Disclaimer:

Durarara! by Ryohgo Narita

Warning:

Psychedelic's character. DelicXHibiya . Rangkaian cerita 'Alphabetic Love Story', berupa 26 chapter yang saling berkaitan dengan judul menurut urutan alfabet (A-Z). Typo. Childish yang bisa bikin enek #plak. Shounen-ai.

A/N: -


Diam mereka saling memandang. Mata coklat Hibiya terbelalak kaget. Niatnya membuka pintu unutk segera berangkat ke sekolah, nyatanya ia malah menemukan sosok Delic yang kini sama-sama terbengong kaget hingga sebuah suara memecahkan ketengangan di antara mereka.

"Hibi, kau masih di situ?"

Secepat kilat Hibiya membalikan badannya ke arah sang kakak yang baru muncul dari ruang tengah.

"Ah, ya… Ada Delic, mungkin dia ingin bertemu dengan kakak."

"Eh?"

"Um… A… Aku berangkat dulu!"

Menghilanglah sosok Hibiya, meninggalkan hawa kebingungan di antara 2 lelaki seprofesi di ruang tamu penuh sejarah(?) itu.

#

Déjà vu.

Setidaknya itu yang Hibiya rasakan saat ini. Bersembunyi di balik papan background menyerupai pohon besar, Hibiya menahan nafas di atas panggung luas tempatnya menyalurkan hobi.

Alasan?

Tentu saja, dia kini sedang bersembunyi dari sosok berjaket putih-pink yang meneriakkan namanya. Sama seperti alasannya bersembunyi sehari lalu.

Kida yang melihat dari balik panggung kebingungan. Salah satu lawan main Hibiya itu mendekatinya. Dengan isyarat tangan yang melambai-lambai—bukan mengajak, namun melarangnya untuk mendekatinya. Terbawa suasana, Kida memiringkan kepalanya tanda tak mengerti. Dibalas dengan telunjuk Hibiya yang menunjut sosok Delic yang masih saja mencarinya di atas panggung.

Mulut Kida sontak membentuk huruf 'O' lebar. Kida memang sudah tidak berjalan ke arah Hibiya, namun ia malah berlari ke arah Delic yang menyadari kedatangan sosok teman baik Hibiya itu. Tentu saja, Hibiya melotot tak percaya.

Kembang-kempis gelagapan detak jantungnya ngebut, Hibiya gelagapan berlari ke belakang panggung tanpa disadari sosok Kida dan Delic yang sedang berbincang. Hibiya memilih untuk berlari ketimbang harus bertemu dengan Delic. Entah Kida bermaksud mengalihkan perhatian atau malah niat membocorkan tempat persembunyiannya, Hibiya tetap memilih berlari.

Sekali lagi ia menghadapi kebingungan, ia harusnya latihan drama untuk pentas bulan depan, tapi ia tidak bisa melakukannya dengan keadaan seperti ini. Tidak, ia belum mau dibuat malu karena mata merah muda milik Delic selalu memusatkan pandangannya pada dirinya.

Sadar memikirkan hal gila—belum tentu Delic menatapnya seperti itu, Hibiya membalikkan badannya. Berniat melihat Delic, apakah lelaki itu sudah kembali ke tempat rekaman atau belum.

Tak disangka, saat itu juga Delic ada di depannya dan membuat lelaki penggila mahkota itu membatu.

"Hibiya, kumohon jangan menghindariku lagi."

Hibiya menatapnya ragu.

"Kenapa sejak kemarin kau tidak mau bicara denganku?"

Blush―

Kida yang baru lewat berhenti berjalan saat mendapati mata coklat kehijauan Hibiya yang memelototi dirinya. Merinding.

"Kata siapa? Aku baru masuk ke ruang serba guna, kok. Lagian, kau itu kan banyak tour, masih sempat-sempatnya datang ke sini segala."

"…" tidak mungkin kalau Delic harus menjawab 'karena aku merindukanmu' atau 'karena aku ingin melihat wajahmu' atau 'karena aku ingin makan siang denganmu' atau 'karena aku ingin bersamamu' atau parahnya lagi 'karena aku khawatir kau melakukan hal aneh dengan temanmu'. Pengakuan itu justru akan membuatnya mati kaku.

"Kida! Kemana yang lainnya? Kita sudah harus latihan!" Hibiya cuek terhadap Delic.

"Ah ya, yang lain sih sudah kumpul, mereka ada di bangku penonton."

"―aku ingin melihatmu main drama."

"…" Hibiya kembali membatu.

"Ya?"

