Indigo

(Prolog)

.

.

Summary : Aku takut. Kenapa Dia memberitahuku kalau akhirnya tidak memberiku kesempatan untuk melakukan apa-apa? Hei, apa kita merasakan hal yang sama…?

.

Disclaimer : Bleach © Tite Kubo

Warning : Typo(s), rada OOC, AU, don't like don't read, a short prologue


"Kuchiki-san?" Teguran seorang gadis berambut cokelat panjang membuat seorang Kuchiki Rukia menghentikan langkahnya meninggalkan bangkunya. Rukia menoleh dan mendapati seluruh teman sekelasnya menatapnya heran. Sedikit saja perubahan sikap Rukia sudah bisa menimbulkan kasak-kusuk diantara siswa Karakura High School, apalagi perubahan mencolok seperti ini.

"Kau kenapa, Kuchiki-san?" Gadis berambut cokelat itu bertanya dengan nada khawatir saat Rukia yang berwajah pucat hanya menatap seisi kelas sambil termangu.

"Aku… Aku tidak apa-apa, Inoue." Rukia memaksakan seulas senyum tipis. Setidaknya dia tidak ingin membuat teman-temannya khawatir, meski pun semua orang tau dia sering mengalami 'serangan mendadak' ini. Diusapnya tengkuknya yang mulai mendingin, lalu dipercepat langkahnya keluar kelas menuju ruang kesehatan. Gadis berperawakan mungil itu mengepalkan tangannya kuat-kuat, berusaha bertahan dari serangan sakit kepala yang begitu menyiksa. Rukia tau persis apa yang akan terjadi setelah ini, tapi setidaknya dia tidak mau pingsan di dalam kelas dan membuat kehebohan lagi, seperti sebelum-sebelumnya.

Agak gemetar dia menyentuh pintu kelas. Saat berusaha membukanya, ternyata pintu itu tergeser lebih dulu, dibuka dari luar kelas. Sontak ditengadahkan wajahnya, melihat siapa yang telah membuka pintu dan menghalangi jalannya. Mata ungunya menangkap sepasang iris cokelat sedang menatapnya.

"Permisi." Rukia melangkah maju, membuat pemilik mata cokelat di hadapanya bergerak mundur selangkah. Namun, rasa sakit yang menghujam kepalanya berhasil mengambil aih kesadarannya. Rukia limbung, langkahnya terhenti di udara. Gadis itu jatuh ke depan.

"Hei!" Rukia mendengar pemuda di depannya berteriak saat kedua tangan kekarnya menangkap tubuh Rukia, mencegahnya membentur lantai.

"Kuchiki!" Teriakan teman-teman sekelasnya adalah hal terakhir yang bisa dia dengar.


Kurosaki Ichigo menggendong seorang gadis mungil yang tak sadarkan diri melewati lorong sekolah. Semua mata tertuju padanya. Mungkin karena Ichigo menggendong gadis itu dengan bridal style, mungkin juga karena yang digendongnya adalah seorang idola, atau mungkin saja karena yang menggedong gadis itu juga merupakan siswa yang sangat populer. Perpaduan ketiga alasan itu kelihatannya paling masuk akal.

Seorang pemuda berkacamata yang sejak tadi mengikutinya membukakan pintu Ruang Kesehatan untuk Ichigo. Dengan cepat Ichigo masuk dan menidurkan gadis itu di ranjang, kemudian melepaskan sepatunya. Uryuu Ishida, sang ketua kelas yang dari tadi menemani Ichigo menggendong Rukia ke Ruang Kesehatan hanya mengernyit heran. Sikap yang ditunjukkan Ichigo saat ini sangat jauh berbeda dari dia yang biasanya kelewat cuek dan jarang bergaul, serta sangat berlawanan dengan image-nya sebagai berandalan sekolah. Tiba-tiba Ichigo yang sedang membenahi posisi tangan Rukia mematung. Mata cokelatnya menatap gadis yang pingsan itu lekat-lekat.

