Disclaimer: Hetalia Axis Power © Hidekaz Himaruya

Genre: Romance, Angst, Hurt/comfort

Warnings: Historical, human names used, kemungkinan agak OOC, maybe inaccurate histories (moga2 gak), bahasa semi-formal, tanda baca (?), Shounen-ai (USUK) don't like, don't read!


Notes: Siang, disini Mint berbicara(?). Aaaa maafkan keterlambatan saya dalam mengupdate cerita ini… Padahal Grey udah ngasih saya plot jelas dan glosariumnya. Tapi saya mengundurkan jadwal untuk mempublikasikan fic chapter kedua ini… ;_;

Salahkan sekolah saya! Salahkan halangan murid kelas 10! *mulai mengkambing-hitamkan D:

Anyway, saya rada 'struggle' waktu bikinnya, soalnya dicicil-cicil. But…Hope you like it


Chapter 2:


.

Apa ini? Jeratan tali dan benang mengelilingi.

Mengikat dengan kuat. Bagai beludak melingkar di leher.

Makin lama makin membuatnya tercekat, lalu mati penat

.

"Arthur, tahukah kau bahwa kelima orang rakyatku mati ditangan tentaramu?"

.

Rakyatnya, dirinya.

Perlakuan tidak pantas, oleh si Pemain Kuasa.

Membuatnya berang, wajahnya yang semakin garang.

"Hentikan. Aku sudah letih bertengkar denganmu."

.

"Tidakkah kau tahu, Arthur? Rakyatku telah kau—"

.

"DIAM! Serangan terhadap Kapal Gaspee itu terjadi karena ulahmu juga! Dasar tidak tahu diri!"

.

Memicingkan mata, menusuk melalui tatapan.

Bersabarlah, sebentar lagi timur dan barat akan berhadapan.

Menjatuhkan satu sama lain. Menyeringai licik melihatnya tersungkur.

Kemudian hancur.

.

"Itu TIDAK sebanding dengan kesengsaraanku! Oleh karenaMU!"

Aku sudah muak.

.

Lihat, di sana ada sebilah pisau. Gunakanlah untuk memutus benang itu.

Rantai belenggu, akan ia patahkan. Sebentar lagi.

.

"BERHENTILAH BERAKTING SEOLAH KAU INI IBUKU!"

Si Tukang Main Kuasa.

.

"Tidakkah kau tahu, betapa inginnya aku untuk terlihat sama denganmu, Arthur?"

Sang penyesat, penipu, pembual.

Mencekik, menusuk, membanting dirinya dalam gelap.

"Berikan aku kebebasan…atau—"

Dengan tangannya sendiri,

"Berikan aku kematian."

.

Akan ia remukkan hingga ke sumsum tulangnya.

Hancur menjadi serpih. Lebur dalam ombak.

.

Kemerdekaan.

Sebentar lagi.

.

.


E Pluribus Unum

American Revolutionary War

By Hameline Prudence


.

Pemuda itu mengeratkan giginya, mengepalkan tangannya.

Emosi menyentak ricuh, berdebum menjadi debaran.

"Kondisi macam apa ini…" ucapnya geram. Menyaksikan sendiri keadaan terpuruk salah satu kotanya, Massachusetts. Oleh sebab dari kekejaman Si Pemain Kuasa terhadap koloninya, negaranya, dirinya.

Ia melihat, Pelabuhan Boston yang pada biasanya ramai,

Gegap gempita akan maraknya kapal-kapal dagang melabuh. Layarnya yang berkobar, penduduk setempat hingar-bingar. Menyongsong datangnya hingga sepenuhnya melekat pada daratan. Nyanyi desiran ombak yang terkalahkan oleh riuh suara-suara nyaring tiap percakapan suatu kegiatan dagang.

Kini lengang.

Kini sunyi, tidak ada yang singgah sama sekali. Yang ia dapati hanyalah segelintir orang lesu, duduk di atas peti-peti kayu kosong. Menatap laut dan cakrawala yang sepi sementara di pendengarannya hanya tertangkap bunyi buncah ombak yang berulang-ulang, selalu sama dan monoton.