"Terserah kau." bibirnya ia majukan sesenti, cemberut.

#

'Suka… Aku suka Tsugaru, Tsugaru suka aku?'

Wajah datar Tsugaru tetap saja terlihat datar. Sekalipun ia mendapatkan sebuah pernyataan cinta dari seorang lelaki paling polos yang pernah ia temui di dunianya.

"Tsugaru?~ Tsugaru suka aku?"

Mata birunya memandang datar Psyche yang memasang tampang polos seperti biasa, menempelkan telunjuknya ke dagu sambil mendongak menatap balik sosok Delic yang memang lebih tinggi.

"Suka…"

"Benar? Tsugaru cinta aku?"

"…"

"Ne?"

"Kurasa… ya."

Sebuah kecupan bibir singkat memberikan getaran lembut di hati sosok Tsugaru. Menatap Psyche yang tersenyum sumringah.

"Jadi kita kekasih, ya?"

Hibiya melongo.

Setengah jam yang lalu, Hibiya iseng―sebenarnya bukan iseng biasa, bertanya bagaimana kakaknya itu bisa berpacaran dengan sosok Tsugaru yang kalem. Dan sekarang mempertanyakan seberapa mulusnya perjalanan cinta sosok kakak-kakak tersebut.

"Kenapa kau bisa menyukai Tsugaru? Bukannya kau lebih sering bertemu Delic?"

"… kenapa, ya?"

Hibiya mengaduk-aduk ice cream vanilla yang ada di depan matanya, sesekali ia beralih memandang sosok Psyche yang menyendok ice cream dengan semangat.

"Mungkin… Karena kimono Tsugaru. Hm… Ice creamnya kurang manis…."

"Kimono?"

"Habis, jarang ada yang masih pakai kimono di jaman sekarang!" Psyche menjawab dengan semangat. Sedangkan Hibiya hanya bisa mendengus geli menghadapi kelakuan kakaknya yang kekanakan.

"…"

Kegiatan mereka kembali berlanjut tenang. Hibiya dengan malasnya menyuap sesendok ice cream yang sudah setengah meleleh karena terlalu lama ia aduk.

"Jadi.. Kau bagaimana?"

Hibiya diam menatap kakaknya, sendok mini terlepas dari genggamannya, namun benda tersebut setengahnya masih ada di dalam mulut Hibiya. "Apa?"

"Delic…"

―blush

"Tadi pagi sebenarnya dia mau bertemu denganmu loh, katanya sih mau menjemput."

"…"

"Eh, benar juga, ya, kalian kan belum saling bilang cinta. Kalau kemarin itu 'kan aku yang bilang…"

"…"

"Jadi, kalian belum jadi kekasih. Eh, nggak juga sih, kan kalian udah tahu perasaan masing-masing."

"…"

"Bingung, ya? Kau belum tanya ke Delic ya tentang hubungan kalian?"

"…"

"Jadi nggak sabar, kita bisa double date nanti. Ah, besok aku undang mereka sarapan."

"…"

"Hibi? Kenapa?"

"… A―Aku selesai! Aku mau mengerjakan majalah, eh, tugas." Hibiya menjatuhkan sendok ke sembarang tempat, berlari menuju tangga ke kamarnya.

#

Sekali lagi, pagi Hibiya dipenuhi oleh kegugupan saat ia mendapati Delic sudah duduk di meja makan bersama Psyche dan Tsugaru. Hibiya tak menyangka kalau perkataan Psyche yang mau mengundang mereka hari ini untuk sarapan tenyata benar-benar kenyataan.

"Pagi, Hibi… Sarapan?"

"Hm…"

Meja makan berbentuk persegi panjang dengan 6 kursi, 2 masing-masing di kanan-kiri, dan 1 di tiap ujung. Bisanya Delic duduk di kursi sebelah Barat berdampingan dengan kakaknya. Tapi melihat Delic yang menempati tempat duduk kakaknya, Hibiya berubah haluan ke kursi sebelah Timur yang seharusnya diduduki Psyche.

Tsugaru yang ada di sampingnya diam saja, Psyche melongo, Delic cuma menghela nafas.

Jelas ada hawa aneh yang menguar di sekitar tubuh Hibiya.

"Hibiya~ Kok tuker sih?" Psyche berkacak pinggang di samping adiknya yang cuek saja. "Aku mau duduk di sini~"

"Kau duduk di tempatku saja."

"Nggak~ Aku mau duduk di samping Tsugaru."

"Duduk dimanapun sama saja, 'kan?"

"Beda kalau nggak di samping Tsugaru!"

