Hello hello (^w^)

Jumpa lagi dengan Ave dan chapter TFL terbaru, hehe... Ave seneng deh, lama menghilang tapi masih ada yang ingat Ave dan TFL, nanda ka... rasanya... HIKS! (TT^TT) *terharu biru*

Disini Ave mau balas beberapa review dari readers Ave yang sangat super sekali (^U^) hehe... kok malah mirip Oom Mario? Ya sudahlah, lanjut ke balas review deh...

Pertama: Irma-san, ini chapter barunya,, hehe... alay ga apa deh,, yang penting bahagia,, duh, Ave menghilang terlalu lama ya, baru tahu kalo Irma-san udah banyak nulis-nulis juga... huhu... gomeeen... (TT^TT)

Kedua: Koko-san, salam kenal,, Koko-san reader baru ya di TFL? Semoga suka ya (^w^) BS a.k.a Birthday Surprises itu cuma diupdate pas ultah masing-masing chara,, jadi... mungkin Desember ini di-update? *Lho, malah balik nanya,, geplaked* hehe

Keempat: Misyel-san, maaf ya ceritanya sedih... Ave juga ikut sedih nih... Hiks... Yah, mari kita berharap yang terbaik buat LenKaho,, semoga chap ini tidak membuat tambah sedih ya...

Kelima: XxThe-Crest-Of-AnubisxX-san, salam kenal (^w^),, sekarang Ave mau jawab pertanyaan dari anda ya,, *ehem* Pertama, Cerita mereka semua berteman itu... panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang banget,, yah gak panjang-panjang amatlah. Intinya mereka berteman karena ada yang temennya si A, si B, si C, terus dikenalin, sering ketemu, jadi deket deh,, hehe... *geplaked*; Yang kedua, Emang si Len-nii sama Ryotaro sama Kazuki ga pernah manggil nama kecil, tapi si Kazuki kan udah ada panggilan buat kedua kouhai-nya itu, Tsuki sama Tsuchi, hehe... Di Jepang pun meski udah temenan lama kadang masih panggil nama keluarga, jadi... No problemo mereka ga manggil pake nama kecil, hehe; Yang ketiga, waduuuh... kalo yang itu kayaknya impossible deh... TFL kan belom kelar, itu cerita pertemanan mereka malah bisa jadi satu cerita sendiri, soo... maaf banget ya, yang itu Ave ga bisa bikinnya, hahay... Nah, kalo pertemuan Len sama Hana-chan kan udah diceritain sama Len, jadi Ave rasa udah gak perlu flashback yang nyeritain hal itu deh ya... di Chapter 3 udah ada kok (^u^),, flashback ya... iya ya, maaf ya... kemaren Ave lupa nge-italic words-nya,, bingung ya mana bagian flashback-nya di Chapter 5? Maaf ya...; Yang keempat dan terakhir nih, alasan Len-nii menjauhi Kahoko-nee? Udah dijelasin, tapi emang gak eksplisit sih... jadi Len itu ngerasa dia perlu ngebuktiin ke semua orang kalo kemampuannya bermusik itu bukan cuma bakat atau gen dari ortu, tapi emang karena hasil kerja kerasnya dia sendiri. Jadi dia mau buang segala hal yang gak ada hubungannya sama tujuannya itu. Buktinya aja dia sampai berantem sama Ryotaro,, ini juga ada di Chapter 5 kok,,

Fyuuuh... udah banyak ya yang Ave jawab,, selamat menikmati cerita ya minna-san,, jangan lupa review yang banyak ya, biar Ave makin semangat bikin fic TFL ini, karena review anda sangat berarti,, *cieee*

Disclaimer : La Corda d'Oro hanya milik Koei dan Kure Yuki-sensei, yang dimiliki Ave hanya plot dan OC termasuk Hana-chan *peluk cium Hana-chan*

Warning : OOC, lots of OCs (including Hanami), DLDR, typos everywhere.

Happy R&R minna-san ^^

The Fated Love

.

.

.

'Percayakah kau, kalau orang yang ditakdirkan untukmu adalah orang yang pernah kita jumpai sebelumnya?'

.

.

-:- Chapter 10-:-

.

.

.

Tsukimori Jun terus menimang-nimang Hanami yang masih terus menangis. Wajah gadis mungil itu sudah memerah karena menangis terlalu lama. Berkali-kali ia menanyakan pada kakek dan neneknya tentang kebenaran perkataan ayahnya. Jun dan Misa berusaha menenangkan Hanami, tapi gadis kecil itu masih saja menangis. Ia menginginkan ibunya di sisinya, memeluknya. Tapi sayangnya Kahoko tidak bisa dihubungi oleh keduanya. Jadilah cucu mereka itu terus menangis hingga saat ini.

"Sudah, sudah, Sayang. Ayahmu sedang capek, jadi dia berkata seperti itu. Tapi itu tidak benar kok. Sudah, ya. Cucu Groβvater yang manis kan tidak cengeng."

"Tapi Daddy... Daddy bilang Momma bukan Momma-ku!" isak Hanami di sela-sela tangisannya. Napas gadis itu semakin tersengal-sengal. Jun hanya memeluknya semakin erat. "Siapa Momma-ku? Apa aku nggak punya Momma?"

"Hanami punya Momma, kok. Momma Hanami ya Momma. Maafkan Daddy-mu ya? Daddy hanya sedang capek. Jadi Hanami tidak perlu memikirkan kata-kata Daddy tadi, ya. Sudah, sudah." Bukannya mereda, tangis Hanami semakin mengencang. Jun menoleh ke arah Misa yang mendekatinya. Dengan wajah sedih Misa menggelengkan kepalanya. Rupanya sampai saat ini pun Kahoko tidak dapat dihubungi. Jun menghela napas sedih. Sebenarnya apa yang membuat hubungan keduanya jadi memburuk seperti ini?

