xXx_xXx

Blackish Cherry Blossom

Chapter 4

By: matryoshka-shu

Tsubasa Reservoir Chronicle © CLAMP

xXx_xXx

"Those are the devil. Have the power to sneak into your memory—the dark memory you have buried deep. Your weakness. Even when you are already recover yourself, the wound will open again. They will let you dwell in your past sin and laugh."

.

Hari ini seharusnya adalah hari yang biasa di Sylvannia High School, namun Syaoran dan Ryuuoh tidak merasa seperti itu. Semua ini gara-gara Primera. Seharian ini dia kelihatan tidak bersemangat, tidak seperti dirinya yang biasanya ceria.

Dari cerita teman-temannya, mereka tau hari ini Primera terlambat ke sekolah—untuk pertama kalinya! Setelah masuk kelas pun ia tidak fokus, tidak sadar ketika namanya dipanggil.

"Aku jadi khawatir," kata Syaoran. Saat ini jam pelajaran kosong, ia dan Ryuuoh melihat Primera yang sedang main voli dari pinggir gym.

"Kau pikir aku tidak? Biasanya pelajaran olahraga seperti ini dia paling aktif. Tapi daritadi sama sekali tak ada bola yang bisa dikembalikannya."

"Jadi kamu khawatir soal permainan voli-nya?"

"Bukan begitu, maksudku, yah… Sudah seharian dia tidak fokus begitu. Sepertinya ada sekrup yang lepas di kepalanya."

Syaoran pun menyikut Ryuuoh pelan.

"Seriuslah sedikit! Kalau ada yang aneh pada pacarmu, tanyakanlah!"

"Tanyakan, ya…" gumam Ryuuoh sambil meneguk air dalam botol minumannya. Namun matanya tak lepas mengawasi Primera yang bersusah payah di lapangan sana.

"Hei, awas!" teriak Ryuuoh ketika melihat bola voli yang terlontar ke arah Primera. Ia refleks berdiri dan berlari ke lapangan, tapi terlambat. Bola itu menghantam kepala Primera dengan keras hingga si gadis terjatuh.

Bererapa anak lainnya menjerit dan langsung mengerubungi Primera. Ryuuoh yang sudah tiba di sana langsung berjongkok dan mengangkat kepala gadisnya itu.

"Kamu tak apa?"

"Aku...entahlah…" Primera berkata sambil menutup matanya erat dan menyentuh keningnya. Ryuuoh langsung saja mengangkat tubuh Primera—menggendongnya dengan bridal style dan berlari menuju ruang kesehatan.

Biasanya Primera akan malu dilihat orang dan mencak-mencak minta diturunkan. Tetapi keadaan kepalanya membuatnya hanya bisa memanggil nama Ryuuoh dengan lemah.

"Ryuuoh…"

"Sudah, kau diam saja," ucap Ryuuoh tanpa menatap Primera. Ia berlari menusuri lorong yang hanya dilewati sedikit orang hingga akhirnya tiba di ruang kesehatan.

Ryuuoh meletakkan tubuh Primera di ranjang dengan perlahan lalu bergegas mengambil handuk. Dibasahi handuk tersebut lalu ditempelkannya di kepala primera.

"Sakit?" tanya Ryuuoh khawatir.

"Tidak terlalu… cuma sedikit pusing."

"Kalau merasa tidak enak badan, sebaiknya kau tidak usah ikut pelajaran olahraga tadi. Malahan tidak usah ke sekolah sama sekali…" Ryuuoh mengelus pelan kening Primera. Jarang sekali ia bermanis-manis seperti ini.

"Sebelumnya aku tidak apa-apa. Jujur. Hanya tiba-tiba aku merasa pusing."

"Ya sudah, tidur saja dulu di sini."

"Aku…tidak tidak mau tidur…"

"Ini bukan saat yang tepat untuk memelihara sifat keras kepalamu, Primera."

Primera merengut. Memang dia mengaku keras kepala, tapi saat ini bukan itu masalahnya.

"Aku istirahat saja. Tapi tidak mau tidur."

