Kala hati mulai bisikan keegoisan yang tiada tara, maka apa yang hendak engkau lakukan?

Kala hati mulai hilang akal tuk mengontrol emosi yang kian meluap, maka apa yang akan engkau jadikan pelampiasan?

Hei, hidup ini kian berlanjut, bukan?

Bukankah bumi ini masih tetap berputar?

Selama kedua siklus tersebut masih turut serta mendampingi kehidupan manusia, maka keegoisan maupun kontrol emosi akan selalu menyertai pula.

Kau tahu, jika hati sudah terpatri pada sebuah hati lain, maka itu kala dimana kau harus membuat suatu pilihan. Pilihan yang mengandung istilah 'lanjut' ataukah 'menyerah'. Hei, adapula manusia pengecut yang akan memilih 'menghindar'. Sungguh menyedihkan manusia seperti itu. Bukankah dia tahu seberapa besar luapan perasaan dalam dadanya? Bukankah dia menyadari bahwa kehadiran orang itu telah merenggut segala kanyamanan dalam hidupnya? Bukankah tiap kali melihat sosoknya rasa gelisah kian hinggapi jiwanya? Dan bukankah tiap kali melihat sosoknya bersanding dengan orang lain, maka hatinya akan meresakan sakit luar biasa? Apakah rasa itu yang khalayak ramai sebut dengan istilah jatuh cinta?

Jatuh cinta, eh?

Istilah klasik yang hingga detik ini belum dapat didefinisikan.

Bahkan professor manapun tidak akan mampu membuat definisi jatuh cinta secara sempurna.

Lihat, professor yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa saja tidak mampu mendefinisikan apa itu jatuh cinta. Bagaimana dengan diriku yang kian hari kian tertekan dengan hadirnya perasaan-perasaan tolol ini.

Orang bilang jatuh cinta merupakan hal alamiah yang akan membuat hati serasa terbang ke atas awan, tapi apa yang aku rasakan ini?

Rasa sakit hati.

Rasa kecewa.

Rasa marah.

Dan rasa benci yang meluap.

Oke, aku membuat kesimpulan bahwa mungkin orang yang telah membuatku jatuh cinta merupakan 'pembawa kesialan' dalam hidupku.

Lalu, untuk apa aku berlama-lama berada di dekatnya? Untuk apa aku menuruti segala perintahnya? Untuk apa aku dengan bodohnya masih terus memendam rasa ini padanya?

Padahal, melirikku pun mustahil dia lakukan.

Lalu, apa gunanya aku terus bertahan di dekatnya?

Menjadi peliharaan hinanya.

Menjadi budaknya.

Menjadi pelampiasan amarahnya.

Oke, aku memang tolol.

Tolol karena selama ini aku memilih untuk diam. Bukan diam karena menyerah maupun diam karena menghindari perasaan brengsek yang kian hari tumbuh dalam hatiku, aku diam karena ketidaktahuanku dalam mengatasi problema ini. Aku bodoh dalam hal seperti ini. Aku idiot dalam memutuskan pilihanku sendiri.

Hyuuga Hinata, kau adalah manusia paling menyedihkan.


.

.

.

Naruto belong to Masashi Kishimoto
kecebong proudly present
'EGOISTIC'
to Rhyfa-chan's birthday
Uchiha Sasuke
Hyuuga Hinata
a Romance fanfiction.

.

.

.


CHAPTER 2

.

.

.

Aku menatap lekat wajah di hadapanku dengan disertai senyum sinis. Wajah yang menyedihkan. Wajah yang amat pucat, mata sembab, hidung agak memerah dan rambut yang acak-acakan. Kuedarkan pandangan mataku ke arah tumpukan buku di atas meja belajarku. Bagus. Sudah sekacau ini, tugas pun belum ada yang kuselesaikan dengan sempurna.

Jam lima pagi.

Astaga. Berapa lama waktu yang kuhabiskan hanya untuk mengerjakan seluruh tugas orang brengsek itu?

Berapa banyak energiku yang terbuang hanya untuk mengerjakan tugas orang yang sama sekali tidak menghargai segala jerih payahku? Bahkan orang itu menganggapku tak lebih dari seekor peliharaan.

Tololnya diriku. Sungguh menyedihkan.

Hinata, kapan kau sadar dari tidur panjangmu? Sampai kapan kau bergelut dengan mimpi-mimpi burukmu? Sampai kapan kau dapat melepaskan dirimu dari jeratan nista orang itu? Sampai kapan, eh?

Pertanyaan itu sungguh melukai palung hatiku. Sungguh. Bahkan berapa banyaknya air mata yang kuuraikan tidak akan cukup untuk menjadi pelampiasan perasaanku yang tertekan ini.

