Indigo

-Knowing The Unknown-

Chapter : 3

.

.

Summary : Penjahat, pahlawan dan sang putri. Ketiga pemain utama kita sudah berada di satu panggung. Kau tahu? Drama ini baru saja akan dimulai.

.

Disclaimer : I don't own anything

Warnings : Typo (s), AU, so may OOC, don't like? Just don't read.

For aya who have been waiting this chapter for years(?) :)


"Maaf Sensei, tapi ini penting!" Kapten Nanao Ise membenahi letak kacamatanya, hampir putus asa membujuk orang tua di hadapannya. Sebagai polisi yang sudah berpengalaman, mengintimidasi lawan bicara bukanlah hal sulit. Namun mantan guru semasa SMA-nya ini jelas bukan orang yang dapat ditekan dengan mudah. "Sensei," Nanao menghela nafas sebelum mengulangi kata-katanya untuk kesekian kali, "kami harus berbicara dengan mereka mengenai surat yang tidak ditemukan itu. Kami mengerti mereka masih di bawah umur, tapi bila kami tidak menggali informasi langsung maka kasus ini akan menemui jalan buntu. Jadi dengan atau tanpa ijin sensei, saya akan menemui kedua murid itu."

Orang tua yang berdiri membelakangi Sang Kapten pun menoleh. Memandang sangsi pada polisi yang duduk di depan meja kepala sekolah. "Mereka masih kecil, kau tahu? Bagaimana jika nanti mereka mendapat tekanan dalam kesaksian mereka?"

"Mereka akan lebih tertekan jika kasus ini ditutup tanpa ada kejelasan siapa pelaku di balik ini. Dan saya tahu mereka adalah anak-anak yang kuat. Anda tahu apa yang saya maksud." Nanao tersenyum simpul. Tidak perlu menjelaskan seberapa kuat Ichigo Kurosaki dalam urusan menghajar orang dan seberapa kuat perlindungan keluarga Kuchiki terhadap putrinya.

Yamamoto menarik nafas panjang, ia tahu polisi punya wewenang untuk ini, tidak peduli seberapa keras usahanya melindungi psikologis siswanya. Perlahan ia beranjak kembali ke mejanya, mengangkat pesawat telepon dan menghubungi ruang guru. "Shunsui. Panggil Kurosaki dan Kuchiki ke ruanganku."


Rukia melangkah cepat menuju gerbang sekolah, wajahnya menunduk menghindari pandangan siswa lain. Ia takut jika pandangannya bersibobrok dengan dengan orang lain maka mereka akan punya kesempatan untuk menunjukkan wajah simpati atau menanyainya dengan intensitas keingintahuan yang tinggi. Rukia tidak butuh itu saat ini. Gadis bertubuh mungil itu lelah dengan semua yang dialaminya, semua yang tidak bisa dibaginya dengan orang lain. Dianggap tidak waras tentu bukan pilihan yang bagus.

Di tengah kecamuk pikirannya, Rukia tidak menyadari kehadiran seseorang yang bersandar di gerbang dan memperhatikannya sejak tadi. Ketika ia berjalan melintasi orang itu, sebuah panggilan menghentikan langkahnya. Bukan karena orang itu memanggil nama depannya, tapi karena suara yang sangat dikenalnya, dan intonasi yang menyiratkan urgensi. "Ichigo." Ujarnya seraya menoleh.

Ichigo menghampirinya dalam dua langkah, "Kepala sekolah mencari kita." Ucapnya seolah menjawab keheranan Rukia atas sapaan pagi yang diberikan padanya. "Ayo." Ia berjalan mendahului gadis yang masih memandangnya heran.

"Ada apa?" Tanya Rukia, meski ia sudah bisa menebak jawaban yang akan diberikan pemuda di depannya. Seorang siswa tewas dengan penuh kejanggalan, dan mereka berdua menjadi saksi kunci. Tentu saja cepat atau lambat polisi akan meminta keterangan dari keduanya.

"Ada pihak kepolisian di ruangannya yang ingin bicara dengan kita." Nah, benar bukan?

Namun ada sesuatu yang ditangkap Rukia tersirat di wajah Ichigo. Sesuatu yang berbeda dari rasa takut, cemas, atau gelisah -seperti yang seharusnya dirasakan seseorang menuju proses interogasi. Sesuatu seperti kebingungan, ketidakmampuan menemukan jawaban atas satu pertanyaan penting. Rukia pun memutuskan untuk menyuarakan keheranannya, "ada lagi, Ichigo?"

