*Tengok kanan, tengok kiri, tengok depan, tengok belakang*

*Nyengir gaje, dilempar ke jurang*

Uwaahhh, minna-san, readers-san, gomenasai aku baru sempet update fic ini. Euh, iya, 3 bulan adalah waktu yg sangaaaattt lama bagi fic ini untuk keluar dari masa-masa suram (?). Jebloknya nilaiku di semester kemaren menyebabkan kaa-sanku berang. Ujung2nya, hobiki bikin fic disalahin. Dan aku mesti terjerat pada perjanjian yang menyebabkan aku harus berpisah dengan si Leppy.

Ah, aku baru saja UTS, mohon doanya agar nilai UTS itu bisa ngebantu IP-ku buat semester ini. Karena peningkatan nilai, berarti kebebasan make Leppy = bisa update teratur lagi..hehehe…XD

Okeh, tanpa banyak cing-cong, kupersembahkan Moonlight Dance chapter keenam bagi semua readers yang telah menanti (PD amat?). Happy reading…^^


Disclaimer : Bleach punya Pak (?) Tite Kubo. Kalau milikku, Ulquiorra Schiffer akan jadi tokoh utama laki-laki. Dan aku sebagai tokoh utama perempuan. Hehehe…*plak*

Genre : Fantasy dan (berusaha) Romance

Rate : T

Warning : (sepertinya) Modify Canon, typo(s) bertebaran, EYD berantakan, dll. Kebeteaan selama baca fic ini bukan tanggung jawab author. *nyengir gak jelas/ditimpukin batu*

.

.

.

"Jinteki sakusetsu, Suzumebachi!"

Ggio terbahak. Seringainya melebar seiring dengan mood bertarungnya yang sedang tinggi. Sungguh, belum pernah dia merasa begitu ingin menakhlukkan musuhnya seperti yang sedang ia rasakan sekarang. Bahkan keinginan itu pula yang menghapus keberadaan Apache. Praktis hanya menyisakan dirinya dan shinigami perempuan berambut pendek itu.

Ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Sekaligus pertemuan pertama yang berkesan.

.

.

.

Moonlight Dance

By

Relya Schiffer

Chapter 6 : Protection

.

.

.

Malam di kota Karakura begitu tenang. Bulan pucat di langit pun masih membentuk sabit. Dalam perhitungan manusia, mungkin sekarang sudah tengah malam. Wajar saja jika seluruh penduduk kota tengah menikmati waktu istirahat mereka.

Sesosok makhluk berpakaian putih muncul di udara. Mata birunya berkeliling menyapu seluruh sudut yang mampu dijamah. Dia memiliki tugas dari penciptanya yang harus dilakukan. Padahal banyak hal yang belakangan ini menyita pikirannya.

"Bawalah tiga arrancar bersamamu, Grimmjow. Buat keributan di Karakura. Aizen-sama ingin mengetahui sejauh apa Soul Society bersiaga untuk merespon kehadiran kita."

Kata-kata Gin terngiang di kepala Grimmjow Jeagerjaques, Sang Sexta Espada. Dia ingin sekali menolak perintah itu. Dia tidak ingin meninggalkan Tia, terlebih setelah lenyapnya sebuah reaitsu yang sangat dikenali oleh seluruh penghuni Las Noches. Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Siapa yang telah menyebabkan reiatsu itu menghilang? Apa tujuannya?

Tangan Grimmjow mengepal kuat. "Cih, Kelelawar Sial! Pergi kemana kau sebenarnya?" desisnya geram.

Grimmjow masih belum melakukan apa-apa ketika sebuah panah reiatsu hampir mengenai lengan kanannya. Arrancar berambut biru itu pun menatap ke bawah dan mendapati seorang pemuda berkaca mata dengan busur panah di tangan kiri. Grimmjow mengenalinya.

"Hai, Arrancar. Baik sekali kau mengunjungi Karakura dalam waktu yang berdekatan," sapa pemuda itu.

Grimmjow berdecah. "Cih, Quincy," cibirnya.

Ishida tersenyum kecil melihat kekesalan di wajah Grimmjow. Setelah keberangkatan Orihime ke Soul Society, Urahara sudah memperingatkannya dan Sado agar selalu waspada dengan kemunculan arrancar. Ternyata pria berambut pirang itu benar.

"Kemana teman-temanmu? Apa kau sendirian?"

Grimmjow mengabaikan pertanyaan Ishida. Dia bergerak turun hingga kakinya menjejak tanah. Tatapan mata safirnya sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Wajah Ishida pun menunjukkan kewaspadaan tinggi. Dia tahu siapa yang sedang dihadapinya.

"Aku tidak punya urusan denganmu, Quincy," kata Grimmjow tegas.

"Tapi aku tak bisa membiarkan penyusup mengacaukan Karakura," balas Ishida.

Di luar dugaan, Grimmjow memamerkan seringai sombongnya. "Perkenalkan, Grimmjow Jeagerjaques, Sexta Espada!"

"Ishida Uryuu, Quincy."

"Baka!" sentak Grimmjow. "Tanpa kau beritahu pun aku sudah tahu. Pakaian anehmu itu khas Quincy yang menyedihkan, bukan?" dia tertawa mengejek.

Ishida membalas ejekan sosok dihadapannya dengan tersenyum. Sepasang kristal biru tua berkilat dari balik lensa kaca matanya.

