Disclaimer: Belongs to Masashi Kishimoto
Rate: T
Warnings: AU, little bit OOC
Summary:
Jika pernikahan tidak bisa membahagiakan pelakunya, setidaknya keluarga mereka bahagia saat pernikahan itu terjadi. Mereka juga tahu posisinya di hati pasangannya dan tidak berani melanggar batas itu.
To be With You
Chapter 1
Nadeshiko Ama
Kakinya menyusuri ballroom hotel tempat diadakannya reuni bagi para alumni Oto International High School, tempatnya menimba ilmu selama 3 tahun. Disempatkannya singgah pada beberapa kelompok teman seangkatannya yang menyapa dirinya atau memberi salam pada beberapa mantan gurunya terlebih dahulu. Banyak perubahan pada sosok-sosok yang ia kenal baik dulu, baik fisik ataupun pembawaan mereka, yah tentu saja itu akan terjadi bila kau tidak bertemu mereka selama 7 tahun, sudah lama sekali memang karena setelah lulus ia melanjutkan study di kota kelahirannya di Suna. Rasa rindu menyergap hatinya, entah kenapa ia ingin kembali menikmati masa-masa remajanya dulu, kabur ke kantin pada jam kosong, lalu mendapat wejangan yang cukup panjang dari sensei karena terlambat kembali ke kelas, mengobrol sampai larut malam dengan teman sekamar di asrama yang berakhir dengan rasa kantuk luar biasa saat mengikuti pelajaran pertama pada keesokan paginya. Atau ketika diam-diam kembali ke asrama setelah lewat jam malam dengan memanjat pagar karena pergi menonton ataupun sekedar refreshing di mall. Bercengkerama dengan teman-temannya membuat ia lupa sejenak kesedihan yang coba ia sembunyikan selama hampir setahun belakangan ini. Ia pamit ke toilet setelah beberapa saat bertukar cerita dan bercanda dengan teman-temannya.
...
Dilihatnya bayangan dirinya di cermin, rambut pirang yang mencapai pertengahan punggung diikat rendah, sapuan make-up natural yang tidak mengurangi kecantikan di wajahnya, gaun hitam selutut berpotongan v-neck serta anting panjang menyempurnakan penampilannya malam ini. Dibukanya clutch hitam yang sedari tadi ia pegang untuk mengambil bedak, mencoba memperbaiki make-up nya. Dipandanginya lagi sosok wajah yang terpantul di cermin, seulas senyuman coba ia sunggingkan, tapi entah kenapa tidak sampai menimbulkan cahaya di mata dark green-nya, hanya gerakan otot mulutnya, senyum robot, ia menyebutnya. Hanya senyuman itu yang dapat ia tawarkan pada setiap orang selama beberapa bulan terakhir. Ya ia kehilangan sebagian jiwanya semenjak kejadian di hari itu, setelahnya ia merasa dirinya hanya seonggok daging yang mampu berjalan dan berbicara. Tubuhnya serasa terpisah menjadi beberapa bagian yang dapat bergerak refleks karena perintah otaknya tanpa ada hati yang mendasari tiap gerakannya.
oOo
Dilangkahkan kakinya menuju beranda di samping ballroom yang dipisahkan dengan sebuah pintu kaca. Di luar terasa begitu tenang hingar bingar musik tak begitu terdengar, ia hirup dalam-dalam udara segar malam berharap semoga ketenangannya dapat berpindah ke dalam dirinya. Diulurkan tangannya meraba tanaman ivy yang menjalar di sepanjang tiang yang berada di kedua sisi beranda, kehalusan lapisan epidermis daunnya memberi sensasi menenangkan ketika ia mengusapnya. Ia seperti berada dalam dunianya sendiri, tersedot dalam dimensi lain, larut dalam kegiatannya tanpa menghiraukan sekitarnya, jika ia sedikit lebih awas maka dapat didengarnya langkah pelan yang mendekat ke arahnya.
"Temari."
Ia sedikit terlonjak sebelum menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, keningnya sedikit berkerut ketika mengenali pemilik suara
"Itachi?"
"Sedang apa kau di sini?"
"Menikmati keheningan. Kau sendiri?" Temari menjawab lalu kembali menatap langit dan membelai daun ivy
"Mencarimu."
Gerakan tangannya membeku sesaat sebelum ia menjawab dengan tenang "Ada apa?"
"Kau baik-baik saja?"
"Ya, seperti yang kau lihat." Jawabnya sambil mencoba menyunggingkan senyum lemah
"Aku minta maaf." Pernyataan yang sukses mendapat perhatian penuh dari lawan bicaranya. Ia kembali melanjutkan ucapannya ketika dilihatnya Temari tidak memberi respon apapun meskipun ia sudah menatap wajah Itachi. "Aku tidak datang pada pemakaman Sasori."