.

.

Kahoko memeluk bantalnya erat. Tak dihiraukannya bunyi telepon yang terus-menerus berbunyi dari ponselnya. Ia hanya bisa bergelung di kasurnya dan menangisi kejadian tadi sore. Ia telah menyakiti hati Len, meskipun ia tidak bermaksud seperti itu. Tatapan mata Len padanya tadi sore selalu terbayang di pelupuk matanya. Suaranya pun tak bisa berhenti berputar di kepalanya.

"Cukup! Aku sudah melihatnya sendiri! Apa kau mau mengatakan kalau yang kulihat itu salah Kahoko?! Kau mau bilang kalau mataku sendiri yang membohongiku?! Sudah cukup!"

Air mata Kahoko kembali menetes. 'Bagaimana ini...? Len sama sekali tidak mau mendengarkanku... Apa yang harus kulakukan...?!'

.

.

Len mengambil Shiroi yang tergeletak di atas kasur Hanami. Kasur itu terasa dingin tanpa ada yang menidurinya. Setiap malam, Len selalu masuk ke dalam kamar putriya hanya untuk memandangi wajahnya yang sedang terlelap. Tapi sekarang tanpa adanya gadis kecil itu di kamarnya, kamar itu terasa hampa. Len mengelus boneka kesayangan Hanami dengan pandangan kosong.

"Shiroi, kau pasti kesepian karena Hana tidak membawamu ya? Maaf, gara-gara aku... Hanami... menangis..." Len menundukkan kepalanya penuh sesal. "Aku ayah yang buruk."

Len kembali teringat perkataannya pada Hanami dan tangisan gadis mungil itu. Ia teringat mata besarnya yang dipenuhi air mata. Raungan gadis kecilnya. Len memejamkan matanya kuat-kuat. Ia telah menyakiti hati putri kecilnya. Len menggertakkan giginya kesal. Ia teringat Kahoko yang berpelukan dengan pria lain. Kahoko yang memohon padanya. Kahoko yang tersenyum padanya. Kahoko yang menangis. Kahoko yang mencoba menghentikannya. Kahoko yang memerah malu karena digodanya.

Kahoko...

Kahoko...

"Kenapa kau lakukan itu padaku, Kahoko?! Kenapa?! KENAPA?!" Sebutir air mata mengalir membasahi pipinya.

.

.

Semalaman Kahoko tidak bisa tidur. Saat ia memejamkan matanya, ia kembali melihat tatapan Len padanya sore itu dan setelahnya ia akan kembali menangisinya. Kahoko menghela napas panjang. Ia tidak ingin bekerja hari ini. Wajahnya pastilah terlihat menyedihkan dan ia tidak ingin bertemu dengan Oda. Pria itu pasti ikut memikirkan masalahnya dengan Len. Kemarin Oda berusaha menenangkannya yang menangisi kepergian Len. Ia bahkan berjanji pada Kahoko untuk membantu menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka berdua. Pria itu memang terlalu baik. Ia bahkan tidak memedulikan patah hatinya akibat ditolak Kahoko sebelumnya. Kahoko mengisak pelan. Ia sudah menyakiti hati Len dan Oda dalam satu hari. Ponselnya kembali berdering, namun ia sama sekali tidak ingin berbicara dengan orang lain. Ketukan di pintu apartemennya kembali terdengar, namun ia hanya mendiamkannya.

Oda menghela napas sedih. Sudah sepuluh menit ia mengetuk pintu apartemen Kahoko, namun gadis yang baru saja menolaknya itu tidak meresponnya. Bahkan teleponnya saja tidak diangkat. Oda semakin cemas. Haruskah ia mendobrak paksa pintu apartemennya hanya untuk mengecek apakah gadis itu masih hidup atau tidak. Oda menarik napas dalam dan berteriak.

"Hino-san! Buka pintunya! Kalau kau tidak membukanya akan kudobrak pintu ini! Hino-san! Akan kuhitung sampai lima ya! Satu...!" Kahoko yang mendengarnya dari kamar hanya diam. Ia menggigit bibirnya. Ia tidak ingin Oda melihat keadaannya sekarang. Saat hitungan keempat, Oda sudah bersiap untuk mendobrak pintu apartemen itu. Namun, bunyi kunci pintu yang diputar membuatnya mengurungkan niatnya. Kahoko tidak menatapnya saat ia membukakan pintu untuknya. Oda menghela napas. Setidaknya saat ini gadis itu masih hidup, pikirnya.

"Kenapa sensei datang kemari?" tanyanya saat Oda telah masuk ke dalam rumahnya.

"Aku mencemaskanmu, Hino-san. Karena itulah aku datang kemari pagi-pagi. Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanyanya pelan-pelan. Kahoko yang masih membelakanginya hanya mengangkat bahunya. Oda mendekati Kahoko dan memegang pundaknya. Perlahan, ia memutar tubuh gadis itu agar menghadapnya. "Hino-san, ijinkan aku membantumu. Aku akan menjelaskan yang sebenarnya pada kekasihmu. Dan—"

"Tidak perlu. Kau tidak perlu melakukannya untukku."

"Tidak. Aku harus menjelaskannya. Kalau tidak, hubungan kalian akan berakhir dan aku tidak mau hal itu terjadi."