"Kalau begitu, biar kutunjukkan padamu, bagaimana 'Quincy yang menyedihkan' bisa membuatmu tak berkutik."

"Che, silahkan!"

Cero merah terisi di telapak tangan kanan Grimmjow. Dia menembakkannya ke arah Ishida, namun pemuda itu segera berkelit. Gerakannya cukup lincah saat menyingkir dan muncul di belakang Grimmjow. Puluhan panah reiatsu meluncur serempak.

Grimmjow berseringai lagi. Anak panah berkecepatan tinggi yang diluncurkan Ishida hanyalah mainan baginya. Dengan mudah, Grimmjow ber-sonido dan kembali muncul di belakang Ishida. Kakinya hendak menyarangkan tendangan, namun hanya menyapa angin. Ishida telah terlebih dulu menghindar.

Ekspresi senang terpancar di wajah Grimmjow. Lincah juga, pikirnya. Tapi mood-nya yang sedang tidak baik, membuat dia tak ingin bermain-main. Jadi, tak peduli siapa lawan yang berdiri di depannya, pasti akan dihabisi. Mungkin terdengar seperti pelampiasan, tapi Grimmjow tak peduli. Espada berambut biru langit itu pun berseru keras seraya melayangkan serangan.

"Mati kau!"

Cero dan bala yang datang secara bertubi-tubi cukup menyudutkan Ishida. Beberapa kali ia nyaris terkena sinar merah yang dilontarkan Grimmjow. Anak panahnya tak begitu berarti karena Espada keenam itu bergerak dengan kecepatan yang tak bisa dengan mudah ditangkap mata. Ishida baru mengarahkan busurnya, tapi Grimmjow telah berpindah. Dan begitu anak panah dilepaskan, arrancar itu sudah sudah menghilang. Berganti dengan tembakan bala yang datang tiba-tiba.

Jujur saja, Ishida harus mengakui bahwa dia terdesak. Pergerakan Grimmjow sulit diprediksi. Dia seperti menjadi mainan bagi arrancar bertopeng di bagian rahang itu.

"Cih, sial!" geram Ishida ketika lagi-lagi nyaris terkena cero yang ditembakkan Grimmjow. Dia terpaksa mundur dan terhempas di tanah. Sementara Grimmjow tertawa terbahak-bahak. Satu hal yang disesalkan Ishida : kenapa Quincy tidak memiliki kemampuan untuk bertarung di udara seperti shinigami dan arrancar?

"Bagaimana, Quincy? Apa kau yakin bisa membuatku tak berkutik?" sergah Grimmjow. Ishida tak menjawab. Dan kenyataan itu membuat Grimmjow semakin pongah.

Dia mengarahkan telapak tangannya ke arah Ishida. Reiatsu-nya meningkat seiring dengan terbentuknya sinar merah dengan intensitas tinggi di tangan itu.

Ishida terbelalak. Alarm peringatan di kepalanya berdengung keras. Dia tahu apa yang akan dilakukan Grimmjow. Serta merta, dia arahkan busur panahnya dan sebuah anak panah ke arah Grimmjow. Ishida memusatkan seluruh fokus dan reaitsu yang ia miliki pada anak panah di tangannya.

Grimmjow akan menembakkan cero berkekuatan besar, Ishida menyadari hal itu dari pendar cahaya merah di tangan musuhnya. Dan ia tak punya waktu untuk menghindar, apalagi membalas. Pilihan yang tersisa hanyalah bertahan. Ishida akan mencoba membelah cero Grimmjow dengan anak panahnya. Dia akan mencoba segala kemungkinan yang ada.

Keseriusan di wajah Ishida membuat Grimmjow menyeringai. Mata birunya membiaskan warna merah seiring dengan semakin kuatnya intensitas cero di tangannya.

"Hoo, jadi kau mau bertahan, Quincy?" ledeknya. "Baiklah. Kalau begitu, ucapkan selamat tinggal pada dunia. Aku bosan dengan lawan yang lemah sepertimu."

Seringai Grimmjow melebar ketika cero telah dilepaskan. Serangan penghancur khas arrancar itu meluncur cepat ke arah Ishida. Sementara pemuda berkaca mata itu mengeratkan genggaman pada busurnya. Reiatsu-nya terpusat, membuat busur dan anak panah di tangannya bersinar terang―menyilaukan. Semakin cero itu mendekat, Ishida semakin memicing. Dia telah mempersiapkan diri terhadap semua kemungkinan. Perhitunganku harus tepat. Kalau tidak, aku bisa mati, gumamnya.

Jarak yang telah diperhitungkan telah dilewati cero merah Grimmjow. Ishida hampir saja melepaskan anak panahnya, namun seorang anak kecil tiba-tiba berdiri di hadapannya. Dia menghadang kedatangan cero yang hendak melibas Ishida dengan tangan terentang. Quincy berambut biru itu tersentak. Konsentrasinya buyar. Sementara di atas sana, Grimmjow tertawa membahana.

"Hei, apa yang kau lakukan di situ? Menyingkir!" teriak Ishida keras. Tapi anak kecil itu tidak menanggapi. Dia justru menatap cahaya merah itu tanpa takut.

Dan dalam hitungan detik, keterkejutan Ishida memuncak. Anak itu membuka mulut. Dia menelan semua cero yang datang hingga habis tak bersisa.