"Terserah kau saja…" lalu dengan lembut Ryuuoh menyelimuti Primera hingga batas pundaknya. Primera hanya diam sambil menatap Ryuuoh.

"Sampai terakhir kita bertemu kemarin kau masih sehat-sehat saja. Masih ceria, dan cerewet," ucap Ryuuoh lagi sambil jemarinya merapikan poni kekasihnya yang agak semerawut.

"Aku lebih senang jika bagian 'cerewet'-nya itu dihapuskan," protes Primera dengan suara datar.

"Baiklah… Hei, aku serius. Kau juga tidak meneleponku tadi malam."

"Aku mengantuk dan tidur lebih awal, jadi tidak sempat menghubungimu."

"Kalau tidur cepat, berarti kau cukup istirahat dan tidak mungkin pingsan di lapangan."

"Tadi pagi aku tidak sarapan. Mungkin itu mempengaruhiku dan…hei, aku tidak pingsan!"

"Ya, kau cuma tidak fokus. Pasti ada alasannya, karena tidak biasanya kau seperti itu."

Primera diam. Dia sudah sering berdebat dengan Ryuuoh tentang banyak hal dan dia kalah debat hari ini.

"Aku cuma terpengaruh ingatan dari masa lalu. Itu saja," Primera menaikkan selimutnya hingga menutupi wajahnya. Tidak mau Ryuuoh melihat raut wajahnya yang kacau saat ini. Ryuuoh cuma diam, tau kalau masih ada kata-kata yang ingin—dan harus dilanjutkan oleh Primera.

"Maaf membuatmu khawatir. Semalam…aku bukannya tidur lebih cepat. Bahkan sebenarnya aku tidak tidur sama sekali."

"Aku tau," Ryuuoh menurunkan kembali selimut yang dipakai Primera untuk menutupi wajahnya hingga ia dapat melihat mata yang mulai beriak, tanda sesuatu akan tumpah secara perlahan dari sana.

"Aku bisa menebak apa yang mengganggumu. Sesuatu yang tidak bagus hingga membuatmu ketakutan dan tak tidur semalaman. Lagipula, mata panda ini sudah menceritakan semuanya." Ryuuoh menunjuk bagian bawah mata primera yang berwarna kehitaman karena kurang tidur.

"Jadi, semalam kau bermimpi buruk atau apa? Ceritakan padaku," akhirnya Ryuuoh menyingkirkan kembali selimut itu dari wajah Primera.

"Aku teringat mereka, Ryuuoh. Teman kecil kita…" alis Primera mulai berkerut ketika ia mencoba menahan banjir yang hendak keluar dari pelupuk matanya.

"Misaki dan Yumi?"

"Ya…" suaranya semakin parau dan akhirnya butira air mata meluncur satu per satu dari sudut matanya.

"Mereka terbakar dalam api… merintih, ketika kita tidak mengetahuinya dan tidak melakukan apapun… Saat itu mereka pasti meminta tolong, bisa saja memanggil-manggil nama kita namun kita tidak mendengarnya…" Primera mencoba bercerita segalanya tentang yang ia rasakan, masih dalam keadaan berurai air mata dan terisak.

"Itu bukan salahmu. Bukan salah siapapun. Kita tidak bisa berbuat apapun tentang itu."

"Tapi itu tidak adil, kan? Saat itu mereka hanya anak kecil, polos dan tak berdosa. Dan saat kau dan aku masih di sana, kita semua sangat dekat, sudah seperti saudara kandung. Bermain bersama, berbagi suka duka bersama… Kita selalu hidup bersama dan bukankah harusnya saat mati kita juga…"

"Hei, hei! Ssst… hentikan itu, Primera. Kau tidak boleh bicara seperti itu," Ryuuoh memegang kedua lengan Primera dan berusaha mendiamkan gadis itu. Ia lalu menghapus air mata itu dengan jarinya.

"Ini bukan pertama kalinya aku bilang ini. Kita tidak boleh menyesali hal yang sudah terjadi itu. Itu di luar kemampuan kita, oke. Malahan kita harusnya bersyukur Tuhan masih menyayangi kita sehingga kita masih hidup dan bisa berada di sini."