"Tapi kenapa? Kenapa kau mau membantuku? Padahal aku sudah menyakitimu. Aku sudah menolakmu! Tapi kenapa...?" Oda tersenyum kecil. Ia mengangkat wajah Kahoko dan memaksa gadis itu menatap matanya. Mata gadis itu merah dan bengkak. Pastilah ia tidak tidur semalaman karena menangis, pikir Oda.

"Hino-san, kau ingat apa yang kukatakan kemarin? Aku mencintaimu." Kahoko terisak. "Kau orang yang berharga bagiku. Kebahagiaanmu kebahagiaanku juga. Kesedihanmu kesedihanku juga. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Aku hanya ingin melihatmu bahagia. Asalkan kau bahagia, aku tidak peduli kalau itu bukan aku, Hino-san. Kau mengerti?" Kahoko semakin terisak. Bagaimana mungkin Oda sangat baik padanya?

Oda menuntun Kahoko duduk di sofa dan mengelus punggungnya yang terguncang. Kahoko menceritakan pada Oda tentang kisahnya dan Len. Saat pertama kali mereka bertemu kembali setelah sekian tahun. Ia yang menjadi ibu pura-pura bagi Hanami. Dan saat Len memintanya menjadi kekasihnya. Oda mendengarkan cerita Kahoko dengan seksama. Dari ceritanya ia sangat yakin kalau kedua orang itu saling mencintai, bahkan jauh sebelum mereka bertemu kembali.

"Dia membenciku...! Aku... Aku tidak akan pernah bisa bertemu dengan Hana lagi...!"

Oda menggelengkan kepalanya. "Tidak, Hino-san. Itu tidak benar. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Tenanglah, serahkan semuanya padaku."

.

.

"Len, Chichi benar-benar tidak habis pikir. Kenapa kau bisa melakukan hal itu? Hanami putrimu. Anak kalian, kau dan Kahoko-san. Meskipun itu memang kenyataannya, tapi tidak sepantasnya kau mengatakannya seperti itu pada Hanami. Dia syok, semalaman dia terus menangis. Kau tahu jam berapa dia tidur? Jam empat pagi!" ujar Jun pada Len. Pagi itu Len sudah ada di kediaman kedua orang tuanya. Hayashi-san yang membukakan pintu untuknya hanya dapat memberikan senyum kecut. Seperti yang ia lakukan dulu saat Len melakukan kenakalan saat kecil. Selain Hayashi-san, hanya ayahnya yang menyambutnya. Ayahnya langsung mengajak anak kebanggaannya itu berbicara empat mata. Len tidak berani menatap mata ayahnya. Ia tahu ayahnya sangat kecewa padanya. Karena itu dia akan diam dan menerima semua amarah dan kekecewaan ayahnya. Jun hanya menggelengkan kepalanya.

"Len, meski Hanami masih kecil, tapi dia juga sudah dapat mengerti apa arti ayah dan ibu. Kalau tiba-tiba saja kau mengatakan kalau ibu yang selalu bersamanya bukan ibunya, bagaimana kau pikir perasaannya saat itu?"

"Maafkan saya, Chichi ue."

"Jangan minta maaf padaku atau ibumu. Minta maaflah pada anakmu. Dia yang paling tersakiti di sini. Ingat Len, kalau kau memiliki masalah dengan Kahoko-san jangan sekali-kali kau lampiaskan pada anakmu. Anak-anak selalu menjadi korban dari keegoisan orang tua. Kau tidak ingin menyakiti hatinya lebih dari ini bukan?" Len tersentak. Ia menatap ayahnya dalam diam. Wajah ayahnya terlihat lelah, namun kesedihan nampak jelas di wajahnya.

"Tidak... Saya menyesal, Chichi ue. Saya tidak ingin menyakiti Hana..."

"Sebenarnya apa yang terjadi antara kalian berdua? Semalaman kami mencoba menghubungi Kahoko-san, tapi dia tidak menjawab teleponnya." Len mengeratkan kepalan tangannya. Tidak, ia tidak boleh memikirkan Kahoko sekarang. Harusnya ia lebih cemas akan keadaan Hanami saat ini. Bukan Kahoko.

Len akhirnya menceritakan semuanya pada ayahnya tentang apa yang dilihatnya. Bagaimana reaksi Kahoko dan bagaimana ia meninggalkan Kahoko sendiri. Ia menumpahkan semua perasaaannya pada ayahnya. Ayahnya hanya diam dan mendengarkan cerita Len. Saat Len tidak mengatakan apa pun lagi, barulah ia angkat bicara.

"Jadi kau menduga kalau Kahoko-san selingkuh di belakangmu, begitu?"

"Tidak. Saya tidak menduganya. Saya tahu saya melihatnya sendiri."

"Apa kau yakin dengan hal itu? Ingat Len, mata bisa menipumu. Hanya hati yang tidak dapat ditipu. Apa kata hatimu soal itu?"

Len terdiam sejenak. Apa kata hatinya? Hatinya berkata kalau ia tidak percaya Kahoko menghianatinya. Kahoko bukanlah orang seperti itu. Ia orang yang tulus dan jujur. Semua pikirannya tergambar jelas di wajahnya. Lantas apa yang dilihatnya waktu itu? Apa benar ia salah paham?

Jun menghela napas. "Len, bicarakanlah baik-baik dengan Kahoko-san. Jangan lakukan hal yang membuatmu menyesal nantinya."

.