"Unohana-sensei!" Ucapan Ishida menyadarkan Ichigo dari lamunannya. Segera saja dia melepas pegangannya pada tangan Rukia, dan dengan gugup berjalan menjauhi ranjang, membiarkan Unohana Retsu memeriksa denyut nadi Rukia.

"Dia tidak apa-apa." Unohana tersenyum pada dua siswa di hadapannya. Rukia memang sering pingsan di sekolah sehingga Unohana sudah hapal betul bagaimana menanganinya. "Kalian bisa kembali ke kelas." Unohana mempertegas ucapannya pada dua pemuda yang tak bergeming itu.

"Ba-baik, sensei!" Ishida yang sebenarnya masih ingin bertanya pada sensei-nya itu akhirnya memutuskan untuk menurut, tampaknya dia kalah pada tatapan mematikan Unohana yang mampu membuat semua orang megangguk patuh. "Ayo, Kurosaki!"

Tepukan Ishida di bahunya berhasil membuat pikiran Ichigo kembali ke tempatnya. "Ah?" Tanyanya heran, tidak menyadari apa yang baru saja diucapkan sensei-nya.

"Ayo kembali ke kelas."

"Oh. Baiklah."


Dari jendela kaca kecil di pintu ruang kesehatan, Unohana masih bisa melihat Ichigo dan Ishida berjalan menjauh. Matanya terpaku pada sosok siswa kelas dua berambut oren itu. Dia tidak pernah menyangka bahwa Kurosaki Ichigo-lah yang akan menggendong Kuchiki Rukia ke ruang kesehatan, melepas sepatunya dan menyelimuti gadis itu. Dari penampilan dan sikapnya sehari-hari, Ichigo bukanlah tampak seperti pemuda yang penuh perhatian, apalagi terhadap seorang gadis.

Ichigo memang terkenal dengan berbagai kasus kekerasan yang menempel erat pada dirinya. Sejak kecil hingga awal-awal SMA, dia begitu sering terlibat perkelahian. Dan dari sekian banyak perkelahian itu, kebanyakan dia lah yang memulainya terlebih dulu. Para guru sering mendapat pengaduan bahwa Ichigo memukul 'korban-korban'nya tanpa sebab yang jelas. Saat ditanya alasannya, Ichigo pasti memilih untuk bungkam. Namun, sejak memasuki semester kedua di kelas satu, Ichigo tidak lagi memukul orang tanpa sebab. Dia mulai menghindari perkelahian, kecuali lawannya yang memulai kontak fisik dengannya lebih dulu.

Tapi tetap saja image negatif masih setia melekat pada pemuda itu. Mungkin karena alisnya yang selalu mengkerut membuatnya terlihat seperti selalu marah, atau karena dia masih tidak mau bergaul dengan yang lain. Karena itulah, Ichigo tidak punya teman. Dia tidak pernah terlihat bergerombol seperti murid-murid lain. Selalu sendirian. Selalu. Sama seperti gadis yang terbaring tidak sadarkan diri ini. Rukia.

Unohana menyeka bulir-bulir keringat di dahi Rukia. Dia tidak mengambil alkohol atau melakukan hal-hal lain untuk menyadarkan gadis itu, karena apa pun yang dilakukannya akan percuma saja. Walau langit runtuh sekali pun, gadis itu tidak akan bergeming. Biasanya putri Kuchiki itu akan sadar setelah 10-15 menit dalam keadaan linglung, tanpa keluhan sama sekali.

Selain sama-sama penyendiri, Rukia dan Ichigo memiliki satu persamaan lagi. Mereka anak-anak yang cerdas. Meskipun kelihatannya tidak pernah belajar dengan serius (Ichigo lebih tertarik menghajar orang dan melamun, sedangkan Rukia kalau tidak pingsan saat jam pelajaran, biasanya akan lebih memilih menggambari buku catatannya dengan gambar kelinci aneh) tapi mereka bisa menangkap pelajaran dengan cepat tanpa hambatan. Laju otak mereka seperti jalan tol. Bebas hambatan.