Andai ada seseorang yang dapat mengalihkan rasa ini dari orang itu, maka apapun permintaannya akan kukabulkan. Bahkan kehormatanku pun akan kuberikan asalkan dia mampu membebaskan hati ini dari rasa sakit yang tiap detik kurasakan.

Aku benci Uchiha Sasuke.

Aku sangat benci padanya.

.

.

.

.

.

"Tugasmu," Nara Shikamaru, ketua kelas paling malas sepanjang masa itu menatapku dengan tatapan bosan andalannya. Aku bergeming. "hei," tegurnya lagi.

Aku menggigit bibir, lalu menggeleng. Tampak Shikamaru menaikan sebelah alisnya.

"Tak mengumpulkan?" Tanya Shikamaru. Aku memandangnya sendu, lalu mengangguk, "tumben," dia pun melenggang pergi.

Aku menghela napas. Oke, ini tugas ketiga yang tidak kukumpulkan hari ini. Aku tahu, guru-guruku pasti akan marah dan tidak memberiku nilai. Apa daya. Inilah hasil dari kegiatan begadangku semalaman.

Aku melangkah pelan menuju pintu kelas. Di sana ada dua sahabatku yang tengah sibuk melakukan sesuatu yang menurutku tidak ada gunanya. Bergosip.

"Mau kemana, Hinata?" aku melihat Tenten menatapku lekat.

"Toilet," jawabku pelan. Entah mengapa suaraku agak serak pagi ini. Mungkinkah efek dari menangis dan begadang semalaman?

"Kau semakin pucat, biar kuantar kau ke ruang ke-"

"Aku baik-baik saja, Sakura," aku tersenyum kecil, lalu melangkah pelan melewati pintu kelas.

"Perlu kami temani, Hinata?", Seru Tenten. Jelas ada nada khawatir dalam nada suaranya. Aku hanya melambaikan tangan dan kembali melangkah.

Pagi ini, aku merasa tubuhku amatlah sulit untuk diajak bekerja sama. Kepalaku terasa pening.

Aku tahu, teman-temanku cemas pada kondisiku. Mereka menyarankan aku agar istirahat saja di ruang kesehatan. Namun, egoku menolak. Jika aku tidak mengikuti pelajaran, maka tingkat kebodohanku akan bertambah, bukan? Sudah cukup bagiku menjadi orang bodoh di mata Uchiha Sasuke dan aku tidak mau memperburukya.

"Oi," merasa ada seseorang yang menegurku sejenak kuhentikan langkahku.

Aku menengok dan menemukan sebuah wajah berparas tampan yang setiap detik hadir dalam pikiranku. Uchiha Sasuke melangkah pelan ke arahku dengan tatapan dinginnya. Aku menelan ludah. Astaga kenapa lagi dengan dia. Bukankah dia sendiri yang membuat aturan bahwa jika aku dan dia berada di lingkungan sekolah, maka aku harus berpura-pura tidak mengenalnya begitupun sebaliknya.

Kutundukkan pandanganku dari mata gelapnya. Sungguh, mata itu lah yang sangat berusaha aku hindari. Mata yang dapat menjerat hatiku dan mata yang dapat menyakitiku.

"Tatap aku," jelas kudengar kalimatnya, namun aku menolak melakukan hal itu. Aku tak mau menanggung risiko.

"Maaf aku harus pergi," aku membungkuk, lalu segera membalik tubuhku. Namun, sebuah cengkeraman kuat di lengan sukses membuatku menghentikan langkah.

"Mau lari, eh?"desis Sasuke sambil membalik tubuhku agar berhadapan dengannya. Aku melirik beberapa siswa yang melewati kami dengan berbisik-bisik. Oke, aku benci menjadi bahan gosip murahan di seantero Konoha High School.

Aku menatap mata Sasuke dengan tatapan tajam dan berkata, "Mau apalagi kau?"

Mendengar nada sinisku Sasuke tampak mendengus, "Beginikah sikap peliharaan pada majikannya?"

Aku hanya memutar bola mata dengan sikap bosan. Sungguh, aku bosan dianggap peliharaan oleh dirinya, "Oke, apa maumu?" Sasuke masih menatapku tajam, namun sengaja kuhindari kontak mata dengannya. Bagiku, mata gelap Sasuke adalah hal paling berbahaya yang harus selalu kuhindari.

"Berapa lama kau tidur semalam?" tanya Sasuke. Aku menaikan sebelah alisku, heran. Untuk apa dia menanyakan hal bodoh macam itu.

"Tebak saja sendiri," aku menghempaskan cengkeraman tanggannya dari lenganku, kemudian mulai melangkahkan kedua kakiku. Namun lagi-lagi Uchiha brengsek itu menghentikan langkahku.

