Disclaimer : Eumh.. *ngelirik Kishimoto yang lagi ngacungin golok* I─itu punyanya Kishimoto Masashi..

Pair : GaaraXNaruto

Summary : Akankah aku merasa bingung jika kau hancur esok? Aku merasa ketakutan. Takut kehilangan seperti ini sejak tahu apa yang disebut mencintai. AU, OOC, Last Chapter. R&R?

WARNING : OOC, AU, Gaje and aneh pula. Boy's Love! Buat yang nggak suka sama pairingnya, tolong jangan dibaca!Kena diabetes saya nggak mau tau, lho! *sambited*

Enjoy!

.

Without you ©

by Naara Akira

Chapter 2

.

"Aku menyayangimu... Gaara.."

"Na─Naruto! Kumohon... bertahanlah sedikit lagi!"

"... sa─sampai kapan pun... juga─,"

"Diam! Jangan bicara macam-macam lagi! Aku takkan mendengarkanmu!"

"Hei... dengarlah, karena aku... tak punya waktu lebih dari ini..."

.

Kedua kelopak mata Gaara melebar. Pemuda itu bangkit dari tidurnya dengan butiran keringat yang mengucur deras membasahi piyama cokelatnya. Kedua tangannya mencengkeram kuat selimut putih tebal yang menutupi sebagian tubuhnya yang gemetaran.

"Kenapa?" Gaara menggeram kecil sembari menundukkan kepalanya yang terasa sakit. Jantungnya terus terpacu melebihi detak normalnya.

Mimpi itu kembali menghampirinya. Dan yang membuatnya sakit, tragedi mimpi itu muncul sepenuhnya. Tidak seperti biasanya yang hanya berupa potongan-potongan kecil dari memori mimpi buruknya. Semua berkumpul menjadi satu bagian, bagaikan serpihan puzzle yang telah selesai dirangkai hingga membentuk sebuah gambaran yang jelas.

Dengan tangan gemetar, Gaara meraih segelas air yang ada di atas meja terdekat dan meneguknya tanpa sisa. Berusaha tenang, ia kembali mengatur nafasnya yang terasa tercekat.

Sesak.

Tidak ingin merasakan kehilangan. Tidak ingin dia pergi. Tidak ingin semuanya jadi lebih nyata.

Takkan kubiarkan. Ini akan segera selesai.

.

Bel istirahat melengking nyaring, memutus ceramah kolot Orochimaru sensei yang sedang berdongeng menceritakan sejarah peperangan jaman dahulu. Semua bersorak girang, terutama Naruto dan Kiba.

"Gaara!" Naruto menghampiri Gaara yang sedang menata buku-bukunya, memasukkan semua ke dalam tas hitamnya.

Gaara menoleh ke arah sumber suara yang menyapanya. Jantungnya terpacu kembali. Keringat dingin mengalir di pelipis kirinya. Sosok ceria Naruto terasa bagai mimpi buruk yang menjadi terror dalam hidupnya.

"Kenapa? Wajahmu pucat." Naruto meletakkan telapak tangannya pada dahi Gaara, "tidak panas, tubuhmu dingin sekali. Kau sakit?" tanya Naruto khawatir. Gaara hanya menggeleng.

"Aku tidak apa-apa. Percayalah."

Naruto tersenyum, "baiklah kalau kau bilang begitu. Sampai ketemu nanti!" Naruto melambai menjauh sambil memamerkan cengiran khasnya lalu menghampiri Kiba dan Sai yang sudah menunggunya di depan pintu kelas.

Gaara menyandarkan tubuhnya. Lelah. Mata hijaunya melirik keluar jendela, sedikit merasa tertarik memperhatikan gerak awan yang melaju tenang.

"Apa, sih, yang sebenarnya ada dalam kepalamu itu?"

Suara malas yang ada di barisan sebelah Gaara agaknya membuat ia sedikit tersentak kaget. Rambut nanas Shikamaru bergerak menari tertiup buaian angin dingin. Pemuda itu menguap lebar. Gaara mengernyit bingung.

"Oke, maaf aku ikut campur. Tapi apa pun masalah yang kau hadapi, semua pasti bisa kau lalui asal kau mau berusaha." Shikamaru membaringkan kepalanya di atas meja. "Kita punya kekuatan untuk merubah takdir, bukan?"

Setelahnya anak pemalas itu mendengkur, terlelap dalam bunga tidurnya. Entah barusan dia bicara karena sedang bermimpi atau setengah sadar. Gaara menggeleng-gelengkan kepalanya pelan melihat kelakuan temannya itu. Tipis, Gaara tersenyum mendengar dengkuran Shikamaru. Sedikitnya, penuturan Shikamaru membuatnya merasa sedikit lega.

.