Primera masih terisak. Wajahnya benar-benar kacau. Pipi dan hidungnya memerah, matanya sembab dan hampir seluruh wajahnya basah karena air mata dan keringat. Dan saat ini sepertinya tak ada yang bisa menghentikan tangisnya.

"Misaki dan Yumi, dan semua orang yang menjadi korban malam itu tidak akan menyalahkan kita karena tidak bisa menolong mereka. Ini takdir yang diberikan Tuhan, kau dengar?" Primera mengangguk meski belum berhenti menangis.

"Yang bisa kita lakukan saat ini, berdoalah. Bagi jiwa-jiwa yang tenang di atas sana. Dan hapus air matamu. Teman-teman kita juga pastinya tidak mau melihat kau menangis saat ini," Primera mengangguk dan mencoba menenangan dirinya.

Detik-detik selanjutnya mereka diam. Primera mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk dan Ryuuoh menunggu hingga kekasihnya bisa tenang dan berhenti terisak.

Sampai akhirnya dilihat isakan gadisnya yang sudah mereda dan airmatanya sudah berhenti, Ryuuoh tersenyum, mengelus kepala Primera dengan pelan dan penuh sayang. Meskipun keadaan wajah Primera yang habis menangis masih kacau.

"Ryuuoh, ada satu hal lagi yang agak kukhawatirkan…" Primera berkata pelan, agak berbisik.

"Ya? Teruskan saja, kau bisa cerita," Ryuuoh masih mengusap kepala Primera, dan tersenyum menenangkan.

"Ini tentang…Sakura."

Mimik wajah Ryuuoh langsung berubah begitu Primera menyebutkan nama Sakura. Dan belaian tangannya di kepala Primera berhenti.

"Kau masih ingat tentangnya—maksudku, dulu?"

"Ya, Primera. Aku masih ingat." Ryuuoh lanjut mengelus kepala Primera, namun kali ini wajahnya lebih serius.

"Jadi, ada apa?"

"Umm…ya… Kemarin, Sakura…"

CKLEK. Suara pintu yang terbuka membuat Primera harus menghentikan ucapannya. Takutnya kalau orang yang membuka pintu itu adalah orang yang sedang mereka bicarakan.

Untung saja bukan. Sakura bukan pria, toh? Yang barusan memasuki ruangan itu adalah Dr. Kyle, salah satu dari guru kesehatan serta pengurus UKS di sekolah mereka.

"Hai, Ryuuoh, dan…apa itu Primera yang terbaring di sana?" tampaknya Pria itu sudah mengenal Ryuuoh dan Primera.

"Ya, Dr. Kyle. Kepala Primera tidak sengaja terhantam bola saat pelajaran olahraga tadi," jelas Ryuuoh.

"Ya Tuhan. Apa sakitnya parah? Karena sepertinya kau habis menangis, Primera."

"Tidak juga, dokter. Aku menangis karena ulah si bodoh Ryuuoh ini."

"A-apa?! Hey, aku yang mendiamkanmu, kau tau?" protes Ryuuoh.

"Sudah, sudah. Apa aku harus memeriksamu, Primera?"

"Ah, tidak usah, dok. Aku sudah sehat kok. Sekarang juga aku dan Ryuuoh harusnya kembali ke kelas."

"Kau yakin? Mungkin aku harus memberimu obat."

"Tidak apa-apa. Memang masih agak pusing, tapi pasti cuma gara-gara habis menangis. Sebentar lagi juga sembuh."

"Baiklah. Tapi kalau dalam waktu dekat kau merasa tidak sehat, segera kembali ke sini, ya."

"Baik, dokter. Terima kasih atas perhatiannya. Kami permisi!" Primera pun pamit keluar sambil menarik Ryuuoh.

"Selamat siang, dok!" Ryuuoh menyempatkan memberi salam sebelum keluar dari ruangan.

