Previous Chap :

Sakura tidak sedang marah. Ia hanya... shock.

Sedangkan Kakashi masih di ruangannya. Ia berdecak pelan. Ia jadi menyesal telah mencium Sakura—orang yang selalu ia jahati. Tapi dalam satu sisi, ia merasa puas. Karena ada 'sebuah perasaan' yang terkubur dari dalam dirinya yang sempat terealisasikan oleh peristiwa tadi.

.

.

Normal POV

Sesudah kejadian tadi, Sakura berlari ke ruangannya yang terletak di sebelah ruangan Kakashi. Setelah menutup pintu erat-erat, Sakura segera memejamkan kedua mata. Ia menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua telapak tangan. Masih teringat di benaknya, semua hal yang sempat Kakashi lakukan kepadanya. Sakura pun menghela nafas. Ia pegangi pipinya yang panas.

Kalau tidak salah, tadi Kakashi... benar-benar menciumnya, ya?

Sakura berdesis, lalu ia merasakan tubuhnya melemas. Kenapa bayangan-bayangan tadi terus terulang di ingatannya?

"Hei, kau kenapa?"

"KYAA!" Sakura terlonjak kaget ketika ia mendengarkan suara itu. Suara laki-laki yang sebenarnya cukup familiar di telinganya. Cepat-cepat Sakura melihat ke arah pelaku yang sebelumnya membuat ia terkejut. Dan ternyata itu Sasori—kakaknya—yang baru saja mengambil soda dari kulkas dapur.

"Sasori-nii! Kau mengagetkankuu!"

"Salah sendiri, habisnya kau datang-datang malah seperti orang nangis." Katanya sambil membuka segelan soda. Ia punggungi lagi Sakura dan segera membawa sodanya ke ruang tengah, tempat di mana ia bisa menonton acara televisi.

Melihat kedataran Sasori, Sakura menggerutu pelan. Ia lepaskan sandalnya untuk memasuki flat dan menyusul Sasori. Setelah sampai, ditemukannya Sasori yang sedang terduduk santai di atas sofa.

"Sasori, memangnya kau datang ke sininya jam berapa? Kok tidak mengabariku terlebih dulu?"

"Aku baru saja datang sekitar setengah jam yang lalu."

Sakura menghela nafas, lalu ia mengangguk.

"Dan kau dari mana saja, eh? Tumbenan kau pergi dari flat tanpa mengunci pintu." Kali ini Sasori yang bertanya.

"Aku ada keperluan dengan orang di kamar sebelah."

"Kamar siapa? Temanmu?"

"Bukan." Suara Sakura mengecil. Lagi, ia jadi mengingat Kakashi.

"Apa yang berambut perak itu?"

"Eh!? Da-Dari mana kau tau!?" Sakura langsung gugup mendengarnya.

"Kan dulu pas pertama kali aku datang ke sini aku pernah melihatnya. Kalau tidak salah, dia ingin melewati kita yang waktu itu sedang menutupi jalan—karena kau membuatku terjatuh." Katanya dengan enteng.

"Oh, iya..."

"Ya, sudah. Sana mandi. Kau pasti bau."

Bukannya menanggapi candaan Sasori, Sakura terdiam. Lalu ia perhatikan lagi kakaknya yang sedang menyeruput sodanya. Kata Kakashi... kematian orang tua mereka berhubungan dengan kematian kakaknya. Jadi apakah Sasori mengenal Kakashi di masa lalu? Sakura pun berharap iya.

"Niisan..."

"Ya?"

"Ada yang ingin kutanyakan..."

Sasori pun menoleh. "Tentang apa?"

"Kakashi—pria berambut perak itu."

.

.

.

HATE YOU ALWAYS

"Hate You Always" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Kakashi Hatake x Sakura Haruno]

Romance, Hurt/Comfort, Drama

AU, OOC, Typos, etc.

(kakashi beriris onyx dan dia ngga pake masker)

.

.

SEVENTH. Maaf

.

.

"Oh, begitu..."

