"Apakah ini keputusan terbaiknya?"

"Sasori, un!"

Sasori lagi-lagi menolehkan kepalanya. Pada jarak sekitaran 5 meter, ada Deidara sedang berdiri di depannya. Sasori mengernyitkan dahinya, entah kenapa hari ini ia semakin merasa aneh dengan Deidara.

Apakah ini saatnya untuk memberitahunya?

Sasori membatin. Well, bentar lagi ujian kenaikan kelas, jadi Sasori ngerasa kalau saat inilah timing yang tepat buat memberitahu Deidara kalau—

"Sasori! Akhir-akhir ini elu kenapa jadi aneh sih, un?"

Sasori tak menjawab teriakan Deidara barusan. Dalam hati ia tersenyum karena diperhatikan segitunya oleh Deidara. Menyadari hal itu, Sasori semakin berat hati untuk memberitahu Deidara bahwa—

"Dei, gue pengen ngomong sesuatu. Dengerin baik-baik karena gue cuman ngomong sekali aja..."

Sasori berjalan mendekati Deidara yang berdiri mematung. Jarak mereka semakin berkurang, dan Deidara seakan tidak keberatan dengan hal itu. Dan akhirnya mereka berdiri sangat dekat.

Deidara membulatkan matanya saat ia merasakan tubuh rampingnya di peluk oleh tangan Sasori. Tubuhnya membeku, ia tidak menolak dan juga tidak menerima pelukan Sasori tersebut. Namun ia tak dapat membohongi perasaannya bahwa pelukan itu begitu hangat dan seolah tak ingin melepaskannya.

"Dei, bokap gue di pindah-kerjakan ke kota lain. Gue sekeluarga terpaksa ikut pindah bersama setelah ujian kenaikan kelas nanti."

.

.

"Watashi wa anata o aishite iru koto wa jitsugen surudeshou ka?"

("Akankah kau menyadari bahwa aku mencintaimu?")

.

.

Dei's Story

Chapter 7 : Happy or Sad Ending?

All Copyright © Masashi Kishimoto

This Story © Uchiha Yoshy Nesia

Rated : T

Genre : Parody and Romance—Pairing : SasoDei

Warning : Shou-ai, plot (mungkin hanya perasaan author) agak kecepatan, OOC, AU, bahasa rada kacau, beberapa scene agak terasa lebay dan memuakkan. LAST CHAPTER!

Selingan Quote (yg lebih mirip kek lirik lagu) : Dari puisi ciptaan author untuk komik buatannya, The Secret that Only God and We're Knowing It

Don't Like, Don't Read...

And Happy Reading!

.

.

"Watashi wa, anata ga watashi o aisuru koto o shitte iruga, wareware wa sore o kanjiru ai ni ataisuru ka?"

("Aku tahu bahwa kau mencintaiku, tapi apakah pantas cinta itu kita rasakan?")

.

.

Deidara tak menjawab. Pikirannya perlahan-lahan mulai memproses kalimat barusan. Pindah? Sasori pindah? Kalimat itu berkecamuk di dalam kepalanya dan berputar-putar. Seakan belum semua, hatinya pun ikut merasa ngilu.

"Pindah, un?" Suara Deidara terdengar lirih, seakan tak mempercayai. "Elu pindah?"

Sasori tak menjawab. Ia yakin Deidara sudah bisa menebak jawabannya sendiri.

"T-tapi, kenapa tiba-tiba, un? Gue bahkan belum bilang kalo gue suka ama elo..."

Deidara membiarkan kalimat itu terbebas dari mulut embernya. Semuanya sudah terlambat, Deidara pun juga terlambat menyadari perasaan itu. Perasaan sayang lebih dari sahabat. Ia takut mengatakan hal ini sebenarnya, takut jikalau ia mengatakannya, Sasori tak terima dan menjauhinya. Atau kemungkinan terburuknya, membencinya. Ia tak ingin itu terjadi, ia ingin selamanya bersama pemuda berambut merah maron tersebut walau hanya sebatas sahabat. Namun hukum alam takkan membiarkan hal itu terjadi. Apapun yang terjadi, perasaan yang ia rasakan itu salah. Tak sepantasnya lelaki menyukai kaum sejenisnya. Dan hukuman atas hal itu adalah kalimat kenyataan yang barusan di muntahkan oleh Sasori.

