Story : Let The story begin.

Disclaimer : Bang Masashi Kishimoto.

Author : You know me so well lah *sok iye*

Pairing : GaaHina

Warning : OOC! Jangan kaget liat Hinata yang sifatnya sedikit saya rombak (oke ngaku, banyak ternyata rombakannya). Ada unsur agama. Kagak suka?kagak usah dibaca.

Yo yo yo! Hallo minna. Ketemu lagi sama aye di fic nyang laen. Kali ini aye lagi kepengen bikin fic yang serius dikit. Makanya di fic ini aye masukin unsur agamanya dikit-dikit, sekalian belajar lah. Namanya juga Fanfic, jadi seritanya ya suka-suka aye. Hahahahaha*ditabok*. Ini cerita terinspirasi dari mbak Ghee yang udah punya cerita keren2. Untuk Fic aye nyang campur sari aye pending dulu yaa. InsyaAllah segera di update, maklum aye lagi demen banget sama Naruto dan kawan2nya. Jadi, Happy reading dah. Monggo, sedot gan.


Bab I- I Hate Friday-

Alkisah tersebutlah suatu negeri yang terkenal dengan carut marut penegakan hukum, perpolitikan, serta perekonomiannya yang bernama Indonesia. Di negeri dengan kemolekan alam yang diakui dunia tersebut, hiduplah seorang pemuda kaya raya, tampan, cerdas, dan tentu saja pujaan wanita. Mari kita deskripsikan dengan lebih jelas penampakan lelaki muda ini. Wajahnya dapat kita analogikan dengan moci rasa nangka, mampu membuat kelenjar ludah kaum hawa terangsang sehingga meneteskan liur. Begitu sempurnanya pahatan wajahnya oleh Yang Maha Kuasa, sehingga tak jarang kaum adam yang bergenre maho pun tak kuasa membendung desakan air liur dari mulutnya. Body yang aduhai -tapi-bukan-berarti-bohai—atletis dengan dada bidang, perut rata hampir six pacs, otot lengan yang terbentuk sempurna tapi tidak sebesar Ade Rai, tinggi badan di atas rata-rata kaum Adam Indonesia, rambut merah bata, dan tentu saja eye liner atas-bawah yang terlukis sempurna membingkai mata tajamnya. Berlebihan ya? Enggak ah, sedikit alay mungkin iya. Hahaha.

Oke, kembali pada tokoh utama kita yang bernama Gaara. Gaara tinggal di sebuah kota yang selain terkenal dengan wisata kuliner dan FO-nya, juga terkenal dengan masalah pengelolaan sampahnya yang belum menemukan pencerahan hingga sekarang. Kota itu bernama Bandung. Gaara tinggal bersama dua orang kakaknya, Temari dan kankuro. Mereka bertiga tinggal di sebuah pemukiman elit di daerah Bandung Utara. Ayah Gaara seorang bussiness man, sedangkan ibunya adalah mantan peragawati yang kini sedang mengembangkan bisnis butiknya di seluruh penjuru Indonesia. Hidup Gaara secara finansial dan materil dapat dikatakan sempurna. Tuan muda dari keluarga kaya dengan masa depan terjamin.

Okee, kepanjangan narasinya. Kita mulai saja sinteron kita ini dari dalam kamar Gaara. Jadi sodara-sodara beginilah kisahnya...

Gaara memutar tubuhnya ke arah kanan. Diraihnya jam beker yang nangkring di atas meja kecil disamping tempat tidurnya. Jam 06.00 pagi. Dengan malas Gaara bangkit dari tempat tidurnya sambil melakukan sedikit peregangan ringan. Belum sempat dia melangkahkan kakinya ke kamar mandi, suara Temari yang disetel dengan volume maksimal sukses menghantam gendang telinganya.

"Gaaraaaa, bangun! Sudah jam 6, kamu kan ada kuliah jam 7! Setiabudhi macet tau kalo udah jam setengah tujuh!" Temari menggedor kamar Gaara. Gaara memandang pintu yang digedor Temari.

"Berisik." Komentarnya singkat. Dengan menguap Gaara mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi pribadinya.

Dua puluh menit kemudian Gaara sudah duduk manis di depan meja makan bersama Temari dan Kankuro. Mak Chiyo, pelayan yang sudah mengabdi lebih dari 20 tahun di keluarga Gaara sedang sibuk meletakkan hidangan di hadapan masing-masing majikannya. Sesekali mata perempuan setengah baya itu melirik Kankuro yang sedang menguap dengan tampilan sangat-orang-baru-bangun-tidur. Dalam hati Mak Chiyo mendesah sedih. Hah, kok bisa mendesah dalam hati?