Ishida terbelalak. Grimmjow berhenti tertawa dan ikut terbelalak. Mata safirnya melebar setelah menyadari Quincy di bawahnya tidak terluka sedikit pun. Dan ia semakin tersentak melihat sesosok anak kecil berdiri di depan Ishida. Rambut hiijau toska, stigmata merah, dan dia―menelan cero?

"Tidak mungkin…" desis Grimmjow tak percaya. Ini tidak mungkin, tiga kata itu terngiang dengan jelas di benaknya. Hanya ada satu orang yang dia kenal memiliki kemampuan itu.

Dan sebelum Grimmjow berhasil menuntaskan pikirannya, anak kecil di bawah sana kembali membuka mulut mungilnya. Dia memuntahkan kembali cero yang telah ia telan. Cahaya merah itu meluncur dengan kecepatan dua kali lipat ke arah Grimmjow yang masih terbelalak.

Tepat sebelum serangan yang dikembalikan itu menghantamnya, sebuah nama terlontar dari bibir Grimmjow. Sebuah nama yang membawa begitu banyak kenangan.

"Ne-Neliel?"

Ledakan besar terdengar. Asap kelabu mengepul di langit malam.

*#*#*#*

"Mati kau! Mati kau! Mati kau! Mati kau, shinigami sialaaaann!"

Teriakan keras Apache menggema. Pukulannya sama sekali tidak mengakibatkan luka serius, mengenai sasaran pun tidak. Sekeras apapun dia berusaha, shinigami perempuan berkepang itu selalu bisa menghindar. Bahkan menyerang balik.

"Siapa kau sebenarnya, perempuan sial?" cerca Apache kesal. Dia melayangkan pukulan yang dengan mudah bisa dihindari.

Shinigami berambut pendek itu tersenyum kecil. Dia kelihatan tenang, berbeda dengan Apache yang terengah lantaran nyaris kehabisan napas. Sangat terlihat bahwa pertarungan itu berada di bawah kuasanya.

"Ingin tahu namaku, Arrancar? Baiklah, akan kuberitahu." Dia menatap Apache dengan permata kelabu tuanya. Tangannya yang terpasang benda berwarna emas serupa senjata berbentuk jarum terarah ke atas. "Namaku―"

TRANG!

Dua metal beradu, menimbulkan dentang yang menandakan bahwa pemilik senjata telah menyadari kehadiran masing-masing.

"―Shaolin Fon, Ni bantai taichou."

Ggio Vega―yang muncul diam-diam dengan menyerang dari atas―menyeringai senang. Mata emasnya beradu dengan permata kelabu tua yang mendongak. Dia tahu bahwa kapten perempuan ini memiliki kewaspadaan tinggi. Bukan hal aneh jika kedatangannya bisa dirasakan oleh shinigami yang baru saja mengucapkan nama itu.

Soifon menyentak tangannya, menyebabkan Ggio langsung melompat dan mendarat di sebelah Apache. Seringaian penuh minat masih terpancar di wajah arrancar dengan topeng berbentuk kepala harimau bertaring itu.

"Aku sudah mengira kau bisa menyadari kedatanganku, Soifon-taichou," kata Ggio. "Ah, bolehkan aku memanggilmu begitu?" ejeknya.

Dalam hati, sebenarnya Soifon geram. Dia tidak memberitahukan arrancar itu nama panggilannya. Tapi dengan seenaknya, dia sudah menyimpulkan sendiri. Benar-benar membuat Soifon semakin ingin mengakhiri pertarungan yang hanya membuang-buang waktu ini.

"Lakukan sesukamu, Arrancar," balas Soifon. "Karena itu adalah kesempatan terakhirmu." Dia berusaha sekeras mungkin agar tetap terlihat tenang. Tapi seringaian itu, tatapan berbinar mata emas itu―mereka sungguh mengesalkan.

Ggio tertawa. Diliriknya Apache yang masih mengatur napas.

"Hei, Apache, sisakan shinigami ini untukku, ya. Kau bantu saja Luppy. Reiatsu-nya melemah. Sepertinya dia kalah."

Apache melotot. "APA?" jeritnya membuat Ggio agak meringis. "Kenapa harus aku, hah? Lawanku adalah dia!" Tangan Apache menuding Soifon yang masih berdiri tegak.

"Kau saja yang membantu anak kemayu itu." Arrancar berambut pendek itu melengos kesal.

"Hei, ayolah. Aizen-sama telah memberi kita perintah," bujuk Ggio. "Dan aku―" Dia memutar bola matanya hingga sekali lagi bertatapan dengan mata kelabu Soifon. "―penasaran dengan kekuatan Ni bantai taichou dari Gotei 13."

Ekspresi kesal di wajah Apache berubah. Diliriknya rekannya yang sedang menyeringai dengan tatapan aneh. Apache mengatupkan rahang kuat-kuat. Tangannya terkepal. Ada yang berbeda dengan Ggio. Ada yang berbeda dengan tatapan mata emas itu.

"Baiklah," kata Apache setengah hati. "Jangan mati, Ggio!" lanjutnya seraya menghilang dengan sonido.

Ggio tak menyahuti kata-kata itu. Disahuti pun percuma. Apache sudah pergi. Iya, kan? Jadi, fokus utamanya hanyalah pada shinigami berkepang itu.