Alfred mendengus kesal. Perasaannya berkecamuk, antara marah dan prihatin. Atau mungkin keduanya. Sejenak kemudian ia tersadar dari pergumulan batinnya, siapa dalang dari semua ini.

Si Pemain Kuasa.

Inggris, Arthur.

Intolerable Act.

Sebuah kuasa yang menambah pahit sengsara.

Menutup pelabuhan. Membuat mati suasana. Menutup pintu itu sehingga ia tak dapat lagi berinteraksi dengan wilayah koloni lain.

Kuasa macam apa itu?

Si Tukang Main Kuasa.

Apa jadinya sebuah negara bila terkucil seperti ini?

Sama saja mengurungnya dalam bui.

Berharap ia akan menghancurkan dirinya sendiri.

.

Melihat itu, Si Pemain Kuasa tertawa.

.

Makanan-makanan menjadi terasa hambar, tidak ada lagi rempah-rempah.

Pemuda itu bangkit, menggenggam setangkai pelepah.

Bermaksud untuk melenyapkan segala sepah.

Si Pemain Kuasa.

Kemerdekaan.

Massachusetts, sebuah tempat dimana ia akan berdiri.

Menghunuskan senjatanya pada kepala musuh.

Ia akan terus menerjang, terus berlari.

Mengejar kebebasan, meraih kemerdekaan walau banjir peluh.

.

Di situlah, semuanya berawal.

.

Buaian Liberty, ayunan tempat lahir Liberty.

Liberty, simbol kebebasan.

Di situlah.

.

Hari baru. Entah sejak kapan, ia selalu antusias menanti hari-hari yang baru. Sejak mata birunya mendapati secercah sinar putih. Menuntunnya pada sebuah pemahaman baru, sebuah lubang kecil pada tembok tumpukan bata kokoh penghadang langkah. Kebebasan.

"Tuan Alfred, rapat sudah dapat dimulai sekarang."

"…YA."

Konferensi Kontinental.

"Saya rasa…tidak perlu saya sebutkan lagi apa tujuan utama kita. Bukan begitu?"

Ujarnya nyaring, di tengah-tengah ruangan dikelilingi puluhan orang berpakaian formal yang saling berhadapan. Ia memandang satu persatu wajah tokoh-tokoh penting negaranya yang duduk berjejer dengan mata berkilat.

Kemudian ia tersenyum, berubah menjadi seringaian.

Kemerdekaan.

Melayangkan petisi, berembug bahas protes pada Sang Raja George. Raja Si Pemain Kuasa.

.

Alfred mengeluarkan kertas putih, sehingga semua beralih tatap.

Kepada kertas itu, meluncurkan penanya. Sembari mata mendelik.

Seluruh penderitaan dan kekejaman si Pemain Kuasa biadab.

Tak ada habisnya ditulis, membentuk paragraf-paragraf baru hasil telisik.

Kewajiban. Paksaan. Titahnya.

Bermain-main dengan kuasa di tangannya.

.

Pemuda bermata biru itu mengamati satu demi satu kata dan tulisan mereka. Semuanya sama. Dari yang tersurat, ia menemukan yang tersirat,

Penderitaan oleh karena Inggris.

Ia menyeringai.

"Saudara-saudaraku, telah lama kita dikelabui. Di bawah pengaruhnya kita sengsara…"

Apa yang kalian inginkan?

"Setujukah kalian dalam campur tangan untuk memperoleh kebebasan?"

.

Semua tangan kanan terangkat. Simbol persetujuan.

Dengan mata nanar, tangan tetap di udara dengan tegas.

Mengikutsertakan diri dalam permainan.

Untuk menjatuhkan Si Pemain Kuasa yang culas.

BAGUS

Pemuda itu kembali menyeringai. Membuat siapapun bergidik ngeri.

Semuanya di pihaknya. Semua dalam satu siluet. Sebentar lagi…

Kemerdekaan.

.

.

.

"Alfred," tukasnya. Mata violetnya menatap intens seorang pemuda berpakaian formal seperti dirinya, yang duduk di sebuah kursi kayu. Sembari tangannya menggetarkan pena di atas kertasnya.

Alfred menoleh, meletakkan pena itu. "Hei, Matthew, kau sudah datang rupanya."