"Selamat siang," ujar si dokter berkacamata meski sepertinya yang diberinya salam tidak dapat mendengar karena diseret dengan cepat olah pacarnya.

Ryuuoh dan Primera pun menyusuri koridor yang hanya dilalui sedikit orang, karena saat ini masih di jam pelajaran.

"Sepertinya kau punya kemampuan memulihkan diri dengan cepat, ya?" kata Ryuuoh tiba-tiba.

"Apa?"

"Ya, lihat saja kau. Tadi saja terlihat sangat shocked. Sekarang sudah bisa berwajah tenang, berjalan seperti biasa, bahkan menyeret orang dengan paksa."

"Tidak lucu, Ryuuoh. Percayalah, isi hatiku masih kacau seperti tadi. Hanya saja aku tidak membiarkannya terlalu mempengaruhiku."

"Tapi tetap saja, poker face-mu luar biasa. Meski wajahmu masih terlihat parah sebagai efek dari menangis tadi." Ryuuoh mendekatkan wajahnya ke wajah Primera. Sebagian besar alasan adalah untuk memperkuat ejekannya barusan.

"Kalau begitu aku akan cuci muka, sekalian ganti baju…"

"Tapi kau akan sendirian. Atau mau ku temani?"

"Ke toilet dan loker perempuan? Tentu saja tidak! Kau pergilah ke kelasmu, atau datangi pacar pertamamu itu."

"Ap-! Siapa?!" Ryuuoh terkejut. Karena tentu saja satu-satunya pacar yang ia miliki cuma Primera.

"Syaoran…" dan Ryuuoh pun cengok atas pernyataan itu.

"Primera, menuduhku gay itu keterlaluan."

"Habis terkadang sepertinya kau lebih memprioritaskan Syaoran daripada aku."

"Itu karena kami berteman baik sejak kecil!"

"Kau juga sering berkumpul bersama cowok-cowok, dan kebanyakan dari merka tampan."

"Lalu kalau aku berkumpul bersama gadis-gadis, kau akan menuduhku sebagai banci?"

"Hahahahahaha!" Primera tertawa terpingkal atas tanggapan Ryuuoh yang benar-benar di luar dugaan. Dan Ryuuoh—meskipun diejek, dalam hati ia bersyukur kekasihnya sudah bisa tertawa riang lagi.

"Hei, dengar, ya. Kau boleh menuduhku macam-macam, tapi…" Ryuuoh berhenti dan memegang kedua belah pipi Primera dengan kedua tangannya.

"Tidak ada pria gay atau banci yang akan melakukan ini dengan wanita…" Ryuuoh menarik wajah Primera dengan cepat, dan akhirnya mengeliminasi jarak di antara mereka.

Bibir bertemu dengan bibir, sebuah ciuman yang lembut. Entah apa Ryuuoh hanya mau iseng atau memang tau Primera akan tenang dengan cara seperti itu.

Tak lama, Ryuuoh mengakhiri ciuman itu dan kembali melihat wajah Primera yang makin memerah.

"Kena kau…" ucap Ryuuoh sambil menjulurkan lidahnya dengan jahil.

"A-apa yang kau lakukan…bodoh! Kalau ada yang lihat bagaimana?!" teriak Primera sambil menumbuk dada Ryuuoh cukup keras. Wajahnya masih tersipu kemerahan.

"Ow, itu sakit… Kalau ada yang lihat, ya biar saja! Memang tidak wajar, ya, kalau sepasang kekasih berciuman?"

Primera gelang-geleng kepala sambil menutupi muka. Kalau ada yang lihat kejadian tadi, dia akan sangat malu dan berencana untuk lari dari tempat itu secepat mungkin.

"Hei, tadi kau bilang mau cuci muka? Pergilah. Kalau nanti mencariku, aku bersama pacar pertamaku. Kau jangan cemburu, ya? Hahaha!" Primera ngedumel dengan volume suara pelan, lalu berbalik dan menuju ke arah toilet. Tidak peduli setelah itu Ryuuoh mau ke mana.

"Dasar anak itu! Sepertinya dia berniat membuat wajahku makin parah…" Primera masih ngedumel sambil mencuci wajahnya.