Setelah berbicara dengan ayahnya, Len segera melangkahkan kakinya ke kamarnya yang lama. Di dalam sana, ibunya sibuk mengompres Hanami yang tertidur. Ibunya sempat melihatnya dan memberi seulas senyum kecil. Misa tahu, sekarang putranya itu sedang memikirkan kembali masalahnya dengan Kahoko dan perkataan ayahnya padanya tadi. Len menatap Hanami dan ibunya bergantian dengan cemas.

"Apa yang terjadi? Hanami... dia baik-baik saja?"

Misa menghela napas. "Tidak apa-apa. Suhu badannya naik karena menangis terus. Baru jam empat tadi dia tidur. Kau tidak perlu khawatir Len. Hanami baik-baik saja." Tambahnya saat melihat mata Len terbeliak cemas. Len menjadi semakin merasa bersalah. Hanami jadi sakit karenanya, padahal gadis kecilnya sangat jarang sakit. Len mendekat dan duduk di sebelah Hanami yang tertidur. Disentuhnya tangan mungil putrinya. Panas. Gadis kecil itu nampak sangat kesulitan bernapas. Len meletakkan tangannya yang dingin ke pipi Hanami, berharap dapat sedikit membantu menurunkan panasnya. Misa yang melihatnya hanya tersenyum. Ia menepuk pundak Len dan meninggalkan mereka berdua. Sebaiknya ia menelepon Aoi kalau panas Hanami masih belum turun dalam satu jam ke depan, pikir Misa. Ia kembali tersenyum sebelum menutup pintu kamar Len.

"Hanami, maafkan Daddy. Cepat sembuh, ya Sayang. Kalau kau sembuh nanti, Daddy berjanji Daddy akan jadi ayah yang lebih baik dari sebelumnya. Lalu, kita dan Momma..." suara Len tercekat saat mengingat Kahoko. Akankah gadis itu memaafkannya? Bisakah hubungan mereka selamat? Masih maukah ia menjadi ibu Hanami? Len tidak tahu, tapi ia sangat berharap...

Len menelan ludahnya. Ia meletakkan keningnya di kening Hanami. "Lalu kita sekeluarga akan jalan-jalan ke tempat Kakek dan mencari kerang yang banyak. Dan Daddy akan membuatkanmu istana pasir lagi. Karena itu, Hanami, cepat sembuh, Sayang."

.

.

Manami menghela napas. Hari ini Kahoko tidak masuk dengan alasan sakit. Ia sedikit meragukannya, karena rekannya itu tidak pernah ijin karena sakit dari sekolah. Ia melirik Oda yang duduk dengan kening berkerut di mejanya. Baru kali ini Manami melihat guru yang satu itu memasang wajah seperti itu. Sepertinya ia memiliki banyak pikiran hari ini. Manami kembali menghela napas. Ia ingin bicara dengan Kahoko tentang kejadian kemarin. Apa benar Oda menyatakan perasaan pada rekan kerjanya itu. Jika benar, maka tidak heran kalau gadis itu tidak masuk untuk mengajar hari ini. Dia pasti ingin menjauhkan dirinya dari Oda untuk sementara waktu. Tapi apakah harus seperti itu? Saat Manami sedang berpikir keras, ia tidak menyadari kalau Oda sudah berjalan ke sampingnya.

"Mori-sensei." Manami terlunjak kaget saat Oda memanggilnya. Ia mengusap dadanya.

"Sensei... Kau mengejutkanku."

"Ah, maaf. Tapi bisa kita bicara sebentar di luar? Ini penting." Manami mengerutkan keningnya. Memangnya hal sepenting apa yang ingin dibicarakan oleh Oda dengannya hingga tidak bisa dikatakan di ruang guru? Manami mengangguk, ia mengikuti Oda keluar ruangan.

Setelah sampai di atap sekolah, Oda tanpa basa-basi langsung menanyakan Manami tentang kekasih Kahoko. Manami terkejut, untuk apa Oda ingin tahu tentang Len. Apakah Oda ingin menantang Len demi merebut cinta Kahoko darinya seperti drama yang ia tonton kemarin malam bersama Kazuki?

"Jangan salah sangka, Mori-sensei. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang Len-san ini. Aku tidak memilki maksud untuk menghancurkan hubungan mereka. Aku hanya ingin tahu siapa dia sebenarnya. Itu saja." Melihat kesungguhan dari Oda akhirnya Manami bersedia menceritakan siapa Len sebenarnya. Lagipula Oda adalah pria yang baik, pikirnya. Oda sempat terkejut saat mengetahui kekasih Kahoko adalah Tsukimori Len, seorang violinis yang terkenal dan anak dari pianis Hamai Misa. Manami menceritakan semua tentang Len yang ia tahu dari Kazuki dan dari pertemanannya selama ini dengan violinis yang dikenal dingin dan tegas itu. Oda hanya mengangguk selama Manami bercerita. Ia sudah tahu kalau kekasih Kahoko itu bukanlah orang sembarangan. Pantas saja ia seperti pernah melihat pria itu. Ternyata ia melihatnya di majalah-majalah musik dan album yang dipajang di setiap toko musik. Ia tahu Tsukimori Len memiliki nama yang besar tak hanya di daratan Eropa, tapi juga di Asia. Tentu saja jika dibandingkan dengannya, ia kalah jauh dari violinis itu. Dan mau tidak mau ia pun mengakui kalau Kahoko sangat serasi dengannya.

"Begitu, ya. Aku mengerti." Ujar Oda saat Manami selesai bercerita.

"Memangnya ada apa sampai Sensei ingin tahu tentang Tsukimori-kun?"

"Ada yang harus kubicarakan dengannya berdua. Bisakah kau memberitahuku alamat rumahnya, atau tempat-tempat mana saja aku bisa menemukannya?"