Raut muka Temari sedikit menegang sebelum akhirnya ia menjawab dengan nada datar dan tenang "Aku mengerti, Direktur Uchiha Corporation pasti sibuk sekali."
"Sekali lagi aku ucapkan bela sungkawaku padamu."
"Terima kasih."
Sunyi kembali hadir ditengah mereka berdua, hanya desir angin yang membelai malam memecah keheningan di antara mereka.
"Kau datang sendiri?" Itachi mencoba membuka percakapan.
"Ya, bagaimana denganmu? Tidak apakah pasanganmu kau tinggal sendirian sementara kau disini menemuiku, bisa-bisa dia salah paham padaku." Sebuah senyum lemah muncul di bibirnya.
"Aku datang sendiri."
"Oh. Kenapa dia tidak kau ajak, bukankah dia sudah cukup umur untuk kau bawa ke acara seperti ini."
"Siapa maksudmu?"
"Sasori pernah bercerita padaku, alasanmu menolak gadis-gadis yang menyukaimu dulu sewaktu kita di OIHS, karena ada seorang gadis yang kau cintai, tapi kau menganggapnya masih kecil jadi kau memutuskan untuk menunggunya dewasa sebelum mengungkapkan perasaaanmu. Dia 3 tahun lebih muda darimu, berarti sekarang dia sudah 23 tahun kan?"
"Ya, benar. Tapi aku terlambat." Senyum pahit menghiasi wajah tenangnya.
"Maksudmu?"
"Sudah ada orang lain dihatinya. Dia terlihat bahagia, jadi perasaanku tidak berarti lagi sekarang."
"Sepertinya dewi asmara belum berpihak pada kita."
Keheningan kembali melingkupi dua insan yang sedang bergulat dengan pikirannya masing-masing mengenai ketidakberuntungan mereka dalam percintaan.
oOo
Matahari pagi sudah mulai naik dari peraduannya, sinarnya menerobos masuk ke kamar seorang pemuda yang masih terlelap dalam tidurnya. Wajah tampannya nampak kelelahan setelah semalaman berkendara dari Oto menuju Konoha, hanya detak jarum jam yang menunjukkan pukul 7 pagi serta nafas teratur yang mengisi kesunyian di kamar bernuansa putih itu. Seberkas sinar matahari jatuh menimpa mata onyx-nya yang sekarang sedang tertutup, menyebabkan tubuhnya mengeliat tak nyaman. Perlahan matanya membuka mencoba mengenali dimana sekarang ia berada, butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa saat ini ia tidak terbangun di kamar apartemen pribadinya melainkan di kamarnya di Uchiha Mansion. Semalam ia terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan ke pusat kota tempat apartemennya berada jadi ia memutuskan untuk pergi ke kediaman orang tuanya yang letaknya lebih dekat dari Oto bila dibandingkan apartemennya. Ia mengambil PDA-nya yang diletakkan di meja samping ranjangnya, melihat bisakah ia istirahat seharian ini, tapi hanya senyum masam yang terbit, segunung aktivitas telah menunggunya pagi ini. Ia segera bangkit dari tidurnya dan menyadari bahwa ia bahkan masih mengenakan kemejanya semalam, terlalu lelah untuk melepasnya. Dilangkahkan kakinya menuju kamar mandi mencoba menghilangkan penat dari tubuhnya.
Setelah mengenakan kemeja cadangan yang ia tinggalkan di kamarnya, ia menuju ke ruang makan dimana ayah, ibu serta adik semata wayangya pasti sedang menunggu untuk sarapan pagi bersama, hal yang sudah jarang ia lakukan sejak kepindahannya ke apartemen pribadinya. Saat menuruni tangga menuju ruang makan samar-samar didengarnya perbincangan keluarganya.
"Pernikahan kalian harus ditunda dulu Sasuke."
"Tapi tou-san, kesehatan ibu Sakura terus menurun, beliau ingin melihat Sakura secepatnya menikah."
"Tou-san mu benar Sasuke, kakakmu saja belum menikah."
"Tapi sampai kapan kaa-san, aku tak pernah mendengar nii-san membicarakan kekasihnya apalagi menikah."
"Tetap tidak boleh, kau harus menunggu kakakmu dulu." Uchiha Fugaku menjawab dengan penuh ketegasan
"Tapi..."
"Sasuke biar nanti kaa-san bicara pada Itachi."