Ah, ya. Benar. Kepangan―itulah yang sejak awal menarik perhatian Ggio. Dia dan lawannya kali ini memiliki kemiripan. Sungguh sesuatu yang menarik.

"Nee, Taichou, bisa kita mulai sekarang?" tanya Ggio antusias.

"Boleh saja. Kapan pun kau mau," sahut Soifon. Dia bersiaga dengan zenpakutou dalam bentuk shikai di tangannya.

Ggio menyeringai kecil. Sungguh, baru kali ini dia begitu merasakan euphoria aneh saat bertarung. Detik berikutnya, arrancar berambut hitam itu telah meluncur cepat dan menghantamkan pedangnya dengan keras.

Sesuai dugaan, Soifon mampu menangkis serangan itu. Ggio pun semakin berminat dan menghantamkan pedangnya bertubu-tubi. Dentang metal yang beradu membuat ia tak bisa menahan tawa. Sesekali ia melengkapi hantaman pedangnya dengan tembakan bala.

"Hadou no yon, Byakurai!"

Bala Ggio meledak di udara setelah berbenturan dengan hadou yang dilepaskan Soifon. Di antara asap yang masih mengepul, sosok Ggio menyeruak dan melayangkan pukulan yang ditangkis oleh Soifon. Mata emasnya sangat waspada terhadap senjata seperti jarum di tangan lawannya. Sebisa mungkin dia menghindari pergerakan Soifon yang sangat berniat menusukkan senjata unik tersebut.

"Hei, Taichou, bisa kau jelaskan benda apa ditanganmu itu?" tanya Ggio di sela-sela pertarungan.

Soifon menangkis tendangan Ggio yang terarah ke samping kanannya. "Tidak perlu kau tahu. Yang jelas, senjata ini akan menghapus keberadaanmu."

Ggio tersenyum mengejek. "Benarkah? Apakah itu semacam jarum beracun?" Dia menangkap kaki kanan Soifon dan mendorongnya. Tangan kanannya bersiap menghantamkan pedang, namun Soifon terlanjur bergerak cepat, berusaha menggapai bahu kiri Ggio dengan Suzumebachi. Ggio terpaksa berkelit dan membatalkan serangannya. Dia lebih mengutamakan keselamatannya karena benda di tangan Soifon tampak berbahaya.

"Dua tusukan di tempat yang sama―" Soifon kembali menghantamkan tinju kiri. Kali ini tepat mengenai sasaran. Ggio terpelanting namun tidak sampai tersungkur. Dia tersenyum kecil sambil meludahkan darah dari mulutnya.

"―akan menjadi pertanda kematianmu, Arrancar," lanjut Soifon sambil menatap lawannya tajam. Tanpa membuang waktu, dia segera ber-shunpo dan muncul di belakang Ggio.

Ggio cukup terkejut dengan pergerakan lincah Soifon. Dia segera ber-sonido dan memutar-balikkan keadaan. Tanpa mengurangi seringaian di wajah tampannya, dia mencekal tangan kiri Soifon, dan menarik tangan itu hingga sejajar dengan wajahnya. Sementara tangan kanannya yang memegang pedang terarah ke leher Soifon, tepat di bawah dagunya. Tanpa ia sadari bahwa ujung jarum Suzumebachi telah menempel di bagian kanan lehernya.

"Ah, aku tertangkap," keluh Ggio, masih dengan tersenyum. Dia menoleh dan menatap mata kelabu itu dengan seringaian aneh.

Tatapan Soifon mengeras. "Sebelum kau bisa merasakan darah dari pergelangan tanganku, Suzumebachi akan membunuhmu lebih dulu," ancamnya.

"Cerdas juga," puji Ggio diikuti tawa kecil. "Aku hanya ingin mencicipi sedikit darahmu, Taichou. Karena bau darahmu lebih lezat dari reiatsu-mu."

"Tak ada satu pun yang akan kuberikan pada arrancar sepertimu," tegas Soifon. Tanpa ragu, ia menusukkan senjatanya di leher Ggio. Sebuah tato kupu-kupu hitam tergambar di sana.

"Ggio Vega," kata Ggio seraya menggores leher Soifon hingga meneteskan darah. Dengan cepat, digenggamnya pula tangan kanan Soifon yang sudah siap dengan tusukan kedua. Suzumebachi tertahan. Soifon tersentak. Terlebih ketika mata kelabunya bertatapan dengan iris emas yang menunjukkan keseriusan.

"Namaku Ggio Vega. Dan jika kau berani memberiku tusukan kedua, akan kupenggal kepalamu,"

*#*#*#*

Kadang-kadang Orihime berpikir, hidup ini tak lebih dari permainan. Tak peduli di dunia manusia, maupun di dunia Shinigami. Semuanya tak berbeda.

Bagaimana tidak?

Beberapa saat yang lalu, Orihime masih bercengkrama riang bersama Ichigo. Ia juga masih merasakan kebahagiaan yang meluap karena dapat bertemu kembali dengan pemuda yang telah merebut hatinya itu. Ia merasa sangat senang karena mendapatkan teman baru yang sangat baik seperti Rukia dan Renji.

Namun tiba-tiba, seekor kupu-kupu hitam―yang disebut Rangiku sebagai kupu-kupu neraka―muncul dan menyiarkan kabar : beberapa Hollow muncul di hutan sebelah timur Rukongai. Semua celoteh pun terhenti oleh tanggung jawab yang harus dipenuhi.