Siswa yang tidak mau repot-repot mengancingkan jasnya itu pun mendadak berhenti. Dengan cepat ia menoleh dan memandang tajam pada sepasang violet. "Apa maksudmu?"

Rukia yang terkejut dengan reaksi berlebihan Ichigo atas pertanyaan sederhananya hanya bisa mengerjap. Kedua alisnya terangkat heran. "Tidak ada. Hanya bertanya. Tidak perlu tegang begitu kan?" Katanya sambil menaikkan bahu.

Sesaat Ichigo tampak ragu. Ia mengeluarkan tangan kanan yang sejak tadi tersembunyi di dalam saku jasnya, mengepal dan melepas dengan gelisah. Rukia yang semakin heran dengan tingkahnya memutuskan untuk meninggalkannya, tapi ketika akan melangkah sesuatu menahan gerakannya. Ichigo meraih tangannya dan menggenggam dengan erat.

"Eh?" Hanya itu yang terlontar dari bibir tipisnya saat Rukia mengalihkan pandangan dari tangan mereka yang bertaut ke kedua amber Ichigo. "Apa yang kau lakukan bodoh?"

Sang gadis bangsawan berusaha menarik tangannya, tapi ditahan oleh Ichigo yang menatapnya lekat. "Apa yang kau pikirkan?" Pertanyaan yang meluncur dari mulut pemuda itu sangat tiba-tiba dan di luar konteks, membuat dahi Rukia semakin berkerut.

"Apa maksudmu, Ichigo?"

"Kenapa aku tak bisa..." Kalimat pemuda urakan itu terhenti oleh kebimbangan.

"Tidak bisa apa?" Seru lawan bicaranya tidak sabaran. Sikap Ichigo yang diliputi keraguan membuatnya penasaran. Sebenarnya ada apa dengan anak ini?

Intimidasi dan kesungguhan yang menguar dari amethyst di hadapannya memaksa Ichigo menelan ludah. Sebenarnya ia ingin memastikan sesuatu pada gadis ini. Sesuatu yang sangat membuatnya penasaran sejak menggenggam tangan Rukia yang pingsan di ruang kesehatan. Ia harus memastikan sekarang, atau tidak selamanya. Harus. "Kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?"


Empat pasang mata mengawasi adegan berpegangan tangan bak telenovela yang sedang dilakukan dua murid paling eksentrik dari lantai dua. Keempatnya mengangkat alis.

"Mereka tampak sangat akrab, sensei. Apakah mereka punya hubungan khusus?" Nanao mengeluarkan buku catatan kecil dari saku jasnya dan mulai menulis.

Yamamoto memandang Ukitake sang wali kelas dengan pandangan jelaskan-apa-yang-terjadi, yang diresponnya dengan mimik kebapakan. "Aku tidak pernah melihat mereka berdua terlibat pertemanan yang akrab dengan teman-temannya yang lain. Apalagi menjalin hubungan satu sama lain. Mungkinkah kasus ini mulai membangun ikatan diantara mereka?"

"Wah, wah... Mengutip buku yang pernah kubaca, 'kadang diperlukan tragedi untuk mengubah cara orang berpikir dan merasa'. Tapi aku tidak pernah menyangka tragedinya akan sedemikian tragis dan mengerikan." Kyoraku Shunsui menimpali dengan suram. Menciptakan lagi aura gelap di ruangan kepala sekolah.

"Berjanjilah Nanao," suara Yamamoto memecah keheningan yang menyesakkan. "Berjanjilah kau akan mengungkap siapa pun yang ada di balik ini semua."

"Kami akan melakukan yang terbaik, Sensei."


"Kenapa aku tidak bisa membaca pikiranmu?"

Rukia ternganga mendengar pertanyaan Ichigo yang menurutnya semakin tidak nyambung. Selama tiga detik ia terpaku, berharap si jabrik akan berseru 'April Mop!'. Namun kerutan di dahi Ichigo dan alisnya yang hampir menyatu membuat kemungkinan itu menghilang, wajahnya tidak seperti sedang mengucapkan lelucon satu April.

