AN: Helloooo! Selamat datang di fic tentang seorang mayor ber-wig! Fic ini nguaco sekali dikarenakan kuketik sesuai insting saja. Muahahaha! #ditendang Chapter 2 ku-edit sedikit. Kalau tak diubah, kagak nyambung kalau diterusin ntar.


Harvest Moon © Natsume Inc.

Author: Amy

Warning: Miss typo, EYD nyimpang dikit, OOC, AU sedikit (?), K-A-C-A-U, tidak sesuai cerita asli, alur sinetron, so pasti garing aloha, dsb.

DON'T LIKE, DON'T READ.


.

.

.

.

.

ZRAAAAAASH

Tersesat di hutan.

Diserang puluhan monyet.

Basah kuyup.

Apa lagi nanti?

Claire duduk menggerutu di sofa merah milik Romana. Meski semua tragedi itu sudah dilaluinya, tapi kisah-kisah kesialannya bersama sang Mayor terus terulang-ulang dalam otaknya.

"Syukurlah bajuku cocok denganmu," ujar Lumina dengan senyum anggunnya. "Kamu dari Mineral Town, ya?"

Menoleh, Claire tertegun, "ah, ya! Maaf sebelumnya tidak memperkenalkan diri. Namaku Claire."

Masih dengan senyumnya, Lumina menjawab, "Lumina." Tangannya terulur. "Salam kenal!"

Claire pun menjawab uluran tangan itu.

Dan saat itu, Lumina melihat luka di tangan Claire. "Boleh aku bertanya? Kenapa di tanganmu ada luka seperti—cakaran?"

Claire segera menatap telapak tangannya. Ada tiga goresan di sana. "Oh, ini? Tadi kami diserang puluhan monyet, sih. Ternyata kena cakar, ya?" Claire tertawa renyah.

"Pu—puluhan monyet? Kenapa?"

Jempol Claire terarah pada sang Mayor yang duduk minum teh di ujung ruangan. "Tanyakan langsung pada tersangkanya."

"Hei, itu salah monyet itu! Seenaknya saja menggangguku!" teriak si Mayor. Kedengaran ternyata.

"Memangnya apa yang diperbuat monyet itu, Mayor?" Sepertinya cucu Romana ini semakin penasaran dengan kisah sial Claire dan si Mayor.

Mulut Thomas sedikit terbuka mau menjawab, tapi tidak jadi. Teringat penyebab asli, yaitu sang rambut palsu. Tidak mungkin cerita, 'kan? "Err … Lumina, alasan aku mengantar Claire ke sini adalah untuk mencari tahu tentang Phantom Skye," ujar Thomas, mengalihkan pembicaraan. "Apa kau pernah mendengar tentangnya?"

"Ah, Phantom Skye! Ya, tentu saja aku tahu!" Tiba-tiba Lumina berkata dengan semangat, lalu berdiri. "Tunggu sebentar!" Dan selanjutnya, dia menaiki tangga ke lantai dua.

Hening.

Mayor dan Claire saling pandang. Bingung.

.

.

.

"Ini, baca surat ini!" Lumina ngos-ngosan karena habis lari-lari turun tangga.

'Kenapa harus lari-lari, sih?' Claire sweatdrop. Dan kemudian, ia mulai membaca surat itu dengan satu alis terangkat.

.

Saat malam telah datang,

aku akan menjemput sang bulan dari bingkainya.

Phantom Skye.

.

Selesai membaca, Claire mulai mengkritik, "dia mau mencuri, 'kan? Kenapa mengirim surat pemberitahuan dulu?"

"Itu ciri khas Phantom Skye," jawab Mayor yang masih membaca surat itu. "Lumina, kau tahu apa maksud 'sang bulan' di surat ini?"

Lumina pun terdiam—tampak berpikir. "Kupikir ... itu maksudnya lukisan bulan di ruangan dekat kebun."

"Boleh kami lihat?" Mayor meminta izin.

Tersenyum, Lumina menjawab, "tentu saja. Ikuti aku."

.

.

.

"Wow."

Goresan kuas di atas kanvas, dan percampuran warna yang menabrak kekakuan—abstrak. Entah maksudnya apa kalimat tadi, tapi intinya: indah banget.

"Pamanku yang membuatnya," Lumina menjelaskan. "Ini hadiah darinya untuk ulang tahunku yang ke-10. Karena itu aku tidak ingin kalau lukisan ini dicuri."

Thomas memasang tampang—sok—detektif. "Memang kemungkinan besar lukisan ini. Tapi, apa ada benda lain yang menurutmu berhubungan dengan 'sang bulan'?"

Lumina kembali berpikir. "Apa, ya?"

