Disclaimer : I own nothing but the plot


"Seandainya Harry bisa benar-benar jadi anggota keluarga kita," Molly Weasley berkata sambil memindahkan piring-piring kotor ke tempat cuci, dibantu oleh Ginny.

"Mum, aku tidak akan pernah mau menikahi Harry," kata Ron sambil mendelik ke arah ibunya.

Molly Weasley memutar matanya. Tentu saja dia tidak sedang berbicara kepada Ron, dia berbicara kepada Ginny. Dan Ginny tidak bodoh. Dia sangat menyadari kalau ibunya berbicara padanya, tapi dia memilih untuk tidak mengatakan apapun. Setelah ia membereskan meja makan, ia langsung naik ke kamarnya tanpa berbicara sepatah kata pun lagi.

Sejak kecil, Ginny selalu mendengar cerita tentang bagaimana Harry Potter akan menjadi miliknya. Molly selalu terlihat yakin kalau suatu saat Sang Pahlawan itu akan menikahi anak perempuan satu-satunya itu. Dan sebagai anak perempuan pada umumnya, Ginny mengira semua itu akan menjadi kenyataan. Dia akan tumbuh dewasa, menikahi Sang Pahlawan dan hidup bahagia selamanya.

Tapi sekarang, Ginny bukan lagi anak-anak. Dia tahu, perang akan segera datang. Dia melihat Harry, Ron dan Hermione berbicara dengan serius beberapa kali, wajah mereka terlihat seperti orang berusia puluhan tahun setiap kali mereka mengobrol seperti itu bukan seperti anak remaja pada umumnya.

Ginny menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ia merogoh bawah bantalnya dan mengeluarkan selembar kertas. Sebuah foto Aula Besar yang diambil oleh Colin Creevey saat Yule Ball natal tahun lalu. Di foto itu terlihat banyak pasangan tengah berdansa, namun mata Ginny terpaku pada satu sosok yang terlihat di sudut gambar. Draco Malfoy, berdiri dengan kedua lengan di saku, menatap lantai dansa.

Ginny menghela nafas. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan pada Malfoy. Neville bilang, Ginny menyukainya. Tapi apakah itu benar? Bagaimana kamu mengetahui kalau kamu menyukai seseorang?

Ginny menggeleng pelan, kembali menyelipkan foto itu di bawah bantal.


Draco Malfoy tidak pernah setakut ini.

Pangeran Kegelapan telah kembali. Draco tahu, hanya tinggal menghitung waktu hingga akhirnya ia harus mengikuti jejak kedua orangtuanya. Menjadi seorang Pelahap Maut. Sejujurnya, Draco tidak menginginkan itu. Dia tidak ingin menjadi Pelahap Maut, dia tidak ingin membunuh. Kelahiran-Muggle atau bukan, penyihir atau bukan, membunuh manusia tidak pernah terlintas di benak Draco.

Draco menarik nafas panjang. Sudah lewat tengah malam ketika ia mendengar suara-suara aneh di luar sana. Draco mengerutkan dahinya. Apa itu?

Terdorong rasa penasaran, dia keluar dari kamarnya perlahan. Ia menyusuri lorong yang dihiasi nuansa hijau dan perak, warna Slytherin. Lukisan-lukisan pendahulunya terlihat kosong atau tertidur. Draco berjalan sepelan mungkin dan berusaha tidak membuat suara apapun hingga ia tiba di ujung lorong dengan tangga mengarah ke bawah. Dari tempatnya berdiri dia bisa mendengar dengan jelas suara itu.

"Kapan?" terdengar suara ayahnya.

"Aku tidak tahu. Itu bukan keputusanku," suara Severus Snape.

Apa yang Professor Snape lakukan disini? Pikir Draco.

"Disini? Tidak ada tempat lain yang bisa kita gunakan?"

"Kurasa tidak, Lucius. Pangeran Kegelapan percaya rumahmu adalah tempat yang—tepat, untuk ini,"

"Ya, tapi—"

"Apa kamu berani menentang keputusan Pangeran Kegelapan, Lucius?"

Hening sejenak.

"Tidak. Severus,"

"Bagus. Aku rasa Pangeran Kegelapan tidak akan menggunakan tempat ini dalam waktu dekat. Aku hanya menyampaikan apa yang Pangeran Kegelapan pikirkan. Dan dia bisa saja berubah pikiran besok,"

Draco menelan ludah. Dengan hati-hati dia berjalan kembali ke kamarnya, kali ini dia berjalan dengan cepat dan menutup pintunya rapat-rapat.

Draco duduk di ranjangnya. Otaknya berputar, mencerna apa yang baru saja ia dengar. Pangeran Kegelapan akan menggunakan rumahnya. Pangeran Kegelapan akan berada di sekitarnya. Bulu kuduk Draco meremang hanya dengan memikirkannya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Draco, dia berharap musim panas segera berakhir. Untuk pertama kalinya dalam hidup Draco, dia ingin segera kembali ke Hogwarts.


thanks for reading