Sementara Ichigo yang melihat gadis di hadapannya mematung, jadi malu sendiri. Mengapa ia harus mengucapkan pertanyaan itu dan membuatnya dianggap sakit jiwa, lagi? Merasa kesal, ia melepas genggamannya pada Rukia dengan kasar. Kemudian mengacak rambutnya. "Aargh..! Lupakan!" Serunya dengan nada tinggi.

"Tidak!" Rukia melipat kedua tangannya di dada. "Jelaskan apa maksudmu tadi." Melihat matanya yang jujur, mau tidak mau Rukia berkeyakinan bahwa apa yang Ichigo sampaikan adalah hal yang serius.

Menghela nafas panjang, kedua ambernya menatap langsung pada lautan violet yang meneduhkan. Tidak ada rasa sangsi disana. Tak ada sorot skeptis atau pun cemooh seperti yang biasa didapatnya bila menyebut topik seputar 'membaca pikiran' lagi. Maka, diyakinkannya dirinya bahwa membahas ini dengan Rukia tidak akan semenyakitkan seperti apa yang telah dilaluinya ketika mencoba jujur pada orang lain. "Aku bisa membaca pikiran orang lain." Ujarnya cepat dalam satu tarikan nafas.

Gadis mungil itu tidak tahu harus memberi tanggapan apa. Apa bocah oranye ini serius? "Lalu kau tidak bisa membaca pikiranku?" Akhirnya ia memutuskan untuk bertanya, alih-alih hanya bengong dan membuat hati pemuda di hadapannya berubah pesimis.

Ichigo mengangguk, kemudian lagi-lagi meraih tangan Rukia dan menjabatnya. "Aku bisa membaca pikiran lewat sidik jari." Tambahnya cepat sebelum Rukia berprasangka buruk dengan 'kegemarannya' menggenggam tangan mungil Sang Kuchiki. "Aku bisa melakukannya dengan memegang tangan seseorang atau dengan menyentuh benda yang pernah kontak langsung dengan tangan seseorang dan masih memiliki sidik jarinya." Ichigo melepaskan tangan Rukia dan tiba-tiba menjambret kotak kado yang sedang dibawa seorang murid bercepol yang kebetulan lewat. "Kau mau memberikan ini pada Hitsugaya Toushiro kan?" Tanyanya sambil meletakkan kotak itu ke tangan si pemilik yang masih ternganga atas aksi Ichigo.

"Ba-bagaimana kau tahu?" Gagap gadis itu yang kini telah memerah wajahnya.

"Kau memikirkannya sepanjang jalan." Ucap Ichigo cuek dan memberikan gestur agar gadis itu melanjutkan perjalanannya. Setelah disilangkannya kedua tangan di dada dan mengerutkan alis, sulung Kurosaki itu menggumam kesal, "Cih. Kasmaran tidak pernah berasosiasi baik denganku."

"Hah?"

"Selain membaca pikirannya, aku juga bisa merasakan emosinya saat memikirkan seseorang atau sesuatu." Tambah Ichigo.

Dahi Ichigo semakin berkerut melihat Rukia menydorkan tasnya. "Mungkin kau harus menyentuh dulu apa yang sudah kupegang?" Tanyanya dengan wajah polos.

"Aku kan sudah bilang, aku bisa melakukannya dengan menyentuh tangan langsung! Lagi pula aku menyentuh pintu gerbangmu saat mengobrol denganmu di depan rumahmu kemarin, ingat? Dan itu tidak berhasil! Kau lah satu-satunya orang yang tidak terbaca olehku! Dan aku tidak tahu kenapa, jika itu yang ingin kau tanyakan!" Katanya mulai gusar. "Apakah kau juga sepertiku?"

Rukia membuang wajah. Namun, Ichigo menangkap perubahan dalam rona wajahnya. "Apakah kau juga punya...?" Cecarnya penuh rasa ingin tahu.

Masih dengan wajah berpaling, Rukia menjawab, "Aku tidak memiliki kemampuan untuk membaca pikiran, jika itu yang kau maksud." Perlahan ia menyapukan pandangan pada kedua mata Ichigo yang menatapnya bingung. "Tapi aku juga sama sepertimu." Sorot amethyst berkabut gurat kesedihan saat berkata, "Kita indigo."


"Kita indigo."