Claire masih menatap lukisan itu, tidak peduli dengan dua orang di sebelahnya.

"Ah, iya! Aku tahu! Mungkin yang mau dicuri Phantom Skye itu—," setelah menjeda, entah kenapa wajah Lumina memerah. "—diriku sendiri, mungkin?"

SIIIIIIIIIIING

Hening.

Krik krik krik bunyi hujan di atas genting~

SIIIIIIIIIIIING

Salah, ya?

.

Hening yang lama menjeda.

.

Karena kalimat Lumina itu niatnya setengah mau dicandakan—tapi, tak ada yang tertawa—setengah serius—tapi, hening yang lama ini membuat GR-nya hilang, Lumina pun berujar, "be—bercanda kok! Kenapa kalian menatapku begitu?"

"Berarti kemungkinan besar lukisan ini," ujar Mayor, mencoba mengembalikan topik utama. "Ngomong-ngomong Romana dimana? Aku tidak melihatnya dari tadi."

"Nenek sakit, dia sedang istirahat di kamarnya." Lumina menunduk sedih. "Aku harus merawat Nenek, karena itu aku butuh bantuan untuk menangkap Phantom Skye."

Mendengar kalimat yang sepertinya memberi kesempatan untuk Claire mendapatkan bahan ke-2, Claire pun menjawab, "bo—boleh aku membantu menangkap pencuri itu?"

Mata Lumina berbinar-binar. "Benarkah? Kamu mau membantuku, Claire?"

"Ya!" jawab Claire semangat. Lalu, perhatiannya teralih ke Thomas. "Kau juga mau membantuku 'kan, Mayooor?"

"Ta—tapi, aku ada uru—"

"—mungkin monyet-monyet itu masih dendam padamu, lho," potong Claire. "Itu berarti hari ini kau tidak akan pulang dengan selamat, Mayor. Lebih baik menetap di sini sebentar 'kan?"

Thomas pun otomatis menurut.

.

.

Hujan telah reda, dan tirai malam pun dibuka.

.

Pukul 8 PM

Di ruangan tempat lukisan bulan berada, Lumina, Claire, dan Mayor sedang duduk-duduk di sofa merah. Sebastian masuk dan menyajikan teh beserta sup hangat untuk tiga orang.

.

Pukul 9 PM

Lumina, Claire, dan Mayor sedang berbincang-bincang untuk mengisi waktu. Sesekali memeriksa lukisan yang katanya mau dicuri.

.

Pukul 10 PM

Karena kehabisan bahan cerita, mereka bertiga duduk termangu.

.

Pukul 11 PM

Klining, klinging

"Suara lonceng?" Claire mempertajam pendengarannya.

"Ja—jangan-jangan Phantom Skye—!" Mayor pun siap siaga.

Lumina terkekeh kecil. "Bukan, itu tanda bahwa Nenek memanggilku, lonceng itu terhubung dengan seluruh ruangan di rumah ini, jadi bisa didengar jelas." ujar Lumina, lalu berdiri, dan berjalan menuju pintu. "Aku ke tempat Nenek dulu, ya." Sesudah berkata, dia pun meninggalkan ruangan itu.

Kemudian, hening.

"..."

"..."

Karena bosan diam melulu, Claire pun membuka pembicaraan, "Mayor, apa benar pencuri itu mau datang?"

"Sabar saja, dia pasti menunggu kita lengah," Mayor berkata santai sambil menyeruput teh yang sejak tiga jam lalu tidak habis-habis.

.

Pukul 11.10 PM

Ngomong-ngomong soal lonceng, Claire teringat pada lonceng yang digunakannya untuk mengatur hewan ternaknya. Ia pun meraba-raba pinggangnya, mencari lonceng tersebut. 'Loh? Kok sakunya hilang?' Dan kemudian ia teringat bahwa dia memakai baju milik Lumina. Lonceng itu biasa dia simpan di saku, bukan di ransel yang ia bopong sekarang.

"Mayor, aku ke kamar Lumina dulu, ya." Claire pun beranjak dari tempat ia duduk.

"Lho? Ngapain?"

"Loncengku ketinggalan di saku bajuku yang basah. Aku mau mengambilnya sebentar." Dan kemudian Claire menuju pintu. "Jaga lukisannya sampai aku kembali," ujarnya, menatap sang Mayor Mineral Town.

Cklek

"..."

Hening.

Kini tinggal Thomas sendiri.

"..."

"..."

Mules banget.

"—Ukh, ke WC sebentar, ah."

.

.

.

Claire membuka pintu kamar Lumina.

Gelap. Gelap sekali.