Matthew menghela nafas lelah, "Sudah sejak tadi aku berdiri disini, melihatmu yang sibuk menulis sesuatu dengan raut wajah jengkel," katanya seraya matanya yang penasaran berusaha membaca isi dari kertas itu. "…Apa yang kau tulis?"

Ia terkesiap, bergegas melengkungkan kertas itu sehingga isi tulisan tangannya dengan tinta hitam itu tak terlihat oleh kembarannya. Menjauhkannya dari raut muka itu yang spontan heran akan dirinya yang tampak jelas tengah menutup-nutupi sesuatu darinya.

"A-ah, bukan apa-apa! Ayo kesini, kita ke ruang rapat!" ucap Alfred gelagapan sembari menarik tangan pemuda pirang bermata violet itu lalu mendorong sebuah pintu kayu kokoh dihadapannya.

Seketika, Matthew terkesiap, mendapati puluhan orang-orang penting, duduk diam menghadap ke arahnya dengan tatapan yang cukup menakutkan baginya. Bagai penuh oleh letupan murka dan amarah yang sejak awalnya terpendam.

"A-Alfred, ini…"

Ia menyusuri sekeliling ruangan dengan matanya, memandang langit-langit yang tinggi dan tembok-tembok kokoh mengitari. Namun berusaha menghindari kontak mata dengan para orang-orang misterius itu. Menyaksikan saudaranya mengambil sesuatu dari setumpuk kertas, sesaat setelahnya mempertemukan mata biru itu dengan matanya. "Mari kesini, dan…tanda tangan di sini." kata Alfred, menyodorkan secarik kertas dan sebuah pena pada pemuda yang tengah cengang itu.

Petisi.

Matthew mengerjap-ngerjapkan matanya, terheran menatap kembarannya dan kertas putih yang disodorkannnya. "Ini…untuk apa?" tanyanya lirih seraya telunjuknya menunjuk kepada kertas itu.

Alfred tersenyum. Ia tahu bahwa saudaranya itu akan bertanya demikian.

. Ini adalah PETISI, Matthew sayang. Untuk Arthur, yakni Si Pemain Kuasa biadab itu.

.

"Untuk memperbaiki hubungan Arthur dengan koloni-koloninya."

.

Wahai Matthew, adikku, yang selalu setia padanya.

Pada Arthur, Si Tukang Main Kuasa.

Kau tak berbeda dengan seekor kerbau yang dicocok hidungnya.

Tanganmu terjerat benang, telingamu mendengar bualan.

.

Pemuda itu masih tertegun, perasaannya sedikit ragu. "Tapi…ini untuknya…dan Yang Mulia George III…? Tapi—"

"Sudahlah Matthew, bukankah kau menyayangi Arthur? Begitu juga denganku," ujar Alfred, walau sekejap rasa jijik merasuki. Hati dan perkataannya yang tidak sinkron. "Maka dari itu…kita harus memperbaiki hubungan dengannya." lanjutnya.

Matthew, asal kau tahu. Aku kasihan padamu.

Matthew terdiam, pikirannya masih menimbang-nimbang antara keputusannya. Ia melirik pada orang-orang yang duduk kaku di sekelilingnya itu, semuanya segera mengangguk mantap menyetujui pernyataan Alfred. Seolah mendesaknya untuk segera mematrikan goresan tinta.

'…Tidak ada salahnya. Kurasa'

Ia meraih pena itu dari kembarannya, kemudian senyum kecil terukir di wajahnya yang semula tampak gelisah.

"Baiklah."

BAGUS

Lalu seringaian itu kembali muncul di bawah mata birunya.

Kau ini bodoh, Matthew.

.

Terjerat tali, tercancang rantai besi.

Bagaikan performa sebuah boneka dalam teater misterius.

Tidak sadar bahwa di balik tirai, sang dalang berdiri.

Menipumu dengan seribu akal bulus.

.

Pada kenyataannya, surat itu adalah sebuah petisi.

Protes terhadap Inggris.

Bukan memperbaiki, malahan memperburuk.

Hubungannya dengan koloni.

Sebentar lagi…

Kemerdekaan.

-Matthew's POV-

Melihatmu berdiri di ujung meja sana.

Dengan mata berang, serta mulut menutur.

Berucap kata, si penjunan pembentuk bejana.