Mak Chiyo sudah lama prihatin dengan keluarga majikannya ini. Secara materi keluarga ini memang sangat tercukupi bahkan berlebih, namun secara agama dan kehidupan sosial, keluarga ini jauh dari kata berlebih. Malahan kalau dihitung-hitung sangat kekurangan sampai-sampai minus nilainya. Bagaimana tidak, meskipun menyandang status Islam dalam KTP, nyatanya itu memang hanya sebatas tertera pada KTP alias Islam KTP. Boro-boro Sholat, ke masjid aja sekedar basa-basi ikut pengajian kagak pernah. Ikut sholat Ied aja udah untung, itupun karena emaknya Gaara keukeuh sekalian promosiin baju baru keluaran butiknya.

"Den, non, ada undangan pengajian dari rumah yatim piatu Insan Kamil besok jam setengah delapan malam." Mak Chiyo berkata kepada tiga majikannya. Insan Kamil merupakan rumah yatim piatu yang rutin di berikan bantuan dana oleh keluarga Gaara. Kalau kata ibunya Gaara sih sekalian nebus dosa karena belum sempet ngerjain sholat sama puasa. Weuw.

Temari melirik Mak Chiyo, Kankuro menatap makanan di hadapannya dengan khidmat –sama sekali tidak peduli-, dan Gaara? Gaara sedang asik memainkan Android XPERIA-nya. Jelas perbincangan mengenai ngaji dan kawan-kawannya bukan topik favorit di keluarga ini.

"Mak Chiyo saja yang pergi, gantikan kami." Temari menjawab, membuat Mak Chiyo serasa merasa asmanya kumat.

"Eh, non Temari, tapi.."

"Sekalian gantikan kami ngasih kata sambutan ya, Mak. Biasanya kan suka diminta tuh." Temari berkata lagi. Mak Chiyo sekarang bagaikan mendapatkan serangan semaput akut. Mulutnya megap-megap tak terkontrol.

"Semoga sukses, Mak." Akhirnya Gaara yang mengakhiri penunjukkan sepihak Mak Chiro sebagai duta keluarga. Dengan cool Gaara keluar dari ruang makan, meninggalkan sarapannya tak tersentuh, menuju garasi rumahnya, tempat belalang tempurnya alias CBR 250R yang terparkir gagah. Jam segini berangkat ke kampus naik mobil sih dijamin telat, jadi Gaara menyingkirkan dulu Yarisnya dan lebih memilih naik belalang tempur.

"Dasar ga tau sopan santun, pamitan dulu kek!" Kankuro menatap kepergian Gaara.

Okeee, kita tinggalkan Gaara dan keluarganya, sekarang kita beralih pada salah satu tokoh utama di cerita ini, Hinata. Lain padang lain belalang. Jika Gaara terbiasa bangun pagi dengan semua kebutuhannya yang telah disediakan oleh pelayan, maka hal itu tidak berlaku untuk Hinata. Bangun tidur Hinata harus dihadapkan pada kerasnya dunia, bangun dari alam mimpinya.

"Nyaaak, ini udah mau masuk tanggal 20, tagihan listrik sama air belum dibayar." Hinata yang sedang memeras cucian di kamar mandi berkata pada emaknya yang sedang memasak di dapur yang jaraknya hanya satu meter dari kamar mandinya.

"Iye, nyak tahu. Tapi nyak belon punya duit. Enyak kagak enak minjem mulu sama Bu Kushina. Nah ntu utang kita yang bulan kemaren aja masih belon lunas semua." Ibu Hinata berkata dengan logat betawi yang sangat kental. Hinata mendesah menatap hidupnya. Hidup susah sudah biasa dihadapi Hinata dan keluarga. Derita hidup Hinata dan keluarga dimulai ketika mereka masih tinggal di Jakarta, asal ibu Hinata. Saat itu Ibu Hinata merupakan kembang kampung di daerahnya. Pertemuannya dengan Hiashi, tuan muda kaya dari pulau seberang mengikat mereka berdua pada pernikahan. Pernikahan dengan status sebagai istri (terlarang) kedua Hiashi alias selingkuhan Hiashi. Hiashi sendiri saat itu sebenarnya sudah memiliki istri, namun mengaku single pada ibu Hinata agar lamarannya dapat diterima. Ibu Hinata bagai membeli kucing dalam karung. Ditipu mentah-mentah oleh Hiashi dan baru mengetahui keadaan sebenarnya setelah istri pertama Hiashi datang ke tempat tinggalnya. Saat itu Hiashi sedang tidak ada di rumah. Maklum, karena punya dua istri, terus yang satu statusnya selingkuhan pula, maka Hiashi harus pintar membagi keberadaannya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Tapi kawan, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya Hiashi melompat dalam lomba balap karung pasti akan ada saat dia nyungsep juga. Aah bukan itu maksud saya, kalian pasti mengerti lah apa arti peribahasa itu, you know it so well laah. Yang jelas, poligami jenis ini jelas tidak diperbolehkan dalam Islam.