Langkah kakinya seolah membeku di anak tangga terakhir ketika mendengar topik pembicaraan mereka. Ia merasa sesak, ada rasa bersalah sekaligus penyesalan yang membuat hatinya mencelos, karena dirinya kebahagiaan adiknya dipertaruhkan. Ia melangkah perlahan ke anak tangga di atasnya agar keluarganya tidak menyadari bahwa ia telah mencuri dengar pembicaraan mereka, mencoba mengeluarkan suara batuk agar keluarganya menyadari keberadaan dirinya sudah dekat dengan ruang makan.
Usahanya berhasil saat ia melangkah masuk tidak ada pembicaraan sensitif itu, ia disambut senyum hangat ibunya, wajah tenang ayahnya. Ketika ia menolehkan kepalanya ke kursi di samping ibunya, adiknya tersenyum lemah.
"Ohayo Tou-san, Kaa-san, Sasuke." Sapanya sambil menarik kursi disebelah ayahnya
"Ohayo Itachi-kun, bagaimana tidurmu? Nyenyak?"
"Lumayan kaa-san."
"Kau harus istirahat cukup Itachi, lihatlah wajahmu pucat. Jangan sampai kau sakit." Itachi hanya mengangguk dan menerima sarapan yang diulurkan ibunya.
"Harusnya kau tidak usah datang ke reuni kemarin, hanya membuatmu lelah saja." Meskipun terdengar datar tapi Itachi menangkap nada khawatir dari suara ayahnya.
"Aku harus datang tou-san."
"Memangnya ingin bertemu siapa nii-san disana?"
"Seorang teman, aku sudah lama lost contact dengannya, hanya dengan cara ini aku bisa bertemu lagi dengannya."
"Teman wanita?"
Itachi hanya tersenyum tipis tanpa menanggapi pertanyaan adiknya yang dirasa mencoba memancingnya ke dalam topik yang sebelumnya ia curi dengar.
"Sudah sudah makan dulu sarapannya, nanti saja mengobrolnya."
oOo
Dua minggu sudah berlalu sejak Itachi mencuri dengar pembicaraan keluarganya, meskipun mereka tidak mengungkit di depannya, tetap saja menjadi beban pikirannya. Sungguh ia tidak keberatan jika Sasuke menikah dengan Sakura dalam waktu dekat, akan tetapi masalahnya Uchiha Fugaku sang kepala keluarga sekaligus pemimpin klan Uchiha tidak akan menyetujui itu. 'Kami-sama tolonglah beri jalan keluar atas permasalahan ini.' Batinnya sedikit putus asa. Tetapi bukan jalan keluar yang ia dengar melainkan ponselnya yang bergetar di atas meja, menandakan ada seseorang yang menunggu di seberang sana. Ia melirik sekilas layar ponselnya, keningnya sedikit berkerut ketika mengetahui siapa yang menghubunginya
Temari calling...
"Moshi-moshi, ada apa Temari?"
"Kau sudah menerima undangan pernikahan Pein dan Konan?"
"Hn."
"Kau tahu letak puri tempat mereka melaksanakan pernikahan, aku dengar letaknya di bukit selatan Konoha, bisakah kita pergi bersama? Aku tak terlalu percaya pada sopir taksi."
"Oke, tak masalah. Kapan kau datang ke Konoha?"
"Sehari sebelum pernikahan."
"Berarti lusa. Baiklah aku akan menjemputmu di hotel tempat kau menginap."
"Arigatou Itachi."
oOo
"Bagaimana perjalananmu?"
"Lumayan, cukup menyenangkan untuk menghilangkan kekesalanku pada tou-san."
"Kenapa?" Itachi mengerutkan alisnya, meski pandangannya fokus pada jalanan di depannya.
"Begitu tahu aku pergi ke Konoha untuk mengahdiri pernikahan, tou-san terus menanyakan kapan aku menyusul?"
"Jadi kapan kau menyusul?"
"Berhenti membeo pertanyaan menyebalkan itu."
30 menit kemudian mobil Itachi memasuki gerbang puri, sudah banyak mobil yang memasuki area parkir yang terletak di samping puri ketika ia turun dari mobil. Ia menunggu sejenak Itachi yang sedang memutari bagian depan mobil untuk bersama-sama memasuki puri.
"Itachi, kau yakin ini pernikahan Pein?"
"Maksudmu?" Itachi kini berada si samping Temari setelah terdengar bunyi 'biip' sebanyak 2 kali ketika ia selesai mengaktifkan alarm mobilnya.
"Lihatlah ini suasana puri ini seperti pernikahan putri dalam dongeng saja. Aku merasa tidak cocok dengan kepribadian Pein yang sedikit urakan."