Jalar api perwakilan amarah yang tak tersalur.

.

Pemuda bermata violet itu menatapnya dengan seksama, berusaha menangkap kemudian mencerna tiap perkataan yang terluncur dari bibir saudaranya. Di ruangan yang masih sama dengan tiap-tiap kalinya mereka mengadakan rapat, tanpa ada perubahan. Hanya bias mata siap menerjang laksana binatang buas yang semakin menjadi-jadi tiap saatnya.

Terdiam menatapmu. Terheran mendengar ucapanmu.

Ia mengerjap-ngerjap heran. Di telinganya terus terngiang suara lantang pemuda Amerika itu yang mengalahkan kesunyian dalam ruang rapat. Semua mulut terkatup, begitu pula dengannya yang sedari tadi bergeming.

Kita berdua, dalam satu ruangan.

Disini, seratus pernyataanmu terlontar, seribu pertanyaanku terlahir.

.

"INI."

.

Alfred mengangkat secarik kertas tinggi-tinggi di udara, berharap semua mata disana dapat menyaksikannya. Sedetik kemudian tangannya yang geram meremas kertas itu. Menjadi gumpalan kecil yang tak berbentuk.

"Apa-apaan ini! Ternyata ia masih saja memandang rendah kita!"

Ujarnya, matanya bersinar akan kilatan petir yang bergemuruh dalam hatinya.

Surat tadi, balasan akan petisi dan segala protes olehnya untuk Inggris. Yang hanya ditanggapi dengan acuh, mengalihkan pandang setelahnya melengos angkuh dari hadapannya.

Dirimu di ujung sana, menggebrak meja dengan luapan emosi.

Menggertakan gigimu, terselip daripadanya segala pisuh.

Di sini, seratus pernyataanmu terlontar, seribu pertanyaanku terlahir.

Pada saat pukul berapakah ini akan berakhir?

"A-Alfred…kertas itu…" tukas Matthew lirih, sedikit merasa takut akan sikap pemuda itu yang terlihat amat murka ketika matanya melihat isi surat itu. Bagaikan sebuah surat perang. Penyulut api dalam lautan minyak.

Alfred menundukkan kepalanya, memejamkan mata birunya sementara tangannya tetap terkepal erat. Dirinya kecewa, merasa frustasi akan tanggapan Inggris pada petisi dan seluruh protesnya. Merasa diremehkan, direndahkan, dicerca dengan makian.

Semua orang dalam ruangan rapat itu terdiam. Membiarkan sunyi menguasai. Seolah hanya terdengar suara debar hati penuh amarah takhlikkan dusta.

Beritahu aku, saudaraku. Apa yang kau rencanakan?

Apa yang kau mau?

"Barangkali… kita kurang menjelaskan bagaimana kekejaman siksaan Inggris dalam surat petisi itu."

Tutur seorang pria separuh baya, mencoba untuk mencari solusi atas situasi itu.

'Petisi'?

Setiap mata terbelalak, setiap mulut terkatup rapat, setiap jiwa terhenyak mendengarnya. Terutama Matthew. Alfred mendongakkan kepalanya cepat-cepat, mata birunya membesar, langsung bertemu pandang dengan mata violet itu.

Petisi?

Petisi?

PETISI?

"Alfred…" desisnya, matanya yang semula membelalak lebar berangsur memicing, menusuk biru itu.

Beitahu aku, saudaraku. Apa yang kau rencanakan?

Apa yang kau mau?

.

Apa yang kau sembunyikan?

.

Matthew melangkahkan kakinya tanpa suara, berjalan menghampiri saudaranya tanpa sempat memutus kedua pasang mata yang bertemu tatap. "Petisi? Tidak cukupkah bagimu untuk melukai hati Arthur?" ujarnya dengan geram, kecewa akan perilakunya yang tidak tahu diri baginya.

Mata biru yang sempat risau itu berubah drastis, menjadi penuh akan guruh kilat memberontak langit dibalik awan-awannya.

"Sembarangan! Dialah yang justru menghancurkanku secara perlahan! Semena-mena dengan kuasa itu yang tertaut di jemarinya!"

"Alfred! JAGA SIKAPMU! Dia adalah orang yang sangat berjasa bagimu—!"