Sasori baru saja selesai mendengarkan cerita Sakura tentang Kakashi pun mulai mengangguk mengerti. Sedangkan, Sakura hanya terdiam menunggu respons kakaknya.

Yah, walaupun dalam hati Sakura juga malu—karena baru saja menceritakan hal-hal terburuk dalam masa SMA-nya yang disebabkan oleh Kakashi—yang penting ia sudah puas, karena akhirnya ia mengeluarkan uneg-unegnya yang dari dulu ditanggungnya sendiri ke orang lain. Tapi, Sakura tidak terlalu menceritakan semuanya secara lengkap. Karena, tentu saja ada bagian-bagian yang dikurangi. Seperti cerita di yang barusan terjadi di antaranya dan Kakashi; adegan ciuman tadi.

"Iya..." Sakura mengangguk. "Jadi, pertanyaanku... apa Niisan pernah mengenal Kakashi?"

Sasori mengumam pelan. "Kenal sih tidak..."

Sakura menghela nafas kecewa, masalahnya, kalau sasori kenal sama kakashi—sewaktu mereka kecil. Mungkin sakura bisa bertanya bagaimana kecelakaan yang menimpa kakak dan juga kedua orang tuanya terjadi. "Tapi aku memang merasa lumayan familiar dengan wajahnya..."

Sebuah cahaya harapan menyinari kedua manik emerald Sakura. "Benarkah?"

"Hanya familiar, Saku. Belum tentu aku ingat. Tapi..." Perlahan, suara Sasori merendah. Pandangan matanya pun berubah fokus entah ke mana. "Ah, kalau tidak salah... sewaktu kita masih SD, kita pernah tinggal sekomplek dengannya."

"Eh!? Benarkah!?"

"Iya."

"Kalau begitu, apa Saso-nii kenal kakaknya Kakashi?"

"Namanya siapa dulu?"

Sakura berpikir keras. "Rasanya ia pernah menyebutkan namanya..."

"Kalau seingatku, memang ada seseorang yang bernama Shizune."

Mendadak gadis berambut merah muda itu terbelalak. "Shizune! Iya, itu namanya! Ayo, ceritakan padaku!" Desak Sakura, rasa penasarannya meningkat puluhan persen.

"Hei, tenang dulu. Waktu kejadian itu, kita berdua masih kecil. Sabar sebentar, biar aku ingat-ingat dulu."

"Ayolah, Sasori-nii..."

Sasori berpikir, pandangan matanya berjalan ke atas, dan keningnya mengernyit. "Kalau tidak salah... Kakashi itu..."

Sakura menunggu penuh harap.

"Nah. Sekarang aku tau."

"Apa...?" Beberapa detik terlewat oleh keheningan. Tidak mendengar jawaban dari Sasori, Sakura mendesah kecewa. "Sasori-nii payah! Jangan bilang kau lupa!?"

Melihat Sakura yang begitu semangat membahas masa lalu—yang sebenarnya sudah ia lupakan itu—Sasori memutar kedua bola matanya. "Sebenarnya, kau yang aneh, Sakura."

Sakura mengernyit. "Kenapa? Kok aku?"

"Tapi aku maklum sih. Soalnya kau memang pernah gegar otak—mungkin dari sana, ingatanmu tentang mereka menipis."

"Eh? Aku gegar otak? Apa maksudnya?"

"Biar kujelaskan satu-satu dulu..." Sasori memulai. "Apa kau tidak ingat, kalau dulu... kau dan Kakashi sangat dekat?"

Sakura mengerjap. "Kami pernah dekat?"

"Iya. Dulu kau masih sangat kecil, sedangkan Kakashi sudah berumur belasan tahun. Saat itu, ayah dan ibu kita selalu berkerja dan pulang sore. Jadinya aku yang disuruh ibu menjagamu di rumah sewaktu mereka pergi. Tapi karena teman-temanku sering mengajakku main, aku sering membawamu ke taman, dan meninggalkanmu di sana."

"Huh, dasar Sasori-nii jahat."