Pernyataan gadis berambut pendek itu sudah diperkirakan oleh Ichigo, dan sudah seharusnya pula ia tidak terkejut mendengarnya. Rasa senang dan lega memudarkan kerutan di dahinya. Akhirnya, ia menemukan seseorang yang sama dengan dirinya. Akhirnya ia menemukan seseorang untuk diajak berbagi. Tapi nada suara gadis ini melagukan kegetiran, kesunyian di setiap suku kata yang terucap. Ichigo menghela nafas yang tanpa sadar ditahannya sejak tadi, sembari menatap kejauhan, apa pun asalkan bukan mata violet Rukia. Ia bukan pemuda yang pandai mengumbar kata, dan dengan manis memberikan penghiburan pada seorang gadis. Meski ia tahu betul bagaimana rasanya saat mengetahui sesuatu tapi tidak bisa berbuat banyak, ketika mencoba menjelaskan tapi tidak ada yang percaya, atau pun kala orang-orang menjauh dan berbisik di belakangnya.

Teringat sesuatu yang penting, Rukia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk tepat ketika Ichigo mengembalikan pandangan ke arahnya. "Bagaimana kau tahu ia akan meninggal disana?" Pertanyaan itu mengalir begitu saja dari mulut keduanya pada saat yang bersamaan. Namun baru saja Ichigo hendak membuka suara, sebuah panggilan mengghentikannya.

"Kuchiki! Kurosaki" Dari kejauhan tampak Ishida berlari kecil mendekat ke arah mereka. "Kepala Sekolah memanggil kalian."


Inspektur Starrk menutup map merah di tangannya, kemudian meletakkannya di atas meja kerja bersama tumpukan map-map yang lain. "Jadi mereka berdua tetap bersikeras bahwa surat itu masih ada sesaat sebelum Hanatarou melompat?"

Kursi di depan meja itu berderit kecil saat Nanao menyilangkan kaki. "Benar, Pak. Tidak ada kesaksian mereka yang berubah." Ichigo dan Rukia memang telah menjelaskan semuanya, kecuali tentang kemampuan indigo mereka.

"Termasuk mereka berdua hanya kebetulan ada di tempat kejadian waktu itu?" Pria berdarah Spanyol itu menekankan kata 'kebetulan' dengan nada tak percaya.

"Mereka bilang, hanya mencari udara segar dan kebetulan bertemu disana." Nanao membuka buku catatannya, "tapi ada saksi yang menyatakan bahwa Kuchiki Rukia berlari dari ruang kesehatan menuju atap, sesaat setelah sadar dari pingsan."

"Berlari?" Ulang Starrk seraya mengernyitkan dahi. "Berlari sesaat setelah sadar dari pingsan?" Bawahannya hanya menanggapi dengan anggukan. "Dan apa yang membuatnya bisa berlari dalam kondisi seperti itu?"

Kini pertanyaan Starrk dijawab dengan gelengan. "Kami belum mendapat informasi tentang apa penyebabnya, yang jelas setelah berlari ia menemukan Kurosaki dan korban di TKP sesaat sebelum korban mengakhiri hidupnya.

Kerutan di dahi inspektur belum juga hilang, "Apa anak itu benar-benar pingsan?"

"Dokter sekolah, Unohana-sensei lah yang memastikannya sendiri. Menurut informasi beliau, Kuchiki memang sering pingsan. Namun ia maupun pihak keluarganya tidak pernah mau terbuka dengan apa penyakit yang diderita olehnya."

Menghempaskan tubuh ke sandaran kursi, Starrk bergumam pelan. "Hmm... Si eksklusif Kuchiki, eh? Aku dengar gadis ini dekat dengan korban, si Yamada Hanatarou itu sangat mengaguminya tapi perasaannya tidak berbalas. Dan bocah Kurosaki itu, ada hubungan apa diantara mereka?"

Nanao menggeleng singkat, ia belum menemukan tautan antara mereka berdua. "Guru-guru dan para murid bilang, mereka tidak pernah berinteraksi langsung, kecuali setelah kejadian itu."

"Ia juga punya hubungan dekat dengan korban, kan? Kurosaki sering menolong korban ketika ia ditindas oleh siswa lain." Starrk tampak menimbang-nimbang informasi yang dibawa anak buahnya. Semuanya tampak seperti kepingan puzzle yang berserakan, yang mana saja harus disatukan agar muncul satu petunjuk yang mengarah pada penyelesaian kasus? "Ah," serunya masih dalam nada malas yang tak pernah hilang dari suaranya. "Aku sudah melihat rekaman CCTV yang kau kirim tadi pagi."

