Fict ini aneh, ya? Maaf, maklum masih belajar.


Disclaimer: Bukan Aya yang punya Naruto. Tapi dia noh! *nunjuk-nunjuk Masashi Kishimoto*

Warning: Author yang aneh dan typo di sana-sini. Sebelum baca, diharapkan siapin kantong muntah dahulu.

Pairing: belom tau, belom fix alias tergantung mood author aja *dilempar sendal*

^o^


Summary:

Lupakan gaya rambutnya yang aneh, Uchiha itu siapa? Hanya khayalan Hinata-kah? Bagaimana jika khayalan itu menginginkan gadis pujaannya lebih dari sekadar sahabat? SasuHina. Kalau nggak suka, jangan baca.


Teman Khayalan

"Anak-anak, ada yang tahu mengapa orang di negara tropis kulitnya gelap?" tanya Kurenai-sama menguji.

"Saya tahu, Sama. Agar tidak terkena sinar ultraviolet dari Matahari, maka melaninnya harus banyak," jawab Tenten cepat.

"Benar, anak pintar. Sekarang, kerjakan halaman 15, aku akan mengawasi."

Seluruh murid kelas 5-3 mengerjakan tugas yang diberikan oleh Kurenai-sama dengan tenang. Bukan karena murid-muridnya memang tidak suka cari masalah, tapi karena mereka tahu, guru yang sedang mengawasi mereka itu galak sekali. Di sudut meja yang paling jauh dari Kurenai-sama, gadis berumur 10 tahun bernama Hinata mengerjakan soal-soal sebisanya.

'Ah, aku memang terbelakang bila ada biologi,' keluhnya.

Terbelakang di sini maksudnya tertinggal jauh. Ia memang jelek di bidang Sains, tetapi pintar di bidang Sosial. Kalau Matematika, mungkin setengah-setengah.

SUdah lima di antara dua puluh soal yang Hinata kerjakan. Ia mengeluh lagi dan membanting pulpennya ke meja. Hampir putus asa.

"Makanya usaha, Hinata payah."

Hinata tersentak, melirik sekeliling. SIapa yang tadi bicara hal itu padanya? Ia tidak punya teman sebangku. Mungkinkah Naruto yang duduk tepat di depannya? Sepertinya bukan, karena suara Naruto tidak seperti suara misterius tadi.

"Aku di sini, Hinata-san."

Hinata menoleh ke arah jendela. Seorang anak cowok seusianya, dengan gaya rambut aneh dan wajah stoic yang terlihat cuek. Cowok itu duduk di atas bingkai jendela yang menjorok ke luar.

"S-siapa kamu? Apa... kau murid baru?" tanya Hinata beruntun.

Cowok cuek itu memutar matanya. "Namaku... ah, tidak penting. Kerjakan soalmu," ia melangkah turun dari bingkai jendela dan mengambil tempat di kursi sebelah Hinata. "Aku bisa membantumu."

Hinata tersenyum pada cowok tanpa nama itu.

.

Teng teng teng!

"Horreeeee!" 34 murid kelas 5-3 dengan semangat langsung menyerbu pintu kelas, ingin keluar dari sekolah dan segala aturannya secepat mungkin. Namun, Hinata masih sibuk membereskan peralatan sekolahnya - dengan si cowok tanpa nama berputar-putar di sekelilingnya.

Eh? Berputar? Melayang? Terbang?

"Kamu nggak punya teman, Hinata?" tanya cowok itu sambil mengamati penghapus karet milik Hinata.

Jawaban untuk pertanyaannya adalah senyum dan anggukan. "... aku jarang bicara pada orang banyak, kata Hinata akhirnya. "Kecuali dengan keluargaku."

"Oh," hanya itu komentarnya. "Aku... juga seperti itu."

"Benarkah?" Hinata menoleh ke sampingnya. Yang ditanya hanya mengangguk pelan. Ia merasa senang karena tidak sendirian di dunia ini.

Sesaat, hening.

"Ngomong-ngomong, n-namamu siapa?" tanya Hinata. Mengingat ia tidak bisa menyebut anak itu 'Tanpa Nama'.

"Ngg," gumamnya. "Panggil saja aku... 'Uchiha'."

"'Uchiha'?" Hinata mendongak.

