Disclaimer : Bleach © Tite Kubo

Warning : OOC, Typo, perusakan karakter, tulisan berantakan *seperti biasa, author ga pernah meriksa ulang*, etc.

Katanya…

Aku seperti obat adiktif. Begitu menyenangkan hingga membuat persaannya berkabut hingga tingkat melayang di udara. Tak heran bila ia jadi kecanduan olehku. Sampai-sampai… dia mengikatku dalam dunianya yang terlampau kusut.

.

Sin's

.

Seorang wanita paruh baya duduk diam di tepian ranjang empuk kamarnya, tatapan sendu tak pernah terbuyarkan dari matanya sejak ia memandangi sebuah foto keluarga di tanggannya. Mata tuanya tampak lelah menyimpan banyak emosi

Kurosaki Masaki

Seorang wanita ramah dan baik, kehangatan bukanlah hal susah untuk diperoleh darinya. Selalu, wanita berambut coklat caramel itu membagi senyumnya pada siapa saja tiap harinya, dengan begitu setiap orang yang berjumpa dengannya akan merasa hangat. Namun… kesedihan yang melanda dirinya sekarang bukanlah hal yang mudah dihilangkan semudah memberikan senyuman.

Sekali lagi, Masaki menatap foto di tangannya. Akhirnya dua tetes cairan asin jatuh dari iris matanya dan bergabung menjadi satu diujung dagu.

"Ichigo… maafkan ibu…" bisiknya pilu, berusaha menyembunyikan tangis yang telah pecah.

Selagi Masaki masih tenggelam dalam tangisnya, ternyata diluar dibalik pintu kamarnya telah berdiri sosok bertubuh mungil. Mata violetnya sejak beberapa menit yang lalu masih mengintip dari celah pintu.

Gadis itu mendesah berat, 'Apa yang sebenarnya terjadi pada bibi ketika aku pergi belanja tadi siang?' batin si gadis—Kuchiki Rukia mencoba memutar memori otaknya. Namun tetap saja hasilnya nihil, pikirannya masih belum juga mendapatkan petunjuk atas keadaan yang sedang menyelimuti Masaki sekarang.

.

.

.

mmmmm

.

.

.

"Pindah?"

"Iya, Rukia-chan," sahut Masaki asyik menyirami bunga di taman meskipun sebenarnya Rukia berpikir tanamannya sudah lebih dari cukup air.

Masaki mencoba menutupi sesuatu, Rukia yakin itu.

"Bukannya dulu bibi Masaki bilang tidak akan pindah dari sini?"

Masaki tertawa renyah, memang amatlah mudah mendapatkan tawa ringan dari seorang Masaki. Tapi bagi Rukia itu sudah cukup menunjukkan bahwa wanita itu sedang mencoba berbohong.

"Dua hari yang lalu—saat Rukia-chan pergi belanja, suamiku datang meminta rujuk kembali. Dia ingin tinggal bersama dirumahnya seperti dulu. Yah—mau bagaimana lagi, ternyata kami masih sama-sama mencintai."

Rukia tahu, sepuluh tahun bercerai dari suaminya tidak akan membuat Masaki rujuk kembali dengan suaminya—pengusaha super sibuk Kurosaki Isshin. Kalaupun benar akan berbaikan kembali, Masaki tidak akan terus-terusan menangis di tengah malam selama dua hari belakangan. Pastilah ada alasan yang lebih kuat yang membuat Masaki berubah pendirian.

"Jadi bagaimana, Rukia-chan mau kan ikut pindah juga bersamaku?"

Rukia tersenyum tipis, "Tentu saja, bibi. Kalau aku tidak ada, siapa lagi yang akan merawat bibi."

"Bagus! Aku akan menelpon suamiku agar menjemput kita besok," seru Masaki girang memasuki rumah.

Rukia terus memandangi punggung Masaki. Perasaannya benar-benar iba melihat sikap Masaki yang berusaha tegar. Masaki memang bukanlah bibi kandungnya, namun Rukia begitu peduli padanya melebihi apapun didunia ini. Mengapa tidak? Dulu disaat ia harus meninggalkan panti asuhan yang tutup karena berdiri di tanah pemerintah, ia tepaksa menjadi gelandangan di usianya yang masih tergolong anak-anak. Bertahun-tahun Rukia tumbuh dengan mengais sampah tiap harinya, tak jarang pula sesekali ia akan mencuri dari pedagang di pinggiran jalan. Rukia tahu mencuri itu perbuatan buruk, tapi siapa yang akan peduli disaat nyawamu saja sudah di ujung tenggorokkan.