Dan di sinilah Orihime berada sekarang. Berlindung di balik sebatang pohon, sementara Ichigo, Rukia, dan Renji sedang berusaha mengalahkan tiga hollow yang mengamuk. Pertarungan sengit antara shinigami dan hollow bukanlah sesuatu yang ingin disaksikan oleh Orihime, sebenarnya. Namun, meski telah dilarang Rangiku, Orihime tetap memaksa ingin menyaksikan pertarungan itu. Dia merasa tak adil jika orang lain menyabung nyawa dalam pertarungan, sementara ia harus berdiam di bawah perlindungan.

"Jika aku adalah pure soul, maka suatu hari nanti aku akan terlibat dalam pertarungan. Aku harus mempersiapkan diri." Kata-kata itulah yang akhirnya membuat Rangiku mengalah dan mengajak gadis berambut senja itu untuk mengamati teman-temannya bertarung. Dengan catatan, mereka hanya menyaksikan dari jauh. Orihime pun setuju.

Ledakan di udara menyebabkan angin keras berhembus kencang bersama reiatsu yang menguar. Lawan Ichigo dan Renji adalah dua hollow setingkat adjuchas berbentuk seekor burung besar dengan dua kepala. Paruhnya melengkung tajam dengan cakar hitam panjang. Sedangkan yang menjadi lawan Rukia berbentuk seperti gurita. Sesekali dia menyemprotkan cairan berwarna hijau yang bisa mengubah apapun yang disentuhnya menjadi abu. Sungguh berbahaya.

"Hollow berbentuk gurita itu cukup kuat," ucap Rangiku pelan. Mata kelabu terangnya mengamati dengan seksama pergerakan Rukia yang terdesak.

"Kau tidak membantunya, Rangiku-san?" tanya Orihime khawatir. Tak sedikit pun ia melepaskan tatapan dari pertarungan di atasnya.

Rangiku menoleh. Ia bisa melihat kecemasan terpancar jelas di mata gadis itu.

"Aku harus menjagamu, Hime-chan."

"Ta-tapi… Kuchiki-san membutuhkan bantuan." Orihime menatap Rangiku sejenak, lalu kembali memandang ngeri ke lokasi pertempuran. "Kau harus membantunya, Rangiku-san."

"Tapi―"

"Rukiaaaaa!"

Pekikan Ichigo mengandaskan kata-kata Rangiku. Pemuda itu mengubah arah serangannya dan segera ber-shunpo untuk menangkap tubuh mungil Rukia yang terhempas oleh tentakel hollow berbentuk gurita.

"Bodoh! Jangan lengah dalam bertarung. Atau kau bisa mati, Ichigo!" sergah Rukia setelah ia menjejakkan kakinya di tanah. "Arigatou," ucapnya seraya mengusap darah di sudut bibirnya.

Ichigo mengangguk. Kecemasan tampak jelas di sepasang mata coklatnya. " Kau baik-baik saja, Rukia?" tanya pemuda berambut orange itu.

Rukia mengangguk kecil. "Pekerjaan kita belum selesai."

Kali ini giliran Ichigo yang mengangguk. Keduanya kembali menghentakkan kaki dan melompat ke udara, di mana lawan mereka telah menunggu.

Raungan berat terdengar di antara dentang metal pedang. Orihime menggigil seketika saat reiatsu terasa melingkupi tubuhnya. Rangiku yang menyadari hal itu mengepalkan tangan. Mereka terdesak, benaknya menarik kesimpulan. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Orihime, dia kembali melirik sosok di sebelahnya yang mencoba mati-matian bertahan dari tekanan reaitsu ketiga adjuchas itu.

"Ra-rangiku-san… Ku-kuchiki-san…"

Geraman kecil diperdengarkan oleh shinigami berambut blonde itu. Dia mengerti perasaan Orihime dan keinginannya untuk membantu Rukia. Tanpa membuang waktu, Rangiku segera mencabut pedangnya dan menatap Orihime.

"Pastikan kau tetap di sini selama aku membantu Rukia, Orihime," tegasnya.

Orihime hanya mengangguk pelan sambil tetap berpegangan pada pokok pohon. Detik berikutnya, ia bisa menyaksikan bagaimana Rangiku bergabung dengan Rukia di atas sana.

Tekanan reiatsu yang terasa mulai memudar. Orihime segera mengatur napasnya yang semula sesak. Hatinya tetap was-was dengan keselamatan teman-temannya. Aku ingin sekali membantu mereka. Tapi aku tidak tahu bagaimana caranya, dia bergumam miris. Hanya bisa mematung tanpa berbuat apa-apa di saat orang lain tengah melindunginya adalah hal yang sangat menyedihkan.

Kepala Orihime tertunduk lesu. Tidak berguna. Ia merasa sungguh tidak berguna.

"Aku… ingin… kekuatan," desis Orihime lirih. "Aku… ingin kuat…"

"Karena itulah kami ada, Orihime-chan."

Orihime tersentak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari pemilik suara yang baru saja terdengar. Tapi ia tak menemukan siapa-siapa. Suara tadi terdengar begitu dekat. Tapi di mana?

"Siapa itu?" seru Orihime, masih dengan memandang berkeliling.