"Kalau tidak suka, panggil saja aku sesukamu," dumelnya. "Sandal, sepatu, bantal, sikat gigi, cinta - aku tidak peduli."

"Baiklah. Uchiha."

Dan sejak saat itu, Hinata dan Uchiha, dua makhluk yang kesepian itu kini bersahabat.

.

"U-Uchiha, kau tinggal di mana? Apa keluargamu tidak mencarimu?" tanya Hinata mendapati Uchiha mengikutinya pulang ke rumah.

"Mereka sudah pindah."

"Pindah?"

"Ya. Ke alam sana."

Hinata sadar bahwa ia telah menyinggung perasaan Uchiha. "Maaf."

"Nevermind."

Mereka diam-diaman. Tidak ada yang bisa dibicarakan lagi, hingga kemudian terlintas pertanyaan aneh di otak Hinata.

"Sudah pernah jatuh cinta, belum?" tanya Hinata.

"Eh?" Uchiha mengerutkan kening. "Aku masih 10 tahun. Nggak usah ngomongin cinta, ah."

Hinata memandang Uchiha. "Kata orang-orang, rasanya seperti kita dilahirkan kembali. Yang aku tidak mengerti, dilahirkan kembali itu sakit, tidak?" gumamnya polos.

Uchiha berjalan menyusul Hinata yang mendahuluinya. "Namanya saja jatuh cinta, pasti sakit.

Hinata hanya manggut-manggut.

.

Kriekk. Suara pintu dibuka.

Blamm. Suara pintu dibanting.

Seperti biasa, keadaan rumah sepi. Ayahnya masih di kantor, sementara kakak sepupunya masih sekolah. Hinata mengeluh dalam hati. Ia makin merasa sendiri.

Gadis itu masih 10 tahun, tapi ia bahkan harus 'hidup sendiri' di mansion Hyuuga yang luas ini. Iya, kakak sepupunya, Neji akan pulang sebentar lagi, tapi setelah itu ia sibuk mengikuti les privat, dan bahkan menjadi tenaga pengajar bagi murid kelas 6 SD karena otaknya yang tergolong pintar. Rasanya, ia seperti tersisihkan.

Ia teringat Uchiha. Sepertinya, cowok itu baik. Mungkin, kapan-kapan ia bisa curhat tentang masalah ini padanya.

.

Keesokan harinya, jam 04.00 AM

"Sst, Bangun, Putri Tidur."

"Mmm..."

"Sudah jam 4 pagi, nih!"

Hinata terjaga tiba-tiba. Namun, pandangan matanya masih kabur. "U-Uchiha?" gumamnya.

"Iya. Memangnya kenapa?" tanya Uchiha. "Aku tidur sambil duduk di kursi meja belajarmu, tadi."

'Ah, Uchiha benar-benar tidak punya rumah, ya,' batinnya dengan senyum getir. "Tapi... apa Otou-san dan Neji-nii tidak melihatmu?"

Uchiha terdiam sesaat. Matanya menerawang. "Tidak. Tenang saja... Mereka... nggak akan bisa."

"Eh?"

.

6 tahun kemudian.

"Hei, kau sering memerhatikan Hinata, tidak?" tanya Ino pelan.

"Tidak selalu. Memang kenapa?" tanya Sakura balik.

Ino menghela nafas. "Aku heran, kenapa ia selalu terbata-bata di depan kita, tapi giliran ia bicara sendiri, lancar sekali."

"Aah, itu wajar, Ino," sanggah Sakura sembari mematut diri di depan cermin milik Ino. "Kalau tidak ada orang, kegugupannya berkurang sehingga bicaranya lancar."

"Duh, bukan itu Saku-chan," geleng Ino. "Maksudku, Hinata sering sekali bicara sendiri, seolah berbicara pada seseorang yang tidak terlihat."

"Dan bicaranya tidak gugup seperti bila berhadapan dengan kita, begitu maksudmu?" sambung Sakura cepat.

"Yap."

"Kalau itu sih, bodo amat. Kau ini teliti sekali, sih. Sudah ya, gurunya sudah masuk kelas, tuh," pamit Sakura.

.

Gadis manis dengan mata mutiara itu terdiam. Jari-jemarinya mengetuk-ngetuk meja, sementara kepalanya dimiringkan. Pandangan matanya mengarah pada seorang cowok jauh di depannya, seseorang dengan marga Namikaze. Cowok itulah yang dulu juga satu SD dengannya.