"Sekali ini saja, lah."

"Nggak, aku mau duduk sama Tsugaru."

"Kakak manja."

"Biarin, adek bawel."

"Psyche, kita makan di taman saja." akhirnya suara datar Tsugaru memutuskan kilat perkelahian yang jarang-jarang keluar dari kedua bersuadara ini. Wajah sumringah telihat jelas di mimic Psyche.

"Baiklah~"

"Aku ikut!"

"Hibiya di sini saja, 'kan jarang-jarang kalian bisa bermesraan berdua."

Tersedak, Delic yang sedang nikmat-nikmatnya meminum air hangat yang sudah disediakan itu refleks memuncratkan isi air dalam mulutnya.

"Ya, 'kan?" Psyche berlari kecil ke arah Tsugaru, mengapit tangannya, dan menariknya ke arah taman dengan membawa sepiring nasi goreng, menu mereka pagi ini.

Keheningan menyelimuti di sela-sela menikmati sarapan mereka. Menit berlalu dengan sendirinya tanpa dirasakan oleh keduanya. Terjun ke dalam dunia bawah sadarnya masing-masing.

"Hibiya…" suara Delic membuyarkan lamunan Hibiya, "kau masih menghindariku?"

"…" diam menyambut pertanyaan Delic. Hibiya masih terlihat santai menyantap sarapan paginya. Perhatikan kata 'terlihat', karena nyatanya tangan Hibiya bergetar panas dingin karena gugup.

"Kalau kau memang belum mau bertemu denganku ya aku akan menjaga jarak―"

"Jangan!" Delic menutup mulutnya kaget. Bola matanya berputar-putar mencari titik aman dari pandangan aneh Delic. "Bukan itu… Ah... Um… Tak perlu menghawatirkanku…" Hibiya membuang mukanya ke arah dapur.

"Tapi tetap saja khawatir…" walau sebuah gumaman kecil, Hibiya masih mengangkap suaranya. Melirik, menatap Delic yang menutupi mukanya dengan sebelah tangan.

Entah kesambet apa, Hibiya malah teringat kisah cinta Psyche dan Tsugaru yang baru ia dengar kemarin. Mataya masil mencari titik aman dengan menatap rak piring. Entah apa yang ia perhatikan.

"Hibiya…"

"…" hibiya mengaduk-aduk makanannya asal.

"Hibiya suka aku?"

GRATAKK!

Baik Delic maupun Hibiya, mereka sama-sama kaget dengan gerakan refleks Hibiya yang berlebihan. Setidaknya, menggeser meja dengan sekali pukulan disebut berlebihan.

"Ah, maaf!" sekali lagi, baik Delic maupun Hibiya sama-sama meminta maaf, berdiri dari duduknya dan saling memandang.

Lama saling memandang, mereka malah terjatuh sendiri karena lemas.

Delic kembali menyembunyikan wajahnya dengan sebelah tangan.

Hibiya dengan nekat berdiri dari duduknya dan berjalan ke samping Delic. Kegugupan memerangkap tubuhnya.

"Su―cinta, kok…"

Hening.

Hibiya menahan nafas tegang. Menutup matanya menghadapi kenyataan ia sudah mengungkapkan apa yang membuatnya menjadi gugup jika berada di samping Delic. Hal itu memaksanya untuk menjauhi Delic agar dapat mengistirahatkan jantungnya yang terlalu sering berolahraga.

"Sama…"

BRAKK!

Hibiya terjatuh kebingungan hendak menatap ke arah mana. Dengan tangan bergetar ia berusaha menggapai sesuatu.

"Hi―Hibiya?―"

"A… Aku tidak apa-apa…" tidak, ia tidak mau mengakui kalau dirinya terlalu bahagia saat akhirnya dia benar-benar mendapatkan jawaban atas perasaannya ke Hibiya.

Sebuah pelukan menyambut gemetarannya.

Hatinya terasa sangat melambung, melayang di atas trompolin hingga setinggi berpuluh-puluh meter. Berenang di awan dan menyahut cicitan burung bernyanyi bersama.

"Kita itu… Apa?" tanya Hibiya yang masih menenggelamkan wajahnya di leher Delic.

"Apanya yang apa?"

Hibiya mengernyit sakit saat ia mersakan jantungnya bekerja terlalu cepat. Sakit, membuat kepalanya pening. "Kita itu… seperti Psyche dan Tsugaru?"

"… ya, seperti Psyche-Chan dan Tsugaru."


B_End

Arigatou

Review or Flame?

Salam fujo,

Hoshirin Hyuunma