Tiba-tiba, Deidara merasa ingin kisahnya dengan Sasori berubah menjadi fairy tale, dimana keabnormalan bisa menjadi normal di mata dunia, dimana ia bisa hidup bahagia bersama Sasori selamanya dengan damai. Tapi khayalan itu terlalu tinggi, hingga akhirnya akan terasa sangat sakit begitu ia menyadari kenyataan yang sebenarnya.

"Kenapa?" Deidara mulai merasa matanya memanas. "Kenapa ini harus terjadi, un?"

Sasori tetap bergeming.

"Kenapa ini harus terjadi setelah gue mulai menyadari... rasa sayang gue ke elo, un?"

Air mata melewati pelupuk mata Deidara. Seiring dengan jatuhnya air mata melewati pipinya, air hujan perlahan mulai turun dengan deras. Namun mereka bergeming, mereka membiarkan tubuh mereka basah oleh air hujan yang seakan ikut bersedih bersamanya.

Sasori melepas pelukannya pada Deidara. Matanya menatap mata Deidara yang memerah dengan tatapan tanpa ekspresi. Kemudian tangannya mengusap sedikit pipi Deidara seraya menghapus jejak air mata yang ada di sana. "Jangan nangis."

"Gue gak nangis kok, un!" Deidara langsung membantah ucapan Sasori barusan.

Untuk pertama kalinya, Deidara akhirnya bisa melihat Sasori tersenyum padanya. Benar-benar tulus, bukan senyuman meledek ataupun senyuman ala setan yang biasa tertempel di wajah tampan Sasori. Kemudian, Sasori memeluknya lagi.

"Haha, gue bercanda kok. Untuk hari ini..." Sasori mengambil jeda sejenak. "... elo boleh nangis sepuasnya di depan gue deh!"

Tangis Deidara akhirnya meledak setelah kalimat itu selesai diucapkan oleh Sasori. Tangannya menggenggam erat lengan Sasori yang memeluk tubuhnya. Tak pernah ia merasa sekacau ini, perasaan menyesakkan yang terus mendesak untuk memenuhi lubuk hatinya. Yang meminta untuk dilepaskan oleh si pemilik hati. Maka dari itu, Deidara mencoba menangis sekerasnya kek band sedang konser seraya berharap perasaan itu mulai berkurang.

Tapi tak berhasil, perasaan itu malah semakin menyesakkan hatinya, sampai ia rasa hatinya tersebut bisa meledak. Dan akhirnya, tanpa sepenuhnya menyadari, ia berbisik pelan, "Kiss me, please?"

Tanpa ia duga, Sasori benar-benar menuruti keinginannya dan menciumnya. Ciuman yang ringan, namun menenangkan. Mereka sama-sama menikmatinya, bahkan Sasori sudah tak memperdulikan gengsinya yang lagi-lagi menyuruhnya untuk menghentikannya. Ia tak peduli apapun lagi sekarang, ia hanya ingin menuruti kata hatinya. Yang mengatakan bahwa ia harus membuat si penawan hatinya merasa bahagia, meskipun untuk yang terakhir kalinya.

"I love you."

.

.

"Watashi wa ai ga kinshi sa rete iru shitte iruga, subete okonawa remasu. Sokode, wareware wa hikikaesu koto ga dekimasu ka?"

("Aku tahu cinta ini terlarang, namun semua terlanjur terjadi. Jadi, dapatkan kita memutar waktu kembali?")

.

.

"Sasori..." Deidara berbisik pelan kembali ketika Sasori memutuskan untuk mengakhiri ciuman mereka. "Bolehkah aku mengatakan 'jangan pergi' padamu, un?"