"Yah, siapa tau di sana kau juga mendapat teman, kan? Niatku lumayan baik dong..." Dengan tertawa pelan, Sasori melanjutkan. "Awalnya, kau bukanlah orang yang pandai bergaul. Karena itu, kau selalu sendirian terus di taman. Tapi untungnya ada Kakashi." Mendengar nama Kakashi mulai disebut, Sakura diam mendengarkan. "Waktu itu, Kakashi termasuk salah satu temanku yang berumur paling tua. Jarak umur kami bisa sampai lima tahun. Dan setauku, dia orang yang cuek." Jelasnya. "Di taman bermain, ia selalu berada di globe—tempat mainan yang menggunakan skill memanjat—teratas. Dan berhubung tidak ada teman, kau selalu memanjat untuk duduk bersamanya. Kupikir Kakashi kesal padamu, tapi lama-lama kalian jadi terlihat sering mengobrol dan main dari atas sana."

"Lalu apa yang membuat Kakashi menjadi membenciku—karena kakaknya? Kenapa dia tidak membenci Sasori-nii saja?" Sakura cemberut.

"Tunggu, biar aku menyelesaikannya..." Kata Sasori. "Suatu sore, kalian pernah bertengkar karena sebuah buku. Kau memaksa Kakashi menceritakan sebuah buku dongeng ke padamu, tapi Kakashi tidak mau. Jadi saat ia menyadari dirinya sudah dijemput oleh Shizune—yang pada saat itu berada di bangku SMA—Kakashi langsung turun dari globe dan berlari menyebrangi jalan raya, untuk ke kakaknya yang ada di sana. Tapi sayangnya, kau—yang mengira Kakashi kabur darimu—mengerjarnya. Lalu kau menyebrangi jalan raya tanpa melihat kanan-kiri. Lalu saat ada mobil yang akan mengantammu... Shizune menolongmu."

Perlahan, suara Sasori merendah. "Shizune yang menolongmu terserempet mobil—yang untungnya sudah berbelok itu. Kepala Shizune terbentur keras dengan aspal. Dia meninggal seketika, dan kau selamat. Tapi tanpa diketahui juga, ternyata mobil orangtua kitalah yang sebenarnya hampir saja menabrakmu—karena mereka tidak sempat melihatmu yang berlari tiba-tiba."

Di bagian itu, Sakura sama sekali tidak bisa berkata-kata.

"Jadi... wa-waktu itu... ayah dan ibu selamat?"

"Tidak, seperti yang kita tau, mereka kecelakaan—dan itulah kecelakaannya. Mobil menghantam dinding besar yang tebal. Mereka juga terbentur keras, lalu meninggal. Intinya, korbannya ada tiga—ayah, ibu dan kakak dari Kakashi."

Tiba-tiba saja, kedua bola matanya berair. Sebuah perasaan bersalah merasuki ruang hatinya.

"Sedangkan kau masih selamat, Sakura. Namun sepertinya kau mengalami gegar otak ringan—ya, jujur aja aku lupa tentang itu."

"Jadi... kakak dari Kakashi... menyelamatkanku? Dan ayah dan ibu... meninggal karenaku?" Satu per satu butiran air mata keluar dari sudut mata Sakura. Sampai-sampai ia terisak. "Lalu... kenapa juga Sasori-nii tidak menyalahkanku?"

Sasori cukup terkejut ketika mendengar kalimat itu dari adik bungsunya. Tapi lama-lama ia tersenyum, lalu mengelus pelan ubun-ubun Sakura yang berada di sebelahnya. "Karena kaulah satu-satunya keluargaku yang tersisa." Bisiknya. "Untuk apa menyalahkanmu? Tidak ada gunanya, kan? Justru aku bersyukur kau masih di sini, bersamaku sampai sekarang."

Sakura menangis. Kali ini lebih kencang.

Sasori menghela nafas dan memeluk Sakura. Dia jadi ikutan terharu.

"Sudahlah, Sakura... itu hanya kenangan. Jangan lagi diingat, ya? Ayah dan ibu sudah tenang di atas sana... begitu juga dengan Shizune."