Selebihnya, Rukia dan Ichigo adalah dua sosok yang sama sekali berbeda. Rukia adalah gadis yang anggun dan ramah, sangat khas keluarga bangsawan. Ditambah lagi dengan wajahnya yang cantik membuat Rukia menjadi idola Karakura High School. Gadis lain kagum sekaligus iri padanya, dan para pemuda begitu memujanya. Namun, tidak ada tanda-tanda dia membalas perhatian yang begitu berlebihan itu. Rukia seperti menara gading yang tidak tersentuh.


Rukia mengerjap-ngerjapkan kedua kelopa matanya. Rasa sakit di kepalanya sudah hilang, tapi tubuhnya masih sedikit lemas akibat apa yang dialaminya barusan.

"Kuchiki, bagaimana perasaanmu?" Rukia menoleh dan mendapati Unohana berdiri di tepi ranjang.

"Aku... Aku sudah baikan, Sensei." Ujarnya pelan sambil berusaha bangun. Unohana yang cepat tanggap kemudian membantunya duduk.

"Wajahmu masih pucat. Sebaiknya kau istirahat dulu di sini." Unohana mengambil stetoskop dan tensimeter untuk memeriksa Rukia. Saat disadarinya bahwa gadis itu tidak menyahut, Unohana menoleh dan mendapati muridnya itu sedang menatap ke luar jendela. "Ada apa, Kuchiki?" Unohana berjalan mendekat sambil tetap mengikuti arah pandang Rukia. Didapatinya seekor kupu-kupu hitam bercorak merah melayang-layang di halaman, terbang semakin tinggi hingga akhirnya hilang dari jarak pandangnya.

"Sepertinya dekat..." Rukia menghela nafas berat, "Waktunya sudah dekat." Lirihnya seraya beranjak dari ranjang.

"Kuchiki? Kau mau kemana?" Teriakan Unohana tidak mampu membuat Rukia menghentikan larinya. Dia terus memacu kakinya bergerak lebih cepat.

'Apa di sana ada tempat seperti itu?' Pikirnya sambil terus berlari, tidak memperdulikan tatapan heran murid-murid lain. Kini dia mulai menaiki anak-anak tangga, 'Bagaimana kalau aku berlari ke arah yang salah?' Ketakutan kini merayapi diri Rukia. Ketakuan yang sama yang selalu dirasakannya saat tersadar. Takut kalau pada akhirnya dia tidak bisa berbuat apa-apa, seperti yang sebelumnya selalu terjadi. 'Apa...' Pikiranya terusik oleh suara langkah yang menaiki tangga dengan terburu-buru tepat di belakangnya. Seingatnya tadi saat mulai naik ke lantai empat dia tidak melihat ada orang selain dirinya. Rukia menoleh dan mendapati warna oren menyilakukan. "Kau?"

Pekikan Rukia membuat si rambut oren menengadah. Ichigo sangat terkejut melihat Rukia yang berdiri di anak tangga yang berada di bawah pintu menuju atap sekolah, "Kenapa kau ada di sini?"

"Seharusnya aku yang bertanya." jawab Rukia seraya melanjutkan larinya, mencapai pintu yang menjadi satu-satunya akses ke atap sekolah. Tapi tiba-tiba ada yang menarik lengannya. Rukia melirik dengan ekor matanya, dia bisa dengan jelas melihat Ichigo mencengkram tangan kanannya dan menatapnya tajam.

"Jangan ke sana!"


TBC


Author : Gomen pendek, baru prolog sih.. hehehe *dirajam*

Yama-jii : dua multichap masih nunggak udah bikin fic baru. Dasar nggak bertanggung jawab!

Author : Gomen! Gomen! *sungkem* Itu lagi proses bikin chap berikutnya tapi tiba-tiba saya stuck di tengah jalan. Jadilah fic ini yang jadi duluan.. saya janji TDBM & BV akan saya apdet ASAP! *ditimpuk* jadi untuk sekarang, please anjoy this fic minna! RnR please..? ^^