Cermin di antara keduanya.

Refleksi seorang pemain kuasa biadab dan refleksi seorang pemuda penuh pancaran kasih.

Manakah yang hanya berupa bayang-bayang fana? Siluet maya dalam cermin?

.

"Apanya yang berjasa? Aku muak padanya! Aku akan MERDEKA darinya‼"

"‼"

Pemuda itu terbelalak, terkesiap mendengar kalimat saudaranya barusan. Bibirnya bergetar hebat, tak dapat mengeluarkan sepatah katapun sebagai balasan. Sementara kata itu terus bergaung dalam pendengarannya,

'—Merdeka'…?

"Alfred—kam…u serius, ah-kau-, baru saj—a…" desisnya tersendat-sendat, air mata menggenangi pelupuk matanya. Membuat buram pandangan, sosok pemuda bermata biru itu yang makin memudar. Tangisan apakah gerangan?

Kita berdua dalam satu ruangan. Menatap dirimu yang berdiri congkak di hadapan.

Di sini, seratus pernyataanmu terlontar, seribu pertanyaanku terlahir.

Beritahu aku, saudaraku.

"Kamu…ingin merdeka dari Arthur?

Apa yang kau sembunyikan?

Biru itu seketika berubah gelap, terselubung kabut kelam sembari ia mengangguk dalam-dalam. Dalam sanubari berdoa semoga Tuhan berkenan mengabulkan permintaannya.

"IYA"

.

Apa yang…kau inginkan?

.

Kemerdekaan.

Matthew terbelalak, bibirnya yang terbuka tidak dapat meluncurkan sepatah katapun. Ia diam memandang pemuda yang menatapnya tajam. Pikiran berkecamuk. Hati mengamuk.

"Ke-kenapa…? Apakah Arthur benar-benar tidak ada artinya bagimu?"

Tukasnya, nada suaranya terdengar bergetar dalam gigil.

Pemuda Amerika itu sekejap membentuk seringaian. Mengerikan. Mata birunya berubah memicing. Amat licik.

.

Bukankah ia pelindung bagi kita? Bagimu?

"Ia egois dan tak tahu diri."

Peduli dan penuh kasih.

"Ia berhati busuk, berakal bulus."

Berhati lembut, tutur kata yang halus menenangkan.

.

"Dan ia menghancurkanku."

.

Dan senantiasa… melindungimu.

Tak terasa, sebulir air mata pedih meleleh dari ujung mata violet itu. Bisu jatuh dari ujung dagunya hingga ke atas lantai keramik.

Kita berdua dalam satu ruangan. Menyambut nafas enggan terhembus, cengang dalam gaung kumandangnya.

"Kau…sebenci itukah dirimu kepadanya?"

Lihatlah foto-foto tua, album uzur berselimut debu. Rol film bernuansa coklat sepia, tertimbun di dalamnya segala memoriam.

Matanya mencari retakan kaca pigura dahulu. Nelangsa dalam buncahan seribu waktu ia tenggelam.

Tahukah kau, saudaraku?

Aku selalu iri terhadapmu.

Sekelebat memori merasuk, bayang akan dirinya yang mencurahkan kasih sayang lebih banyak padamu.

Semuanya kini teronggok pada hulu.

.

"Ini bukan urusanmu, Matthew. Aku sudah muak pada Arthur, kau harus tahu itu."

Tahukah kau?

Walau engkau cerminku, dan aku cerminmu.

Luapan kasihnya tercurah, membendung dalam rona di tangkup tanganmu.

Di sampingmu aku berdiri, menyaksikan dengan hati miris.

Tetapi kini kau memakinya bengis.

"Aku kecewa padamu, Alfred."

'Kau yang terlalu naif, Matthew sayang'

Batinmu yang berujar laknat. Pendar kilat murka matamu menorah durkarsa.

.

Apa yang kau inginkan?

.

"Terserah mau bilang apa, aku akan tetap memperolehnya. Walau nyawa taruhannya."

.

Apa? Apa itu?

Kemerdekaan.

Kita berdua dalam satu ruangan. Kau berjejak angkuh di atas dasar keramik berpantul. Sementara aku terdiam kaku aba-abai kesenyapan.