Sakura pun semakin memeluk Sasori dengan sangat erat.

"Te-Terima kasih, Niisan..."

.

.

~zo : hate you always~

.

.

Keesokan harinya, ketika Sakura menginjakan kakinya di kelas, Tenten dan Ino langsung menyapanya dengan senyuman lebar. Sakura yang baru saja akan meletakan tas langsung bingung seketika, terutama saat melihat wajah kedua sahabatnya yang entah kenapa terasa bersinar terang—seakan ada hal bahagia yang baru saja mereka dapatkan.

"Kenapa?" Tanya Sakura penuh curiga.

Ino terkikik pelan. Setelah gadis itu menarik bangku di sampingnya, dia membisikan sesuatu di telinga Sakura. "Kau harus tau, ada berita bagus loh..."

"Apa?"

"Kakashi-sensei kembali mengajar di sekolah."

Alis Sakura mengernyit. "Benarkah?"

"Iya!" Tenten yang juga sudah tau hal itu pun melanjutkan. "Pas kami masuk, semua siswi pada membicarakan Kakashi-sensei. Dan bila didengar-dengar dari gosip yang ada, mungkin saat ia sedang dihukum oleh kepala sekolah, tentu karena telah tidak masuk selama sebulan."

"Walaupun kasihan, yang penting Kakashi-sensei tidak jadi dikeluarkan." Ucapnya.

Ino tertawa kecil, bahagia saat membayangkan akan bertemu guru tampan tersebut. "Nah, bagaimana denganmu, Sakura? Apa kau senang dia datang mengajar lagi?"

Sakura terdiam, lalu terdengar suara hembusan nafas. Dan di kedua pasang mata milik Ino dan Tenten meliriknya, Sakura memalingkan wajah. Tanpa sadar, kedua pipi Sakura memerah. "Entahlah." Jawabnya singkat.

"Ah, Sakura... jadilah orang yang lebih responsif..."

Sakura memaksakan sebuah senyuman hadir di bibirnya, dan ia berdiri. "Oh, ya. aku mau ke toilet..."

Ino dan Tenten yang yakin bahwa Sakura sedang menghindari pembicaraan pun langsung beranjak untuk mengikutinya. Di sela perjalanan mereka bertiga menuju toilet di ujung koridor, Ino dan Tenten mengganggu gadis berambut merah muda itu. "Ah, kau pasti senang kan Kakashi-sensei kembali? Sudahlah, ngaku saja~"

Sakura yang berjalan paling depan pun memutar bola matanya. "Kenapa harus aku yang senang?"

"Iyalah, pasti diam-diam kau menyimpan perasaan dengan Kakashi-sensei. Habis dari tadi pipimu memerah sih..."

"Sstt, kalian ini apa-apaan—"

Brukh.

Saat Sakura akan membalas kalimat Tenten, mendadak tubuhnya bertabrakan dengan orang yang berada di depannya. Sakura yang kaget hanya bisa mengadahkan wajah dan melihat siapa yang dia tabrak tadi.

Itu Kakashi, dan pandangan mata keduanya pun saling bertatapan. Ino dan Tenten langsung terdiam agar dapat mengamati mereka. Karena suasana mulai canggung, Sakura berniat minta maaf terlebih dulu. "Ah, maaf—"

"Maaf."

Kakashi menyela kalimatnya dengan nada dingin. Dan tanpa banyak omong lagi, pria dewasa bermata onyx itu pergi, meninggalkan Sakura dan teman-temannya yang masih terbengong di tempatnya. Tidak tau kenapa, Sakura merasa Kakashi seperti sedang menghindari dirinya...

"Aa, Sakura."

"Hm?"

"Apa kalian masih bertengkar?"

"Tidak..."

Sakura memejamkan kedua matanya. Kini, ingatannya tentang masa lalunya dan Kakashi kembali terngiang di benaknya.

.

.

~zo : hate you always~

.

.