Sasori tak menjawab, agak terkejut juga sebenarnya karena Deidara tak memakai bahasa gue-elo. Selanjutnya, Sasori tertawa.

"Un? Kenapa ketawa?" tanya Deidara heran.

"Haha, gak." Sasori berusaha untuk meredam tawanya. "Habisnya, reaksi elo berlebihan banget! Nyantai aja kale! Gue cuman pindah ke kota sebelah kok, jadi gue masih bisa ke sini akhir pekan."

...

Hening, Deidara tak menjawab. Sementara itu, Sasori masih tersenyum seolah gak punya dosa pada Deidara yang terdiam. Dan tiba-tiba, hujan mereda.

...

"UNNN?!" Deidara akhirnya selesai memproses dan menemukan jawaban bahwa Sasori barusan sengaja membuatnya melankolis. "JADI LU CUMAN NGERJAIN GUE, HAHH?!"

"Hahah—Hei! Gue gak bilang kalo kita bakal gak bisa ketemu lagi, bukan?" Sasori mulai ketawa lagi saat melihat Deidara yang syok dan mengamuk padanya.

Lalu Deidara terdiam, dalam hati ia membetulkan kalimat Sasori itu, tapi bukan Deidara namanya kalau dia mau mengakuinya gitu aja. "Tapi elo sendiri juga sengaja memperkeruh suasana, un!"

"Apanya yang memperkeruh suasana?" Sasori heran. "Malah segala pakai nangis lu! Cengeng banget jadi cowok!"

Deidara mulai merasa kemarahannya tersulut ketika ia melihat cengiran meledek muncul di wajah Sasori. "Huh! Awas lo ya, un!"

"Ah, Dei! Apaan sih lu! Aduh!" Sasori mengaduh ketika bahunya kena tonjokan Deidara yang pedes banget.

"Biarin! Siapa suruh elo boongin gue, un!" Deidara tetap tak berhenti memukuli Sasori. "Dan, apa rasa suka yang elo bilang ke gue itu termasuk bohong juga?"

"Gak." Sasori langsung menangkap tangan Deidara. "Untuk yang satu itu, gue gak bohong. Gue benar-benar tulus cinta ama elo. Perlu bukti?"

Deidara terdiam. Sejenak, ia tak mempercayai apa yang barusan Sasori katakan. Apa itu berarti, diam-diam, selama ini perasaannya terbalas tanpa ia ketahui?

"So..." Sasori tersenyum hangat lagi, "... elo benar-benar suka ama gue?"

Kemarahan Deidara langsung menguap seketika. Tergantikan oleh senyum termanis yang pernah Deidara keluarkan. "Hm, tentu, un."

.

.

"Watashi wa miryoku ni obore kakari, sore ga yurusa rete inai baai demo, wareware wa modotte inai baai wa yoideshou."

("Bawalah aku tenggelam dalam pesonamu, akan lebih baik jika kita tidak mundur kembali, sekalipun hal ini tidak termaafkan.")

"Kono kindan no ai o shimashou. Kore wa tan'ni kami no himitsudearu, to wareware wa ryouhou shimasu—"

("Biarlah cinta ini terlarang. Dan ini hanya akan menjadi rahasia Tuhan dan kita berdua—")

.

.

-Dei's POV-

Sudah lama berlalu semenjak peristiwa atap itu. Mungkin udah ada sekitaran setahun yang lalu. Karena bentar lagi kelulusan, dan tinggal mengikuti ujian praktek sekolah yang gak terlalu susah-susah amat. Kini gue sedang ada di rumah gue, dan gue tersenyum geli kalo mengingat kejadian waktu itu.

Memang, hari itu bukan hari terakhir gue ketemu ama Sasori, yang jelas hari itu adalah hari paling membahagiakan bagi gue yang rasanya selama ini gak pernah bahagia. Tapi gue agak bingung juga, karena waktu itu Sasori tak meminta kami berpacaran, cuman bilang kalo dia cinta ama gue.