Di sini, seratus penyataanmu terlontar, seribu pertanyaan terlahir.

Oleh karena dirimu. Telah mengumandangkan,

.

Kemerdekaan itu.

KREK

"Matthew?"

"…"

Mata hijaunya sedikit terbelalak, mendapati sesosok pemuda yang berdiri di ambang pintunya. Ia kemudian meletakkan kertas-kertasnya ke atas meja lalu menghampirinya yang terdiam kaku bertopang pada gagang pintu.

"Ada apa kau ke sini? Tumben sekali, Matt," tukas Arthur dengan sedikit senyum terulas di wajahnya, mempersilahkan pemuda itu untuk masuk ke ruangannya. Walaupun sedetik sebelumnya ruangan itu masih berupa tempatnya menuntun arah ombak, bilamana saatnya ia bermuram atau murka oleh Alfred.

Ya, aku tahu bahwa yang kau harapkan untuk menemuimu adalah Alfred, bukan aku.

"Ah, aku kesini hanya untuk meminta maaf atas keteledoranku. Mengenai tanda tanganku di petisi Alfred tempo hari—"

Petisi.

Ia terkesiap, hijau zamrud itu mendadak berubah kelam seiring dengan getaran menyakitkan di batinnya.

"Petisi itu! Kau IKUT menandatanganinya, bukan?" pekiknya, mata hijaunya membesar, menusuk lewat pandang pada violet itu yang terhenyak dan kalap.

"B-bukan! Saat itu aku telah tertipu oleh Alfred!"

Ia tertegun.

"…"

"…maaf."

"Tidak apa-apa, Matthew. Aku yang salah. Ini…ini karena…"

Desis Arthur, kepalanya tertunduk menghadap ubin sementara hatinya penuh oleh guruh kegundahan dan kerisauan. Perasaannya terasa sakit, terluka sedari lubuknya oleh sebuah perihal itu. Mengusiknya sepanjang hari. Bayang-bayang seolah kekal besertanya.

Seorang insan dalam bayangan fana cermin.

Mentari dan rembulan di atas cakrawala.

Anak yatim dan anak piatu laksana terjalin.

Siapapun dirimu, beritahu aku.

Apakah keduanya sama? Atau justru sangat berkebalikan?

"Tolong maafkan Alfred. Akhir-akhir ini ia memang selalu terombang-ambingkan oleh emosinya. Ia—"

Matthew berangsur mendekati pemuda bermata hijau itu yang tengah berdiri kaku. Sembari ia merengkuh pundak Arthur erat guna menenangkannya barang sedikit dari kancah kelabu itu pemuram hatinya.

Apakah keduanya sama?

Entah.

BRAAAK

Ia melepaskan dirinya dari kedua lengan yang semula melingkar di tubuhnya itu. Menghempaskannya kasar ke hampa udara. Membuat sepasang violet itu terbelalak sembari cengang menatap pantulan kabut dalam hijau itu.

"KAU! Beritahukan padaku apa saja perbuatannya!

apa saja rencananya?"

Teriak Arthur berang seraya tangannya mencengkeram kerah baju Matthew yang wajahnya serupa dengan lelaki kebenciannya.

Amerika. Alfred.

Matthew terhenyak, wajahnya terus memandang lekat pada raut muka yang mengerikan itu. Akan tetapi ia tak kunjung memalingkan pandangan. Terkunci pada kemurkaannya, ibarat terjebak bisu dalam gempuran perselisihan kacau di sana-sini. Tenggorokannya terasa tercekat, kain kerahnya nyaris sobek dalam cengkaman tangan kuat yang bergetar itu.

Bersabarlah, sebentar lagi Timur dan Barat akan segera berhadapan.

"Arthur—" gumamnya terbata-bata. Degup hati layaknya debum nyaring di bawah langit hitam penuh koar asap kemerahan peperangan.

Kedua alis tebalnya bertemu, dahinya berkerut dan giginya saling kertak. "Jawab, Matthew! Mengapa kini anak sialan itu terus memberontak?"

Ia menelan ludah sembari bibirnya perlahan terbuka dan dengan enggan berdesis kata,

Membunuh satu dan yang lainnya, dengan kejam saling adu.

Alfred, ia membencimu. Sangat.