"Ini impian Konan sejak kecil, Pein pasti menurutinya, kau tahu itu."
"Well aku hanya tidak bisa membayangkan Pein si pangeran yang penuh piercing diwajahnya. Menurutmu dia melepas piercingnya."
"Mungkin mereka menjadikannya souvenir pernikahan." Meledaklah tawa Temari dan Itachi, Temari bingung campur geli harus diapakan piercing Pein kalau ia benar-beanr menerima itu.
"Nii-san?" sebuah panggilan yang menginterupsi tawa mereka, perlahan mereka menolehkan kepala ke arah sumber suara.
"Sasuke, Sakura." Sapa Itachi ketika kedua orang itu sampai di hadapan mereka
"Halo." Sapa gadis cantik berambut pink di sebelah seorang pria yang secara fisik sekilas mirip dengan pria di samping Temari, hanya model rambut serta tinggi badan yang membedakan mereka
'Mungkin ini adik Itachi' batin Temari
"Kenalkan ini Temari, Temari ini adikku Sasuke, serta tunangannya Sakura." Mereka sedikit berbasa basi lalu memutuskan untuk masuk ke dalam puri bersama.
"Temariiii." ia tidak sempat bereaksi apapun kecuali tertegun ketika dirasakannya ada seseorang yang memeluknya.
"To..Tobi."
"Wah Temari masih mengingatku, Deidara-senpai."
"Hei Tobi, lepaskan pelukanmu."
"Tapi senpai, Tobi kangen sama Temari."
"Temari bisa pingsan kalau kau peluk seerat itu." Seorang pemuda berambut kuning dikuncir satu mencoba melepaskan pelukan Tobi. "Halo Temari."
"Halo Dei, tak kusangka sambutanku di Konoha begitu meriah." Ujarnya sambil melirik ketiga orang yang terlihat menahan geli.
"Kau ingin menemui Konan? Ia masih ada di ruang rias."
"Oke, aku juga sudah lama tak bertemu dengannya."
oOo
Temari memandang buket bunga di tangannya dengan ekspresi yang sukar dijelaskan, tampak bingung namun terbersit seraut getir di wajahnya, geli tapi sedih di saat bersamaan.
Ia tak pernah bermaksud untuk memilikinya, bahkan sebenarnya ia agak ogah-ogahan sewaktu diseret Konan ke tengah gerombolan gadis-gadis yang sedang heboh untuk acara pelemparan buket pengantin. Ia tidak ikut melompat sewaktu buket bunga –mawar pink dan anggrek dendrobium putih–itu melayang di udara, tetapi entah bagaimana caranya tiba-tiba buket itu sudah berada ditangannya, mungkin terdesak oleh tangan-tangan para gadis atau karena angin, atau memang sudah keinginan bunga itu untuk mendarat di tangannya, entahlah, yang jelas ia seakan tuli tiba-tiba ketika mendengar teriakan heboh para gadis ketika melihat buket di tanganku. Temari hanya bisa tertegun, ketika ia melihat ke arah Konan, ia hanya mengedipkan sebelah matanya padanya, juga Pein yang mengacungkan jempolnya ke arahnya.
"Wah Temari-san kau berhasil mendapatkannya, padahal tadi aku sudah berharap mendapatkannya." Ujar Sakura ketika menghampirinya, tampak sedikit kecewa.
"Ini, buatmu saja." Temari mengulurkan buket pada gadis cantik dihadapannya.
Sakura menggeleng, "Tidak, kau kan yang mendapatkannya, jadi sebentar lagi pasti giliranmu menikah. Katanya kalau kau tidak menikah dalam 6 bulan maka kau harus menunggu samapi 6 tahun lagi. Ha~h sepertinya aku memang harus menunggu lebih lama lagi untuk menikah dengan Sasuke-kun."
Ocehan Sakura tidak lagi didengarnya, 6 bulan? dengan siapa ia bisa menikah dalam waktu sesingkat itu, ia tidak punya tunangan, kekasih, atau bahkan seseorang yang sedang diincar. Setelah Sasori meninggal tahun lalu ia belum berhubungan dengan siapa pun dan ia memang tidak berniat untuk itu.
...