Kalo gue pikir-pikir, kenapa ya waktu itu gue langsung percaya gitu aja pas Sasori bilang ke gue kalo dia mau pindah? Informasi buat yang gak ngerti ama situasinya neh, sebenarnya Sasori tuh emang pindah, tapi pindah ke kota sebelah. Gue ada nanya, kenapa Sasori mesti sekalian ikut pindah, dan emak Sasori bilang, yang namanya keluarga mesti selalu bersama. Jadilah Sasori ikut pindah sekolah ke kota sebelah.

Padahal gue baru sadar kalo gue cinta ama dia, tapi kenapa pas dia mesti pindah dari kota ini?

Klik! Sisa pulsa yang Anda miliki adalah—

Ponsel ber-chasing kuning gue menerima sebuah pesan. Gue membukanya dan mendapati pesan tersebut dari Sasori. Ah, kalo di pikir-pikir, semenjak gue sibuk dengan ujian nasional, gue mulai jarang ber-SMS-an dengan Sasori. Hal itu malah membuat gue rindu setengah mati dengan tuh cowok.

By : Sasori

Dei, apa kabarnya keadaan elo setelah ujian nasional? X)

Gue senyum. Memang, kalimat pertama Sasori memulai percakapan kami tidaklah berbeda selama ini, tapi tetap saja membuat gue deg-degan seolah baru pertama kali jatuh cinta (emang benar 'kan?).

By : Deidara

Baik-baik aja, un. Elo?

Gue gak bakal menceritakan gimana persisnya percakapan antara gue dengan Sasori. Karena mungkin kalian akan menganggapnya membosankan, tapi menurut gue kebalikannya, justru rasanya berbunga-bunga saat membuka dan membaca isi pesan Sasori yang ia kirim hanya untuk gue! (Deidara, sejak kapan lu jadi kek cewek?)

Mulai kehabisan bahan pembicaraan, akhirnya gue pun bertanya sesuatu ama Sasori.

By : Deidara

Sas, un. Gue boleh nanya sesuatu 'kan, un?

By : Sasori

Ya? Apa, Dei?

By : Deidara

Euhm, gini. Elo bilang kalo lo cinta ama gue 'kan? Apa itu berarti kita...

Gue terdiam. Gue sering merasa dejavu kalo mau nulis kata 'berpacaran' ini, entah kenapa.

... berpacaran?

Gue diem, ponsel gue diem, gak ada yang bersuara di sekitar gue. Gue udah ngirim balasan SMS-nya dan sampai sekarang belum ada jawabannya. Mungkin dia bingung mau jawab apa. Jadi, gue pun mutusin buat jalan-jalan keluar rumah, sekedar buat membuang rasa bosan gue karena kelamaan di rumah.

.

.

"—Daijoubo da to, wareware wa, koreha-zaidenai koto o kakuninshitekudasai."

(—"Itu tak apa-apa, yakinkan bahwa yang kita lakukan ini bukanlah sebuah dosa.")

.

.

"Hei, Dei!"

Gue berhenti berjalan, dan mendapati Kisame berada tak jauh dari gue berdiri.

"Hai, hiu jelek, un."

"Elo masih aja keliatan sombong gitu." Kisame mendekati gue dan merangkul gue sok dekat. "Ayolah, bentar lagi kita lulusan! Hilangkan sifat cuek elo tuh!"

Gue gak jawab. Dari sini, gue bisa mencium bau amis yang menguar dari tubuh tuh hiu. Kalo dia bukan sobat gue saat ini, udah pasti gue lempar tuh orang ke udara karena udah seenaknya merangkul gue.

Gue pun membuka ponsel gue kembali, berharap Sasori membalas SMS gue. Tapi nihil, sama sekali gak ada jawaban darinya. Padahal sudah sejam gue nungguin. Hhh, mungkin dia tiba-tiba sibuk dan gak bisa membalas SMS gue, atau juga mungkin dia benar-benar gak serius pas ngomong bahwa dia cinta ama gue—

"Deidara!"