"Angkat senjatamu, wahai para tentaraku."

Ia ingin meremukkan tulang rusukmu dan melumpuhkan kedua kakimu.

"Kita ke Amerika SEKARANG, Massachusetts."

Hanya satu yang ia inginkan, yakni;

"Bersiaplah, peperangan akan segera dimulai."

KEMERDEKAAN.

"Kita yang akan menghancurkan Amerika."

.

"Lihat saja, jangan sombong dulu kau, bocah keparat".

.

Langit senja bertiraikan awan kelabu, tercemar oleh kuapan asap berkebul dalam bumbungan berarak menjadi kelambu tipis pada cakrawala lembayung itu.

Debam senjata menyambut kelongsong peluru, menembus kulit, rusuk retak cetuskan tangis tersengut-sengut pilu. Bau mesiu menusuk di hidung. Ujung-ujung runcing tiap senjata haus membabi buta mencium dada kiri lawan.

Hingga salah satu timpang dan berangsur rubuh menjadi rata dengan tanah.

Rebutlah senjata para penduduk tak terlatih dan ringkih itu.

Silakan saja, tentaraku, bunuh saja penduduk Amerika pemberontak itu. Hancur. HANCUR!

Suasana hiruk-pikuk, lalu-lalang saling bidik, saling todong senjata. Antara biru dan merah, siapakah yang akan menjadi pemenang?

Arthur mendelik ke arah medan keji permainan saling bunuh, dengan seragam merahnya terlihat dalam kamuflase merah itu yang senada dengan api. Ia berbalik badan, menyadari kehadiran musuh sembari tangkas menarik pelatuk senjata dengan diam, sedetik kemudian tubuh manusia berseragam biru itu menubruk tanah. Terkapar kaku dengan luka tembak di dadanya.

Cairan merah yang merembes di kain biru laut itu. Biru dan merah, sungguh kontras.

Mata hijaunya beralih dari senjatanya, menuju tempat mencekam yang penuh debum senjata api dan erangan si sakit di permukaan tanah kusam.

Ia menyeringai, tawa renyah serasa ingin ia luncurkan dari mulutnya.

Padahal tidak ada yang jenaka dari tingkah polah seorang bocah durhaka.

Payah, bisa-bisanya menggunakan rakyatmu sendiri untuk memerangiku.

Jelas saja bahwa pasukanmu akan hancur semua olehku, Alfred.

DOR!

Arthur terbelalak, ia menoleh ke samping tubuhnya, ditemukannya sesosok pemuda berseragam biru yang dengan gigih melawan tentaranya. Senjatanya terhunus, peluru panas tertakhlik dikemudiannya menyerempet lengan baju seragam salah satu tentaranya.

Alfred.

Dengan seragam biru.

MUSUH.

Pemuda bermata biru itu menoleh ke arahnya, membuat kedua pandangan mata mereka bertemu. Jadikan ia terdiam bergeming, menatap kristal biru itu yang semakin membelalak.

Binasa. Binasa.

Tinggal kutarik pelatuk dan ia akan rebah disambut ajal.

Alfred, bocah tak tahu diuntung.

Bocah angkuh, congkak. Kuharap ia sesal.

Ia membenciku, dan aku membencinya.

Seribu dendam tak terbalaskan.

Kupersembahkan hanya untuk dirinya, tak sekedar angan-angan..

.

Yang sangat kukasihi.

.

Arthur terkesiap, ia mengepalkan tinjunya erat-erat, terlalu erat hingga kulit tangannya nyaris tergores lalu sobek setelahnya. Menembus kaus tangan putihnya yang ternoda debu dan tanah medan keji.

Saksikanlah, Timur dan Barat akan segera berhadapan.

Yang…kukasihi.

Ia membalikkan tubuhnya dengan kasar, memunggungi sosok Alfred yang masih termangu diam menatapnya. Kemudian pemuda bermata hijau itu beranjak pergi, menjauhi tempatnya berjejak diatas tanah datar.

'Tinggal kutarik pelatuk dan ia akan rebah disambut ajal.'

Cih.

Sebegitukah inginnya ia merdeka dariku?