'Namikaze Naruto...' gumamnya dalam hati. Jujur, ia mengagumi sosok itu. Naruto amat murah senyum, semangatnya tidak mudah mati dan selera humornya juga tinggi. Benar-benar tipikal idaman Hinata.

"Hmm. Tapi, aku rasa ia sudah menyukai Saku-chan."

BRUK! GUBRAK! GABRUAK!

...

"Uchiha-san!" seru Hinata kaget. Seseorang yang membuat kegaduhan tadi adalah Uchiha, terjatuh dari atas lemari kelas tempatnya duduk dan terjerembap ke lantai. Hinata berjongkok di lantai dan membantu Uchiha berdiri. 'Dasar Baka, buat apa dia duduk di atas lemari segala,' gerutunya dalam hati. Ia menduga Uchiha pasti terpeleset kelereng-kelereng di atas lemari. Atau cowok itu hanya mencari perhatiannya?

"Aku malas duduk di sebelahmu terus, makanya aku duduk di atas lemari," sahut Uchiha cuek seolah menjawab pertanyaan Hinata. Namun, ia lebih terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.

Hinata akan bicara, ketika tiba-tiba cowok pujaannya melangkah tepat di sampingnya. Namikaze Naruto! Hinata mendadak terserang penyakit gagap tingkat akut dan pipinya memerah seperti tomat matang.

"Hyuuga-san, kau bicara dengan siapa tadi?" tanya Naruto ramah. Ia ikut berjongkok di sebelah Hinata. "Dan kenapa kau berlutut di lantai seperti itu?" Mata safirnya bahkan lebih ramah dari senyum cowok itu.

Oh iya, Naruto-kun tidak bisa melihat Uchiha-san,' pikir Hinata. "A-ano... aku hanya membereskan sesuatu yang tumpah tadi," jawab Hinata gelagapan.

"Oh, baiklah kalau begitu. Aku permisi dulu ya, Hyuuga-san. Jaa!" Naruto bangkit dan melambai pada Hinata sebelum akhirnya ia menghampiri kerumunan anak laki-laki yang sedang main kartu.

Hari ini, guru Fisika tidak masuk, sehingga jam Fisika pun kosong. Waktu ini pun dimanfaatkan murid X-IPS-1 untuk bermain-main atau hanya bergosip. Tanpa Hinata tentunya.

.

"Kamu suka tempat ini, ya?"

"Ya."

Hinata termenung pada apa yang ada di depannya. Sebatang pohon sakura dengan bunga-bunga yang berguguran dan ranting-ranting patah tertiup angin. Cabang pohon tersebut melambai-lambai, seolah berkata "ayo duduk di bawah naunganku".

Dan Hinata juga tidak pernah memikirkan bahwa cowok sekalem Uchiha bisa menyukai suatu tempat, apalagi di bawah naungan pohon sakura. Tanpa disuruh, Hinata menghempaskan diri di rerumputan, bersandar pada batang pohon sakura. Uchiha melakukan hal yang sama.

Selama 6 tahun mereka bersahabat, banyak hal seru yang telah mereka lalui bersama. Memanjat pagar, bermain tebak-tebakan, dan bahkan bersenandung bersama-sama. Hinata dan Uchiha melakukan itu semua tanpa canggung. Namun, setahun belakangan ini, Uchiha kembali ke sifat aslinya. Pemurung.

'Apa dia punya masalah?' pikir Hinata setiap hari.

Uchiha selalu memberikannya senyum simpul, senyuman khas seorang Uchiha dari pertama mereka bertemu. Bukan senyum sumringah seperti milik Naruto. Namun, baginya itu sudah cukup. Akan tetapi, kalau suasana hati cowok itu sedang buruk, ya sudah. Hinata harus menerima kenyataan dikacangin seharian.

"Ceritakan alasanmu ikut jurusan IPS," sahut Uchiha tiba-tiba.

Hinata berkedip. "Karena... kau ingat waktu kita pertama bertemu? Aku payah di bidang Sains. Dan aku lebih menyukai IPS, jadi kuambil saja jurusan itu."

"Tidak ada motivasi khusus, Hinata-san?" tanya Uchiha seolah mewawancarai. Hinata berbalik badan menghadap Uchiha, mulai menikmati topik pembicaraan.