Tanpa disadari oleh kedua gadis itu, ada seseorang yang terus memperhatikan pembicaraan mereka, air mukanya mendadak berubah ketika mengetahui topik pembicaraan mereka. Lagi-lagi sebuah ironi terjadi, Temari yang belum berencana menikah dalam waktu dekat tiba-tiba mendapat buket pengantin. Begitu juga dirinya, menikah belum tercantum dalam agendanya saat ini, tetapi rencana pernikahan adiknya terancam gagal karena keputusan ayahnya.
oOo
"Jadi kau akan segera menyusul mereka?" Tiba-tiba Itachi sudah ada di samping Temari ketika ia melihat kekonyolan Tobi dan Deidara saat photo session bersama pengantin
"Eh? Ini maksudmu?" Temari mengacungkan buket di tangannya, "Itu hanya mitos."
"Bagaimana kalau mitos itu benar adanya."
"Maksudmu?"
"Menikahlah denganku Temari."
"A...apa?"
"Menikahlah denganku, itu yang kita butuhkan saat ini."
"Kau bercanda."
"No, I'm seriously."
"Otakmu sedang mengalami disfungsi, lebih baik kita sudahi pembicaraan ini." Temari merasakan pergelangan tangannya ditahan Itachi ketika ia beranjak meninggalkannya
"Kita bicarakan lagi nanti, Kakuzu mengundang kita ke barnya nanti malam."
oOo
Bar Kakuzu mulai dipadati pengunjung, jujur saja ia tak pernah menyangka Kakuzu akan membuka bar, ketika SMA ia sering beranggapan bahwa Kakuzu akan menjadi renterneir atau sejenisnya, mengingat betapa perhitungannya ia dengan uang.
Temari mengedarkan pandangannya ke sekitar bar, teman-temannya minus Pein dan Konan yang saat ini mungkin sudah berada di Maladewa untuk honeymoon, sedang asik dengan kegiatannya masing-masing, Hidan sedang duduk di sofa bersama 2 orang gadis yang sedang terkikik geli mendengar rayuannya, Zetsu juga ada di sofa itu sibuk dengan minumannya, Tobi serta Deidara di dance floor, Kakuzu sudah kembali ke ruang kerjanya, Itachi ke toilet, Kisame entah kemana. Ia pun sudah beranjak ke bar meminta gelas ketiganya pada bartender.
Lamunannya berhenti ketika bartender menyerahkan segelas margaritha, sebenarnya ia bukan seorang alkoholic, ia hanya minum pada saat-saat tertentu, seperti saat ini entah kenapa ia begitu bersemangat menyuplai alkohol ke pembuluh darahnya, mungkin ia merindukan Sasori, bagaimana tidak berkumpul dengan mereka seperti kembali ke masa lalu yang menyesakkan dadanya.
Taburan garam di atas gelas margarithanya menarik perhatiannya lebih dari apapun saat ini, mereka terlihat seperti untaian kalung kristal yang cantik, ia merasa agak sayang merusak keindahannya.
"Itu gelas keberapa?" Itachi bertanya sambil duduk di sebelah Temari.
"Entah, dua atau tiga mungkin." Temari sudah cukup mabuk rupanya.
"Jangan terlalu banyak minum." Ia melanjutkan kalimatnya ketika dilihatnya Temari hanya mengangkat bahu. " Aku rasa kita bisa membahas percakapan kita tadi siang."
"Terserah kau saja." Ucap Temari sambil meneguk cocktailnya
"Scotch, dobel." Order Itachi pada bartender
"Kita menikah."
"Kenapa?"
"Kau sudah didesak ayahmu, aku juga meskipun tidak secara langsung." Itachi langsung minum ketika pesanannya datang, lalu dilanjutkan lagi alasannya. " Sasuke ingin segera menikah mengingat kesehatan ibu Sakura yang terus menurun, sedangkan tou-san tidak menyetujuinya."
"Karena kau belum menikah?" diliriknya sekilas Itachi yang menganggukan kepalanya lalu menenggak habis minumannya, hal yang sama juga dilakukan Temari.
Hening melanda mereka, masing-masing sibuk dengan pikirannya.
"Oke, kita menikah." Gerakan Itachi memutar-mutar gelas di tangannya terhenti seketika, dilihatnya gadis pirang di sebelahnya, mencoba melihat ketidakseriusan di mata dark greennya, tapi nihil, gadis di hadapannya serius.
"Ya, kita menikah. Kenapa kau jadi bengong Itachi, bukannya kau yang mengusulkan ini semua?"
"Kau pasti mabuk."