Primera kembali menyiram wajahnya dengan air. Saat itu juga ia mendengar pintu salah satu toilet terbuka. Saat dia sudah mengelap air yang menutupi pandangan matanya ia melihat dari cermin, siapa orang selain dia yang ada di ruangan itu saat ini.

Dan ia sangat menyesal mengetahui bahwa orang itu adalah orang yang paling tidak ingin ditemuinya saat ini.

Sakura.

Tapi…benarkah itu Sakura?

"Oh…hai, Primera."

Suara yang sama, tapi mengingat kejadian kemarin, Primera masih paranoid. Ia pun berbalik menatap Sakura. Melihat tepat ke arah bola matanya yang berwarna…hijau.

Meski merasa aneh seperti dipermainkan oleh pikiran sendiri, ia mencoba tetap tenang dan menjawab salam dari gadis berambut coklat tersebut.

"Hai, Sakura. Tidakkah kau harusnya ada kelas saat ini?" tanya Primera, mencoba bersikap wajar.

"Saat ini pelajaran kosong. Kau habis olahraga?"

"Um… Ya…" jawab Primera.

"Hei, Sakura…" ucap Primera lagi setelah mereka diam beberapa saat. Sakura sedang mencuci tangannya.

"Ya?"

"Apa kau…suka memakai contact lens?" Primera ingin menanyakan soal keanehan yang ia rasakan terhadap Sakura, namun berusaha menguaknya dengan cara yang wajar dan tidak frontal.

"Aku…tidak pernah memakainya"

"Huh?"

"Tidak pernah. Memangnya kenapa?"

"Hah? Itu aneh…" Primera berujar dalam hati

"Ah, tidak…aku cuma mau tanya bagaimana rasanaya pakai contact lens. Risih atau tidak."

"Oh, begitu, ya…" Sakura tersenyum biasa.

Sepertinya Sakura tidak tau apapun. Dan itu membuat Primera makin merasa aneh. Tapi sedikit ia juga bersyukur. Jika yang di hadapannya ini adalah 'Sakura' yang kemarin, entah apa yang akan terjadi padanya. Kejadian kemarin mungkin terulang lagi.

"Aku duluan ya, Primera." Ucap Sakura, karena daritadi mereka hanya diam saja.

"Oh, iya…"

Entah kenapa Primera bergetar. Tulangnya serasa kaku tak mau bergerak, dan pikirannya dengan paksa kembali mengingat kejadian kemarin. Lama ia bertahan di sana dan menyangga tubuhnya dengan tangan ditumpukan ke wastafel. Primera sendiri tidak tau apa yang membuatnya begitu takut. Tak lama, ia pun menangis.

Begitu tetesan pertama air matanya jatuh ke pipinya, ia berlari keluar dari kamar mandi dengan kalap. Mencari Ryuuoh ke ruang kelasnya. Dia tidak peduli pandangan orang-orang yang menganggapnya gila karena berlari menabrak apapun yang ada di hadapannya sambil beruarai airmata.

Dia ingin bertemu Ryuuoh. Dan mungin menangis di pelukan lelaki itu sejenak. Dia tidak mau sendirian di saat seperti ini. Tetapi saat itu Ryuuoh tidak ada di kelasnya. Dan tidak tau dimana orang itu sekarang.

Satu-satunya tempat lain yang terpikirkan olehnya saat itu cuma ruang kesehatan. Dia bisa menangis di depan Dr. Kyle, tentu saja dengan mengarang alasan. Sakit, atau apa. Yang penting ia tidak menangis sendirian.

Primera kembali berlari secepatnya. Dan di jalan, ia menabrak seseorang begitu keras hingga ia terjatuh. Tomoyo, yang baru keluar dari ruang musik sambil membawa beberapa music sheet bersamanya, yang sekarang jatuh berserakan di lantai. Tomoyo yang cuma sedikit oleng dan hanya mengaduh sedikit, lebih mengkhawatirkan orang yang menabraknya ketimbang kertas-kertasnya yang jatuh kemana-mana.