Gue membelalakkan mata gue, kaget. I-itu suara Sasori? Benarkah? Sejenak gue gak percaya dengan apa yang gue denger. Tapi—

"Eh? Sasori? Kenapa gak bilang-bilang kalo mau ke sini?"

Mata gue makin melotot, semakin kaget. Dapat gue rasakan tangan gue menegang.

"Hei, Dei. Gak udah masang tampang tegang gitu dong." Terdengar suara Sasori di telinga gue. "Ah, gue tau. Elo pasti kaget karena gue di sini 'kan? Iya 'kan!"

Gue gak menjawab apa-apa. Ada Sasori di mata gue, sedang tersenyum pada gue. Akhirnya, gue mengangkat kepala gue dan menatapnya.

"Sasori?!" Gue teriak dengan ketidakpercayaan tingkat tinggi. Well, reaksi gue emang telat, tapi apakah kalian akan mempercayai bahwa sejam yang lalu kalian ber-SMS-an dengan pacar—hell, PACAR?—kalian dan tiba-tiba saja orangnya udah ada di depan kalian? "Elo, kenapa elo di sini, un?"

"Haha! Elu lucu deh!" Sasori ketawa. "Gue jadi pengen bikin elo selalu kaget!"

"Entar Deidara bisa jantungan kalo selalu lu bikin kaget, Sas!" Tau-tau aja, Kisame nyela kami. "Hei, Dei, Sas, gue duluan ya!"

Lalu dia pergi ninggalin kami yang asik di dunia kami sendiri. Mungkin karena gak pengen ngeganggu. Gue cukup berterima kasih dengan tuh anak.

"Ah, un, elo mau ke rumah gue dulu? Elo pasti capek 'kan?" tawar gue.

"Gak, gue ke sini cuma bentar. Gue emang udah pamit ama ortu gue dengan alasan pengen ke rumah temen, tapi gue gak bilang kalo mau ke sini ketemu ma elo." jelas Sasori. Gue agak kaget. Itu berarti... dia ke sini cuman mau ketemu ama gue?

"Hm, gini..." Sasori berdehem sejenak. "... gue ke sini karena gue kepikiran ama SMS terakhir elo sejam yang lalu."

Hah? Gue syok. Jadi dia kesini cuman karena SMS gue yang terakhir itu? SMS yang berisi tentang pertanyaan apa kami pacaran atau tidak? CUMAN KARENA ITU?

"Gue mau bilang, kalo kita emang pacaran kok." Sasori mulai memeluk gue. "Pacaran jarak jauh, gak masalah 'kan?"

Gue masih gak ngejawab.

"Sori, gue baru bilang sekarang. Gue juga baru inget kalo elo tuh orangnya lemot banget."

Gue masang terharu, lalu ngomong. "Udah tau, masih aja elo ngebiarin gue nebak jawabannya sendiri!"

Tau-tau aja, dia nyium gue. Tapi cuman sebentar. Sensasi bibirnya pun masih tak berubah dari dulu. Hangat dan menenangkan, dan dia gak tau kalo akibatnya fatal. "Permintaan maaf di terima?"

"Di terima apanya!" Gue pura-pura kesal, meskipun hati gue merasa senang bukan main. Gue merasa muka gue memerah dan jantung gue deg-degan gak karuan. "Bukan di terima lagi, tapi di simpan! Huh! Gombal banget sih lu, un!"

Tiba-tiba, dia ngakak lagi. Membuat gue ikut merasa geli dan ikut ngakak. Mungkin dia tadi langsung naik bis dari kota sebelah ke sini, makanya dia tidak membalas SMS gue karena mau bikin kejutan ama gue.

"Dei, I love you."

Gue cuman tersenyum. Udahlah, biarlah cinta ini terlarang, karena toh, semuanya sudah kehendak Tuhan. Dia gak mungkin lupa kalo gue ini cowok 'kan? Maka dari itu, gue mencoba menerima segalanya, mencoba menikmati hidup seperti ini.

.

.

"Subete wa, watashi wa anata o aishiteru koto dake de, bakkin ni narimasu..."