"Tentu saja, mana mungkin aku mau kalau tidak sedang mabuk."
oOo
Temari begitu sibuk dengan pekerjaannya sampai-sampai ia sudah melupakan percakapannya dengan Itachi di bar Kakuzu tempo hari, lagipula Itachi juga tidak pernah menghubunginya lagi selama dua bulan ini jadi ia beranggapan bahwa obrolan mereka hanya angin lalu, desperate talk. Lagipula tugas di kantor benar-benar menyita waktunya dan ia terlalu lelah untuk berinisiatif menghubungi Itachi, akhir-akhir ini badannya tak bisa diajak kompromi. Entah penyakit apa yang menyerang dirinya, tubuhnya cepat sekali lelah, belum lagi sakit kepala yang sering menyerangnya. Tapi saat ini bukan saatnya memikirkan itu, ia tak punya waktu untuk sakit. Masih ada beberapa calon nasabah yang harus segera ia masukkan ke portofolionya untuk mencapai target tahun ini dan pagi ini ia harus mempresentasikan analisis salah catu calon debitur pada group head corporate banking Suna I. Presentasi ini sebenarnya hanya formalitas menurut Temari karena bila menurut analisa AO (Account Officer) keadaan calon debitur baik maka hanya tinggal menunggu waktu membubuhkan tanda tangan dan cairlah pinjaman itu.
"Mulailah dari analisa cash flow Baki Textile Industry Temari."
"Baik, cash flow Baki Textile lancar dapat kita lihat di layar pendapatan operasional, inveatasi serta pendanaannya." Temari mulai menjelaskan satu persatu analisanya
"Bagaimana dengan rasio keuangannya?"
"Current ratio 2:1 sedangkan ROE..." Temari tiba-tiba terdiam tak bisa melanjutkan kata-katanya karena ada sesuatu yang bergolak diperutnya, seakan ingin menerobos keluar tenggorokannya
"Temari kau tidak apa-apa?"
Ia hanya bisa mengangguk lemah ia takut jika melanjutkan perkataannnya, maka sarapannya bisa keluar semua. Setelah diam beberapa saat dan dirasa perutnya sudah mulai tenang maka ia berani bicara.
"Ya, maafkan saya. Akan saya lanjutkan, ROE Baki Textile 75% ini berarti.. umph." Temari segera menutup mulutnya dan berlari meninggalkan ruangan.
Semua sarapan yang ia makan tadi seolah berlomba keluar dari tenggorokannya ketika ia sudah sampai di toilet. Tanggannya mencengkeram erat pinggiran wastafel dengan menahan sakit ia memuntahkan semua sarapannya di wastafel.
Nafasnya sedikit terengah-engah ketika ia mulai membasuh mulutnya, diperhatikan bayangan wajahnya di cermin, matanya sedikit berair belum lagi mulutnya terasa pahit karena makanan yang sudah tercampur dengan cairan empedu yang sudah meninggalkan perutnya. Perlahan punggung tangannya ia gunakan untuk mengusap mulutnya.
Temari menutup matanya, mencoba menetralisir ketakutan yang mulai menyeruak di dadanya.
oOo
"Itu tidak mungkin, Matsuri. Kau yakin pada diagnosamu?"
"Tentu, Temari-nee. Kau memang tengah hamil 7 minggu."
Temari memejamkan matanya untuk menenangkan nafasnya yang memburu.
"Kau pasti salah Matsuri. Bulan kemarin aku datang bulan, sedangkan bulan ini memang aku sedikit terlambat, tapi kau tahu sendiri, siklusku memang tidak teratur apalagi kalau aku sedang stress, yang memang terjadi belakangan ini."
"Apa maksud Temari-nee bercak pink yang ada timbul di celana dalam? Tapi waktunya lebih pendek dari waktu normal haid? Itu memang salah satu tanda kehamilan, itu terjadi karena implantasi atau saat embrio menempel pada dinding rahim. Memang banyak wanita yang salah menyangkanya sebagai haid.
"Kau pasti salah, Matsuri. Ini tidak mungkin."
"Kalau tidak percaya, Temari-nee bisa memeriksakannya ke dokter kandungan. Mungkin Temari-nee meragukan diagnosaku karena aku dokter anak, tapi waktu kuliah dulu kami mempelajari semua."
Terbukti semua ketakutan Temari dan sejujurnya ia tidak perlu mengecek lagi ke dokter kandungan, ia tahu bahwa Matsuri gadis yang pintar, maka diagnosanya kemungkinan besar adalah benar. Sekarang yang ia bingungkan adalah bagaimana selanjutnya.
Ia memang sengaja datang pada Matsuri dan bukannya langsung ke dokter kandungan, karena takut dengan hasil diagnosanya akan menjadi bahan gunjingan.
"Siapa?" pertanyaan Matsuri melemparkan ia ke dalam realita dari lamunannya.
"Maksudmu ayahnya?" Temari dengan lugas membalikkan pertanyaan Matsuri yang terdengar ragu-ragu di telinganya. Ia melihat gadis di depannya mengangguk pelan.