Singkat cerita, ibu Hinata sakit hati kerana dikhianati oleh Hiashi. Hiashi yang merupakan tipe suami-suami takut istri, tidak bisa menolak keinginan istri pertamanya untuk mencampakkan ibu Hianata. Maka, babak baru kehidupan Ibu Hinata dan anaknya yang belum genap berusia satu tahun pun dimulai. Dengan harga diri yang terluka, ibu Hinata menolak tawaran Hiashi yang ingin memberikan 'pesangon' sebagai ganti rugi dan memilih meninggalkan kampung halamannya untuk hijrah ke Bandung. Berharap dia tidak akan pernah lagi melihat apalagi bergossip dengan Hiashi. Namun sekali lagi kawan, tuan takdir memang tak dapat diduga. Tanpa diketahui Hinata dan ibunya, takdir mereka akan bersinggungan sekali lagi dengan Hiashi.

"Ya udah, Nyak. Hinata akan coba cari pinjaman ke tempat lain. Hinata juga akan coba cari kerja lagi. Mudah-mudahan berhasil ya, Nyak." Hinata tersenyum pada ibunya yang sedang menggoreng tempe. Tempe lagi tempe lagi, untung masih masuk dalam status makanan tinggi protein, kalau enggak otak Hinata udah buntu dari kapan tahun.

"Iya, Nak." Ibu Hinata membalas senyumannya. Dalam hati meratapi kesialan anaknya karena dilahirkan dari rahimnya. "Maaf ya, Hinata." Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya. Hinata yang mengerti maksud perkataan ibunya kemudian meninggalkan cucian yang sedang dibilasnya, mendekati ibunya.

"Gak papa, Nyak. Enyak gak usah minta maaf ." Hinata memeluk ibunya. Berusaha memberikan ketenangan pada tubuh ringkih yang telah mengasuhnya selama 20 tahun. Ibu Hinata berusaha menahan air mata yang siap tumpah dari matanya.

"Iye." Ibunya hanya bisa mengeluarkan satu kata singkat, "Ya udah, mandi sonoh. Udah lebih dari setengah tujuh. Walaupun rumah kita deket sama sekolah elu, tetep aja kudu jalan kan ke sekolah." Sekolah yang dimaksud ibu Hinata tentu saja sebenarnya adalah kampus. Serem juga ada anak 20 tahun yang masih SMA.

"Iya, Nyak." Hinata tersenyum.

"Ya udah, sono mandi."

"Nyak?"

"Iye?"

"Nggg,, ntu tempenya gosong."

Hening lima detik

"Astaghfirullah, Hinataaaa! Ngapa lu kagak bilang dari tadi, gosong dah ni sarapan elu!"

"..."

Maka pagi itu pun ditutup dengan kehebohan menenangkan kalbu yang biasa terjadi di rumah Hinata.


Tujuh kurang lima menit. Gaara mengecek jam di tangan kirinya. Kakinya menaiki tangga gedung kuliahnya yang berbentuk segi depalan. Gaara merupakan mahasiswa tingkat tiga Teknik Elektro di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung. Saat ini merupakan awal semester genap yang harus dilaluinya. Perkuliahan sudah berjalan dua pekan, sekarang memasuki pekan ketiga. Seharusnya dia sudah memulai rutinitas kuliah Jum'at paginya dari dua pekan sebelumnya. Tapi seperti mahasiswa kebanyakan, menggunakan jatah bolos merupakan hal yang wajib hukumnya. Maka demi menghemat jatah bolosnya yang tinggal dua kali lagi, Gaara memutuskan untuk menyetop sementara status Hiatusnya, maskud saya absennya.

"Yoo, bro! Kucel amat muka lu." Seseorang dengan rambut model pantat ayam menepuk pundaknya. Gaara yang baru akan menaiki tangga menuju lantai dua menghentikan langkahnya.