"Tidak tidur,eh?" aku mendengus sinis mendengar kalimatnya.

"Menurutmu?" ucapku sinis. Tuhan, kenapa aku harus dihukum seperti ini? Kenapa aku harus terjerat oleh sosoknya yang begitu kejam? Lihatlah betapa dingin tatapan yang ditujukannya padaku, seperti inikah ganjaran yang aku dapatkan? Apakah orang seperti dia pantas aku pikirkan selama ini?

"Dengarkan aku baik-"

Entah mengapa wajah Uchiha Sasuke yang kulihat tampak kian terasa samar. Kurasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungku. Entah mengapa pendengaranku serasa mati. Entah apa yang hendak Sasuke katakan padaku, aku tak dapat mendengarnya. Dan tiba-tiba kegelapan dengan suksenya merenggut pandanganku.

.

.

.

.

.

Seberkas cahaya sedikit menyilaukan mataku. Perlahan aku mengerjapkan kedua mataku. Sekelilingku tampak masih samar, namun perlahan-lahan aku mulai merasakan penglihatanku kembali normal.

Kurasakan selimut tebal menutupi setengah bagian tubuhku. Sejenak kupandangi langit-langit kamar yang entah milik siapa, kemudian mulai mengedarkan pandanganku. Ah, aku kenal ruang kamar ini. Ya, aku amat mengenalnya. Ini kamar Uchiha Sasuke. Kemudian pandanganku kuarahkan pada kaus longgar putih yang saat ini kukenakan. Kaus milik Sasuke. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ya, Tuhan sudah berapa lama aku tertidur di sini?

Seseorang membuka daun pintu, di sana kulihat bibi Mikoto membawa sebuah nampan. Dia tersenyum saat melihatku tengah memandangnya. Perlahan bibi Mikoto meletakan nampan yang dibawanya, kemudian duduk di sisi ranjang. Sebelah telapak tangannya ia letakan tepat di keningku.

"Hm, demammu sudah turun," ucapnya sambil tersenyum kecil. Tangan halusnya bergerak untuk merapikan poniku yang sepertinya sedikit berantakan.

"Kenapa aku di sini, Bi?" tanyaku sambil mencoba untuk duduk. Kepalaku masih terasa berat. Bibi Mikoto membantuku bangun dan meletakan satu bantal untuk sandaran punggungku.

"Tadi siang kau pingsan di sekolah," Bibi Mikoto membelai pelan wajahku, "Kau tahu, saat mendengarnya bibi sangat mencemaskanmu."

"Lalu kenapa aku dibawa ke sini?" bukankah seharusnya sekarang aku masih di sekolah? Yah, berada di ruang kesehatan misalnya.

"Sasuke yang membawamu. Kau sempat demam. Dia bilang saat bel pulang berbunyi kau masih belum sadar, makanya dia membawamu ke sini," Bibi Mikoto masih dengan sabar meladeni pertanyaanku. "Lagipula, jika Sasuke membawamu pulang ke rumahmu sendiri tak akan ada yang merawatmu, kan?" Sungguh, ia adalah orang yang amat aku sayangi setelah ibuku meninggal. Bibi Mikoto sangat perhatian padaku dan juga pada kakakku.

Aku melihat ke arah jendela. Ah, sudah malam ternyata.

"Terimakasih, Bibi," aku teresenyum lemah padanya, kemudian menggerakan kakiku untuk menuruni ranjang.

"Mau kemana kau?" sebuah suara berat yang amat kukenal sejenak menghentikan kegiatanku. Aku melihat Sasuke berdiri di dekat daun pintu. Dia menatap tajam padaku. Tampak bibi Mikoto memandangku lembut.

"Tetaplah di sini, hm?" ucap bibi Mikoto, lalu mengecup keningku lembut sebelum akhirnya meninggalkan aku berdua dengan putranya. Sepertinya bibi mengerti situasi yang tengah aku dan Sasuke alami.

Sasuke melangkah perlahan ke dalam kamar. Kuhembuskan napas lega saat kukira dia akan menuju arahku, namun ternyata dia melangkah ke arah meja belajarnya. Dia duduk di kursi dengan posisi membelakangiku. Bisikan yang menyuruhku untuk segera pergi dari sini semakin menjerit dalam benakku. Ya, jujur aku belum ingin bertatap muka lebih lama dengannya. Apalagi dalam situasi seperti ini.

Kugerakan kedua kakiku untuk menuruni ranjang. Setelah kurasa kakiku cukup kokoh untuk menopang tubuhku, aku pun mulai berdiri.