"Mereka hanya memasang CCTV di lorong dan ruangan tempat menyimpan benda berharga." Sahut Nanao cepat.

"Iya..." Lanjutnya seraya dengan enggan mencari-cari berkas diantara tumpukan kertas di atas mejanya. "Aku tidak akan terkejut kalau mereka tidak memasang kamera di atap. Maksudku, apa yang akan mereka rekam? Matahari terbenam?" Ia terkekeh pelan. Namun segera menutup mulut ketika leluconnya tidak mendapat tanggapan. "Kau tidak punya selera humor, Nanao." Desahnya pasrah.

"Anda sudah sering bilang begitu, Inspektur." Ujar Nanao masih dengan muka ditekuk.

Starrk hanya mengangkat bahu dan memasang wajah kau-selalu-begitu-aku-jadi-bosan. "Nah, ini. Ini sangat menarik." Inspektur menarik beberapa lembar kertas dari tumpukan di sudut kiri mejanya, kemudian mengamati sebentar. "Saat kejadian, ada seorang anak berambut biru terlihat berlari di lorong menuju ke arah tangga. Tapi begitu mencapai lantai dua, masih di tangga, ia terlihat menerima telepon. Lalu segera berbelok arah, menuruni tangga. Ketika ia mencapai lantai satu adalah waktu yang sama ketika korban melompat. Bagian yang menarik adalah, saat itu bocah biru itu tengah berlari menyusuri lorong menuju ke arah jatuhnya korban. Kau tahu siapa ini?" Starrk memperlihatkan foto yang diambil dari salah satu potongan video CCTV.

"Grimmjow Jaegerjaquez." Seru Nanao dalam campuran nada terkejut dan terarik. "Ia terkenal di sekolah. Bisa dibilang preman sekolah. Ia memiliki geng yang beranggotakan teman-temannya di kelas tiga. Mereka menindas bahkan melakukan kekerasan di sekolah, juga..." Mendadak Nanao berhenti, seolah memikirkan sesuatu, kemudian melanjutkan kalimatnya dengan gamang, "juga sering mem-bully korban."

Starrk menaikkan alisnya, "Bocah biru ini sering menindas korban. Hmm..." Sebuah senyum samar muncul di bibirnya saat pria tegap itu menghempaskan diri ke punggung kursinya yang empuk. "Penjahat, pahlawan dan sang putri. Ketiga pemain utama kita sudah berada di satu panggung. Kau tahu, Nanao? Drama ini baru saja akan dimulai."


TBC


Yup! Kemampuan ichigo sudah saya jawab, dan kemampuan itu terinspirasi dari sebuah novel jadul yang pernah saya baca. Judulnya kalo ga salah 'fingerprint', saya ga inget lagi pengarang, penerbit atau ceritanya. Hehe..

Dan untuk rukia, sabar ya.. ^^

PS : untuk semua yg RNR, luv u all!

PSS : byakuya gak bole mati!

PSSS : eits, gak pake protes *ngancem tite kubo

.

aya : ini aya.. mudah2an km suka yaa.. :)

wu : hoho makasi wu.. Ini chap 3..

Reina Rukii : hubungannya adalah.. Jreng..jreng.. Ah kasi tau di chap dpn aja.. Hehe *ditimpuk

mautauaja : maaf ga bisa apdet kilat, tukang posnya cuti.. Hehe

Meyrin kyuchan : yah begitu lah mey.. Tapi apa yg terlihat belum tentu yg sebenarnya lho.. Fufufu *evil smirk

nakki desinta : hola nakki! Apa kabar? Ini chap 3 nya, selamat menikmati ya..^^

Cim-jee : hohoho.. Apa akar masalahnya belum bisa saya kasih tau sekarang, biar jee penasaran terus.. Hehehe..

Kyucchi : yg sebenarnya? Masih rahasia kyucchi... Hihihi -plak-

ika chan : tenang ika-chan, hanataro ga akan gentayangan sembarangan.. :D

Wi3nter : yaa bisa dibilang begitu. Ketertarikan mereka muncul tanpa sadar karena masing-masing ngerasain ada 'berbedaan' dalam diri mereka. Trus karena sekarang terseret dalam kasus yang sama, mudah2an mereka cepet lengket.. hoho

Nana : makasi nana.. RNR terus yak..

Shinichirou-Aoi : wah bener nih? Saya ga jago bikin romance, nih aoi.. Makasi ya.. Ini chap 3 udah apdet