"Itachi. Uchiha Itachi."
Ia teringat kembali kejadian di pagi hari setelah mereka pulang dari bar Kakuzu. Entah bagaimana awalnya yang jelas pagi itu ia tidak terbangun di kamar hotelnya, dengan keadaan polos tanpa ada sehelai pakaian menempel di tubuhnya kecuali selembar selimut yang menutup sampai dadanya. Bukan hanya itu, ia merasakan ada lengan kekar yang memeluknya dari belakang.
Masih dengan kepala yang berat, ia mencoba memutar tubuhnya ke belakang dan menemukan bahwa ia tidur di pelukan Itachi yang keadaannya tidak jauh beda dengannya. Selimut yang ia bagi berdua dengan Itachi hanya menutup sampai sebatas pinggangnya, matanya masih menutup, nafasnya terdengar teratur khas orang yang sedang tidur terlelap. Beberapa helai rambut panjangnya jatuh menutupi wajahnya, menyangga tubuh dengan sikunya perlahan Temari menyingkirkan helaian rambut di wajah Itachi.
Siapa yang menyangka Direktur Uchiha Corp yang terlihat dingin ketika terjaga, mempunyai wajah malaikat ketika ia tidur. Wajahnya terlihat damai dan tentram, refleks Temari mengusap kerutan halus yang ada di bawah mata pria yang tertidur di sampingnya, memang sedikit merusak kesempurnaan di wajah jenius Uchiha yang satu ini, tapi entah mengapa ia menyukainya karena di matanya Itachi tampak lebih manusiawi dengan kerutan itu. Temari yakin Itachi pasti sangat lelah karena tak sedikit pun ia terganggu dengan apa yang dilakukakannya saat ini. Apa kelelahan itu yang menimbulkan kerutan di wajah tampannya, ia tahu tidak mudah menjadi direktur perusahaan sekelas Uchiha Corp dalam usia semuda ini, atau memang itu sudah warisan genetika dari ayahnya.
Temari mengalihkan pandangannya dari wajah Itachi, mengedarkan matanya ke sekeliling kamar. Pandangannya tertumbuk pada jam dinding yang telah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia tersentak kaget menyadari bahwa ia harus meninggalkan Konoha dengan penerbangan pukul 8. Secepatnya ia turun dari ranjang, memunguti pakaiannya yang sudah bertebaran di lantai dan sofa."
...
"Kau harus segara membaritahunya, Temari-nee."
"Entahlah. Kami sudah tidak saling menghubungi 2 bulan ini. Apalagi pagi itu aku meninggalkannya tanpa pamitan."
"Kabari saja Uchiha-san terlebih dahulu, lihat bagaimana reaksinya? Setelah itu Temari-nee bisa menentukan sikap."
"Ya, kau benar." jawabnya sambil setengah melamun.
oOo
Temari menarik nafas panjang sebelum menekan tombol call. Kegugupan melanda dirinya, ia mengigit bibir bawahnya sembari mendengar nada tunggu, binggung bagaimana harus memberitahukan kabar-yang entah bahagia atau buruk-pada pria di seberang sana.
"Moshi-moshi Temari, ada apa?"
"Itachi, aku hamil." ujarnya dalam satu helaan nafas.
Tidak ada tanggapan yang didengar Temari dari seberang sana.
Ada setitik sesal di hati Temari karena telah menghubungi Itachi. Entah apa yang dipikirkan pria itu sekarang, tapi yang jelas Temari tidak akan memohon-mohon agar pria itu mau bertanggung jawab. Ia hanya sekedar melaksanakan kewajibannya memberitahu Itachi bahwa pria itu akan menjadi ayah.
"Aku akan ke Suna sekarang." Akhirnya Itachi bersuara.
Temari binggung harus berkomentar apa, jadi ia hanya mengiyakan saja.
...
Temari duduk sendirian di taman yang sudah mulai sepi, banyak anak yang sudah dijemput ibunya untuk pulang karena matahari sudah hampir terbenam.
Di depannya masih ada seorang bocah laki-laki berambut pirang sedang bermain pasir, usianya mungkin sekitar 5 tahun. Tak lama seorang wanita muda yang juga berambut pirang memanggilnya untuk segera pulang. Si bocah langsung berlari menghampiri ibunya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya, mereka bergandengan tangan lalu berjalan keluar dari taman.
Temari reflek membelai perutnya yang masih rata, ada kehidupan lain yang tiap menit tumbuh di dalam dirinya. Ia berpikir apakah nanti anaknya memiliki rambut pirang seperti dirinya atau hitam seperti ayahnya. Temari terus tenggelam dalam pikirannya, sampai-sampai tak sadar ada sosok lain yang sedang mengamatinya.