"Kami adalah kekuatanmu, Orihime," suara lain terdengar. Kali ini suara laki-laki. Orihime semakin penasaran. Namun yang menjadi pemandangan di sekelilingnya tetaplah deretan pepohonan.

"Kekuatanku?" Orihime balik bertanya. Padahal ia masih tak yakin dengan siapa ia berbicara.

"Kurasa ini waktunya kami memperkenalkan diri," suara yang pertama kali bicara kembali terdengar. Dan tepat ketika suara itu lenyap, sepasang jepit rambut di kepala Orihime bersinar. Kemilau orange membuat pemiliknya terperangah. Bibir dan lidahnya terasa kelu, hingga ia hanya bisa mengucapkan sebuah kalimat pendek dengan tergagap.

"A-apa ini…?"

.

.

.

"Unare, Haineko!"

Kumparan debu berterbangan dan mengurung hollow berbentuk gurita di dalamnya. Tubuh hollow itu tersayat-sayat dan mengeluarkan darah. Hollow itu meraung keras. Dia menjulurkan ketiga tentakelnya untuk menggapai Rangiku. Namun seruan lain terdengar.

"Tsugi no mai, Hakuren!"

Dan ketiga tentakel itu membeku, lalu hancur oleh serangan Rukia. Sang Hollow kian meraung. Apa yang dilakukannya kemudian membuat Rangiku dan Rukia terbelalak.

"Apa? Regenerasi?" pekik kedua shinigami itu kompak.

Tiga tentakel baru kini telah menggantikan tentakel yang telah hancur. Dengan tubuh yang kembali lengkap, hollow itu pun melancarkan serangan. Sebuah cero dilepaskan. Rukia dan Rangiku menghindar. Namun kemudian, mereka sadar kemana cahaya merah yang berbahaya itu terarah. Amethys Rukia terbelalak lebar. Sedangkan Rangiku memekik keras.

"Orihimeee!"

Pekikan itu menarik perhatian Ichigo serta Renji. Keduanya segera memahami apa yang terjadi ketika mata mereka membiaskan warna merah cero yang melintas.

"Inoueee!" Ichigo berteriak. Ia melupakan lawannya dan melesat mengejar cero itu. Tanpa memikirkan imbas dari tindakannya, ia mengayunkan pedang besarnya seraya berseru keras.

"Getsuga Tenshouuu!"

Sinar putih bergelut bersama cahaya merah. Dan kedua cahaya itu meluncur semakin cepat. Melihat Ichigo justru menambah daya hancur cero hollow itu, Rangiku kembali memekik.

"Jangan, Ichigo!"

Namun terlambat. Sebuah ledakan besar telah menghancurkan daerah tempat cero yang telah bercampur dengan serangan Ichigo mendarat.

*#*#*#*

Soifon menggeram sengit. Posisinya memang sedang tidak menguntungkan. Dia tak pernah membayangkan akan disudutkan oleh seorang fraccion Espada seperti sekarang. Tentu saja Soifon tidak takut jika harus mati bersama musuhnya kalau itu demi menjalankan tugasnya sebagai seorang kapten. Hanya saja, ia masih ingin berpartisipasi dalam menumbangkan Aizen di Winter War nanti. Jika dia harus mati malam ini, itu akan terasa terlalu cepat.

"Apa maumu?" tanya Soifon akhirnya.

Ggio menyeringai. Dia memperdengarkan tawa senangnya. Sambil menekan wakizashi-nya ke leher Soifon, dia menggerakkan tangan kiri shinigami itu hingga menyapu lukanya sendiri. Soifon berusaha menahan, tapi Ggio tetap memaksa tangannya bergerak. Arrancar berkepang itu menyeringai saat membawa tangan kiri Soifon yang telah dilumuri cairan merah ke depan wajahnya.

"Hmm, kawaii sekali."

Sebelum Soifon mampu mengerti maksud dari kata-kata itu, Ggio telah menjulurkan lidah dan menjilat darah yang menempel di telunjuk shinigami perempuan itu. Soifon tersentak. Tanpa mempedulikan keselamatannya, ia melepaskan tangan kanannya dari genggaman Ggio dan melayangkan pukulan. Tentu saja pukulan itu mampu dihindari oleh Ggio yang melompat mundur sambil tak tertawa.

"Hahahaha… Lihat, lihat, wajahmu memerah. Sepertinya kau tidak terbiasa dikelilingi laki-laki, Taichou. Mau berlatih denganku, eh?"

Tawa keras Ggio dibalas dengan geraman kesal Soifon. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun, tak bisa ditahan lagi. Karena itulah ia melompat ke atas. Tubuh mungilnya melayang jauh di atas Ggio. Lalu ia bersuara.

"Hadou no sanju san, Sakkaho!"

Bola api merah meluncur cepat. Ggio menyeringai. Ia sama sekali tak bergerak, hanya mengarahkan tangannya ke atas sambil berbisik.

"Cero."

Ledakan terdengar saat dua sinar merah berbenturan di udara. Ggio ber-sonido menjauhi lokasi cero-nya dan hadou Soifon bertabrakan. Di tengah kepulan asap, Soifon menyeruak dan menyerang Ggio secara bertubi-tubi. Ketenangannya goyah.