Pada jam pelajaran biologi di hari ini, Kakashi memasuki ke lab dengan sambutan meriah dari warga kelas—terutama para siswi yang sudah mengaguminya sejak awal, termasuk Ino dan Tenten. Rata-rata, semuanya langsung menanyakan keadaan Kakashi dan ke mana saja dia pergi selama ini. Dan di bangkunya, Sakura hanya duduk seperti biasa. Ia bertopang dagu, dan menampilkan raut wajah malas—walaupun ia masih fokus mendengarkan kalimat yang dikeluarkan Kakashi di depan kelas.

Untuk memberikan alasan mengenai absensinya, rupanya Kakashi sudah membuat alibi. Dia mengatakan bahwa dirinya harus pergi ke luar kota untuk menjengkuk kakeknya, dan ia tidak sempat mengabari pihak sekolah. Padahal, Sakura tau bahwa selama Kakashi tidak masuk, guru itu sedang sakit dan tidak bisa berobat. Sakura maklum. Memang repot jika tinggal sendiri. Beruntunglah jadi Sakura, karena sewaktu ia sakit, masih ada sahabat-sahabatnya yang dengan suka rela menjenguk dan membantu.

"Ya, cukup ceritanya. Sekarang buka halaman yang terakhir kali Yamato-sensei bahas..."

Kakashi mengakhiri sesi tanya.

Lama kelamaan, murid-murid membuka buku mereka masing-masing, lalu ia membaca dengan tekun. Tapi karena akhir tahun—yang menandai semakin dekatnya pekan ujian nasional—maka Kakashi memutuskan untuk menyuruh mereka mengerjakan soal-soal latihan pilihan ganda terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian, situasi kelas yang semula diam menjadi ribut. Ada saja orang yang menyempatkan diri untuk bermain ataupun mengobrol, meski tangan mereka kadang tetap bergerak agar bisa mengerjakan tugas. Tapi, selain itu ada juga yang menanyakan soal yang bagi mereka tidak jelas ke Kakashi di mejanya.

Sakura memperhatikan Kakashi.

Meski samar, Sakura menyadari bahwa Kakashi sedikit berubah. Dia putuskan untuk bertanya kepadanya dengan cara menghampirinya. Saat ia mendatangi meja Kakashi, Sakura memperhatikan Kakashi yang sedang menjelaskan kepada Hinata—salah satu teman sekelasnya—yang sedang bertanya. Dan pada saat ini, Sakura merasakan deja vu, persis ketika guru itu pertama kali mengajar di sini.

Setelah Hinata selesai dan kembali ke tempat duduknya, Kakashi melihat sakura yang berdiri di depannya. "Ada pertanyaan?"

Sakura mengangguk, lalu meletakan bukunya ke meja guru. "Ada, tapi bukan pertanyaan seputar biologi."

"Hm, tanya saja."

"Aku sudah tau semuanya tentang dulu—tentang alasan kenapa sensei bisa sampai membenciku." Sakura langsung to the point. Kakashi terbelalak saat mendengarkan hal itu dari Sakura. Lalu ia pun menghela nafas.

"Nanti kita bicarakan."

.

.

~zo : hate you always~

.

.

Lima menit sesudah bel istirahat berdering, di saat itulah Sakura memisahkan diri dari Ino dan Tenten, tentu saja untuk berbicara dengan Kakashi secara empat mata. Sakura membulatkan keputusan hatinya untuk menemui guru biologi itu di ruangannya sekarang. Dan ia menelan ludah, lalu ia hendak mengetuk pintu lab. Namun saat ia baru mengetuk, mendadak pintu itu terbuka dan menampilkan seseorang pria yang berbadan tinggi yang baru saja akan keluar.

Di detik itu, Sakura mendadak merasakan kegugupan yang tinggi.

"Sensei..."

Kakashi melihatnya dan terdiam. Begitu juga Sakura.

"Kenapa?"

Mendengar pertanyaan pembuka dari Kakashi, Sakura menelan ludah. Ia mengadahkan wajah, lalu menatap kedua matanya. "Aku ingin bicara..." Sakura memberi jeda. "Tentang hal yang sempat ditunda tadi—tentang apa yang terjadi di masa lalu."