"Primera, kenapa buru-buru…" Tomoyo berhenti saat dilihatnya Primera menangis. Pundaknya berguncang hebat.

Tomoyo mendekati Primera. Untung saja ada beberapa temannya yang mengumpulkan music sheet yang terjatuh tadi.

"Tidak apa-apa, Primera?" tanya Tomoyo cemas. Primera cuma bisa menggeleng-geleng. Dan entah kenapa air matanya makin deras mengalir.

"Maaf teman-teman, kalian saja yang bagikan ini, ya?"

Teman-teman Tomoyo sepertinya bisa melihat situasi. Mereka mengangguk dan membiarkan Tomoyo dan Primera. Tomoyo membawa Primera ke ruang musik yang ternyata kosong. Lalu Primera disuruhnya untuk duduk di kursi di depan gand piano di ruangan itu.

Setelah itu Tomoyo merogoh kantongnya, mengeluarkan sebuah saputangan dan mengelap pipi Primera yang basah. Namun sepertinya gadis itu tidak berhenti terisak, jadi Tomoyo memeluknya. "Sudah…tidak apa-apa," ucapnya lembut.

Mereka terus berada di posisi itu hingga Primera akhirnya mulai tenang. Dan kalimat pertama yang dikeluarkannya ketika ia bias mengendalikan suaranya lagi, "Maaf, Tomoyo…"

"Kenapa minta maaf? Tidak apa-apa… Primera mengangis kenapa?"

Primera menghapus airmatanya sendiri dengan saputangan yang diberikan Tomoyo, lalu menggeleng.

"Tidak bisa bilang?" tanya Tomoyo lagi, sambil tersenyum.

"Maaf…" Primera makin menunduk.

"Tidak apa-apa… Tapi mungkin Primera harus tetap cerita pada seseorang."

"Aku…tadi mencari Ryuuoh, tapi tidak ketemu…"

Tomoyo cuma diam memperhatikan. Dia lalu mengambil sebuah kursi lagi, meletakkannya di sebelah Primera, lalu duduk menghadap piano. Tomoyo mulai bermain.

"Tomoyo?"

"Kalau tidak bisa bercerita padaku, tidak apa-apa. Tapi aku juga mau menghibur Primera… Tidak apa-apa kan kalau aku menyanyi untuk menyemangati Primera?"

Ada sedikit rasa haru dalam hati Primera. Meskipun mereka sudah saling mengenal cukup lama, Primera yang juga sering mendengar Tomoyo menyanyi. Tapi tidak pernah Tomoyo menyanyi secara pribadi untuknya seperti ini.

Dia pun mengangguk dan mendengar dengan khidmat ketika Tomoyo melantunkan nada-nada yang tersusun cantik dari bibirnya. Suara Tomoyo yang lembut dan clear membuatnya sedikit tenang.

Menutup matanya, ia seperti berpindah ke suatu dimensi lain dimana seluruh tubuhnya serasa dibalut velvet. Begitu lembut hingga itu merasuk ke dalam perasaan terdalamnya. Tanpa sadar Primera tersenyum kembali. Tomoyo pun ikut tersenyum.

Ketika lagu berakhir, Primera membuka kembali matanya dan langsung melihat Tomoyo yang tersenyum ke arahnya.

"Terima kasih, Tomoyo…" ucap Primera tulus.

"Sama-sama. Maaf, cuma itu yang bisa kulakukan…"

"Tidak apa-apa, Tomoyo. Itu saja cukup…"

Mereka tau benar, sebuah nyanyian tidak dapat menyelesaikan masalah seseorang. Naun saat ini, itu cukup untuk mengembalikan jiwa Primera yang hampir runtuh sesaat tadi. Primera sudah berhenti menangis.

"Mau kubantu mencari Ryuuoh?"

"Tidak, terima kasih. Aku mau menenangkan diri di sini saja dulu."

"Kalau begitu aku akan menemanimu!" Tomoyo tersenyum.

"Terima kasih. Tapi apa Tomoyo tidak ada kelas?"