Dia pikir dia siapa? Beraninya dia mempermainkanku, wajah shinigami itu kini membiaskan kegeraman tingkat tinggi. Sesuatu yang membuat Ggio merasa kian senang. Oh, mengertilah. Tak ada yang lebih seru dari pada mempermainkan emosi musuh.

"Kau harus membayar setetes darahku dengan nyawamu, Arrancar!"

Ggio terbelalak. Dengan satu tendangan ia menangkis pukulan Soifon yang terlatih. Ggio kemudian melompat, memperlebar jarak mereka. Tawanya terdengar sangat menusuk di telinga Soifon.

"Hei, hei, santai saja, Taichou. Kau tidak perlu malu-malu begitu," ejek Ggio.

"Diam!" sengat Soifon. Dia begitu berhasrat menyarangkan satu tusukan lagi pada tattoo kupu-kupu hitam yang telah tergambar di leher kanan Ggio.

Tidak. Tidak seharusnya seperti ini, Soifon tak mengerti. Kenapa arrancar itu bisa mengobrak-abrik emosinya seperti sekarang? Kemana ketenangan yang selalu ia tunjukkan tiap kali bertarung?

Ggio kembali menghindari bola api merah kelima yang dilepaskan Soifon dalam waktu sepuluh detik. Jarak mereka cukup jauh sekarang. Keduanya bertatapan dengan pandangan yang berbeda : Soifon tampak marah, sedangkan Ggio tampak terhibur.

"Pertarungan kita belum selesai. Jangan hanya menghindar, atau kau akan mati!"

"Benarkah? Aku sih berharap bisa bertarung lagi denganmu."

"Kalau begitu, bersiaplah."

Tepat ketika keduanya hendak memulai kembali pertarungan mereka, Grimmjow muncul di depan Ggio. Beberapa goresan tampak melukai wajah kerasnya, sedangkan pakaian yang ia kenakan kotor. Bahkan tampak bekas terbakar di beberapa bagian. Arrancar berambut biru langit itu menatap Soifon dengan dingin.

Kening Ggio berkerut heran. Kenapa tiba-tiba Grimmjow-sama muncul? Apa pertarungannya sudah selesai?, pikirnya. Belum sempat Ggio bertanya, Apache juga muncul dengan memapah Luppy yang terluka.

"Hei, Luppy? Kau kalah, ya? Memangnya siapa lawanmu?" ejek Ggio. Luppy hanya membuang muka dan menepis tangan Apache yang masih memapahnya.

Apache jelas tersinggung. "Hei, pelan sedikit, Bodoh! Sudah ditolong bukannya berterimakasih, malah—"

"Aku tidak minta ditolong," Luppy menyelak.

"Kau!"

"Apa ini?" suara Soifon membuat perdebatan Apache dan Luppy terhenti. "Kalian ingin menghabisiku dengan keroyokan begini? Rendah sekali."

Ggio ingin sekali menyahuti kata-kata Soifon. Namun karena ada Grimmjow, ia hanya diam saja. Biar bagaimana pun, Espada memiliki wewenang lebih tinggi dari fraccion.

Grimmjow membuat robekan di udara, membentuk sebuah lubang hitam di langit.

"Kita kembali," ucapnya singkat seraya memasuki garganta. Apache, Luppy, dan Ggio agak terkejut. Tidak biasanya Grimmjow bersikap sedingin ini. Tidak biasanya Espada keenam itu tak tertarik dengan pertarungan. Apa yang telah terjadi sebenarnya?

Sadar bahwa keempat arrancar itu hendak kembali ke HUeco Mundo, Soifon berusaha mencegah. "Tunggu dulu!" sentaknya.

Tak ada yang menggapi sentakan Soifon. Hanya arrancar terakhir yang sempat menoleh, lalu berseringai kecil. Sepasang mata emasnya masih tampak berbinar di antara kegelapan yang mulai menutup. Dia berbisik pelan. Seolah bisikan itu hanya diperuntukkan bagi shinigami yang malam ini telah cukup membuatnya terhibur dengan pertarungan yang menarik.

"Ja nee, kawaii-Taichou."

Garganta telah tertutup sempurna, meninggalkan Soifon yang terpaku dalam keheningan malam.

*#*#*#*

Sinar orange yang berpendar cukup menyilaukan. Orihime sampai harus menyipitkan mata. Namun itu tak mengubah rasa penasarannya. Mata kelabunya terus mengamati ketika sinar orange itu perlahan-lahan membiaskan enam sosok mungil, yang mungkin hanya sebesar telapak tangan. Orihime terkejut sekaligus takjub. Apa itu peri?

"Orihimeee!"

"Inoueee!"

Pekikan itu mengalihkan perhatian Orihime. Ia pun mendongakkan kepala, bersamaan dengan terdengarnya pekikan-pekikan lain.

"Getsuga Tenshouuu!"

"Jangan, Ichigo!"

Dan saat itulah Orihime melihat cahaya merah yang dilingkupi cahaya putih tertuju ke arahnya. Orihime terbelalak. Tubuhnya bergetar mengetahui cahaya itu adalah cero, cahaya penghancur yang dimiliki oleh hollow. Dan cero itu tengah melesat cepat ke arahnya. Semua pemikiran Orihime pun terhenti. Ia terpaku dengan mata terbelalak lebar. Apakah dia akan mati kali ini?