.

.

"Syukurlah panasnya sudah mulai turun." Desah Hayashi-san. Hanami masih tertidur. Sepertinya gadis kecil itu benar-benar kelelahan karena menangis semalaman. Len menghela napas lega. Syukurlah panas Hanami sudah mulai turun, jika tidak ia akan menggeret Aoi ke rumah orang tuanya saat itu juga. Tak peduli sesibuk apa sahabatnya itu di rumah sakit. Tapi ia yakin, meskipun tanpa ia menggeretnya ke kediaman Tsukimori ia pasti akan segera mendatanginya begitu mendengar Hanami sakit.

"Begitu, ya. Terima kasih, Hayashi-san."

Hayashi-san hanya tersenyum maklum. Ia tahu betapa cemasnya Len akan keadaan Hanami. Sejak pagi ia terus di samping gadis kecil itu tanpa bergerak sedikit pun. Ia bisa melihat lingkaran hitam di sekitar mata Len. Tapi ia tak perlu menanyakannya pada anak asuhannya dulu. Hayashi-san menepuk pundak Len.

"Jangan khawatir. Hanami-chan pasti sembuh, Len. Percayalah padaku." Len hanya tersenyum. Ia terus mengganti kompres Hanami. Gadis kecilnya itu membuka matanya perlahan. Len dan Hayashi-san menghela napas lega.

"Hana, Hanami kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu?"

"...Daddy..."

"Kau haus Sayang? Nenek ambilkan air minum ya?"

"... sakit..."

"Yang mana yang sakit?" tanya Len sambil mengelus perut Hanami. Hanami batuk dengan keras sambil menunjuk tenggorokannya. Len menghela napas. Mungkin saja tenggorokannya sakit karena kebanyakan menangis. Hayashi-san memberikan Len botol minum Hanami. Dengan perlahan, Len mendudukkan Hanami dan membantunya minum. "Masih sakit?" Hanami mengangguk dan menatap Len. Len mengangkat Hanami dan menggendongnya.

"Maafkan Daddy, Sayang. Daddy salah sudah membentakmu. Maaf ya?"

Hanami mengangkat kepalanya dari pundak ayahnya. "Daddy... apa aku nggak punya Momma?" Len terdiam. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Hanami. Hayashi-san memandang Len dan Hanami bergantian dengan sedih.

"Bicara apa kau ini? Tentu saja Hanami punya Momma."

"Tapi kemarin Daddy bilang Momma bukan Momma-ku... Apa itu benar Daddy? Jadi aku nggak punya Momma?" tanya Hanami sedih. Suaranya bergetar menahan tangis. Len mengusap punggungnya lembut saat Hanami kembali batuk dengan kerasnya.

"Tidak, Hanami punya Momma. Momma Hanami, ya Momma. Maaf, waktu itu Daddy dan Momma... Daddy sedang capek, Momma juga. Makanya Daddy jadi marah pada Hanami kemarin. Tapi Hanami tidak salah apa-apa, kok. Daddy yang salah. Maafkan Daddy ya?"

"Apa Daddy dan Momma... bertengkar?" Len mengerutkan keningnya. Ia mengelus kepala Hanami lembut. "Jangan bertengkar Daddy... Daddy sama Momma harus baikan lagi..." Len memberikan senyum kecil pada Hanami dan kembali meletakkan kepala gadis mungil itu di pundaknya. Ia mengangguk pelan.

"Ya, Daddy janji akan berbaikan dengan Momma. Karena itu, Hanami juga harus sembuh. Nanti kita main ke pantai lagi ya. Kita naik sepeda tandem itu lagi. Hanami suka naik sepeda itu kan?"

Sambil terbatuk, Hanami mengaggukkan kepalanya. "Iya, tapi Daddy harus belajar naik sepeda yang benar. Biar nggak jatuh lagi, Daddy."

Hayashi-san tersenyum lembut menatap pemandangan di hadapannya. Len sudah benar-benar tumbuh dewasa. Ia mampu menyelesaikan masalahnya dengan Hanami dengan baik. Sekarang hanya tinggal menyelesaikan masalah dengan Kahoko, pikirnya. Tapi saat Hayashi-san melihat tatapan mata Len, ia terbeliak. Len mengerutkan keningnya dalam. Di matanya terdapat suatu kesungguhan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Baru kali ini Hayashi-san tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Len.

.

.

Kahoko menghela napas. Ia mengambil ponselnya dan meringis saat melihat banyaknya kotak masuk dan panggilan masuk yang menumpuk. Ia mengecek satu-persatu siapa saja yang menghubunginya kemarin. Ia semakin meringis saat melihat Misa paling banyak meneleponnya, kemudian Oda, Jun, dan terakhir Manami. Pasti orang tua kekasihnya sudah tahu apa yang terjadi diantara mereka. Karena itu mereka meneleponnya. Kahoko menghela napas. Ia merindukan gadis kecilnya. Baru kali ini dia tidak bertemu dengannya. Bagaimana kabar Hanami sekarang? Apakah ia mencarinya karena tidak 'pulang' ke rumah?

Kahoko mengambil figura yang diletakkannya di dekat kasurnya. Di dalamnya terdapat sebuah foto, ia, Len, dan Hanami. Foto itu diambil pada hari ulang tahun Hanami beberapa waktu lalu. Ketiganya tersenyum pada kamera dan terlihat sangat bahagia. Kahoko tersenyum sedih sambil mengusap foto Hanami.

"Hana... Momma merindukanmu..."

.

.