"Ngapain lu disini?" Dengan ekspresi super iritnya yang terkenal alias muka datar, Gaara menatap Sasuke yang berdiri di depannya. Benar-benar deh bocah dua ini, dikarunia wajah dan fisik yang sama-sama ganteng plus sifat yang hampir sama 11-12.

"Makanya jangan bolos mulu. Gue kan emang ada matakuliah wajib tiap Jum'at pagi." Sasuke menjawab sambil menolehkan kepalanya ke kiri dan kanan, mencari seseorang.

Gaara mengangkat bahunya mendengar jawaban Sasuke. Mana dia tahu soal jadwal kuliah sahabatnya itu. Gaara dan Sasuke sudah bersahabat sejak tahun pertama mereka menginjakkan kaki di kampus ini. Perkenalan mereka dimulai ketika mereka masih sama-sama jadi mahasiswa baru yang terpaksa ikut orientasi siswa alias ospek yang rutin diadakan setiap tahun. Gaara di teknik Elektro, Sasuke di Teknik Perminyakan.

"Nyari siapa lu?" Gaara menolehkan kepalanya mengikuti arah pandang Sasuke.

"Nggg...Neji. Katanya dia mau ngasih konsep acara himpunan ke gue."

"Acara himpunan? Sejak kapan lu jadi aktif gitu?" Gaara menaikkan alisnya (Alhamdulillah Gaara udah beralis sekarang, doi udah kapok nyukur alis. Salon langganannya udah tutup).

"Come on, bro! Lu pikir gue mau dengan sukarela, gue dipaksa." Sasuke masih menjawab dengan muka coolnya. "Naah, itu dia orangnya." Sasuke melambaikan tangannya ketika melihat sesosok pria tinggi gondrong celingak-celinguk di tengah keramaian.

"ooi, Kak Neji!" Sasuke meneriakan nama orang tersebut. Kakak kelas Sasuke alias Neji tersenyum tipis melihat Sasuke.

"Gue duluan deh." Gaara pamit pada Sasuke. Sasuke mengangguk dan tersenyum tipis pada sahabatnya.

"Jangan kemana-mana abis beres kelas, gue nyusul ke kelas loe." Sasuke menambahkan.

Gaara mengangguk singkat kemudian mulai menaiki tangga. Tangannya dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Damnl! Dingin-dingin gini enaknya tidur lah! Umpatnya dalam hati. Kini Gaara berhenti di depan pintu kelas berkapasitas besar. Dengungan bising mahasiswa yang pasti sedang menunggu dosen datang masuk ke telinga Gaara. Khas kelas umum. Semua mahasiswa dari berbagai jurusan campur aduk. Gaara baru saja masuk dan sedang memilih tempat duduk kosong ketika didengarnya namanya dipanggil.

"Oooi, Gaara!" Gaara menolehkan kepalanya ke asal suara. Seniornya Shikamaru sedang berjalan kearahnya. Gaara hanya menatapnya, tidak membalas panggilannya.

"Baru pertama kali masuk, kan?" Shikamaru yang bertugas sebagai asisten dosen memegang lembar absensi dan mencari nama Gaara di dalamnya.

"Ya, kenapa, Bang?"

"Kamu belum ikut tes baca Al-Qur'an." Shikamaru tersenyum menatapnya.

"Oh, iya, belum." Gaara baru ingat. Gaara sudah pernah diberitahu temannya bahwa ada tes baca Al-Qur'an di mata kuliah Agama Islam ini. Alasannya untuk mengetahui kelompok mentoring mana yang harus dia masuki, kelompok tahsin (untuk yang belum bisa baca) atau kelompok mentoring biasa.

"Selesai kelas kamu tunggu di sini dulu, saya akan tes kamu." Shikamaru menutup lembar absensinya, "Bentar doang, paling lima menit." Tambahnya, begitu melihat muka Gaara yang sedikit menyiratkan protes.

"Oke." Jawab Gaara sambil berbalik, mencari tempat duduk kosong.