("Semua akan baik-baik saja, hanya untukmu yang kucintai...")

.

.

-The End!-

.

.

Author's Note :

Akhirnya, selesaaaii! X) Untuk pertama kalinya, saya menamatkan sebuah fic (ketahuan, males ng-update) Tuh 'kan, ending-nya maksa! Mana tersebar banyak adegan lebay-nya lagi, aargh! #kebanyakan baca novel romance

Sekali lagi, buat yang masih gak tau, fic ini berdasarkan kisah nyata lho! Gak semua sih, ada beberapa yang ngarang, ada juga pengalaman temen diketik di sini juga! Yah, dengan izin dahulu dengan si pemiliknya tentu!

Buat selingan quote-nya, (ngeliatin ke atas) bahasa Jepangnya ada yang agak ngawur, tapi udahlah! Anggap aja saya masih latihan! #digeplak

Curcol Chara (akhirnya terbuat juga)

Dei : "Helo?" (celingak-celinguk) "Kok gue bisa ada di sini? WOI! Siapa yang nge-transport gue ke sini?!"

Author : "GUE!" (tiba-tiba muncul) "Emang napa? Masalah buat elo?"

Dei : "Whatever dah!" (diem, karena tuh orang lagi ngebaca fic di atas)

Saso : "Hei, Dei!"

Author : "Hei, Saso!" (nyahut)

Saso : "Yee! Siapa elo? Main nyahut aja! Mana si Dei?"

Author : "Tuh!" (nunjuk Dei) "Dia lagi ngebaca fic buatan gue!"

Saso : "Fic?"

Dei : "UNNN?!" (tiba-tiba teriak) "APAAN NIH FIC? LU MAU NGEJATUHIN MARTABAT GUE SEBAGAI ANGGOTA AKATSUKI TERKEREN SEPANJANG MASA, HAH, UN?"

Author : "Emang iya, masalah buat elo?"

Dei : "JANGAN SOK INOSEN DEH LU—"

Ita : "Hei, Dei!" (tiba-tiba nongol bareng Kisame) "Lama nih gue gak liat elo, apa kabarnya?"

Dei : "Gak usah sok ramah ama gue deh, un!" (ngambek)

Kisa : "Dei kenapa sih?"

Saso : (mengangkat bahunya, tak tahu)

Dei : "Aaarggh! Elu gak tau, un! Gue jadi pihak tersiksa di fic ini! Gue kok tiba-tiba jadi homo sih? Woi, Sas! Lu protes juga dong, un!"

Saso : (baru ngeh) "Eh, iya juga—Woi! Author! Apa-apaan neh? Peran gue di sini kok terhina banget! Masa' gue mesti pacaran ama makhluk ini? (nunjuk Dei)

Dei : "Lu ngomong gitu seakan gue ini dedemit aja, un!"

Saso : "Lha, elo 'kan nyuruh gue protes? Ya ini, gue udah protes!"

Dei : "Tapi 'kan gak mesti gitu juga kale, un!"

Dan SasoDei pun asik berdebat. Sementara itu, Author dan KisaIta cuman nontonin sambil nguyah popcorn hasil colongan dari bioskop setempat.

Well, itulah cuplikan curcol para pemeran dalam fic ini. Dan saya pengen ngucapin makasih sebanyak-banyaknya buat semua yang udah RnR (Read n Review), nge-fav atau nge-alert dan semua atas partisipasinya. Maaf, bila ada bagian yang tidak kalian suka. Saya selaku author tidak sengaja melakukannya kok. Saya hanya bermaksud untuk menghibur kalian semua XD

Dan yah, karena masih ada aura-aura (?) Idul Fitri-nya, saya mau ngucapin selamat hari raya Idul Fitri, ada salah mohon dimaafkan, baik tak disengaja maupun tidak di sengaja X)

#karena alasan bulan puasa juga, saya baru bisa update Dei's Story sekarang. Mohon maaf kalo kelamaan nungguin -,-

22 Agustus 2012,

Uchiha Yoshy Nesia