"Kau?!" seru Len saat melihat Yamaguchi Oda, orang yang dilihatnya sedang berpelukan dengan Kahoko kemarin telah berdiri di depan pintu rumah orang tuanya. Oda menatap mata Len yang menatapnya garang dengan tenang. Ya, ia pantas menerima kemarahan dari kekasih Kahoko karena sudah membuat kesalahpahaman ini.

"Ya. Aku Yamaguchi Oda. Kau pasti Tsukimori Len, bukan?"

"Mau apa kau datang kemari?! Kahoko tidak ada di sini kalau kau mencarinya!"

Oda menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku kemari karena ingin bertemu denganmu, Tsukimori-san. Aku ingin minta maaf. Karena aku, kau jadi salah paham pada Hino-san. Dan hubungan kalian jadi seperti ini. Ini salahku."

"Salah paham katamu? Aku melihatnya sendiri. Apa kau mau bilang kalau aku salah lihat?!"

Oda menghela napas. Jadi beginikah orang cemburu? Mereka sudah tidak bisa melihat segala sesuatunya dengan rasional. "Yang kau lihat tidak salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Kemarin aku memang menyatakan perasaanku pada Hino-san. Tapi ia menolakku." Tambah Oda cepat-cepat saat ia melihat Len akan memprotesnya. "Ya, dia menolakku. Hino-san bilang dia sudah memiliki kekasih. Dia merasa bersalah dan aku memanfaatkan rasa bersalahnya itu untuk memeluknya. Tapi lalu kau datang dan terjadilah kesalahpahaman ini! Aku mohon padamu Tsukimori-san, percayalah! Hino-san sama sekali tidak bersalah, tapi aku!"

Len mengerutkan keningnya. Untuk apa pria ini susah payah mencarinya dan menjelaskan padanya kejadian itu? Kalau benar bukankah seharusnya ia senang dan menggunakan waktunya untuk mendekati Kahoko dan merebutnya dari Len? Benar-benar tidak masuk akal, pikir Len.

"Apa untungnya bagimu menjelaskan semua ini padaku? Harusnya kau senang hubunganku dan Kahoko berakhir. Bukankah itu maumu? Dengan begitu kau dan Kahoko bisa menjalin hubungan." Oda menggeleng.

"Tidak, Tsukimori-san. Aku sama sekali tidak berniat menghancurkan hubungan orang. Apalagi orang yang kucintai. Aku hanya ingin Hino-san bahagia dengan orang yang dicintainya. Tapi sayangnya orang itu bukan aku, tapi kau. Hino-san sangat mencintaimu." Len terbeliak sebelum kembali memasang wajah heran. Oda tersenyum pada Len, sebuah senyuman tulus. "Kalau kau benar-benar mencintai seseorang, kau pasti lebih memilih kebahagiaannya. Tidak peduli kau sakit karenanya, asalkan kau melihat orang yang kau cintai bahagia bersama orang yang dicintainya... Bukankah itu yang terpenting, Tsukimori-san? Melihatnya bahagia?" Len terbeliak lebar. Apakah Oda sungguh-sungguh mengatakan hal itu? Apakah ia tidak sedang mengelabuinya? Len berusaha mencari kebohongan dari suara dan tatapan Oda. Namun, yang dilihatnya hanyalah ketulusan.

"Tsukimori-san, hanya denganmu Hino-san merasa bahagia. Kebahagiaannya ada padamu dan Hanami-chan. Mana mungkin aku merusak kebahagiaan itu." Tambahnya saat dilihatnya Len hanya diam. "Tsukimori-san, Hino-san membutuhkanmu. Aku kemari hanya ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya padamu, sungguh! Tidak ada maksud apapun! Kumohon, Tsukimori-san. Hino-san menyalahkan dirinya karena kejadian kemarin dan hari ini pun dia tidak mengajar. Dia sangat terpukul." Len mengalihkan pandangannya dari Oda. Ia mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya.

Len terlunjak saat Oda tiba-tiba membungkukkan badannya dalam-dalam. "Tsukimori-san, aku mohon jagalah Hino-san baik-baik. Dia orang yang sangat berarti bagiku dan aku tahu dia juga berarti bagimu. Karena itu, aku mohon bahagiakan dia Tsukimori-san!"

.

.

Len memencet tombol lift dengan tidak sabar. Panel di lift menyatakan bahwa lift itu baru akan turun dari lantai 16. Len mendecak kesal. Ia menolehkan kepalanya kesana-kemari mencari tangga darurat. Setelah ia menemukan tangga darurat, ia segera berlari ke arahnya. Tak dipedulikannya tatapan heran dari orang-orang yang melihatnya lari seperti dikejar setan. Pintu lift lainnya terbuka, Kahoko melangkahkan kakinya keluar dan berjalan menjauhi apartemennya. Ia tidak tahan terus berada di dalam apartemennya. Ia selalu terbayang akan ingatannya dan Len di sana, jadilah ia memutuskan untuk menghirup udara segar dengan berjalan-jalan di kota.

Len mendorong pintu tangga darurat dengan kasar. Ia memegang kedua lututnya dengan terengah-engah. Akhirnya ia sampai juga di lantai kamar apartemen Kahoko berada. Setelah dirasanya ia cukup bernapas, Len kembali berlari ke kamar apartemen Kahoko. Ia mengetuk pintunya dan berteriak memanggil Kahoko. Tapi gadis itu tidak juga membuka pintunya. Len menyibakkan rambutnya kesal. Apakah gadis itu sekarang menolak menemuinya?

"Kahoko! Kahoko buka pintunya! Kita harus bicara! Kahoko!"