"Itu buat Sasori-niichan." Naruto melahap ubi rebusnya. Gaara diam mendengarkan cerita sahabatnya, "aku nggak akan sempat memberinya kado untuk ulang tahunnya bulan November nanti. Tiga hari lagi dia mau berangkat ke Oto untuk melanjutkan study-nya selama tiga tahun di sana."

"Kau mau beri dia apa?"

Naruto mengangkat bahunya, "bingung. Onii-chan orangnya aneh, sih!"

Gaara menggeleng-gelengkan kepalanya melihat cengiran innocent Naruto. Kata-kata bijak Shikamaru kembali terbayang dan menghasilkan senyuman kasat mata di wajahnya.

"Gaara! Kita coba ke sana ya!" Naruto menarik kuat lengan blazer Gaara. Pemuda berambut merah itu mau tidak mau ikut terseret langkah si pirang itu.

Setelah beberapa lama memilih macam-macam model sweater untuk Sasori, akhirnya Naruto membawa sebuah sweater berwarna Maroon bercorak simpel ke meja kasir.

"Oto 'kan agak dingin. Mungkin ini akan sedikit menolong." Naruto menyerahkan beberapa lembar uangnya pada petugas kasir, lalu meninggalkan tempat itu setelah menerima kembaliannya.

Keduanya berjalan beriringan menuju kedai ramen yang letaknya tak jauh dari toko pakaian yang mereka kunjungi. Sudah dapat diduga oleh Gaara sebelumnya, anak pirang ini pasti akan menyeretnya ke dalam kedai ramen favoritnya.

Udara dingin perlahan rontok dari tubuh keduanya begitu udara hangat dari dalam kedai menyapa wajah beku mereka. Aroma lezat ramen langsung tercium saat melalui pintu geser kedai tersebut. Setelah menemukan tempat kosong, Naruto segera meneriakkan pesannya pada si pedagang ramen.

"A─apa?" tanya Naruto bingung. Wajahnya sedikit memerah mendengar tawa kecil Gaara. Jarang ia bisa melihat temannya ini tertawa.

"Kebiasaan." Gaara menopang kepalanya dengan tangan kanannya. Sedikit mengibas rambut merahnya karena suasana di sekitarnya yang agak panas.

Naruto melempar wajahnya, mengalihkan kontak langsung dengan pandangan Gaara. Bukannya marah, ia hanya mau menghilangkan bukti kuat kalau wajahnya sekarang sudah semerah bubuk cabai.

Begitu pesanan mereka datang, Naruto segera menyeruput habis isi mangkuk ramennya. Gaara memperhatikan pola tingkah polos sahabatnya dari seberang meja. Wajah bahagianya saat melihat bumbu ramen, saat menyeruput untaian tepung lezat mie, menegak kuah panas makanan kesukaannya itu.

"Terima kasih banyak!" ucap si penjual pada Gaara yang baru menyerahkan uangnya. Naruto membalasnya dengan cengiran super lebar lalu mengekor di belakang Gaara yang sudah keluar dari kedai.

Naruto menyusul langkah Gaara, "terima kasih sudah mau mentraktirku! Hehehe," cengir Naruto senang. Gaara meliriknya sesaat sebelum tangan putihnya terulur ke arah wajah Naruto, membelai bagian sisi pipi kanannya yang gembil dengan ibu jarinya. Wajah Naruto mendadak memanas, bertransformasi menjadi warna saus tomat.

"Makanmu berantakan sekali."

"Bi─biar!" Naruto mengerucutkan bibirnya, sebal.

Gaara tersenyum kecil. "Dasar..."

Naruto menundukan kepalanya, "um, Gaara. Terima kasih sudah mau menemaniku hari ini. Padahal aku tahu kau sibuk, tapi... entahlah. Aku tidak bisa membiarkan Gaara terus-terusan begini. Aku mau Gaara bahagia, tertawa tulus dari hatimu yang paling dalam."

Gaara terdiam, terus memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan Naruto.

"Yah.. aku memang inginnya kau senang. Tapi aku bingung, gimana lagi caranya supaya kau terta─," ucapan Naruto terputus saat menatap wajah cerah Gaara. Ada senyuman tulus yang melengkung di sudut bibirnya.

"Terima kasih. Aku senang." Gaara membelai rambut Naruto, lembut. Pemuda Uzumaki itu tersenyum lebar. Sedikit rona merah terlihat manis pada wajah tan-nya.

"Eh, ke sana, yuk! Katanya majalah Shonen bulan ini sudah keluar!" Jari telunjuk Naruto terulur menunjuk sebuah toko buku terbuka yang ada di seberang jalan. Pemuda itu dengan langkah riang berlari mendahului Gaara.

Gaara terdiam membatu. Tubuhnya tiba-tiba terasa menggigil dan menegang. Degup jantungnya berdetak cepat, kontras dengan deru nafasnya yang tiba-tiba tercekat. Matanya sedikit melebar.

'Apa ini?'