Dan titik balik hidup Rukia yang kedua terjadi pada perjumpaannya dengan Masaki. Disaat-saat Rukia merasa bahwa saat itulah akhir hidupnya. Saat itu tubuhnya begitu lemah karena kekurangan makan, jadi saat ia ketahuan mencuri dengan mudah ia tertangkap dan dipukuli oleh penjualnnya. Dia hampir mati saat itu. Nyaris. Disaat itulah Masaki muncul, memberikan perlindungan pada Rukia dari semua orang yang tengah menghakiminya dengan keji. Tanpa pikir panjang Masaki membawa Rukia pergi serta merawatnya hingga sembuh. Sejak saat itulah sebuah ikatan mulai terjalin diantara Masaki dan Rukia.

.

.

.

mmmmm

.

.

.

Rukia memandang kagum atas pemandangan rumah yang tengah berdiri megah dihadapannya, mulutnya dari tadi telah menahan diri untuk tidak terbuka saking kagumnya.

Yah, rumah Kurosaki Isshin memang jauh dari bayangan Rukia. Rukia memang tahu Isshin seorang pengusaha, tapi Rukia tak menyangka rumahnya sebesar istana.

"Ayo, Rukia-chan," ajak Masaki menggandeng Rukia memasuki pintu rumah Kurosaki.

"Jangan malu-malu, Rukia-chan. Ayah senang bisa mendapatkan putri ke-3 hari ini," seru Isshin bersemangat merangkul pundak Rukia.

Rukia meringis mencoba memberi tampilan senyum wajar. Kalau seandainya kemarin Masaki tidak memberi tahu Rukia tetang sifat Isshin yang hiperaktif, Rukia pasti sudah menganggap Isshin sedikit kurang waras sekarang.

"Ibu!" dua gadis tampak sebaya berseragam SMP berlari berhambur kepelukan Masaki secara bersamaan.

"Karin, Yuzu," balas Masaki memeluk kedua gadis tak kalah erat. "Lihat, kalian sudah besar semua," lanjut Masaki begitu pelukannya lepas.

"Apakah ibu sehat?" tanya putri Masaki yang berambut coklat caramel seperti milik Masaki.

"Iya, ibu sehat Yuzu. O ya, mana Ichigo? Ibu belum melihatnya sejak tadi."

Hanya dalam sekejap, kecerian keluarga Kurosaki berubah muram begitu sebuah nama disebutkan. Kurosaki Ichigo. Putra sulung keluarga Kurosaki.

"Umm… Ichi-nii sedang…"

"Tenang saja, nanti Ichigo pasti pulang," potong Isshin terhadap perkataan putrinya yang berambut hitam.

"O…" hanya tanggapan kecil yang keluar dari mulut Masaki, hingga akhirnya ia sadar bahwa ada sesuatu yang ia lupakan.

"Eh, ibu jadi lupa. Rukia-chan, kemari."

Rukia yang sendari tadi berdiri di belakang Masaki langsun melangkah maju menjawab panggilan Masaki. Dengan lembut Masaki merangkul pundak Rukia.

"Karin, Yuzu. Kenalkan, dia Rukia. Selama ini yang merawat ibu adalah Rukia-chan."

Cepat-cepat Rukia membungkukkan badannya untuk menunjukkan rasa hormat. Meskipun Rukia beberapa tahun lebih tua dari mereka, tetap Rukia harus menunjukkan sikap sopan pada orang lain.

"Halo, Rukia-nee. Aku Yuzu," si rambut caramel memperkenalakan diri lebih dulu.

"Ha-i, Yuzu!" sapa Rukia agak kikuk.

"Aku Karin," si rambut hitam menyusul langsung dan tegas. Rukia cuma tersenyum tipis, bingung memutuskan cara tepat untuk menyapa gadis tomboy seperti Karin.

.

.

.

mmmmm

.

.

.

Rukia tersenyum memandangi foto-foto beserta piala pengharagaan yang terpajang rapi di lemari pajangan. Dalam hati Rukia memuji anggota keluarga Kurosaki yang memiliki anak dengan segudang prestasi di berbagai bidang. Seumur hidupnya Rukia hanya berkesempatan 6 tahun menikmati pendidikkan, yaitu sampai lulus SD. Setelah itu ia telah menjadi gelandangan sudah. Wajar saja ia akan mudah kagum dengan orang yang memiliki kemampuan lebih dalam bidang pendidikan.

"Siapa kau?"

Sebuah suara dingin terasa jelas debelakang telinga Rukia. Secara sepontan tubuh Rukia tersentak menghantam lemari begitu membalik badan.