Kedua tangan Orihime tergenganggam di depan dada. Ketika cahaya itu semakin mendekat, ia memejamkan mata erat-erat. Ia tak bisa bergerak. Jadi yang bisa dilakukannya hanya berdoa dalam hati. Berusaha ikhlas menerima takdirnya : mati sebagai pure soul yang tak bisa melindungi diri sendiri.

Arigatou, minna, sebuah senyum manis tersungging di sudut bibir Orihime. Sayonara…

Orihime merasa segalanya telah berakhir saat tubuhnya tiba-tiba tertarik. Ia bisa merasakan sepasang lengan mendekapnya erat beberapa detik sebelum ledakan keras terdengar. Debu-debu beterbangan tak karuan. Asap mengepul tinggi di udara. Kawah lebar berbentuk lingkaran terbentuk di tempat cero tadi jatuh, dengan dua sosok berdiri di tengahnya.

Orihime tidak tahu siapa pemilik lengan kukuh yang masih melindunginya. Yang ia tahu, bahwa seseorang telah menyelamatkannya. Dia telah mengorbankan diri untuk menjadi tameng demi melindungi Orihime. Dan menyadari kenyataan itu, mata kelabu Orihime segera terbuka. Ia mendongakkan wajah. Seketika, gadis berambut senja itu kembali tersentak. Sungguh, semua yang terpantul ke dalam retinanya adalah sesuatu yang tak pernah ia perkirakan.

Rambut hitam. Mata emerald. Wajah pucat. Sepasang garis hijau serupa tanda air mata. Pecahan topeng di kepala kiri. Baju putih.

Arrancar!

"K-kau…"

Tak hanya Orihime yang tampak tersentak. Ichigo, Rukia, Renji, dan Rangiku pun kaget bukan main setelah mengenali sosok yang masih bersama Orihime.

"Ulquiorra Schiffer?" pekik Renji dan Rukia bersamaan. Ichigo bahkan langsung berinisiatif menyerang.

"Menjauh dari Inoue, Arrancar! Getsuga Tenshou!"

"Baka!" bentak Rangiku. Ichigo benar-benar tidak belajar dari kesalahan. Kenapa dia masih tidak sadar bahwa serangannya justru bisa membunuh teman yang ingin dilindunginya? Rangiku hampir saja melesat ke tempat Orihime, namun keajaiban lain terlanjur terjadi.

Dari tempatnya berdiri, Orihime masih tak mengerti keadaan. Ia bahkan masih berada dalam pelukan Ulquiorra. Tubuhnya kaku dan tak bisa digerakkan. Namun cahaya putih yang sedang menuju ke arahnya itu harus ditahan. Ia harus melindungi dirinya sendiri. Harus!

Dan tiba-tiba saja, Ulquiorra bersuara.

"Lindungi dirimu, Onna,"

Orihime sadar bahwa yang baru saja bicara adalah musuhnya. Tapi kenyataan bahwa Ulquiorra telah menyelamatkan nyawanya tak bisa disanggah. Pelan, Orihime menggangguk. Meskipun tak tahu bagaimana caranya, tapi ia yakin, ia bisa melindungi dirinya sendiri. Bersamaan dengan itu, suara-suara aneh yang tadi sempat didengarnya kembali muncul.

"Ikuti kata-kata kami, Hime-chan…"

Mata kelabu Orihime menatap cahaya putih yang semakin dekat. Sepasang jepit di sisi kiri dan kanan kepalanya bersinar lebih terang. Cahaya jingga memancar ke seluruh penjuru. Seperti ada yang menuntun, bibir mungil Orihime mengucap dua kata dengan suara pelan.

"Santen Kisshun…"

.

.

.

#TBC#

Aih, iya, chapter ini memang nggak seru. Dan, ulquihime-nya cuma ada di ujung. Sebentar pula. Tapi, setelah chapter ini, ulquiorra dan Orihime akan sama-sama tinggal di Soul Society. Jadi, ulquihime yang sebenarnya baru akan dimulai. Huahahahaha… *PLAKK*

Daaannn, gomenne, aku belum bisa balas ripyu karena chapter ini diketikin oleh temenku. Dan dia tak mau ngetikin balesan ripyu dengan alesan gak sempet. Hikss... Tapi, bagi semua readers yang telah menyempatkan diri untuk mampir, aku ucapkan terima kasih. Dan untuk yang udah ninggalin ripyu di chapter kemarin, aku ucapkan dobel terimakasih.

Nah, ada sebuah pertanyaan yang ingin aku lemparkan. Kira-kira, kenapa Aizen 'membuang' (kejam amat?) Ulquiorra ke Soul Society? Hayoooo, siapa yang tahu? Yang tebakannya bener, dapet hadiah makan malam gratis bersama jajaran Espada di Las Noches. Dan, berdansa semalam suntuk bersama Espada Favoritnya…*ketawa setan*

Aizen : Hei, memangnya siapa yang ngasih izin?

Me : Urusai! Nurut aja kenapa, sih? Aku sutradara sekaligus produser. Jadi kau jangan banyak protes. Okeh?

Aizen : *tutup mulut, duduk manis di kursi*

Ahaha, iya, iya. Aku semakin gak jelas di sini. Gomenasai. Mungkin, karena pengaruh mood yang lagi cerah kali, ya. Well, this is my special day. The day I was born. Dan, sebelum aku tambah eror, boleh aku minta ripyu dari para readers sebagai hadiah terindah buatku?^^