'Kenapa lampunya dimatikan, sih?' pikir Claire dengan muka datar. Dalam keadaan serba gelap, ia pun meraba-raba dinding, mencari tombol lampu.

Tep

Ketemu.

Klik

'Lho?'

Klik klik klik

"..."

Tidak berfungsi.

"Sial ..." Claire pun meraba-raba sekitarnya sambil mencoba mengingat-ingat letak tempat tidur berada. Tapi, takdir membuatnya untuk terpeleset oleh benda-entah-apa-namanya, sehingga ia hilang keseimbangan, dan menumbruk jendela—yang ternyata tidak dikunci—lalu—

.

—ia pun terjun bebas.

"GYAAAAAAAA!"

.

.

Dan dalam pikirannya Claire sudah membayangkan tubuhnya yang berdarah-darah tidak berbentuk. Kalau kejadian ini masuk koran, ia sudah dapat membayangkan—yang sempat-sempatnya saat jatuh—'Seorang gadis dari Mineral Town tewas karena terjun dari lantai dua villa milik Romana. Setelah diperiksa, telah diketahui penyebab kematiannya adalah terpeleset.' Tragis.

.

.

'Ng?'

'Kok tidak sakit? Aku sudah mati, ya?'

Claire ingin membuka mata, tapi tubuhnya masih merasakan ketakutan karena jatuh dari ketinggian tadi. Tapi, perlahan-lahan, setelah seluruh sarafnya tenang, ia mencoba membuka kedua safir miliknya, dan—

—baru ia sadar, kalau tubuhnya sedang—dipeluk.

"HAH!" Claire pun meronta, dan lepas. Segera ia menjauh dari yang memeluk.

.

Bulan saat itu tidak ditutupi awan. Claire bisa melihat dengan jelas sosok yang ada di hadapannya.

.

Lelaki berambut perak.

.

"Kau tidak apa-apa, Nona?" ujar lelaki itu, dengan raut sepertiga tersenyum, sepertiga khawatir, dan sepertiga lagi bingung karena tiba-tiba ada seorang wanita jatuh dari lantai dua.

.

Claire menatap laki-laki itu lekat-lekat.

Matanya hijau tua.

Masih muda.

Perak.

Mereka berdua bertatap-tatapan. Lama sekali. Sampai rasanya terdengar lirik lagu band RAN, —"kurasa ku telah jatuh cinta, pada pandangan yang pert—"

"Rambut perak!"

Mungkin karena terlalu fokus pada benda yang diincarnya, Claire pun— GREP!

"ADUH!"

—tanpa ba-bi-bu menarik rambut perak si lelaki. Dapat beberapa helai. "Akhirnya!"

Bagus, Claire. Kau menghancurkan suasana.

"Kenapa kau tiba-tiba menarik rambutku?" ujar si Lelaki—sedikit teriak—pada gadis brutal di hadapannya. Dia memegang kepalanya—perih. Claire, kau hampir membuat seorang lelaki muda bernasib sama dengan Thomas.

Dan beberapa detik kemudian, Claire baru sadar dengan apa yang baru saja diperbuatnya. Mampus! "E—eh, ka—karena aku butuh rambut perakmu!" jawabnya dengan sangat jujur.

"Untuk apa?" tanya si pemuda—oke, Author yakin pembaca pasti sudah tahu siapa pemuda ini. Mari kita langsung sebut namanya saja mulai sekarang—Skye.

Claire mulai kelabakan. "U—untuk ..." Otaknya bekerja keras mencari alasan. "... ko—koleksi? Ya! Untuk koleksi!" jawabnya, stress.

"Hah?" Skye memasang tampang cengo. "HAHAHAHAHA!" Entah kenapa malah tertawa.

Claire merasa mukanya panas. Di dalam hati ia merutuki kebodohannya sendiri.

"Menarik, hahahaha!" Skye masih tidak berhenti tertawa. Setelah satu menit tertawa lepas, ia pun teringat pada hal yang seharusnya dilakukannya di rumah ini. Tapi, karena ada seorang gadis yang menarik di sini ...

Skye tersenyum, mengeluarkan aura pheromone-nya yang biasa membuat para wanita lumer. "Aku adalah seorang pangeran malam. Sebut aku Phantom Skye. Aku yakin dewi keberuntungan sedang berpihak padaku, karena aku bisa bertemu dengan gadis cantik seperti dirimu."

Kalimat itu membuat Claire serasa tersengat listrik.

Kalimat itu—!

Kalimat itu—!

"Kau playboy, ya!" teriak Claire tiba-tiba. "Iya, 'kan!"

"Hah?"