Rukia meringis pada rasa sakit yang dideritanya, namun sakitnya seakan hanyaut oleh tatapan tajam oleh seseorang yang sedang berdiri teramat dekat dihadapannya saat ini.

"Aku tanya—siapa kau?" ulangnya.

Pernapasan Rukia tumbuh menjadi sesak. Otaknya terasa buntu untuk menghasilkan kata-kata. Hati Rukia teus mencoba menenangkan agar pikirnya bisa kembali berjalan normal. Dia hanya perlu mencari tahu siapa sosok jangkung yang seolah ingin meremukkan tubuhnya yang mungil ini.

Ah, Rukia mengenalinya. Bukan bearti meraka pernah bertemu ataupun berbicara sebelumnya. Hanya saja baru beberapa menit yang lalu Rukia melihat foto laki-laki dihadapannya pada lemari pajangan di belakangnya. Dialah anak tertua keluarga Kurosaki.

Kurosaki Ichigo.

"Kau—pelayan baru?"

Rukia mengangguk, masih belum mampu bersuara.

"Kenapa kau tidak pakai seragam pelayanmu?"

Semakin lama mata Ichigo semakin menajam menatap mata Rukia, persis seperti mata elang yang akan menangkap buruannya.

"A-aku pelayan pribadi bibi Masaki," dalam hati pikiran Rukia mengutuk dirinya karena suranya yang baru keluar seperti mencicit.

"O—'dia' sudah datang," tatapan mata Ichigo berubah jadi bosan saat menyebutkan kata 'dia'

"Dia yang membawamu kesini?"

Lagi, Rukia hanya mampu mengangguk.

"Siapa namamu?"

"Ru-kia"

"Katakan dengan jelas."

"Rukia," seru Rukia sebaik mungkin.

"Ru-kee-ah?" ulang Ichigo dengan seringai di bibir.

Sudah cukup! Pikiran Rukia berteriak purtus asa. Rukia benar-benar tidak tahu sejauh mana lagi ia akan bisa bertahan menerima hujaman tatapan menusuk dari sepasang amber dihadapannya. Tatapan Ichigo nyaris membutnya seperti ditelajangi. Rukia tidak tahu dari mana datangnya pemikiran itu, yang jelas kakinya akan segera menjadi jelly kalau beberapa menit kedepan hanya terus ditatap dengan jarak sedekat ini.

"Jadi—Rukia namamu, heh?"

Oh, tidak.

Yang ditakutkan Rukia terjadi. Serius. Kakinya mulai terasa berubah jadi jelly. Sementara Kuosaki berambut orange dihadapannya cuma memberi tampilan menyeringai sambil perlahan mulai menunduk mendekat ke wajah Rukia.

'Siapa saja totlong aku!' batin Rukia menjerit.

"Ichi-nii baru pulang?"

Terimakasih Yuzu. Gadis manis itu telah muncul hingga membuat Ichigo mengambil jarak dari Rukia.

"Ibu sudah pulang. Apakah Ichi-nii mau—"

"Aku lelah. Besok saja," potong Ichigo melenggang santai menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Yuzu kemudian menoleh ke Rukia, "Ichi-nii membuat Rukia-nee takut ya?"

"Tid—"

"Tenang saja," potong Yuzu mengalihkan pandangan matanya pada piala-piala yang tersusun dalam lemari pajangan.

"Ichi-nii tidak jahat kok. Dia berubah pemarah sejak lulus SMA. Mungkin karena ibu tidak menepati janjinya untuk kembali meskipun Ichi-nii sudah berjuang keras menjadi anak yang pintar hingga masuk ke Uiversitas Kedokteran."

Rukia memaksakan senyum di bibirnya, mengikuti padangan mata Yuzu kearah piala-piala dalam lemari. Jelas, 90% nama Kurosaki Ichigo mendominasi semua piala yang terpajang.

"Yah, Ichi-nii mu pasti orang baik," kata Rukia setuju.

Mereka berdua terus asyik dengan pikirannya sendiri pada isi lemari. Mengabaikan fakta bahawa sejak tadi yang menjadi topik pembicaraan mereka sama sekali belum melangkah ke kamarnya. Sosok itu masih berdiri di bagian tangga paling atas, terus mengintai sosok mungil yang berdri disebelah adiknya.

Hhh… Rukia. Entah mengapa insting Ichigo berpendapat bahwa ada sesuatu yang membuatnya harus mengintai gadis itu seperti ini. Walaupun belum jelas apa, Ichigo merasa gadis itu akan terlibat banyak dengan dirinya nanti.

.

.

To Be Continued…