"Ya, mungkin sedikit," ia menghela nafas. "Aku ingin jadi hakim. Penegak hukup dan harga diri seseorang. Suatu hari nanti."

Uchiha kini bosan duduk di rerumputan. Ia melompat menggapai cabang pohon terdekat, dan melakukan salto-salto ringan. Hinata tertawa.

"Kan ada profesi yang lebih menarik selain hakim," komentar Uchiha. Atau lebih tepatnya, sanggahan.

Yang disanggah hanya tersenyum. "Memang. Aku hanya ingin semua orang di dunia mendapat perlakuan sama - tidak seperti aku," gumamnya. Tiba-tiba, matanya berubah sendu.

Uchiha paham ke mana alur pembicaraan mereka. Hinata. Si gadis aneh, cupu, kuper. Ia tersenyum tipis dan kemudian turun dari cabang pohonnya.

"Kau hanya pendiam. Itu saja."

.

"Sudah pernah jatuh cinta, belum?"

"Eh? Aku masih 10 tahun. Nggak usah ngomongin cinta, ah."

"Kata orang-orang, rasanya seperti kita dilahirkan kembali. Yang aku tidak mengerti, dilahirkan kembali itu sakit, tidak?"

"Namanya saja jatuh cinta, pasti sakit."

Uchiha hanya menelan senyum pahitnya. Jatuh cinta, baginya adalah frasa yang tidak bisa ia pahami. Jatuh adalah sesuatu yang menyakitkan, tapi cinta?

"Uchiha-san?" panggil Hinata, membuyarkan lamunan Uchiha. "Pulang, yuk!"

Yang dipanggil hanya mengangguk kaku.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Hinata, lagi-lagi hening. Dulu, ia selalu bercanda dan tertawa-tawa saat bersama Uchiha. Sekarang? Apa karena mereka sudah remaja?

"Hinata-san, ingat 6 tahun lalu, waktu kau bertanya aku sudah pernah jatuh cinta atau belum?" tanya Uchiha.

"Saat itu kau bohong, ya?" tebak Hinata asal. Namun, Uchiha menggeleng.

Mereka berdua mempercepat langkahnya, sampai-sampai terlihat seperti berlari setengah terbang. Ah, itu dia kediaman Hinata, hanya tinggal beberapa puluh meter lagi. "Aku sedang bicara pada orang yang mengalaminya," sambung Uchiha.

Hinata blushing.

"Huh. Aku?" gumamnya. "Ng-nggak, kok. Uchiha-san d-dapat pemikiran dari mana?"

Yang ditanya hanya tersenyum simpul. "Kau naksir cowok yang bernama Naruto itu, iya kan?" tebak Uchiha to the point.

Hinata makin merah padam. Yap, semua yang dikatakan Uchiha itu benar. Ia memang naksir dengan Naruto. Sayangnya, sepertinya cowok yang disukainya itu menyukai wanita lain. "Aah, Baka! Kau tahu dari mana?" Hinata menampik sengit seraya memberi Uchiha gebukan manja. Uchiha tertawa.

...

Sementara itu, di seberang jalan yang mereka lalui, beberapa pasang mata menatapnya heran, gadis 17 tahun yang berbicara dan bermain-main seorang diri.

.

Kamar Hinata, 08.00 PM.

"Hei," panggil Uchiha dari atas lemari.

"Apa?" sahut Hinata.

Uchiha bisa tidur di mana saja, bahkan di atas meja belajar Hinata. Cowok itu memang serampangan. Namun, anehnya ia tidak pernah membuat berantakan. Sehingga Hinata mengizinkan saja saat Uchiha tiduran di atas lemarinya.

"Kau hanya menyukai manusia, kan?"

"M-maksudmu?"

"Yah... manusia, bukan setan, malaikat, atau bakteri."

Hinata tertawa. "Mana ada manusia menikah dengan selain manusia? Aku masih normal, Uchiha-san."

"Oh," hanya itu tanggapan Uchiha. Jawaban dari Hinata membungkam mulutnya.

"Memang, kau itu sebenarnya apa, Uchiha-san?" tanya Hinata cepat. Ada rasa takut menyelinap di nada suaranya. "K-kau bukan setan, iblis, atau roh orang mati, kan?"