Seorang wanita berusia paruh baya keluar dari kamar di sebelah kamar Kahoko. Ia menatap Len sejenak sebelum bertanya. "Apa kau mencari Kaho-chan, nak?"

"Ya, maaf tapi apakah Anda tahu dimana Kahoko? Apa dia di dalam?"

"Tidak, dia baru saja keluar. Katanya dia mau cari udara dengan berjalan-jalan di taman sekitar sini."

"Taman...? Maaf, tapi kemana arah taman itu?"

.

.

Kahoko menghela napas. Ia memandangi orang-orang yang lalu lalang dihadapannya dengan wajah ceria. Sepertinya hanya dia yang berwajah murung di sini. Melihat taman ini Kahoko kembali teringat akan pertemuannya dengan Hanami dan Nami untuk pertama kali.

"Kejadian itu... rasanya sudah lama sekali terjadi. Padahal baru beberapa bulan saja. Hana..." Kahoko menghela napasnya sebelum menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tujuannya datang kemari kan karena ingin menenangkan pikirannya, bukan semakin membebaninya dengan mengingat kenangannya bersama mereka. Kahoko melirik kotak biolanya. Diusapnya kotak itu dengan lembut. Sudah lama ia tidak memainkan biolanya lagi di taman. Kahoko tersenyum nostalgia. Ia membuka kotak biolanya dan meraih biola berwarna merah mahogani itu. Ia memposisikan bow-nya diatas senar. Dengan sekali tarikan napas, Kahoko mulai memainkan nada pada biolanya.

.

.

Cahaya matahari sudah berganti merah keemasan saat Len menemukan Kahoko. Dengan napas tersengal, ia melangkahkan kakinya perlahan ke arah Kahoko. Gadis itu terlihat larut dalam permainannya sendiri. Mata gadis itu terpejam, bibirnya membentuk seulas senyum kecil. Wajahnya terlihat tenang. Angin sepoi-sepoi memainkan rambutnya yang tergerai, membuatnya bagaikan ikut menari mengikuti alunan musik yang dimainkan olehnya. Len tahu betul lagu ini. Lagu yang membuatnya benar-benar jatuh cinta pada Kahoko bertahun-tahun lalu. Sejak pertama kali Ryotaro menunjukkan video pertunjukannya di Juilliard padanya. Saat nada yang dimainkan Kahoko hampir mencapai puncaknya, Kahoko membuka matanya. Gerakan bow dan jarinya terhenti seketika saat melihat Len berdiri tak jauh darinya.

"Kahoko..."

"Le...!" Kahoko segera berbalik dan mengambil kotak biolanya. Ia tidak ingin melihat Len menjauhinya lagi. Meninggalkannya. Ia tidak ingin melihat punggung Len berjalan menjauhinya. Baginya sudah cukup kali itu saja ia merasakan perasaan kehilangan itu.

Len mengejar Kahoko dan menangkap lengannya. Kahoko mencoba menghentakkan genggaman Len pada lengannya. "Kahoko, tunggu!"

"Tidak! Lepas! Kumohon, Len! Aku tidak ingin lagi...!" Kahoko mulai terisak. Perlawanannya mulai melemah hingga ia benar-benar tak lagi melawan. "Aku tidak ingin... melihatmu pergi dariku lagi...! Tidak ingin... Tidak ingin merasakannya lagi...! Jadi kumohon... sebelum kau pergi, biar aku saja yang pergi!" raungnya. Len mengernyitkan keningnya sedih. Ia membalikkan badan Kahoko perlahan dan memeluknya. Kahoko tidak meronta, tapi ia juga tidak membalas pelukannya.

"Maaf, Kahoko. Aku yang salah. Aku seharusnya mendengarkanmu waktu itu, memberikanmu kesempatan untuk menjelaskannya padaku. Aku sudah mendengarnya dari Yamaguchi, maaf!" Kahoko terbeliak. Jadi benar Oda menjelaskannya pada Len?

"Kahoko, kumohon maafkan aku. Kumohon, kembalilah ke rumah. Padaku. Pada Hanami." Rumah. Ah, betapa bahagianya Kahoko mendengarnya. Ya, ia ingin kembali ke rumahnya. Tempat dimana orang-orang yang ia sayangi berkumpul. Len dan Hanami. Kahoko semakin mengisak. Ia menganggukkan kepalanya dalam dekapan Len. Len menghela napas lega. Berulang kali ia membisikkan kata maaf pada Kahoko yang selalu dibalas hanya dengan anggukan kepala dari gadis dalam dekapannya itu.

.

.

"Hanami pasti senang bertemu denganmu, Kahoko. Dia selalu mencarimu."

Kahoko tersenyum sedih. "Bisa kubayangkan. Aku juga ingin bertemu Hana, sehari tidak bertemu rasanya... sedih sekali. Aku merindukannya." Len meraih sebelah tangan Kahoko dan mengecupnya.

"Maaf, ini semua salahku. Harusnya aku bisa berpikir lebih jernih tentang hal itu."

"Tidak apa-apa. Aku juga... seandainya aku melihatmu seperti itu dengan gadis lain, aku pasti akan melakukan hal yang sama."

"Terima kasih, Kahoko. Kau sudah mau memaafkanku."

"Tidak. Aku juga minta maaf, Len."

