telah menghianati Sai. Aku telah tidur dengan orang selain calon suamiku. Aku telah-
Arrghh. . . !
Kujambak keras-keras rambut kusutku untuk kesekian kalinya. Dengan membulatkan tekad, kusabet sepatuku, dan segera memakainya. Sambil mengendap-endap seperti maling, aku langsung menuju pintu keluar. Aku baru saja berhasil membuka pintu ketika kudengar pintu kamar mandi di belakangku dibuka, disusul dengan suara berat yang hanya bisa dimiliki oleh laki-laki.
"Mau kemana buru-buru begitu?"
Segera kugigit bibir bawahku agar pekikan terkejutku tidak terdengar olehnya. Aku langsung memutar tubuhku dan harus menahan napas ketika kulihat sebuah dada paling bidang yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Air mata yang sedaritadi kubendung langsung membuncah keluar menghasilkan isakan kecil yang membuat tubuhku bergetar. Rasa takut menelanku tanpa ampun. Aku bagaikan maling ayam yang tertangkap basah pemiliknya sedang mencuri ayam.
Buru-buru kubuang pikiran ngaco itu. Mana mungkin keadaanku bisa disamakan dengan maling ayam yang ketahuan pemiliknya. Hello, mana ada maling ayam yang saat mencuri menanggalkan seluruh bajunya sepertiku, kan? Oke, oke. Berpikirlah realistis. Jangan hanya berkutan dengan aku-yang-tertangkap-basah-ingin-melarikan-diri.
Dadaku bergemuruh hebat ketika menyadari bahwa dia tidak hanya memiliki dada yang bidang dan perut yang bisa digunakan untuk berselancar, tetapi juga memiliki wajah yang bisa membuat semua wanita histeris walau hanya melihatnya dari kejauhan. Wajah itu sangat tampan dengan garis-garis rahangnya terlihat kuat. Hidungnya mancung, alisnya tebal, dan kulit wajahnya putih bersih. Hm, sepertinya aku harus menanyakan merek sabun apa yang digunakannya sehingga wajahnya bisa semulus dan seputih itu.
Oh, SHIT!
Hello, apakah ini otak Hyuuga Hinata?
Hey, girl. Sadarlah! Kau sedang dalam posisi siap diterkam, tapi kenapa kau malah memikirkan apa merek sabun yang digunakan laki-laki yang sudah menodaimu. Cukup! Aku belum pasti ternoda! Belum ada bukti bahwa semalam kami memang benar-benar making love, kan?
Kembali kufokuskan pikiranku untuk menatapnya takut-takut. Astaga. Matanya! Matanya itu mata iblis. Sai yang memiliki mata onyx menyerupainya saja tidak sampai membuatku meleleh seperti ini. Apalagi aura wajahnya yang terkesan misterius dan terkesan err..tiga huruf H-O-T.
Gyaaaa!
Siapapun tolong aku! Aku tidak mau berfantasi kotor seperti ini. Tidak. Jangan. Aku ini perempuan baik-baik. Selain Sai tidak ada yang bisa membuat jantungku berdebar tidak keruan seperti ini. Tidak. Tidak. Debaran ini lebih keras malah.
"Ng, itu.. Aku..harus..pergi." Ucapku terbata-bata karena baru menyadari bahwa laki-laki ini sedang telanjang kecuali handuk putih yang menutupi bagian err..itunya. Entah apa jadinya apabila aku nekat menarik handuk itu kebawah. SHIT! SHIT! SHIT! Iblis, pergi jauh-jauh dari pikiranku! Aku ini sudah punya calon suami. SUAMI!
"Hn, memangnya mau kemana pagi-pagi diakhir pekan begini? Bukankah cutimu masih berlaku hingga lusa." Ucap laki-laki itu sambil melangkah keluar dari kamar mandi dan masuk ke kamar.
Aku hanya dapat memegangi dada kiriku, berharap agar jantungku tidak melorot atau bahkan copot dari rongganya. Tuhan. Tolong aku! Aku bisa masuk neraka jika terus membayangkan hal-hal nista yang kulakukan apabila aku bergerak kearahnya, memeluknya dari belakang, dan menarik haduknya.
IBLIS! IBLIS! IBLIS, PERGI KAU!
Kutelan ludahku dengan susah payah untuk membasahi kerongkonganku yang semakin kering. Mataku membulat saat dia memamerkan seringai nakalnya sambil menyisir rambut basahnya dengan jari-jari kokohnya.
"Lupa padaku, eh?" Tanyanya.