"Aku dapat dispensasi sampai jam 12. Primera sendiri? Habis pelajaran olahraga, ya?"

"Iya…" Primera tidak bisa bilang kalu dia izin ke uks karena terhantam bola. Rasa malu, sekaligus tidak mau merepotkan orang yang tidak seharusnya terlibat masalahnya seperti Tomoyo.

"Ngomong-ngomong, lagu tadi…"

"Ya?"

"Belum pernah kudengar. Tomoyo sendiri yang menulisnya?"

"Hm..iya."

"Eh, benarkah?"

"Itu benar."

"Hebat! Lagunya indah sekali! Aku suka melodi pianonya! Ah, suara Tomoyo juga bagus sekali."

"Terima kasih, Primera. Kau memujiku terlalu banyak," Tomoyo terkekeh kecil.

"Haha. Ah, tadi Tomoyo bilang dapat dispensasi. Untuk lomba kah?"

"Iya. Sebentar lagi ada lomba paduan suara antar sekolah."

"Hebat! Sekolah kita pasti menang lagi, tahun ini!"

"Semoga saja, ya. Habisnya semua anggota bekerja keras untuk lomba tersebut. Bahkan para anggota baru."

"Anggota baru? Di saat seperti ini?"

"Iya. Ada beberapa. Salah satunya gadis itu, yang baru masuk di kelasnya Ryuuoh."

"Maksudmu… Sakura?"

"Hm? Iya benar! Primera mengenalnya?"

DEG! Oh, bagus. Saat yang tidak tepat bagi Primera untuk membicarakan tentang gadis itu.

"Ah, iya… Aku kenal. A-ah, bagaimana kalau kita ngomong sambil jalan saja? Aku harus ganti baju…" yang sebenarnya dia berusaha mengganti topik.

"Baiklah, tapi sepertinya aku harus meninggalkan Primera. Masih ada keperluan."

"Benarkah? Iya, tidak apa-apa. Terima kasih buat yang tadi, ya."

"Sama-sama. Ayo."

Mereka pun keluar dari ruang musik dan mengobrol di jalan, lalu akhirnya berpisah di depan ruang ganti wanita.

Sambil mengganti bajunya, Primera kembali berpikir tentang semuanya. Mulai dari hari-hari yang dilaluinya di House of Lily, semuanya hingga sekarang. Mencoba mencari-cari keganjilan yang mungkin ada, naun tak pernah terlihat olehnya.

Akhirnya pikirannya tertuju pada satu hal. Seseorang. Gadis misterius yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba dibawa ke House of Lily, lalu seperti deja vu, kembali terulang. Sakura yang entah darimana asalnya, dibawa dan diasuh di gereja lokal. Lalu semua aneh yang dialaminya, entah mengapa terhubung dengan gadis itu.

Bukankah dia harus mencari jalan keluar? Atau sedikitnya, petunjuk untuk dapat keluar. Tapi saat ini emosinya tidak memungkinkan dia berpikir demikian. Kematian teman-teman lamanya—hal yang paling menyakitkan baginya—kembali menghantuinya. Membuat pikirannya buntu.

Sambil duduk dan berpikir, Primera meremat keras rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Rasanya ingin berteriak, tapi tidak bisa. Ingin menangis kembali sambil memeluk seseorang, tapi saat ini dia sendirian di sana.

"Aku harus bagaimana?" desisnya lirih, pada dirinya sendiri.

XXX

A/N

Haa~ tidak terasa sudah hampir setahun kita tidak bersua(?)

Bagaimana kabar kalian? Saya baik-baik saja meski agak setres sedikit(?)

Gomenne untuk keterlambatan yang sangat tidak tau diri ini, tapi chapter depan sudah saya buat draft nya, dan akan saya publis dua satu atau dua minggu kemudian.

Btw, yang lagi sibuk ulangan, semoga kita semua pada beruntung ya, nilai bagus, naik kelas, lulus dll. AMIN!

Cukup doa bersamanya(?) Sekali lagi Shu mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Read? Review? Arigatou gozaimasu~ SeeU~