Setelahnya, disepanjang perjalanan keduanya hanya berdiam diri. Kahoko memperhatikan kedua tangan mereka yang saling terpaut. Rasanya nyaman, pikirnya. Jari tangan Len yang memegang tangannya membuat semacam lingkaran-lingkaran kecil pada punggung tangannya. Membuatnya menjadi tenang. Kahoko menatap wajah Len yang terlihat serius mengemudi. Sesekali Len melepas genggaman tangannya untuk memindahkan persneling, tapi kemudian ia akan kembali memegang tangan Kahoko dan melakukan hal yang sama padanya. Seakan-akan Len tidak ingin melepaskan tangannya dari Kahoko. Begitu pula dengan Kahoko. Ia ingin tangan itu terus memegangnya selamanya.

Saat mobil yang mereka tumpangi memasuki pekarangan rumah kediaman Tsukimori, Hayashi-san langsung menyambut mereka dengan wajah panik. Len yang melihatnya sontak ikut panik. Ia segera keluar dari mobil dengan diikuti oleh Kahoko.

"Ada apa ini Hayashi-san?"

"Len! Hana-chan! Hana-chan!"

Mendengar nama Hanami, wajah Len berubah pias. Ada apa dengan putrinya? Bukankah saat ia meninggalkan Hanami tadi keadaannya sudah membaik? Suhu badannya pun sudah tidak sepanas tadi pagi. Apakah sekarang sakitnya semakin parah? Len segera berlari masuk, tanpa menghiraukan Hayashi-san dan Kahoko yang memanggilnya. Sesampainya di kamarnya, ia melihat Aoi sudah berada di sisi tempat tidurnya, dengan Hanami yang merengek. Ayah dan ibunya menyingkir untuk memberi Aoi keleluasaan saat memeriksa Hanami.

"Kaji, apa yang terjadi? Hana baik-baik saja?"

"Ah, Tsukimori-kun. Tunggu sebentar, setelah ini aku ingin bicara denganmu." Len menelan ludahnya susah payah. Ia tidak pernah melihat Aoi memasang wajah seperti itu di hadapannya. Kahoko dan Hayashi-san yang baru datang hanya dapat melihat Aoi yang masih memeriksa Hanami sambil menenangkannya. Kahoko menggenggam tangan Len dan meremasnya. Mereka berdoa semoga saja penyakit yang diderita Hanami tidak parah seperti yang mereka bayangkan.

Setelah Hanami selesai diperiksa, Aoi meminta Len, Kahoko, serta kedua orang tua Len untuk mengikutinya keluar ruangan. Hayashi-san memilih untuk menemani Hanami sambil memegang tangannya. Gadis kecil itu sudah tertidur akibat pengaruh obat yang diberikan Aoi padanya. Setelah menutup pintu kamar, Aoi menghela napas panjang. Ia menatap keempat orang yang memandangnya dengan cemas.

"Untuk sementara, kita lihat perkembangannya selama beberapa hari ke depan. Paling tidak selama empat hari ini. Lalu Hana-chan harus istirahat yang banyak."

"Memangnya dia sakit apa Kaji-kun?" tanya Misa. Jun mengusap pundak Misa yang tegang. Aoi menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu, dia hanya menunjukkan kalau dia terkena radang tenggorokan, tapi... kita lihat saja dulu bagaimana kondisinya empat hari ini. Apakah membaik, memburuk, atau tetap saja seperti ini. Baru aku bisa memberikan diagnosis yang tepat."

Len mengerutkan keningnya. Kenapa Aoi tidak menceritakan pada mereka apa yang sebenarnya diidap oleh Hanami? Mengapa ia bicara berputar-putar?

"Apa yang kau sembunyikan dari kami Kaji? Katakan sebenarnya ada apa?"

Aoi memandang Len dengan sedih. "Aku tidak bisa mendiagnosisnya sekarang, Tsukimori-kun. Aku punya kecurigaan tapi... kita harus mengamatinya dulu. Kalau memang kecurigaanku terbukti, aku akan langsung memberitahu kalian."

Len menelan ludahnya susah payah. Hal yang tidak ingin dikatakan Aoi... Pastilah sangat tidak baik. Tapi Aoi adalah seorang dokter, dan salah satu yang terbaik di Jepang. Jadi ia harus menuruti kata-katanya bukan? Tapi kenapa perasaannya semakin tidak enak?

"Apa... saat itu sudah tidak terlalu terlambat, Kaji-kun?" tanya Jun. Misa meremas tangan suaminya yang ada di pundaknya. Ia tidak sanggup membayangkan hal terburuk yang mungkin menimpa cucunya. Aoi hanya tersenyum kecil, berusaha menenangkan kecemasan mereka dan juga dirinya sendiri. Ia sungguh tidak ingin melihat Hanami mengalami apa yang ia takutkan.

"Tidak, meskipun empat hari, tapi masih bisa ditangani. Jangan cemas." Dilihatnya keempat orang itu bernapas dengan lega. Aoi hanya tersenyum. Ia segera pamit pada keempatnya untuk segera kembali ke rumah sakit untuk bekerja. Saat membalikkan badannya dari mereka, senyuman di wajah Aoi berubah. Keningnya berkerut cemas.

'Sebaiknya aku harus menyiapkan yang terburuk, kalau-kalau kecurigaanku ini benar.'

.

.

.

*** Fin-Chapter 10 The Ground We Stood ***

.

.

Next Chapter:: Anxiety

"Aku lupa. Tanggal berapa jadinya pernikahanmu?"

"Bulan depan. Makanya, Nona kau harus segera sembuh jadi Mizue dan aku bisa menyiapkan gaun cantik untukmu."

.

"Tsukimori-kun, aku tidak akan menutupinya darimu. Tapi kondisinya tidak baik."

.

"Tapi... dia bisa sembuh total bukan? Dia tidak terlambat mendapat penanganan bukan?"

.

Please Review \(w)/