Aku menatapnya takut-takut. Apa aku pernah mengenalnya? Atau barangkali aku pernah melihatnya? Hey, seumur hidup aku baru mulai berani bergaul dengan laki-laki hanya pada saat aku mulai kuliah. Dari SMP hingga SMU aku sekolah di sekolah khusus putri. Jadi seratus persen aku yakin bahwa aku tidak pernah melihat bahkan mengenalnya. Hm, tapi mengingat wajahnya dan juga tubuhnya yang sekali lagi harus kuakui sangat HOT. Mungkinkah dia artis? Kusipitkan mataku mencoba untuk memastikan. Tidak, dia bukan artis.
Perlahan dia melangkah menuju jendela sambil membawa kaus serta celana jeansnya yang diambil dari lemari. Dan tanpa mempedulikanku yang masih berdiri cukup dekat dengannya dia mulai memakai kausnya. Sebisa mungkin aku langsung menutup kedua mataku ketika dia melepaskan handuk yang melingkari pinggulnya. Tuhan, aku berdosa. TELAH BERDOSA. Aku akan masuk neraka karena telah melihat laki-laki yang tidak memiliki hubungan apapun denganku-ralat-tidak kukenal sama sekali telah bertelanjang di depan mataku.
IBLIS! PERGI JAUH-JAUH DARIKU!
Dia tidak telanjang. Hey, dia mengenakan boxer hitam.
Glek.
Apa yang barusan itu?
Mengintip?
Aku mengintip?
Arrghh..! Kujambak rambutku yang semakin kusut kuat-kuat.
Sai.
Sai, kumohon ampuni aku. Aku telah berpikiran kotor berkali-kali pagi ini.
"Hime," aku mendelik kearahnya. Hime? Sepertinya aku pernah mendengar panggilan semacam ini. Tapi dimana? Aku menatap laki-laki itu curiga. Jika kutaksir umurnya, maka dia pasti seumuran denganku dan juga Sai. Ya, sekitar 26 tahun. Dia kini sedang meletakan handuknya di atas tempat tidur tanpa sekalipun matanya beranjak meninggalkanku. "Kau lupa kejadian semalam?"
Aku mengerutkan kening. Sekali lagi aku memeras otak untuk berusaha mengingat kira-kira dimana aku melihatnya. Aku tidak memberikan respon apapun padanya, sengaja menunggu penjelasannya.
"Aku menemukanmu tidak sadarkan diri di dekat toilet ada aku membawamu kesini." Jelasnya sambil menatapku dengan tatapan yang err..menggoda. Apa aku bisa mempercayainya?
"Kau kan bisa membawaku kembali ke lobi." Seruku keras sambil mengusap sisa-sisa air mata di pipiku. Rasa panik kembali menyergapku saat menyadari dia mulai melangkah menghampiriku. Oh, tidak. Buru-buru kubuka pintu kamar hotel itu, melangkah ke lorong dan segera memasuki lift. Ya, itulah rencanaku sebelum akhirnya dia benar-benar telah berhasil mencengkeram lenganku dan kembali menyeretku ke kamarnya namun dia tidak menutup pintu kamarnya. Aku sedikit lega akan hal itu sehingga aku memiliki kesempatan bagus untuk lari dari kamarnya.
"Cih," dia berdesis sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku. Dapat kurasakan napasnya menyapu wajahku. Dan aku bersumpah dadaku semakin meronta ingin keluar dari tempatnya akibat jantungku yang sudah kelewat berdebar kencang. Kutatap kedua bola mata onyxnya yang sudah menatapku dengan tatapan yang seolah dapat menelanjangiku. Dia sejenak menyeringai lalu menurunkan kepalanya agar dapat mengecup leher kananku. "Aku yang memberimu kecupan seperti ini tadi malam sebelum kau melakukan ritual tukar cincin dengan kakak tiriku, kau ingat?" Dia menyeringai lagi padaku yang kini tengah menatapnya dengan tatapan ngeri.
Astaga.
Aku ingat sekarang.
Tadi malam sebelum acara tukar cincin, aku sempat dikenalkan oleh Sai pada laki-laki ini yang katanya baru datang dari Inggris.
"U-Uchiha Sasuke?" Ucapku ragu. Aku masih menatapnya ngeri, karena ingat semalam dia sempat melakukan pelecehan padaku yang merupakan calon kakak iparnya. Seolah dapat membaca pikiranku, dia mulai menjauhkan dirinya dari tubuhku.
Sejenak aku menghembuskan napas lega.
Namun detik berikutnya kurasakan bibirnya membelai lembut bibirku. Kurasakan jantungku terasa ngilu seketika.
"Thanks for last night."

.
~tbc~

.
Ufufufu *devil smirk*
gimana? Image Hina-chan luar biasa ANEH kan? Mesum dikitlah..
GYAAA! *dibantai*
OKE, SEE YOU NEXT CHAPPIE..

.
{gomen, abis ini bong mau mati suri dulu}