Pikiran Gaara sekarang melayang pada tes baca Al-Qur'an yang akan dijalaninya. Gawat ini. benar-benar gawat. Ini sama dengan Gunung Merapi yang masuk tahap AWAS! Sejak kapan dia bisa baca Al-Qur'an? Baca Al-Qur'an bukan jadi hal yang ditanamkan orang tuanya sejak dia kecil. Toh dia juga bersyukur tidak harus disuruh ikut TPA semasa kecil. Dia lebih suka belajar bahasa asing atau ikut klub olahraga. Gawat ini, gawat-gawat-gawat. Gaara bukan khawatir karena kemampuannya yang minus baca Al-Qur'an, tapi pada takdir yang menantinya di depan Kalau dia ketahuan belum bisa baca Al-Qur'an, seniornya itu pasti akan memasukkannya pada kelompok belajar bahasa Al-Qur'an. No way! Dia bisa mati bosan. Lain ceritanya kalau masuk kelompok mentoring biasa, memang tetap akan mati bosan, tapi setidaknya dia bisa tidur selama mentoring. Gaara memulai spekulasi-spekulasi dalam batinnya. Saking seriusnya, Gaara tidak memperhatikan Naruto yang dari tadi memanggil namanya dari barisan tempat duduk di pojok kelas.

"Gaaraaa! Ooi!" Naruto melambaikan tangannya dengan semangat, seperti biasa tentu saja. Kiba yang duduk disebelahnya menjauhkan tubuh sejauh yang ia bisa dari Naruto.

"Berisik, Naruto! Dia gak denger, tahu!" Kiba menutup kedua telinganya. Naruto mengacuhkannya.

"Oooi, Gaara! Disini Ko—Hmppph!" Ucapan Naruto terhenti karena saat ini Kiba sudah membekap mulutnya dengan brutal.

"Dosennya udah masuk, bego! Dia—Arrrghhhh!" Kiba segera menarik kembali tangannya saat merasakan ludah alias jigong Naruto menempel di telapak tangannya.

"Kita mulai dulu dengan tilawah ya. Silahkan dibuka Al-Qur'annya." Shikamaru berdiri di depan kelas. Sang Dosen sedang menyiapkan bahan kuliah di laptopnya. "Tolong yang berdua diatas jangan berisik!" Dengan tatapan tajam Shikamaru mengarahkan wajahnya pada Naruto dan Kiba.

Maka kawan, dimulailah kelas Agama pagi itu dengan damai. Tapi tidak sedamai hati Gaara yang sedang menatap Al-Qur'an milik orang yang duduk disebelahnya. Barisan huruf Arab itu meliuk-liuk menggoda Gaara.

Dammit! Batin Gaara.


Gaara terhenyak di kursinya. Disampingnya, Sasuke sedang tertawa puas menikmati penderitaan Gaara. Pejaran Agama sudah berakhir limabelas menit yang lalu. Saat ini kelas sudah sepi dari manusia, kecuali dua orang cowok kece ini. Kita Flash back sebentar ya. Seperti janji Shikamaru sebelumnya, begitu kelas usai Shikamaru langsung menyeret Gaara untuk tes tahsin. Melihat tidak ada peluang untuk kabur Gaara pasrah.

"Coba baca ayat ini." Shikamaru menunjuk salah satu rangkaian huruf di Al-Qur'an. Surat Hud ayat 41-42. Gaara sweatdrop. Tamat Iqro aja gak pernah, apalagi Al-Qur'an.

"Kenapa? Ayo cepat baca. Ayatnya kan singkat." Shikamaru menatap Gaara. Gaara menatap Al-Qur'an dihadapannya.

"Ngg, bang Shika.." Gaara memulai bacaan Qur'annya, eh maksud saya memanggil Shikamaru, Senior Gaara di Teknik Elektro. "Saya gak bisa baca Al-Qur'an." Gaara berkata jujur dengan ekspresi muka datarnya yang biasa. Cool tetap harga mati buat Gaara.

Shikamaru menaikkan sebelah alisnya. "Ooh, gitu." Komentarnya.

"Saya tahu abang pasti mau masukin saya ke kelompok Tajin." Gaara memulai diplomasi.

"Tahsin,bukan tajin, itu mah air aronan beras." Shikamaru mengoreksi Gaara.

"Eh, iya, itu maksud saya. Iya, jadi saya tahu abang pasti mau masukin saya ke kelompok tahsin. Tapi bang, sepertinya saya lebih butuh mentoring biasa daripada tahsin saat ini." Gaara mekanjutkan ucapannya.

"Kok gitu?" Shikamaru menggaruk-garuk dagunya.

"Ilmu agama saya lebih parah daripada kemampuan ngaji saya, Bang." Gaara mulai mengarang cerita. Padahal kenyataan sebenarnya dari seorang Gaara adalah kedua ilmu yang dia sebutkan diatas benar-benar sama parahnya. Ilmu Agamanya udah status tiarap. Parah gak ketulungan.