Uchiha melongok ke bawah dari atas lemari. Ia memandang Hinata. "Janji jangan tertawa?"

"Janji."

Uchiha melompat turun dan berdiri sempurna di atas lantai. "Aku itu..." ia terdiam. "Malaikat pelindung, tapi manusia biasa menganggapku... teman khayalan."

Hening.

Lama sekali mereka terdiam, hingga kemudian Hinata tertawa. Seolah perkataan Uchiha barusan adalah lelucon terlucu. Hinata tergelak-gelak.

"M-maaf," kata Hinata setelah bisa mengontrol tawanya. "Kau hanya bercanda kan, Uchiha-san? Aku ini bukan anak TK."

Uchiha membuang muka. "Sudah kuduga kau pasti tidak percaya," ia mendengus. Hinata menatap cowok itu dengan heran.

Ah, sifat asli Uchiha. Gadis itu menelan ludah. Apa yang membuat Uchiha jadi aneh begini? Ia terlihat lebih tampan, dingin, dan aneh dari sebelumnya. Dulu, mereka akrab. Sekarang, mereka canggung.

"Hinata," gumam Uchiha. "Kau... kau dekat dengan Naruto, ya?" tanyanya pelan.

Naruto. Hinata mendesah dan mengulum senyum tipis. Pipunya kembali memerah. "T-tidak, kok. Lagipula, aku yakin kalau... kalau Naruto-kun menyukai Sakura-chan. Yang pasti wanita lain."

Ada kepahitan dalam jawaban Hinata barusan. Uchiha tersenyum nelangsa. Setengah dirinya bahagia, sedangkan setengahnya lagi merasa kasihan. "Dan kau akan tetap menyukainya walaupun Naruto berpasangan dengan orang lain?"

Pertanyaan yang susah dijawab itu dijawab Hinata dengan baik. "Aku yakin. Pasti. Aku yakin... dia seseorang yang dijodohkan Tuhan untukku."

Uchiha terdiam.

'Ah.'

BUkan jawaban yang diharapkan Uchiha. Cowok itu terpaksa harus menyakiti hatinya lagi, secara pelan-pelan.

.

"Hinata?" Neji membuka pintu tiba-tiba. Hinata menatap saudaranya seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan.

"Ada apa, Nii-san?" tanya Hinata polos.

Neji menggeleng. "Ah, tidak. Hanya mengecek kau sudah tidur apa belum. Hei, kenapa akhir-akhir ini kau sering bicara sendiri?"

Hinata tergeragap. "Ngg, m-mungkin hanya perasaan Nii-san saja. Sudah ya, aku ingin tidur. Jaa," ia mendorong Neji keluar dari kamarnya dan mengunci pintu. "Fyuuh," gumamnya, melirik Uchiha.

Suasana kamar kembali hening.

.

Flasback: 3 tahun lalu.

"Hei, mau kuajari cara menangkap ikan dengan tombak, tidak?"

Seorang gadis berusia 13 tahun mengerutkan keningnya. "Maksudmu?"

"Ah, ikut aku saja," tampik cowok seusianya. Cowok yang hanya gadis itu saja yang bisa melihatnya. "Susah sih, tapi aku sudah lihai."

Mereka tiba di sebuah danau luas yang terletak di pinggir kota. Cowok itu, yang biasa dipanggil Uchiha, memungut ranting pohon yang tercampakkan di atas tanah dan menghunjamkannya ke air danau.

"Memang bisa dapat ikannya, Uchiha-san? Sulit sekali," gumam gadis yang bernama Hinata tersebut.

Uchiha tersenyum lebar. Ia mengangsurkan ranting pada temannya itu. "Airnya dangkal, kok. Lagipula, aku memilih bagian danau yang banyak ikannya."

Hinata bergidik pelan. "Aku takut jatuh, Uchiha-san. Lebih baik kita pancing dengan pancingan kait saja..." pintanya. Namun, Uchiha menggeleng.

"Kenapa tidak pakai ini saja, Hinata? Makin susah, makin seru," tantangnya.

"Hmm. Siapa takut!"

Maka, dimulailah suatu kejadian seru. Hinata dan Uchiha tertawa-tawa saat mendapat dua ikan sekaligus. Uchiha mendengus ketika ikan tangkapannya lolos. Dua makhluk Tuhan itu bermain-main, dengan perasaan yang murni, tanpa sesuatu yang lain.