Dan Claire segera memeriksa ranselnya, dan langsung mengambil kapak peraknya—yang entah kenapa bisa muat dalam ransel—dan langsung memasang pose siap tempur sambil mengacungkan kapaknya. "Pergi! Jangan dekat-dekat!"

"He—hei, tunggu dulu, Nona!"

"Pergi!"

Bingung, Skye pun akhirnya melancarkan serangan, "CHICK-BEAM ... FIRE!"

BZIT!

Tangannya, kakinya—Claire merasa tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Seperti membatu. "A—apa yang—?"

Skye menghela nafas lega. "Kenapa kau tiba-tiba menyerangku?"

"Karena aku benci sekali pada playboy seperti dirimu!" teriak Claire, mukanya memerah. Marah.

Hening.

.

Menarik.

Bukannya merasa aneh, tapi entah mengapa rasa tertarik si rambut perak pada gadis di hadapannya ini semakin besar. "Boleh aku tahu namamu, Nona?" ujarnya, mengeluarkan senyum mautnya lagi.

Claire mendengus. "Tak akan pernah kuberitahu."

"—Claire, kamu dimanaaaaa?" teriak Lumina yang sangat kedengaran dari dalam villa.

'Sial,' pikir Claire.

"Oh, namamu Claire, ya?" Skye terkekeh pelan. "Nama yang cocok untuk gadis cantik sepertimu."

'Aku muaaaaal!' Claire semakin merasa ingin lari dari tempat ia berdiri. Tapi, percuma. "Lepaskan aku, Maling!"

"Oh, iya! Berkatmu, aku teringat lagi pada tujuan awalku." Dan kemudian, Skye mendekati Claire, mengambil beberapa helai rambut pirangnya—saat itu Claire mengira Skye akan menjambak rambutnya juga—dan kemudian, ia mengecup rambut itu singkat. "Sampai jumpa, Nona."

Raut wajah Claire berubah horror.

Dan Skye pun melompat ke atas pohon, menuju jendela kamar Lumina yang terbuka di lantai dua.

.

.

.

"Claire, kau dimana?" teriak Thomas yang keluar dari villa, diikuti Lumina yang berteriak, "Claireeeee!"

"AKU DI SINI!"

Thomas dan Lumina pun berlari ke asal suara. "Claire!" teriak Lumina, lega, saat menemukan orang yang mereka cari-cari.

"Kenapa kau mengacungkan kapak begitu?" ujar Thomas dengan satu alis terangkat.

Claire menggerutu. "Ini ulah maling itu! Awalnya aku mau mengusirnya, tapi dia malah membuatku begini!" ujarnya dengan nada yang sangat sangat kesal.

Lumina pun mendekati Claire yang tidak bisa bergerak. "Kamu terkena mantra Phantom Skye, ya?" Ia pun membopong tubuh Claire—Lumina tahu kalau Mayor rawan encok, jadi tidak mungkin Mayor yang membopong, 'kan? "Maaf ya, kami tidak menyadari kalau kamu ada di sini. Ayo, kubantu."

.

.

.

Claire ditidurkan di sofa ruang tamu villa Romana. Lumina menceritakan kalau lukisan itu telah hilang dicuri, tapi tidak apa-apa katanya, karena pamannya—yang ternyata dikabari neneknya—menelepon akan membuatkan lukisan yang lebih bagus lagi.

Lumina pun permisi lagi ke kamar neneknya. Thomas duduk-duduk di sofa di hadapan Claire.

"Mayor, aku sempat menarik rambut pencuri itu, dan dapat beberapa helai rambutnya," Claire tersenyum, sambil menunjukkan beberapa helai rambut berwarna putih keperakan. "Ini."

Thomas diam saja, dan raut wajahnya seperti—bersalah?

"Kenapa diam saja?" tanya Claire bingung.

"Maaf, Claire."

Satu alis Claire naik. "Hah? Kenapa?"

Mayor menunduk. "Sebenarnya ... Ellen bilang, bahan ke-2 harus diberikan sendiri oleh pemiliknya dengan ikhlas. Baru mujarab."

Mata Claire terbelalak. "Maksudnya—"

"Phantom Skye harus memberikan sendiri rambutnya."

Seluruh saraf Claire yang tegang menjadi semakin tegang. "APA!"

.

.

.

TBC

.

.

.

.

Eh, masih nyambung sedikit.

Tidak mereka ketahui, seorang dengan rambut peraknya sedang senyum-senyum sendiri mendengar percakapan Claire dan Thomas dari atas pohon.

.

.

.


TBC beneran


AN: Itu isi villa entah kenapa berubah-ubah begitu. Aiiih, selesai mengetik tak sanggup lagi melihat isi fic. -_-''

.

.

.

Review? ;) *mata genit* #PLAK!