Kakashi menghela nafas, dan mencoba berjalan maju. "Kalau itu yang ingin kau bicarakan, kita tunda lagi, aku sedang malas mengingat hal itu."

"Tidak, tunggu dulu!"

Sakura menghalangi Kakashi agar pria itu tidak pergi darinya. "Dengarkan aku. Aku ingin menjelaskan sesuatu... bertanya, menyatakan sesuatu..." Jelasnya. "Dan aku ingin kau mendengarnya..."

Kakashi memejamkan kedua matanya untuk sementara waktu. Dan ia kembali berjalan memasuki lab. "Kita bicarakan di dalam."

Pria itu mendahului langkah Sakura. Lalu setelah pintu tertutup, Kakashi duduk di meja kerjanya. Setelahnya, ia menyenderkan punggung dan melihat Sakura dengan tatapan tanpa ekspresinya. "Baiklah, sekarang siapa yang harus berbasa-basi dulu. Aku atau kau?"

Sakura tidak menjawab. "Aku ingin langsung ke topik utama."

Melihat Sakura yang seperti itu, Kakashi sedikit menghela nafas dan memandangi iris emerald muridnya. "Kau seperti sedang membicakan hal penting..."

"Ini memang penting!"

Kakashi terdiam, dan membiarkan Sakura melanjutkan. "Aku hanya ingin tau... apa dulu saat kecil kita pernah saling mengenal?"

Tidak tau kenapa, Kakashi sedikit tertawa. "Entah. Mungkin kau tidak mengenalku."

"Eh, tapi—"

"Yang pasti aku mengenalmu."

Sakura menundukan kepalanya. "Lalu... apa benar-benar aku yang menyebabkan Shizune-san—kakakmu—terbunuh?"

"..."

"Katakan padaku, sensei!" Desaknya. "Kemarin aku masih ingat kau yang mengatakan bahwa akulah yang membunuh kakakmu, kan!?" Gadis itu berteriak tepat di depan Kakashi. Tapi sedetik sesudah kalimat itu ia ucapkan, Sakura langsung menggigit bibirnya. Ia memalingkan wajah. "Maaf... aku tidak mau mengingatkan hal itu untuk membuatmu marah. Aku hanya ingin meminta maaf..."

"Kenapa kau yang memaaf?" Kakashi bersuara.

"Karena... tanpa aku sadari, akulah yang benar-benar membunuh Shizune-san."

"Dari mana kau tau? Sasori?"

Sakura menatap mata Kakashi yang tidak lagi melihatnya. "Mm..."

"Rupanya dia sudah menceritakan semuanya kepadamu, ya? Kupikir ia lupa juga kepadaku."

"..."

Kakashi pun berdiri, lalu ia memberikan senyum tipisnya ke Sakura. "Lebih baik, kita tidak perlu membahas itu."

Saat pria itu akan berdiri dan berjalan entah ke mana, Sakura menarik seragam putih labnya. "Tidak bisa! Aku benar-benar merasa bersalah! Selama ini, aku memang dibuat kesal kepadamu, tapi seharusnya aku membiarkanmu membalaskan dendam! Gara-gara aku, kakakmu meninggal! Bahkan orang tuaku juga!"

"Kubilang sudah, Sakura."

"Tapi me-memang aku yang pantas disalahkan—"

"Sudah."

Sakura terdiam ketika ia meraskan ada kedua tangan yang menarik tubuhnya, dan kemudian mendekapnya. Permukaan wajah Sakura bertemu dengan dada Kakashi. Nafas lembut dari pria itu mengenai puncak kepalanya. "Jangan kau pikirkan..."

"Tapi..."

"Karena seharusnya akulah yang menyalahkan diriku sendiri." Jelasnya, lalu Kakashi memejamkan kedua matanya. "Bagaimana bisa aku melimpahkan kesalahan pada seseorang... yang dulunya sangat kusukai?" Sakura terdiam. Mendadak pipinya memanas. "Bahkan aku sempat membencinya..." Kakashi mendengus geli. "Diriku memalukan."