.

End of Flashback, In The Same Place.

"Kalau suatu saat aku menghilang, apa yang kau lakukan?" tanya Uchiha lagi dengan nada menuntut jawaban.

Hinata terdiam. Bingung harus menjawab apa.

"Eh... kenapa kau menanyakan hal itu?" tanyanya.

Ia tidak pernah membayangkah jika teman satu-satunya itu akan menghilang. Satu-satunya sahabat yang mau bermain dengannya, bercanda bersamanya dan menyeka air matanya. Meskipun hanya ia yang bisa melihatnya.

"Jawab saja, Hinata-san. Cepat," pinta Uchiha setengah memaksa.

Hinata berkedip. "Aku akan mencarimu."

"Itu saja?"

"Aku belum pernah ditinggal sesuatu - ataupun seseorang. AKu tidak punya bayangan seperti itu," gadis itu menjawab gamang. "H-hanya tahu jika aku mengalaminya."

Uchiha mendecih. Ia kini bosan bertindak seperti wartawan. "Tidur saja, Hinata-hime," gumamnya cuek. Ia kembali ke atas lemari. "Mimpikan apa saja."

Hinata mendesah dan tersenyum. Ia melempar bantal untuk Uchiha dan menaikkan selimutnya. Terlelap sampai fajar.

.

Gadis manis bermata mutiara bernama Hinata itu terbangun dalam satu tepukan kecil di pipinya.

"Bangun."

Hinata membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Menguap sesaat. "Mmm."

Uchiha hanya nyengir. Hal yang selalu Hinata lakukan padanya adalah tersenyum. Dahulu, ia menganggapnya biasa, tapi sekarang senyum itu selalu membuat hatinya tersentak. Seolah ia akan menjadi gila jika terus menikmati senyum itu.

Ia cepat menyadarkan diri.

"Bangun, Nona. Kita hampir telat," katanya pelan. Hinata meringis. Kita? Ia tersenyum lagi, membuat Uchiha benar-benar menariknya bangkit dari kasur dan mendorongnya ke kamar mandi. Sejak kapan Hinata jadi malas begini? "Satu senyuman lagi dan kau akan membunuhku."

Itu hanya gurauan. Hinata tertawa pelan dan menyambar handuknya.

.

Koridor depan kelas X-IPS-1, 07.00 AM.

Di mana Uchiha? pekik Hinata dalam hati. Cowok itu tidak terlihat di mana pun. 'Bukannya ia selalu mengekorku?' batinnya cemas. Tertinggal di rumah? Tidak mungkin. Uchiha benci ditinggal di rumah kosong.

Ah ya, Hinata pernah sejenak melupakan Uchiha saat ia sedang mengobrol dengan Neji dalam perjalanan ke sekolah dan kantor tempat Neji bekerja. Rasa bersalah menghantam dirinya. Salah salah salah. Meninggalkan Uchiha seorang diri? Ia sediri tahu kalau cowok itu sedang kesepian.

Kesepian. Sama seperti dirinya.

Dengan langkah gontai, Hinata memasuki kelasnya. Tanpa Uchiha.

...

"Kau lemas sekali hari ini," tiba-tiba, seseorang menepuknya dari belakang. Hinata menoleh.

"N-Naruto-kun?" ia tergeragap. "Mungkin... h-hanya perasaanmu saja," tampiknya. Naruto mengerutkan kening.

"Masa', sih? Hyuuga-san beneran aneh, deh... lihat, wajahmu pucat," Naruto menekan telapak tangannya ke dahi Hinata yang makin blushing.

Teng teng teng!

'Phew,' batin Hinata. Itu bel sekolah cempreng penyelamat jiwanya. Hinata buru-buru pamit masuk kelas, meskipun ia tahu Naruto juga ada di kelas yang sama.

.

TBC


Yap. Aneh, kan? _ _"7

Ini fict collab/colab *apapun namanya* Aya ama tuh cowok jelek, noh *nunjuk-nunjuk Uname*

Uname: *masih main psp* brisik lo ah!

Aya: yaaah... Una-kun jahat! *hiks hiks proot*

Lupain aja yang satu itu. Minta review, pembetulan typo dan flame *kalo ada* minna! ^w^