Alfred memandangnya lekat-lekat tanpa sejenakpun beralih dari figur berseragam merah itu yang makin menjauh hingga siluetnyapun tak terlihat sama sekali. Ia menggenggam erat senapannya sembari di gendang telinganya terus terdengar genta perang berbuncah.

"Arthur…"

Angkatlah senjatamu wahai Timur, bidiklah lalu sebutir peluru panas akan menembus tulang Yang Mulia.

Akan tetapi berhati-hatilah akan Barat yang senantiasa berdiri di belakangmu, dengan tangan runcing ia patahkan tengkukmu.

Dua sisi berselisih, egois berebut raih kemenangan berupa piala.

Kesenangan yang semu, tega membiarkan tubuh lawan kaku teronggok pada hulu.

.

'Aku menantikan saat di mana perang akan pecah'


"I have not yet begun to fight,"

John Paul Jones [1747-1792].


Until The Next Chapter


Glossary:

(1) Pembantaian Boston (tahun 1770) adalah lima orang warga Amerika ditembak mati oleh Tentara Inggris. Lalu sebelum pesta teh Boston, kapal Gaspee diserang oleh penduduk Amerika dan hanya mengakibatkan kerusakan kecil, yakni hanya kaptennya yang terluka.

(2) [Tahun 1774] Pemerintah Inggris mengeluarkan 'Intolerable Act' yang menghukum para penduduk Boston—yang sudah membuang teh sembarangan *plak—dengan cara menutup pelabuhan Boston. Itu adalah respons dari Parlemen Inggris atas peristiwa 'Pesta Teh Boston'. Isinya adalah pertama, menutup pelabuhan Boston sampai kerugian dari teh-teh yang dibuang itu terbayar. Kedua, koloni tersebut dilarang berinteraksi dengan koloni-koloni lain kecuali atas perizinan tertulis dari gubernur Inggris yang mengurusi koloni Massachusetts. Ketiga, koloni tersebut harus bergabung dan mendukung tentara Inggris. Keempat, Administrasi Imparsial Kehakiman (emtahlah saya nggak tahu apa itu benar bahasa Indonesianya ._.) dihapus oleh pejabat Inggris dari Yurusdiksi Pengadilan Massachusetts, dengan begitu para pejabat bisa melaksanakan UU Inggris dan menekan kerusuhan. Koloni lain bersimpati dengan koloni Massachusetts, jadinya mereka bersatu dan melaksanakan 'Continental Congress' atau kita kenal dengan Konferensi Kontinental.

(3) 5 September 1775, Continental Congress dilaksanakan. Konferensi pertama, yaitu menuliskan petisi kepada bos-nya England, Raja George III soal memperbaiki hubungan koloni dan kompeni-nya. Salah satu tokoh, Peyton Randolph, mengajak penduduk Kanada untuk menulis petisi tersebut. Walaupun akhirnya Amerika memutuskan untuk memboikot perdagangan dengan Britania. Lama-kelamaan berujung kepada pemberontakan dan perang Revolusi.

(4) 19 April 1775, akhirnya perang pertama pecah dimulai dengan para tentara Inggris dengan rakyat bersenjata di Lexington dan Concord, Massachusetts. Para tentara tersebut berusaha mencari dan merebut senjata dari rakyat tersebut, sehingga para rakyat bersenjata lari dan berusaha melindungi kotanya.


A/N : Giliran Mint yang udah kelar bikin, saya memundurkan tanggal terbit(?) dengan alasan 'kebanyakan tugas', sedih rasanya ._.. Maaf sekali kalau informasi sejarah di sini melenceng, karena saya baca materi pas liburan, saat-saat otak lamban saya sudah berdebu tak terpakai ufufu =w= *plak, tapi saya termotivasi karena di acara 'Are You Smarter Than a 5th Grader?' pelajaran Sejarah munculnya perang ini melulu =3=, sekarang seasonnya udah habis ;_; #curcol. Soal update selanjutnya…jangan tanya. Yang jelas kami berdua tambah sibuk, dan minggu depan saya ada UHT dan akhir Februari disambung UTS D': #curcollagi.


Terima kasih buat Enpitsu Hon, Apple Azure, sama Peach Pie yang sudah memotivasi kami hwahaha ;w;/

Review kalian adalah motivasi bagi kami 8DD *plak