Sekelebatan mimpinya muncul di hadapannya. Si pirang berlari lalu melompat ke jalan. Dan sebuah truk hijau datang dari arah utara dengan laju kecepatan tinggi. Suara jeritan. Suara nyaring klakson. Suara langkah tergesa. Suara dencitan ban mobil.

'Maaf...'

Mata sapphire Naruto membulat sempurna. Suara teriakannya tertahan, tercekat di dalam kerongkongannya. Kakinya yang gemetar hampir gagal menopang berat tubuhnya.

"GAARAAA!"

.

Suara teriakan Naruto melengking keras, memecah kebisuan di antara langit mendung yang mulai menangis.

.

Naruto ingat betul saat-saat dimana Gaara menyusulnya terjun ke tengah jalan dan menarik pergelangan tangannya, melemparnya ke tepi jalan yang membuat tubuhnya terpelanting di atas aspal hingga mendapatkan sedikit luka lecet akibat terbentur sisi trotoar.

Gaara masih sempat mendengar suara Naruto yang mengaduh kesakitan saat tubuhnya membentur sisi trotoar jalan, sebelum tubuh pucat pemuda itu terlempar jauh setelah membentur kepala truk yang datang secara tiba-tiba.

Naruto ingat dengan jelas saat-saat mengerikan itu. Dengan langkah sempoyongan dan memaksakan seluruh tenaga yang ia punya pada kedua kakinya yang lemas, Naruto berjalan tertatih ke arah Gaara.

Naruto jatuh terduduk di samping tubuh Gaara setelah bersusah payah mengayunkan kaki-kaki letihnya. Mata langitnya yang kontras dengan warna langit saat itu mulai terasa panas, ikut menitikan butiran air hangat dari kelopak mata indahnya.

Jemari Naruto yang gemetar terulur, menyentuh wajah sahabatnya yang terbujur tak berdaya di hadapannya. "Gaara.." bisik Naruto lemah. Suaranya terdengar parau. Pita suaranya tak sanggup menghasilkan suara cempreng khasnya lagi.

Mata langit Naruto kembali membulat saat bertemu langsung dengan indahnya kilau emerald di balik kelopak mata Gaara yang sesaat sebelumnya tertutup. Sebuah senyuman puas tersungging di bibir pucatnya yang dialiri darah segar. Tangan pucatnya terulur, mencoba meraih sosok pemuda yang tengah menangisinya.

"GAARA!" Naruto meraih tangan Gaara dan menggenggam kuat tangannya. Kerumunan massa mengelilingi lokasi kejadian. Semua wajah di sana memucat, antara raut iba dan shock. Seorang dari mereka segera menghubungi rumah sakit terdekat untuk segera mengirimkan ambulance.

"Kau... tak apa?" suara lemah Gaara makin membuat irama jantung Naruto kian terpacu.

"Bicara apa kau! Tunggulah, ambulance akan segera datang!" Pemuda itu mempererat genggamannya. "Kumohon... bertahanlah sedikit lagi!" isak tangis Naruto mulai pecah. Suaranya terdengar pilu di tengah siraman rintik hujan.

Gaara menatap lurus langit kelabu. Wajah pucatnya tetap tenang walau diguyur ribuan anak hujan. Senyuman lelahnya ia paksakan terpahat di sudut bibirnya.

"Kita punya kekuatan untuk merubah takdir, bukan?"

'Dengan begini, aku sudah selesaikan urusanku.'

Gaara balik menggenggam tangan Naruto, "... sa─sampai kapan pun... juga─,"

"Diam! Jangan bicara macam-macam lagi! Aku takkan mendengarkanmu!" Naruto menggeleng, menutup paksa kedua matanya yang masih belum berhenti menjatuhkan butiran beningnya. Gaara tetap memaksakan senyumannya, mencoba mengabaikan rasa sakit yang dirasakan di sekujur tubuhnya. "K−kumohon... tetaplah hidup. Tetaplah menjadi 'Gaara' yang selalu tersenyum padaku.. Gaa−Gaara yang selalu ada di sisiku.."

"Hei... dengarlah, karena aku... tak punya waktu lebih dari ini..." Gaara memejamkan matanya sejenak. Menikmati hembusan angin beku yang menyentuh tubuhnya yang sudah mati rasa.

"Aku sayang padamu... Naruto.."

.

Aku takkan lari dari sini

Sekali pun kau hancur esok

Karena satu-satunya yang mampu menyembuhkan tubuhku yang lelah ini

hanyalah senyummu.

Akankah aku merasa bingung

jika kau hancur esok?

Aku merasa ketakutan

Takut kehilangan seperti ini sejak tahu

apa yang disebut mencintai

Sekali pun kau akan hancur esok

dan aku tak mampu melihat apa pun lagi

Kita akan terus berjalan dalam kedamaian ini

Sekali pun itu hanyalah bayangan khayal dirimu...

.

Owari

.

Thanks for reading, minna!

Review, please!