"Bukankah ibu menyuruhmu untuk tetap di sini?" seolah tuli, aku pun melangkahkan kakiku dengan sikap acuh padanya, "HINATA!" serunya keras. Aku menatap marah padanya. Bisa-bisanya dia bersuara keras di dalam rumah malam-malam seperti ini. Dia kemanakan otak jeniusnya itu?

"Kau kenapa hah?" tanyaku sinis. Sasuke melangkah cepat menuju arahku.

"Justru kau yang kenapa, Brengsek!" lagi-lagi dia mencengkeram lenganku. Kucoba untuk menghempaskannya, namun ternyata sia-sia. Kurasakan hembusan napas hangatnya di sekitar telingaku. Oke, ini cukup membuatku sulit untuk mengendalikan detak jatungku. "Kenapa akhir-akhir ini kau suka membantahku?"

Aku menatapnya tak percaya. Membantah katanya? Bukankah aku selalu menuruti semua perintahnya? Apakah dia mengalami gangguan penglihatan? Dasar idiot!

"Kapan aku membantahmu?" tanyaku pelan. "Bukankah meskipun aku membantah, namun kau tetap dapat membuatku menuruti perintahmu? Kau lupa tentang sifat licikmu, eh?" sindirku.

Well, aku cukup puas meskipun hanya dengan berkata-kata kasar padanya.

"Lepaskan aku! Aku mau pulang," ucapku dengan tanpa menatapnya. Kurasakan cengkeraman Sasuke makin kuat di lenganku. Ya, cukup membuatku merasakan rasa sakit yang semakin kentara.

"Siapa kau beraninya menyindirku?" desisnya,"Cih, pantaskah kau bicara dengan nada seperti itu pada dewa penolongmu?" nada bicara Sasuke sedikit meninggi.

Dewa penolong katanya?

"Memangnya siapa yang mau ditolong olehmu? Aku bahkan tak mau menerimanya!" sahutku geram. Sungguh, aku amatlah kesal pada diriku sendiri yang sampai saast ini masih belum dapat melenyapkan perasaanku pada orang kasar sepertinya.

"Tapi kau sudah terlanjur mendapatkannya!"

"Dan aku tidak akan pernah mengakuinya!"

Oke, perdebatan seperti ini memang sering terjadi antara aku dan Sasuke. Dan kau tahu, hingga saat ini aku tak pernah menang jika berdebat dengannya. Namun, egoku tak henti-hentinya memaksaku agar terus melawannya. Ya, orang brengsek seperti dia memang patut dilawan.

Patut dilawan?

Cih, betapa menyedihkannya diriku yang pada akhirnya tepat menuruti apapun perkataanya. Aku benar-benar tak berdaya jika dia sedang marah. Namun, entah mengapa aku terus saja memancing kemarahannya. Ah, jenis orang macam apa diriku ini? Aku terus saja mengingkari prinsip yang kubuat sendiri. Astaga, betapa tololnya aku.

"Dengar, aku tak mau lagi berdebat denganmu," Sasuke melonggarkan cengkeraman tangannya di lenganku. Kurasakan dia sedikit menyeretku untuk kembali duduk di atas ranjang. Setelah aku duduk, dia mengambil nampan yang tadi dibawa oleh bibi Mikoto. Tampak di sana ada semangkuk bubur dengan kuah sup sayur, segelas air putih, beberapa jenis obat dan dua buah jeruk. Makanan dan buah kesukaanku.

Sasuke menyendokkan bubur dan hendak menyuapiku. Mulutku terasa malas untuk kubuka. Aku hanya diam dan tangan Sasuke tetap setia menugguku membuka mulut. Kulirik dia sekilas, dan aku melihat mata gelapnya memandangku dengan pandangan yang amat sulit kudefinisikan.

Oke, aku menyerah.

Aku memilih untuk memandang ke arah lain. Aku tak mau melihat mata gelapnya yang pada akhirnya akan sanggup menghipnotisku dan semakin menjeratku di dalamnya.

Kubuka mulutku perlahan, kukira aku akan segera merasakan rasa gurih sup memenuhi rongga mulutku. Namun kau tahu, yang kurasakan saat ini adalah bibir hangatnya yang menyentuh bibirku.

.

.

.

.

.

~to be continued~

.

.

.

.

.

A/N :

Gomen, bong baru bisa update fic ini sekarang. Gomen(again) kalo misalnya chapter kedua ini terlslu pendek dan nggak sesuai dengan selera minna ya un…

ufufufuuuu...

Oke, makasih buat yang udah setia nungguin fic bong dan udah ngefav fic bng yang ini maupun yang lainnya.

and, makasih juga buat yang udah ngeripyu... love you so much *muach muach...

See you again~~~~~~~~