"Hmmm,,," Shikamaru manggut-manggut sok bijak.

"Jadi, saya minta dimasukkan ke dalam kelompok mentoring biasa saja." Gaara mengakhiri ceritanya. Shikamaru masih manggut-manggut sambil garuk-garuk dagu. Mereka berdua tidak menyadari kehadiran Sasuke yang sedang terpesona melihat Gaara memohon seperti itu.

"Tapi kamu juga butuh belajar ngaji nih. Masa dari sekian banyak huruf hijaiyah gak ada yang kamu tahu. Coba ini apa?" Shikamaru mengakhiri ucapannya sambil menunjuk salah satu huruf di Al-Qur'an.

Sial ni orang, kan gue udah bilang gak bisa ngaji! Gaara mulai kesal, tapi wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Ba, kali." Gaara menjawab asal. Dari sekian banyak huruf Hijaiyah Gaara cuman kenal a, ba, ta, tsa. Itupun masih suka kebalik-balik mana yang ba mana yang ta.

"Waduh, bener kan. Ini jim, bukan ba. Kamu lebih perlu tahsin dibanding mentoring biasa deh. Di tahsin juga ada ilmu agamanya kok, gak cuman belajar ngaji aja." Shikamaru berkomentar.

Gaara menatap seniornya dengan intens. Berharap bisa menteleportasi sang senior ke Gurun Sahara.

Jim? Sejak kapan Jim Carrey masuk jadi huruf hijaiyah. Mana gue peduli!

"Saya bisa manggil guru ngaji ke rumah. Makanya saya pengennya masuk kelompok mentoring biasa. Kok abang ngalangin orang pengen belajar agama sih?" Gaara berkata dingin, yang bagi Shikamaru perkataannya seperti orang ingin tobat tapi dihalang-halangi. Shikamaru tiba-tiba merasa bersalah. Jelas dia sedang salah mengartikan intonasi.

"Hmmm, okelah." Shikamarau mengalah. Gaara tersenyum tipis, merayakan kemenangannya yang tidak bertahan lama. "Toh di mentoring biasa tetep ada baca Qur'annya juga walaupun sedikit. Nanti kamu saya kasih catatan khusus deh ke mentornya." Shikamaru mengakhiri keputusannya.

"What!" Gaara sampai melotot mendengarnya. Sasuke yang dari tadi memperhatikan sedang menutup mulutnya. Memblokir tawanya menatap sahabatnya yang sedang diujung tanduk.

"Kenapa? Kamu mau jadi pindah ke kelompok tahsin?" Shikamaru bertanya santai, tidak peduli dengan ekspresi muka Gaara.

Gaara terdiam sebelumnya akhirnya menggeleng sambil mengalihkan pandangannya ke pintu keluar. Tatapannya bertemu dengan Sasuke. Gaara baru menyadari sahabatnya sedang berdiri di pintu masuk kelas.

"Oke, nanti kamu akan dihubungi sama mentor kamu. Kalo gak, saya yang sms kamu. Saya duluan ya, Asslaamu'alaikum." Shikamaru pamit dan bangkit dari kursinya, meninggalkan Gaara yang terpekur meratapi nasibnya.

Sasuke mendekati Gaara dan menghempaskan diri di sampingnya. Tawanya berderai dengan lancar dan bebas sekarang. Ditepuk-tepuknya bahu Gaara sebelum memutuskan berhenti tertawa setelah Gaara memberinya tatapan –kubunuh kau!

"Weew, selamat bro. Gue ikut bahagia ngeliat lu dapet jalan buat tobat." Sasuke mengulum senyumnya.

"Brengsek! Ni matakuliah bikin gue menderita lahir batin!" Gaara berkata, tidak repot-repot menyembunyikan sarkasme pada suaranya. Diraihnya ransel yang tergeletak di lantai di hadapannya. "Ayo cabut! Gue belon sarapan. Laper!" Gaara bangkit dari kursi, Sasuke menatapnya sambil tersenyum-senyum senang sebelum bangkit mengikuti sahabatnya.


Yaaak, memang di chapter ini Gaara sama Hinata belum muncul. Nanti itu, nunggu timing yang tepat. Maka dari itu aye mohon ripiuwannya yak kawan. Aye doain rejekinya lancar, sekolahnya lancar. Hahayyy.

Terimakasih udah mau baca ya. See u d chapter ke dua.