"Temari." Panggil seorang pria yang telah mengambil duduk di sebelahnya.
"Itachi? Kapan kau datang?" Nada kaget terdengar dari suaranya.
"Baru saja."
"Oh." Mereka berdua kembali terdiam.
"Kapan kau tahu?" Itachi akhirnya bertanya
"Tadi pagi."
"Kalau begitu sekarang usianya..."
"7 minggu."
"Kalau begitu kita segera menikah, aku akan segera bertemu ayahmu."
"Aku tidak menyangka kita akan menikah dengan cara seperti ini."
"Tidak ada cara lain Temari, lagipula..."
"Aku bahkan tidak menyukai anak kecil." Suara Temari mulai bergetar.
"Maaf."
"Apa kau sudah merencanakannya?"
"Apa maksudmu Temari?" Itachi sontak kaget mendengar pertanyaan Temari.
"Malam itu aku memang mabuk berat dan tidak sadar kalau kita bercinta, tapi aku yakin kau tidak terlalu mabuk. Buktinya kau masih bisa menyetir ke apartemenmu."
Itachi memandang mata Temari dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ia menghela nafas panjang sebelum mengalihkan matanya ke depan.
"Aku sadar probabilitasnya memang kecil bisa menimbulkan kehamilan karena kita hanya sekali melakukannya, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ya aku memang merayumu agar mau bercinta denganku."
"What? How dare you did it to me?"
"Aku terpaksa, kau menyetujui pernikahan kita ketika kau mabuk. Aku takut kau akan mengingkarinya."
"Tidak perlu dengan cara itu Itachi, kita menikah lalu bisa bercerai beberapa tahun kemudian dengan alasan ketidakcocokan diantara kita. Sekarang bagaimana akan ada anak diantara kita, kau pikir akan mudah kalau kita bercerai sedangkan ada anak yang membutuhkan ayah ibunya. Kau mungkin tidak menyadarinya karena keluargamu utuh, tapi aku merasakannya dengan meninggalnya kaa-san ketika kami kecil, sangat sulit rasanya."
"It takes two tango, butuh dua orang untuk bermain, dan kau juga menikmatinya."
"Apa?"
"Entah kau sadar atau tidak tapi malam itu kau beranggapan bercinta dengan Sasori."
Bagai petir yang menyambar di siang hari, perkataan Itachi membuat Temari kaget setengah mati, "Ti..tidak mungkin. Kau bohong Itachi."
"Aku harus menutup telinga dan mataku agar bisa melakukannya, menurutmu bagaimana perasaanku ketika wanita yang kucumbu terus menyuarakan nama pria lain yang bahkan sudah tidak ada di dunia ini?" Itachi sedikit menaikkan suaranya agar bisa menyalurkan emosi yang bergemuruh di dadanya.
Temari hanya bisa menutup mata merutuki kebodohannya.
Sepi kembali hadir di tengah mereka, keduanya bahkan tak mampu untuk melihat lawan bicaranya. Temari menundukkan kepalanya, seolah ujung sepatunya lebih menarik dari apapun yang ada di hadapannya, sedangkan Itachi memandang ke arah kanannya, melihat apapun asal bukan Temari yang berada di sisi kirinya.
"Kita lupakan saja yang lalu. Kita berdua memang melakukan kesalahan, tapi anak itu tidak berdosa. Aku akan berusaha menjadi ayah dan suami yang baik."
"Ya, kau benar." ujarnya setelah menghela nafas panjang.
To be Continued
Ya ya saya tahu, ini ide cerita ini pasaran, crack pairing, tapi entah kenapa pengen banget melihat kedua sosok yang dewasa itu terikat dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan, saat hati mereka terisi orang lain. Banyak konflik yang muncul ke permukaan baik konfrontasi secara langsung atau hanya di dalam hati mereka saja. Mungkin fic ini hanya twoshoot atau threeshoot, masih ada tanggungan just another cinderella story sama hunting for love, soalnya. Ini sekedar memuaskan ego saya untuk menciptakan fic Itatema.
O ya kenapa saya gambarkan Sasori sebagai kekasih Temari disini, karena saya ingin menciptakan setting dimana Temari dan Itachi sudah saling mengenal sejak dulu jadi mereka sama-sama tahu porsi keberadaan mereka di hati pasangannya dan tidak berani melanggar batas itu. Well cukup sampai disini dulu penjelasannya, apa saya terlalu banyak omong? Ya sudahlah, so? Mind to review readers? Please...