Sakura tersenyum lembut, dan kedua matanya berair. Ia pun memeluk pinggang Kakashi dengan erat. "Lalu... apa Kakashi-sensei benar-benar membenciku?"

"Tidak. Aku hanya memaksakan diri... untuk membencimu. Tapi sebenarnya tidak—tidak bisa, lebih tepatnya."

Akhirnya, Kakashi melepaskan pelukannya. Ia buat Sakura mengadah dengan cara menaikan dagunya. "Seharusnya saat bertemu denganmu, aku mengatakan bahwa dirimu sudah semakin dewasa, bukannya membuatmu tersiksa..."

Sakura tertawa kecil. "Aku memang sudah besar..."

"Ya, jauh lebih cantik dan lebih kuat dibandingkan anak kecil berambut pink menyebalkan dan cengeng yang dulu kutemukan di taman."

Walaupun matanya masih sedikit mengeluarkan air mata, ia mencoba tersenyum. Karena, saat ini ia ingin menangis terharu. Lalu, dirasakannya wajah Kakashi mendekat kepadanya.

Dan saat kedua belah bibir mereka akan bertemu, tiba-tiba...

KRIIING!

Deringan dadakan dari bel sekolah membuat Sakura sontak mendorong dada Kakashi agar pria itu memundurkan langkah darinya.

Lalu di detik itu juga, satu per satu anak murid—yang masih kelas 10—memasuki lab.

Sakura yang merasa ia juga harus kembali ke kelas pun berniat langsung pergi, tapi Kakashi sempat menahan tangannya.

Saat Sakura berbalik, Kakashi berbisik di telinganya. Suara tadi memang sangat kecil, tapi Sakura tetap mendengar. Ia pun tersenyum, kali ini lebih lembut.

"Aku juga sayang padamu, sensei. Kau utang banyak kebaikan padaku."

Kakashi tersenyum tipis. "Ya, kapan-kapan kubalas semuanya."

Sakura tertawa kecil.

.

.

THE END

.

.

Author's Note :

Yey, akhirnya kelar juga nih fict. Padahal aslinya fict ini untuk nyeritain guruku yang nyebelin, tapi sekarang udah kuubah jadi happy ending (padahal di RL aku masih perang dingin sama guru SMP-ku itu). Eh, tapi aku payah banget , ya? Masa namatin 7 chap aja butuh 2,5 tahun? Mana pake acara ending maksa gini... :|

.

.

Thankyou for Read & Review!

Special Thanks to :

haiii, Chintya Hatake-chan males login, sasa-hime, Diva Chava, Chooteisha Yori, Just Ana, d3rin, Fanfic lover, makkichaan, ristia15, Reiki Kikkawa, Guest, Kanami Gakura, Guest, Guest, SoraYa UeHara, Dyastari, Nara Kazuki, Love, Tinta Hitam, minatsuki heartnet, Kiki RyuEunTeuk, CN Bluestory, MoonLight Falls, Hasegawa Nanaho, Sasusaku 4ever and Sarah mong.

.

.

Pojok Balas Review :

Kukira bakalan discontinued! Haha, sama. Aku juga sempet mikir gitu. Kakashi make cium-cium Sakura segala. Hahah. Happy ending, ngga? Iya. Kok ada kalimat sinar matahari menyinari dahi Kakashi, tapi pas masih jam 3 pagi? Edited. Terima kasih udah ngasih tau :)v Fict ini sukses membuat perasaanku teraduk-aduk. Hehe, tapi maaf kalo chap ini ngga ada feel-nya. Ada apa di antara Kakashi dan Sakura tentang masa lalu mereka? Udah dijelasin di chap ini. Semoga ngga ngebingungin. Penasaran sama ending cerita ini. Sekarang udah ketauan, kan? Semoga ngga kecewa :) Kakashi udah menunjukan sifat mesum khas om-omnya! Hahah, iyaa. Jangan sampe di-update setahun lagi, ya? Iya. Yang ini cepet, kan? :P

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU