Heart

To Love You More

Disclaimer : J.K Rowling

Pair : Draco M. & Harry P.

Rate : T

Genre : Romance

Warning : SLASH, OOC, Modifiate Canon.

.

#

.

Dalam ruangan besar yang berisi dua meja itu tampak seorang pemuda berambut pirang tengah serius menulis sesuatu ke dalam sebuah buku besar di hadapannya, sedangkan di sekelilingnya tampak buku-buku kecil yang melayang menunggu giliran untuk diperhatikan. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaannya siang ini juga, karena dia ingin saat malam tiba nanti dia tak terganggu oleh aktifitas lain.

"Draco, kau tak takut buku-buku itu akan menimpamu?" tanya seorang gadis yang menempati meja lain di dalam ruangan itu dengan ngeri.

"Tak akan, percayalah. Aku hanya ingin ini semua cepat selesai, Astoria," jawabnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku-bukunya. Astoria Greengrass adalah juniornya di Hogwarts, dan tahun ini dia memulai pekerjaannya di bidang yang sama dengan Draco, Hubungan Sihir Internasional.

"Ya... ya, aku tahu kau pasti sudah tak sabar ingin bertemu dengannya, bukan?" goda gadis itu sambil tertawa pelan.

Kali ini Draco tersenyum dan mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya, "Ya, enam bulan ini aku sama sekali tak mengunjunginya dan dia pun tak bisa mengambil cuti, jadi aku rasa malam ini tak boleh batal hanya karena pekerjaanku belum selesai," jawabnya.

Astoria tertawa melihat raut wajah seniornya itu setiap kali dia berbicara tentang kekasihnya, wajah tegang dan dinginnya seakan musnah, "Akhirnya Harry pulang juga ya, Draco."

Draco mengangguk, "Dua tahun yang menyebalkan tanpanya, dan aku heran kalau aku masih memiliki kesabaran sebesar ini," jawab pemuda itu lagi yang sekali lagi disambut oleh tawa Astoria.

Sejak dulu Draco memang menjalin hubungan baik dengan gadis ini, walau sempat terjadi salah paham tentang hubungan mereka. Dia tahu kalau Astoria sempat mencintainya tapi gadis itu telah berbesar hati karena Draco lebih memilih Harry dibandingkan dia. Hanya saja kakaknya, Daphne Greengrass, selalu membuat Draco pusing. Gadis yang menjadi teman satu angkatannya di Slytherin itu terus saja berusaha menjodohkan dirinya dengan adiknya ini.

"Nanti kami akan mengadakan pesta kecil untuk menyambut kedatangannya, kau mau datang?" tawar Draco pada Astoria.

Gadis itu tampak berpikir sebentar, "Kalau aku datang Daphne juga pasti akan memaksa ikut, aku tak mau dia mengacaukan pesta kalian," jawabnya.

Draco tertawa pelan, "Dia bisa mengacaukan apa?" sindirnya, "Datang saja, semua pasti akan senang menyambutmu," kata Draco lagi.

.

.

"Pans, tolong bawakan kue kering dari dapur ya, aku akan menyiapkannya di meja," seru Hermione pada sahabat perempuannya itu.

"Oke," jawab Pansy yang langsung melesat ke dapur.

"Hermione, bantu Aunty memasang taplak ini dulu ya, baru kita siapkan makanannya," pinta Narcissa pada sahabat anaknya itu.

"Oke, Aunt Cissy. Guys, tolong angkat meja ini agak sedikit ke tengah," perintah Hermione pada para pemuda yang sedang duduk di sudut ruangan bersama Lucius, tangannya dan Narcissa penuh dengan barang jadi mereka tak bisa mengayunkan tongkat sihirnya.

Masalah diselesaikan oleh Draco dengan keajaiban tongkatnya, "Kalian kenapa ribut sendiri sih dari tadi? Bisa kan dikerjakan dengan tenang?" gerutunya.

Hermione dan Narcissa hanya berdecak kesal. "Kami tahu kalau sebenarnya kau lah yang tak tenang, Draco," goda Astoria yang sibuk menata bunga di atas meja. Kata-kata gadis itu akhirnya menjadi akar dari olok-olokan yang dilontarkan semua orang pada Draco.

"Itu jelas, dua tahun terpisah dan enam bulan tak bertemu... aku salut dia tak meledak duluan," goda Pansy yang baru muncul dari dapur. Tawa riuh terdengar dari ruangan itu, hanya Daphne saja yang menatap sebal dari sofa tempatnya duduk. Kakak dari Astoria itu masih tak suka melihat hubungan Draco yang berjalan mulus dengan kekasihnya.

"Siapa bilang tak meledak? Aunty sering mendengar suara keras dari kamarnya kalau dia sedang rindu," timpal Narcissa, dan semua kembali tertawa.

Draco mengeluh, "Mum, jangan ikuti permainan mereka," katanya kesal.

Setelah saling melemparkan canda ruangan itupun akhirnya tampak sempurna, semua puas dengan hasil pekerjaan mereka, khususnya para wanita.

"Aku tak sabar untuk bertemu dia, bagaimana wajahnya sekarang?" tanya Pansy penasaran.

"Kau kan sudah bertemu dia tahun kemarin, Pans," kata Hermione mengingatkan. Semenjak ditugaskan ke Perancis dua tahun yang lalu, Harry memang hanya pulang sekali saja saat Natal tahun lalu.

"Iya sih, tapi itu kan sudah lama sekali, Mione," jawab gadis berambut hitam itu dan ditimpali oleh yang lain.

.

.

Sementara tak jauh dari Manor langkah tergesa nyaris berlari menembus pekatnya malam, senyum ceria tersungging di bibirnya yang sedikit memerah. Tak sabar rasanya bertemu dengan keluarga, sahabat dan kekasihnya. Enam bulan tanpa bertemu Draco membuatnya nyaris frustasi, kesibukan membuat mereka tak bisa bertemu, dan setelah masa tugasnya yang sedikit molor akhirnya malam inipun dia bisa segera pulang, pulang ke rumahnya yang sebenarnya.

Dia hanya membalas sapa orang-orang yang mengenalnya dengan lambaian, tak berusaha berhenti untuk sekedar berbincang karena dia tak ingin membuang waktunya. Senyumnya semakin merekah saat gerbang Manor telah terlihat oleh matanya, rindu... rasa itu begitu menyesak saat dia melihat rumah di mana ada keluarga yang menyayanginya, menggantikan sosok orang tuanya yang meninggal sejak dia bayi. Sosok orang tua baru yang selalu mengulurkan tangannya di saat dia membutuhkan.

Kali ini dia tak berjalan lagi, dia berlari secepat yang dia bisa, membuat jubahnya berkibar di belakang tubuhnya. Tawa pelan terdengar dari bibirnya saat dia telah berhenti di teras Manor yang luas itu, tangannya sedikit gemetar saat mengetuk pintu rumah itu.

"Dia datang..." seru Narcissa yang langsung berlari menuju pintu diikuti oleh yang lain, hanya Daphne saja yang tak beranjak dari duduknya. Gadis itu tampak semakin kesal, dia datang kesini hanya karena ingin menemani adiknya saja, dan bertemu Draco tentunya.

Pintu terbuka lebar dan tampaklah sosok yang mereka tunggu sejak tadi, pemuda itu tampak berbeda, dia terlihat lebih tampan dan lebih putih, kulitnya tampak bersih dan wajahnya tampak bersinar cerah dengan mata hijaunya yang begitu indah. Penampilannya pun lebih rapi dibandingkan dia yang dulu. Mungkin semua tak mengira kalau pemuda ini adalah Harry Potter, pahlawan dunia sihir yang tak pernah peduli akan penampilannya. Kaca mata bundarnya lah yang menjadi bukti kalau pemuda yang berdiri di depan mereka ini benar-benar Harry.

Narcissa membuka lengannya sambil tersenyum bahagia, mata birunya bersinar terang, "Peluk Aunty, Son," katanya pelan.

Tak menunggu lama Harry pun membiarkan tasnya jatuh ke lantai dan menghambur ke dalam pelukan Narcissa, memeluk wanita yang telah dianggapnya sebagai ibu itu dengan begitu erat, "Aku pulang, Aunt Cissy," bisik Harry menahan haru. Rindunya benar-benar tak tertahan kali ini.

"Selamat datang, Harry," jawab Narcissa sambil mencium pipi pemuda itu.

Harry melepaskan pelukan wanita itu dengan enggan, dia melihat pada Lucius yang berdiri di samping istrinya. Pria itu membuka lengannya dan menyambut Harry yang langsung memeluknya, sama eratnya seperti saat pemuda itu memeluk Narcissa, "Selamat datang, Son," sambut Lucius sambil menepuk pelan punggung Harry.

Harry tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Lalu dia melihat pada sahabat-sahabatnya, memeluk mereka satu-persatu. Sapa ceria meluncur dari bibir-bibir mereka sebagai pelepas rindu.

Setelah semua temannya disapa Harry tercekat melihat Draco yang melipat tangannya di depan dada. Pemuda itu tampak semakin tinggi dan tentu saja... semakin tampan. Entah apa yang dilakukannya selama enam bulan ini, wajahnya tampak begitu dewasa dan entah kenapa itu membuat Harry berdebar.

Draco pun demikian, dia melihat perubahan pada diri Harry dan itu membuat dadanya berdesir halus. Dia begitu merindukan pemuda ini tapi tak tahu harus bersikap bagaimana, apalagi ini di depan orang banyak.

"Katanya kau rindu pada Harry, Draco, lalu mana pelukannya?" goda Pansy yang disambut tawa semua orang.

Draco dan Harry tersentak, mereka tersenyum dan saling mendekat. "Welcome home, Love," sambut Draco dengan suaranya yang mampu membuat Harry tuli akan suara sekitarnya. Lalu pemuda berkacamata itu memeluk pinggang Draco dengan erat, "I'm home," bisiknya di leher Draco yang memeluk pundaknya.

Draco tersenyum dan mencium pelipis Harry, menghirup aroma tubuh Harry sebanyak yang dia bisa. Dengan Harry berada dalam pelukannya, dia tak membutuhkan apapun lagi.

"Terus saja begitu dan kami akan segera pulang saat ini juga," goda Theo yang disambut olok-olokan lagi dari yang lain.

Harry melepaskan pelukannya pada Draco dan tertawa, dia tak bisa menyembunyikan rona merah dari wajahnya, dan itu membuat Draco nyaris tak mampu menahan diri, 'Sebaiknya aku tak menciumnya sekarang atau aku tak akan bisa berhenti', batin pemuda berambut pirang itu yang masih memandang wajah kekasihnya.

Harry memandang Daphne yang memilih terpisah dari semuanya, dia melihat gadis itu memandangnya dengan tajam dan lurus, dia tahu kalau Daphne masih membencinya, tapi Harry tetap menghampiri gadis itu. dia mengulurkan tangannya tak peduli apakah akan ditolak atau diterima, "Apa kabar, Greengrass?" sapa Harry.

Gadis itu sedikit tergagap, dia tak menyangka kalau Harry akan berubah seperti ini setelah dua tahun tak bertemu. Dengan ragu dia menyambut uluran tangan pemuda itu yang membuat seisi ruangan terperangah, "Baik... Potter," jawabnya, dan entah kenapa ada yang aneh di dadanya saat dia melihat Harry, pemuda yang dulu begitu dibenci dan selalu dihinanya itu berubah menjadi pemuda yang begitu berbeda, atau itu cuma di matanya saja?

Draco mengernyit memandang reaksi tak wajar dari Daphne, "Bisa kita mulai sekarang pestanya?" tanyanya menginterupsi genggaman tangan Harry yang tak juga dilepaskan oleh kakak Astoria itu, ada perasaan tak enak muncul dalam dadanya.

.

.

Rumah yang tadinya ramai dan meriah itu kini menjadi kembali sepi, Lucius dan Narcissa sudah masuk ke dalam kamar mereka sendiri, sedangkan Draco pamit akan mandi sebentar sebelum berbincang dengan Harry di kamarnya, selain di Grimmauld Place dia juga diminta untuk menempati rumah ini oleh para Malfoy senior.

Harry baru saja selesai membereskan barang-barangnya sebelum pintu kamarnya terketuk, dadanya berdebar kalau menebak siapa yang berdiri di depan pintu, dan benar saja.

"Kau lelah?" tanya Draco sambil mengusap pipi Harry yang memerah.

Harry tersenyum, "Tak akan ada lelah dan sebagainya kalau untukmu," jawabnya pelan.

Draco tertawa pelan dan melangkah masuk, dia memeluk pinggang Harry setelah mengunci pintu di belakangnya, "Dua tahun di Paris membuatmu pandai merayu, Love," bisik Draco di telinga Harry yang membuat tubuh pemuda itu meremang.

Harry mengalungkan lengannya di leher Draco, "Benarkah," desah Harry saat kekasihnya itu membelai pinggangnya dari balik kemejanya.

"Dan kau tahu, kau begitu berubah, Babe," bisik Draco.

"Hmm?" desah Harry lagi sambil memejamkan matanya saat jemari Draco terus menggoda tubuhnya.

Draco menyusupkan wajahnya di leher pemuda itu, mengecup ringan kulitnya yang lembut dan hangat, membuat Harry bergetar dan mengerang tertahan, "Kau membuatku... semakin jatuh cinta padamu," bisik Draco lagi sebelum dia mencium dalam-dalam bibir Harry, memagutnya dengan lembut tapi posesif. Enam bulan menahan rindu dan kali ini dia tak akan membuang kesempatan sedetik pun untuk memanjakan diri dalam dekapan Harry.

Mereka terus berbagi rasa dalam satu jiwa, membiarkan hasrat mereka saling terikat dan kemudian terlepas membaur melemaskan raga. Tak ada yang peduli walau rembulan mengintip malu dari kisi-kisi jendela yang terbuka.

.

.

"Morning, Love," bisik Draco di telinga Harry yang memiringkan tubuhnya, dia tersenyum melihat wajah Harry yang memerah itu, "Jangan pura-pura tidur, atau aku akan berbuat sesuatu padamu," ancamnya.

Harry tertawa pelan, "Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara serak. Dia mengeluarkan tangannya dari dalam selimut dan menelentangkan tubuhnya menghadap Draco. Dahinya mengernyit heran, "Kenapa kau sudah rapi?" tanyanya pada Draco yang memang sudah berpakaian rapi.

"Kenapa? Kau kecewa karena aku berpakaian? Apa perlu aku lepas lagi?" goda pemuda berambut pirang itu.

Sekali lagi Harry tertawa, "Cukup, Draco, badanku rasanya seperti patah," jawabnya.

Draco membungkukkan tubuhnya dan mencium bibir merah Harry yang hangat, "Salah sendiri kau tak memintaku berhenti tadi malam," bisiknya.

Harry menarik tubuh Draco hingga jatuh menimpanya, "Jangan membalikkan fakta, Malfoy, kau sendiri yang memaksaku," bantah Harry dan tertawa geli saat Draco kembali menghujani leher dan dadanya yang telanjang dengan ciuman-ciuman kecil.

"Kau benar-benar ingin terlambat ternyata," jawab Draco, "Jangan salahkan aku kali ini."

Harry terkekeh pelan, dia melihat pada jam burung hantu yang menempel di dinding, "What! Kau tak bilang kalau sekarang sudah sesiang ini," omel Harry sambil mendorong tubuh Draco yang masih memeluknya dan membuatnya terguling. Dengan cepat Harry melompat dari tempat tidur dan berlari menuju ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidurnya.

Draco hanya menggeleng melihat tingkah kekasihnya yang ternyata tetap tak berubah, "Perubahan fisik ternyata tak berpengaruh pada dalamnya," gerutu pemuda itu. dia berdiri dan mengayunkan tongkatnya untuk membersihkan tempat tidur Harry yang teramat sangat berantakan karena ulah mereka semalam.

.

#

.

"Sampai nanti, Harry, aku akan menjemputmu saat makan siang," pamit Draco setelah mereka tiba di kementrian, satu kecupan ringan didaratkan di bibir kekasihnya.

Harry mengangguk dan berpisah jalan, kantornya dan Draco berbeda lantai, dia di lantai dua sedangkan Draco di lantai lima.

"Kalian seperti pengantin baru saja," goda Ron yang tiba-tiba muncul di belakangnya sambil merangkul pundak sahabatnya itu.

Harry tersenyum, "Jangan bodoh, bukankah dulu kalian sudah sering melihat kami begitu?" jawabnya.

Ron tertawa, dia mencoba kembali ke masa lalu dimana mereka masih bersama di Hogwarts. Ya, Harry dan Draco memang terkenal sebagai pasangan yang sangat romantis, bisa membuat seorang Malfoy jatuh cinta adalah suatu hal yang sangat mencengangkan.

"Mate, aku senang kau sudah kembali ke sini, setidaknya aku tak merasa kesepian lagi di kantor," kata Ron .

Harry memandang sahabatnya bingung, "Kenapa kesepian? Bukannya ada beberapa orang yang kita kenal yang bergabung bersama departemen Auror?" tanya Harry heran.

"Ya, kau benar, tapi tetap saja berbeda, Harry," jawab Ron malas.

Harry tertawa, sebenarnya dia pun selama dua tahun ini begitu merindukan teman-temannya. Bukan berarti dia tak suka pada teman-teman barunya, hanya saja… seperti kata Ron, itu tak sama.

"Dengan datangnya kau setidaknya aku selamat," kata Ron lagi.

"Apa maksudmu?" tanya Harry tak mengerti.

Ron menarik napas panjang, "Sejak dua minggu yang lalu Mr. Robarts menempatkan satu penyidik intern di kantor kita, dan aku yakin kau belum tahu kan siapa dia?"

Harry menggeleng, "Siapa?"

Ron menyeringai, "Nanti kau lihat sendiri," jawabnya sambil menarik lengan Harry untuk segera masuk ke departemen mereka. Pemuda berambut merah itu mengantarkan Harry menemui pimpinan mereka untuk melaporkan bahwa Harry sudah kembali dan siap menempati kantornya di sini. Mr. Robarts menunjuk Harry menjabat sebagai kepala bagian koordinasi lapangan menggantikan Mr. Savage yang berhenti bekerja minggu kemarin, Harry dipasangkan dengan Ron sebagai wakilnya, karena kerja sama mereka telah terbukti akurat sejak perang besar terjadi di Hogwarts.

Setelah itu Ron menunjukkan ruangan mereka, ruangan yang cukup besar untuk ditempati tiga meja di dalamnya.

"Itu mejamu," tunjuk Ron pada satu meja besar yang menghadap pintu masuk, "Ini mejaku," kata Ron lagi sambil meletakkan tasnya di meja yang ada di sebelah samping ruangan.

Harry melihat satu meja di seberang meja Ron, "Kalau itu?" tanyanya.

Tak lama pintu terbuka dan tampak seorang gadis masuk dengan tergesa, rambut pirang panjangnya terikat rapi di bahunya, "Potter," sapa gadis itu saat melihat siapa yang berdiri di ruangan itu bersama Ron, wajah angkuhnya tetap terlihat dingin dan ketus.

Harry membelalakkan matanya, "Greengrass?" jawabnya, dia tak menyangka akan bertemu Daphne Greengrass di sini.

Ron mendengus, "Ini penyidik intern yang kusebutkan tadi," kata Ron.

Harry mengangkat alisnya, "Jabatan yang hebat untuk seorang wanita ya," kata Harry basa-basi. Dia mendekati gadis itu dan mengulurkan tangannya, "Kali ini aku ingin bersalaman sebaagi rekan kerja," kata Harry lagi dengan senyum ramahnya.

Gadis itu tampak ragu menerima uluran tangan Harry, kemarin dia sudah cukup terkejut melihat perubahan Harry yang nyaris membuatnya tak mampu memejamkan mata, dan kini... perubahan itu semakin terlihat, Harry tampak lebih fresh dan bersemangat. Wajahnya tampak bersinar dan tentu saja gurat lelah masih sedikit tampak di wajahnya.

"Greengrass?" sapa Harry lagi karena gadis itu tak juga menyambut tangannya.

Daphne tergagap, dia bersalaman dengan Harry. Kali ini dadanya kembali terasa aneh, ada debaran halus yang membuat perutnya seperti tergelitik, "Kau bisa memanggilku, Daphne," kata gadis itu.

Ron melongo, "Kau tak pernah mengijinkanku memanggilmu begitu," protesnya.

Daphne melepaskan jabatan tangannya dengan Harry, "Diam kau, Weasley," katanya ketus lalu dia duduk di belakang mejanya.

Harry tersenyum, gadis di depannya ini masih tampak dingin dan keras kepala, tapi entah kenapa Harry tak melihat sorot benci yang dulu selalu ditujukan padanya itu. Perlahan dia kembali ke mejanya, menata semua barangnya yang dibawanya dari Paris.

"Perlu kubantu, mate?" tawar Ron pada Harry yang tampak sibuk.

Harry memandang sahabatnya dan tertawa pelan, "Tak perlu, terima kasih, sepertinya tongkatku masih bisa bekerja, Ron," jawabnya sambil mengayunkan tongkat sihirnya dan buku-buku serta barang-barangnya menata sendiri di meja dan lemari kecilnya yang terbuat dari kayu dan kaca di belakang kursinya.

Setelah yakin semua beres pemuda berkacamata itu pun mulai mengerjakan apa yang menjadi tugasnya.

Daphne berdiri dan menghampiri meja Harry, dia menyerahkan sebuah map besar berwarna merah, "Ini dokumenmu, aku membutuhkan persetujuanmu sebagai kepala koordinasi," kata gadis itu sambil duduk di depan meja Harry.

Harry menerima map itu dan mulai membaca isinya dengan serius dan teliti.

Sementara Ron tetap melongo melihat perubahan gadis yang sangat jahat itu, 'Bagaimana mungkin dia langsung tampak manis di depan Harry, ini jebakan atau apa?', gerutunya dalam hati.

Daphne mengawasi Harry, dia memperhatikan kalau mata hijau itu tampak semakin cerah, wajah yang dulu begitu kekanakan dan polos itu kini tampak semakin dewasa dan terlihat semakin bersih dan tampan. Dulu dia begitu membenci pemuda ini, karena dia lah Draco menolak cinta adiknya, karena pemuda yatim piatu yang memiliki nasib baik sehingga dia disebut pahlawan hingga saat ini.

Tapi melihat perubahan yang ada pada Harry sekarang entah kenapa Daphne jadi memakluminya, tak sulit jatuh cinta pada Harry yang selalu tersenyum hangat pada semua orang. Siapa yang tak suka mendapatkan senyum dari pemuda yang tampan di depannya ini?

Daphne tersentak, 'Ini konyol', katanya dalam hati, 'Bagaimana aku bisa berpikir begini?'.

"Baiklah, Daphne, ini aku terima. Bisa aku bawa dulu dokumen ini? aku harus mempelajari lagi, maaf karena aku juga baru hari ini kembali ke sini dan tak mau gegabah dalam mengambil keputusan," kata Harry yang sangat mengejutkan Daphne, gadis itu tergagap dan tampak bingung.

"Kau melamun?" tanya Harry.

Gadis itu menggeleng, "Tidak," jawabnya cepat, "Kau bisa membawanya dulu," lanjutnya sambil meninggalkan meja Harry.

Harry mengernyit heran karena wajah gadis itu sedikit memerah, sedangkan Ron tetap melongo sambil mengusap dadanya.

.

.

Harry mendongakkan wajahnya dari pekerjaannya yang menumpuk saat pintu kantornya terketuk, begitu juga dengan Ron dan Daphne. Pemuda berambut hitam itu tersenyum saat pintu itu akhirnya terbuka.

"Kau masih sibuk?" tanya Draco yang masuk dan duduk di depan Harry tanpa mempedulikan tatapan tajam Daphne.

"Lumayan, tapi perutku sepertinya juga lapar kalau mengingat aku tak sempat sarapan tadi pagi," jawab Harry sambil menutup dokumennya.

"Kau tak menanyakan aku, Draco?" sindir Ron.

Draco memandang malas pada sahabatnya itu, "Aku tak mau mengganggu pekerjaanmu yang sepertinya belum selesai semua itu, Ron," jawab Draco juga dengan sindiran melihat tumpukan kertas di meja Ron.

"Sialan, kau," gerutu Ron sambil kembali pada pekerjaannya, sementara Harry dan Draco tertawa pelan.

Harry berdiri dari duduknya diikuti oleh Draco, "Kau tak makan siang, Mate?" tanya Harry pada Ron.

"Iya, sebentar lagi," jawabnya tanpa memandang Harry.

Draco berdecak, "Padahal tadi aku melihat Mione di kantin, kupikir denganmu," kata pemuda berambut pirang itu.

Ron langsung berdiri, "Kau serius?" tanyanya cepat.

Draco tampak berpikir sebentar, "Kurasa mataku masih normal, Ron," jawabnya ringan.

"Awas saja kalau kau berbohong, Draco," ancam Ron sambil berlari keluar.

Draco tertawa tertahan, "Kau membohonginya, ya?" tebak Harry sambil menggelengkan kepalanya. Sejak dulu Ron dan Draco memang tak pernah berubah, mereka akrab tapi tak jarang juga bertengkar, tapi itu semua juga karena Draco yang selalu suka menggoda Ron yang bertemparamen keras.

"Sudahlah, ayo," kata Draco sambil melangkah keluar dan diikuti Harry.

"Potter, aku membutuhkan persetujuanmu secepatnya," kata Daphne menghentikan langkah Harry dan Draco.

"Akan aku selesaikan setelah ini, Daphne," jawab Harry.

Draco terkejut mendengar Harry memanggil teman seasramanya dulu itu dengan nama depannya, 'Akan kutanyakan nanti', putus Draco dalam hati. "Kau seperti tak ada waktu lain saja," katanya ketus pada gadis itu.

"Maaf, Draco, tapi ini tak ada urusannya denganmu," jawab gadis itu dengan nada manis yang dibuat-buat, membuat Harry sedikit merasa kesal.

"Aku akan kembali secepatnya," kata Harry sambil melangkah keluar mendahului Draco.

Daphne berdecak begitu pintu kantornya menutup, dia tak suka melihat Draco menjemput Harry seperti ini, "Menyebalkan," gerutunya.

.

#

.

Draco mengamati wajah Harry yang sedang serius mengerjakan pekerjaannya di ruang baca Malfoy Manor. Sudah dua bulan sejak kepulangan pemuda itu dari Paris dan Narcissa belum mengijinkan Harry untuk pulang ke Grimmauld Place, wanita itu ingin Harry tetap tinggal bersama mereka di rumah besar ini.

"Kenapa kau?" tanya Harry saat dia merasa kalau Draco terus memandanginya.

Draco tak menjawab, dia hanya tersenyum tipis tanpa sedetikpun melepaskan matanya dari pemuda berambut hitam berantakan di depannya itu.

Harry berdecak dan meletakkan pena bulunya, "Draco..." desahnya, "Cukup, kau membuatku serba salah, tahu?"

Draco berdiri dari sofa dan menghampiri Harry, menempelkan bokongnya pada tepi meja dan melipat tangannya di depan dada, "Kau sepertinya sibuk sekali?" tanyanya.

Harry memandang meja di belakang tubuh Draco, "Lumayan, Daphne memberiku begitu banyak dokumen yang harus aku periksa, dan aku tak yakin ini akan selesai kalau kau terus duduk di mejaku, Sir," jawab pemuda itu sambil tertawa renyah.

Draco memandang tajam mata hijau itu, "Sejak kapan kau dan Daphne menjadi akrab begitu?" selidiknya.

Harry menyandarkan punggungnya dan membalas tatapan Draco, bibir merahnya tersenyum lebar, "Kenapa? Cemburu?" tanyanya, lebih tepatnya menuduh.

Draco memajukan tubuhnya hingga wajahnya nyaris tak berjarak dengan wajah Harry, "Kau dengar ya, Mr. Harry Potter yang terhormat," desisnya, "Aku tak suka jika ada seseorang yang melirik milikku, atau berusaha merebut apa yang telah menjadi hak ku."

Harry tak bisa membalas karena bibir Draco telah mengunci bibirnya dalam sebuah ciuman yang dalam. Rasa hangat menjalar dalam hatinya, dia begitu bahagia karena dicintai dengan begitu posesif. Keegoisan Draco dalam masalah perasaan adalah salah satu hal yang disukai Harry, karena dia bisa tahu sedalam apa pemuda itu mencintainya.

Emerald itu terbuka kecil saat Draco telah memberikan sedikit jarak pada bibir mereka, "Itu tadi hukuman atau... peringatan?" tanya Harry pelan.

Draco menyeringai, "Itu hanya permulaan, Love, untuk peringatan dan hukuman akan aku berikan nanti jika sudah tiba waktunya," bisiknya pelan, pemuda itu meninggalkan ruangan setelah lidahnya sekali lagi membelai lembut bibir Harry yang sedikit terbuka, singkat tapi cukup membuat pemuda berambut hitam itu menelan ludah dan kehilangan konsentrasinya pada pekerjaannya.

Harry melepas kacamatanya lalu mengusap wajahnya, tubuhnya masih terasa begitu panas dengan satu sentuhan singkat dari Draco tadi, "Brengsek kau, Malfoy," erangnya, dengan frustasi dia menutup dokumennya dan melangkah cepat menyusul Draco ke kamarnya.

.

#

.

Harry mengernyit heran melihat meja kerjanya telah tertata rapi. Sudah sebulan ini dia sering merasa ada yang membersihkan meja kerjanya tanpa sepengetahuannya. Dia hapal bagaimana dia meninggalkan mejanya saat pulang, tak pernah serapi ini.

"Kau menghalangi pintu, Potter," kata sebuah suara di belakangnya.

Harry menoleh, dia melihat Daphne membawa tumpukan dokumen di tangannya. Tanpa berpikir panjang Harry langsung meraih tongkatnya dan melayangkan tumpukan kertas bersampul hijau itu ke meja rekan kerjanya, "Kau kan tak perlu berat-berat membawanya sendiri, Daph?" katanya, dan Harry sangat yakin kalau dia melihat semburat merah di pipi putih gadis itu.

"Aku meninggalkan tongkatku di laci meja," jawabnya.

"Banyakkah yang harus aku kerjakan hari ini?" tanya Harry lagi, dia duduk di depan Daphne dan memperhatikan kesibukan gadis itu.

Daphne mendongakkan wajahnya, dan kali ini dia benar-benar harus berusaha kuat agar tidak terlena oleh pesona emerald Harry yang memandangnya dengan hangat dan penuh persahabatan, "Kenapa? Apa kau lelah?" tanyanya pelan.

Harry tersenyum, dan dia tak sadar kalau senyumnya mampu membuat gadis di depannya lupa akan aktifitas paru-parunya, "Ya, akhir-akhir ini aku merasa letih. Padahal baru tiga bulan aku di sini," jawab Harry.

"Itu wajar, tiga bulan ini kau bekerja terlalu keras untuk menyesuaikan diri dengan cara kerja kami," kata Daphne lagi. Dia rasanya enggan mengalihkan matanya dari wajah Harry.

"Begitukah?"

Daphne mengangguk. Seperti diingatkan akan sesuatu dia meraih kantong kertas yang terletak di pinggir mejanya, "Aku tadi membeli roti kesukaanmu, sebaiknya kau makan sekarang selagi hangat," katanya sambil mengulurkan kantong itu pada Harry.

Harry kembali mengernyit, dia menerima kantong itu dan mengintip dalamnya, "Darimana kau tahu aku suka roti madu di toko itu?" tanyanya sambil tersenyum.

Daphne tampak gugup, dia berusaha mengalihkan perhatiannya pada pekerjaannya, "Kau pernah bilang padaku, kau lupa?" tanyanya.

Harry tertawa pelan, "Mungkin aku lupa, maaf ya," katanya. "Boleh aku makan sekarang? Kebetulan tadi aku tak sempat sarapan."

Daphne merasa senang melihat Harry mengunyah rotinya, tanpa sadar dia tenggelam dalam lamunannya. Sejak kedatangan Harry tiga bulan yang lalu dia tak mengerti kenapa harus terpikat oleh pria ini. Perubahan fisik sudah pasti menjadi faktor utama, tapi sikap Harry yang sama sekali tak dendam padanya benar-benar membuatnya tak habis pikir. Bagaimana bisa pria ini tetap tersenyum padanya? Tetap membantunya setiap kali dia mengalami kesulitan, bersikap lembut padanya seolah dia adalah wanita yang patut dijaga dan dihargai? Bagaimana bisa pria itu tetap baik padanya setelah apa yang dilakukannya dulu pada hubungannya dengan Draco? Ah, Draco, akhir-akhir ini pun Daphne begitu membenci pria itu, dia benci setiap kali Draco datang ke kantor mereka dan memperlakukan Harry seolah Harry hanya miliknya. Dia tak suka saat Draco mengumbar kemesraannya dengan Harry di depan umum. Ada sesuatu yang membakar dadanya setiap kali dia melihat itu. Bukan itu saja, dia juga tak suka jika Harry terlalu akrab dengan Hermione, Pansy, bahkan Astoria, adiknya sendiri. Dia benci semua orang yang berada di dekat pria ini. Karena itu Daphne selalu suka berada di kantor, karena hanya saat di dalam ruangan merekalah Harry bisa menjadi miliknya sendiri, seperti saat ini, tanpa kehadiran Ron Weasley.

"Kau melamun, Nona?" goda Harry dan tertawa saat melihat rekan kerjanya itu tergagap, apalagi wajahnya yang putih menjadi merah karena malu.

"A-aku? Tidak, kenapa harus melamun?" bantah Daphne sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Harry masih tertawa geli, dan Daphne sungguh suka mendengar tawa renyah itu keluar dari bibir Harry, bibir yang entah sejak kapan selalu hadir di dalam mimpinya, bibir yang begitu ingin diciumnya, atau menciumnya.

"Ini masih pagi, Daph, berhentilah melamun," goda Harry lagi.

Daphne kembali tersadar, 'Merlin... apa yang aku bayangkan tadi?', gerutunya dalam hati. "Rotinya sudah kau habiskan?" tanyanya senang karena bungkus kertas yang dibawanya tadi sudah kosong.

Harry mengangguk, "Aku lapar sekali, jadi aku habiskan saja. Janga-jangan kau mau minta ya?" tanyanya.

Daphne menggeleng, "Tidak, aku sudah makan," jawabnya, "Apa... mmmh Mrs. Malfoy tidak menyiapkan sarapan untukmu?" tanyanya.

Harry menggeleng, "Tadi malam aku tidur di Grimmauld Place karena lembur sampai larut malam, tak enak kalau pulang ke Malfoy Manor."

"Apa nanti kau juga pulang ke rumah ayah baptismu itu? Nanti kan kau lembur juga?" tanya Daphne, ada sesuatu tersirat pada nada suaranya, tapi sepertinya Harry tak menyadari itu.

"Ya, aku sudah bilang pada Draco kalau seminggu ini aku tak bisa pulang ke Manor."

.

#

.

Rasa letih kali ini benar-benar membuat Harry ingin segera tidur, tapi tetap saja ada rasa rindu menyerang setelah dua hari dia tak lelap dalam dekapan kekasihnya. Sebenarnya Draco ingin menemani Harry di rumah peninggalan Sirius Black ini, tapi mendadak kemarin dia juga harus bertugas ke luar kota untuk beberapa hari.

Harry tersenyum sendiri dalam lamunannya, dia masih sering tak percaya kalau hidupnya sekarang sempurna, begitu bahagia. Siapa yang menyangka kalau akhirnya dia akan bersama-sama dengan Draco dan menjadi miliknya? Hubungan permusuhan mereka ternyata membawa mereka ke arah romantisme yang dalam.

Suara 'Pop' kecil memecah lamunannya, "Kreacher?" tanyanya.

"Ada tamu mencari Mister Harry Potter, Sir," sampai peri rumah itu pada Harry.

"Siapa?" tanya Harry heran.

"Miss Greengrass, Sir," jawab peri rumah itu dengan suaranya yang serak melengking.

"Greengrass?" Harry semakin heran, "Daphne atau Astoria? Atau keduanya?" tanyanya lagi, kali ini lebih pada dirinya sendiri. "Siapkan minuman, Kreacher, aku akan ke depan," perintah Harry sambil berdiri dari sofa empuknya di depan perapian.

"Tak keberatan kan kalau aku yang masuk ke sini?"

Harry terkejut, dia melihat Daphne sudah berdiri di belakangnya dengan membawa kantong kertas yang besar, sendirian. Dia tampak begitu cantik dengan dandanan yang berbeda dari saat dia bekerja.

"Hai, Daph, kejutan kau ada di sini? Apa aku melupakan sesuatu di kantor?" tanya Harry.

Daphne tersenyum, "Tidak, aku hanya ingin membawakanmu makan malam, tak apa kan?" tanyanya.

Harry semakin mengernyitkan keningnya, "Tak apa sih? Hanya saja ini tak biasanya," jawab pria berkaca mata itu.

Daphne tetap tersenyum, dia melangkah ke meja makan yang letaknya tak jauh dari sofa yang di duduki Harry untuk meletakkan bawaannya. Dengan satu jentikan tongkat dia membuat meja bulat itu tampak meriah dengan makanan dan lilin. Lalu gadis berambut ikal pirang itu duduk di kursi kayu yang kokoh, "Ayo, kita makan malam bersama," ajaknya pada Harry.

Harry merasa risih dengan sikap gadis itu, sungguh berbeda saat mereka sedang berada di kantor. Bukan dia membenci wanita, tapi dia tak terbiasa bersama Daphne, apalagi dulu hubungan mereka sempat memburuk.

Tak ingin menyakiti Daphne Harry pun duduk di depannya, dia bingung harus bersikap bagaimana saat gadis itu meletakkan makanan di atas piringnya, 'Biarlah, aku tak boleh berburuk sangka padanya', katanya dalam hati.

.

.

Setelah makan malam Harry dan Dapne berbincang di sofa panjang di depan perapian. Obrolan mereka sebenarnya datar saja, Harry masih bingung dengan kahadiran gadis itu di rumahnya.

Harry tersentak saat tiba-tiba Daphne berpindah duduk menempel padanya, "Daph...!"

"Apa kau tahu kalau kau begitu berubah, Harry?" tanya gadis itu.

Harry terkejut saat gadis itu memanggilnya dengan memakai nama depannya saja, "Berubah bagaimana?"

"Kau seperti bukan Harry Potter yang dulu kukenal."

"Tak ada yang berubah, Daph, semua sama," jawab Harry sambil berusaha menjauhi gadis yang terus menempel padanya itu.

Daphne memberanikan diri, dia tak mau membuang kesempatan hanya berdua seperti ini, dia memeluk lengan Harry dengan erat, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu, "Harry... boleh aku seperti ini sebentar?" pinta gadis itu manja.

"Daph, ini tidak benar," jawab Harry sambil berusaha melepaskan lengannya, "Bukan... bukan aku membencimu, hanya saja ini aneh," potongnya saat melihat kilat kecewa di mata kakak Astoria itu.

"Kenapa?"

Harry menggeleng, "Kalau kau bertanya begitu aku tak tahu harus menjawab apa."

"Tak ada Draco di sini, hanya ada kita berdua," kata gadis itu sambil terus mendesak tubuh Harry, bahkan mulai berani memeluknya.

Harry tergagap, dia tak menyangka kalau Daphne Greengrass akan bersikap begitu. "HENTIKAN, DAPH!" teriak Harry sambil mendorong tubuh gadis itu agar menjauh, lalu dia cepat-cepat berdiri sambil membenahi kemejanya yang kusut.

"Aku menyukaimu, apa tak boleh?" tanya Daphne setengah terisak. Dorongan Harry tadi benar-benar membuatnya sakit di dalam hati.

Harry ternganga, "Apa? Apa kau bilang?"

"AKU MENYUKAIMU, HARRY POTTER!" teriak Daphne, gadis itu berdiri dan mendekati Harry lalu memeluk pinggang pria yang masih mematung itu. "Tidak bisakah kau melupakan Draco hanya untuk malam ini?" isaknya mulai terdengar di telinga Harry.

Harry tercekat, dia berusaha melepaskan pelukan gadis itu, tapi tak bisa, Daphne memeluknya begitu erat.

"Tak bisakah kau menjadi milikku walau hanya untuk malam ini, Harry?" pinta Daphne lagi.

Harry menarik napas panjang, "Maaf, Daph, aku tak bisa," jawabnya.

Tiba-tiba Daphne mendorong tubuh Harry hingga membentur tembok, "KENAPA? AKU HANYA MEMINTAMU UNTUK MALAM INI. KENAPA KAU TAK BISA?" teriaknya kesal, air mata mulai jatuh dari matanya yang tajam.

Harry mengusap wajahnya, "Aku tak bisa mengkhianati Draco, Daphne, tak akan pernah bisa."

Daphne meraih tongkat sihirnya, Harry mempersiapkan diri akan kutukan yang mungkin segera meluncur dari tongkat hitam itu. Tapi ternyata dia salah, apa yang dilakukan gadis itu sungguh di luar nalarnya, "KAU BODOH, DAPH!" teriak Harry saat gadis Greengrass itu justru melucuti bajunya dengan satu kali ayunan tongkat, hanya menyisakan pakaian dalam hitamnya yang melekat di tubuhnya yang putih dan ramping.

"Bahkan kau juga tetap tak ingin menyentuhku walau aku sudah begini?" tanya gadis itu sambil kembali melangkah mendekat.

Harry memalingkan wajahnya, dia tak membawa tongkat sihirnya, jadi dia tak bisa mengendalikan keadaan ini. Dia terjepit oleh tembok di belakangnya. Dia juga tak tega bersikap kasar pada rekan kerjanya itu, "Hentikan, Daph. Kau tak perlu begini, aku tetap tak akan mengkhianati Draco. Aku tak bisa mengkhianati dia."

Daphne semakin terisak, air matanya semakin deras mengalir, melunturkan maskara hitam yang dipakai untuk mempercantik matanya, "Tapi aku mencintaimu," ucapnya lirih, tampak begitu putus asa. Tangannya meraih sisi wajah Harry, memaksa pria itu agar melihatnya. Dengan sengaja dia menempelkan tubuh telanjangnya pada pahlawan dunia sihir itu, "Aku membenci ini, tapi sejak bertemu denganmu lagi aku tak bisa membuang dirimu dari kepalaku," bisik Daphne dengan suara parau, "Ini semua salahmu, Harry, aku tak ingin jatuh cinta padamu, tapi nyatanya aku tak bisa menghindar."

Tubuh Harry benar-benar membeku, dia tak tega melihat rasa putus asa terpancar dari mata wanita muda itu. Dia tak tega melihat air mata yang tak juga mereda. Wajah gadis itu tampak mengerikan karena cairan maskara yang luntur, "Maaf," hanya itu yang mampu keluar dari bibir Harry.

"JANGAN HANYA MEMINTA MAAF, AKU MENGINGINKANMU, HARRY!" teriak Daphne yang terdengar begitu pilu. Harry tak bisa menghindar saat bibir gadis itu sudah mencapai bibirnya dan menciumnya dengan kasar. Begitu ingin dia mendorong tubuh Daphne, tapi pelukannya yang erat benar-benar membuatnya susah bergerak juga bernapas.

Tapi tiba-tiba seruan Everte Statum melontarkan tubuh gadis itu secara kasar ke dinding seberang ruangan. Harry hanya bisa terpaku melihat kerasnya tubuh ramping itu membentur tembok. Tapi setelah itu akal sehatnya kembali saat melihat Draco sudah berdiri di depan pintu, "Draco…" ucapnya lirih.

"Apa yang kalian lakukan?" desis pria berambut pirang itu.

Daphne berusaha berdiri dan mengacungkan tongkatnya, dia tak peduli pada rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tapi belum sempat dia mengucapkan kutukan pada Draco, pria itu telah lebih dulu melucuti tongkat Daphne dengan mantra Expelliarmus,membuang tongkat sihir itu jauh dari mereka.

"Gadis jalang, jangan pernah kau mencoba untuk merayu milikku," desis draco lagi sambil mendekati gadis itu. Tongkat sihir masih tergenggam erat di tangannya yang gemetar menahan amarah.

Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan Harry pun menyusul Draco dan meraih lengannya, "Cukup, Draco," katanya pelan.

Tapi ternyata hal itu menyulut api amarah di dada Draco, dia berbalik dan menatap Harry dengan murka, "Kenapa kau membelanya? Apa kau juga ternyata menginginkan tubuhnya?" sindir pria itu dengan dingin.

Harry terkesiap, dia pernah melihat Draco marah, tapi tidak seperti ini, "Tidak, Draco, bukan begitu maksudku."

"Lalu? Kenapa kau biarkan dia masuk ke dalam rumah ini? Kau mengundangnya?" tuduh Draco.

Harry menggeleng, "Draco, dengarkan aku, ini tidak seperti yang kau kira."

"Lalu aku harus berpikir bagaimana dengan kondisinya yang telanjang itu dengan kondisi bajumu yang kusut ini? Jangan membodohiku, Harry," desis Draco sambil mendesak tubuh Harry hingga terus melangkah mundur.

Tiba-tiba Daphne tertawa tergelak-gelak, "Tentu saja, Draco. Menurutmu bagaimana aku bisa menjadi seperti ini jika bukan Harry yang melakukannya?"

"DAPH, JANGAN BOHONG!" teriak Harry.

Kilau kelabu Draco semakin menyala, dia memandang Harry dengan penuh kebencian, "Mana yang bisa kupercaya?" tanyanya sinis.

"Dia mengundangku ke sini, Draco, dia merayuku dan melucuti pakaianku," kata Daphne lagi dengan nada penuh kemenangan di belakang punggung Draco.

Draco tak berkomentar, tapi kemarahannya semakin nyata pada Harry, "Apa penjelasanmu kali ini?" tantangnya.

Harry ingin menjawab dan mengatakan yang sebenarnya, tapi Harry tahu gadis itu masih sedih oleh penolakannya, matanya tak bisa berbohong, dan air mata itu kembali membuatnya tak mampu menyakiti gadis itu lebih dalam dari ini, dan dia hanya bisa diam.

"Baru dua hari kita berpisah saja kau sudah begini, lalu apa yang kau lakukan selama dua tahun di Perancis kemarin?" tanya Draco dengan penuh luka.

Lidah Harry terasa kelu, saat ini Draco begitu marah, jadi dia tak mungkin mau mendengarkan jawaban apapun yang keluar dari bibinya, jadi dia memilih diam.

"JAWAB AKU! APA AKU TAK BISA MEMPERCAYAIMU LAGI?" teriak Draco marah.

Daphne tertawa melihat hal itu, dia senang melihat Draco marah sehingga dia bisa memiliki Harry kalau mereka putus.

"Terus saja kau marah begini, tak perlu mendengarkan jawaban apapun dariku, karena kurasa itu juga percuma, bukan?" tantang Harry.

"Brengsek kau… kau benar-benar tak bisa dipercaya lagi," desis Draco, dan sekali lagi mantra Everte Statum meluncur dari tongkatnya dan melempar tubuh Harry ke dinding batu yang keras. Sekilas Harry mendengar teriakan Daphne di antara rasa sakitnya.

Dengan berusaha keras pria berambut hitam itu berusaha bangkit, pandangannya berkunang-kunang, dan dia tercekat melihat apa yang akan dilakukan Daphne pada Draco. Gadis itu menuju meja makan, meraih pisau yang baru saja mereka gunakan untuk memotong daging saat makan malam tadi. Daphne mengangkat pisau tajam itu di belakang Draco dan siap menghujamkan benda perak itu di punggung kekasihnya. Dengan sekuat tenaga dia berdiri dan berlari ke arah Draco, "NOOO… DRACO…!" teriak Harry sambil memeluk dan memutar tubuh Draco. Saat itu juga dia merasakan rasa panas dan perih di punggungnya. Teriakan Draco dan Daphne silih berganti menyapa gendang telinganya yang semakin menuli. Matanya masih melihat bagaimana panik dan takut bergantian menari di bola mata kelabu yang selalu membuatnya hangat itu, sebelum semuanya menjadi hitam.

.

#

.

"Pulanglah, Son, biar kami yang menjaga Harry malam ini," bujuk Narcissa pada Draco, sedangkan Lucius hanya berdiri dengan diam di sisi putranya.

Pria itu tak menjawab, dia terus duduk di kursi di samping tempat tidur Harry. Sudah dua hari kekasihnya itu tak juga sadarkan diri. Tusukan Daphne merusak beberapa saraf di tulang belakangnya, ditambah lagi ditemukan beberapa luka dalam akibat benturan yang keras pada tubuhnya saat Draco merapalkan mantra pada pria berkacamata itu. Tentu saja ini hal mudah bagi pengobatan dunia sihir, mereka hanya butuh waktu sampai Harry benar-benar kuat dan bisa membuka matanya kembali.

Tapi kejadian ini benar-benar membuat Draco shock dan menyesal. Bagaimana bisa dia membiarkan dirinya kalah oleh rasa cemburu? Bagaimana bisa dia menyakiti pria yang begitu dicintainya? Ingin rasanya dia mengutuk dirinya sendiri, membalas rasa sakit yang telah dirasakan oleh kekasihnya.

Dengan lembut dia meraih tangan Harry dan menggenggamnya. Direbahkan kepalanya di sisi tempat tidur dan meletakkan tangan Harry di atas rambut pirangnya yang halus, "Pulanglah, Mum, Dad," katanya lirih, "Aku tak akan meninggalkan Harry."

Merasa percuma merayu putranya, kedua Malfoy senior itu pun pergi meninggalkan Draco bersama belahan hatinya.

.

.

Diusapnya lengan Harry dengan lembut, kepalanya masih berbaring di sisi tempat tidur itu, dan telapak tangan Harry masih berada di atas rambutnya. Belum ada tanda-tanda kalau Harry akan segera terbangun. "Maafkan aku, Love," bisik Draco, "Maafkan aku."

Draco memejamkan matanya, rasanya begitu letih. Dia bisa merasakan bagaimana hidupnya tak sempurna tanpa senyum dan tawa Harry di dekatnya. Dia ingin tidur walau hanya sebentar. Alih-alih membayangkan tangan Harry bergerak membelai rambutnya dia pun terlelap.

.

.

Harry merasakan sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya, pelan dia mengerang dan membuka matanya. Silau. Ruangan itu begitu terang karena banyaknya lampu yang menyala, tapi dia melihat tak ada sinar di luar jendela yang menunjukkan kalau saat ini masih malam.

Dengan lemah dia berusaha mengangkat tangannya, tapi sesuatu yang halus dan lembut menjerat jemarinya. Tak perlu melihat siapa yang tertidur di sisi tempat tidurnya, karena tekstur rambut Draco telah dihapalnya di luar kepala. Pelan diusapnya rambut itu sambil kembali memejamkan mata.

Dia mencoba mengingat semua yang telah terjadi, lagi-lagi kesalahpahaman menjadi sebuah duri dalam hubungan mereka. Masih tersisa rasa kecewa saat Draco tak mempercayainya, tapi dia mencoba mengenyahkan pikiran itu dari otaknya. Siapa yang bisa berpikir jernih melihat kondisinya dan Daphne saat itu? Pasti tak ada. Daphne? Apa yang terjadi pada gadis itu saat ini? Apa yang dilakukan Draco padanya? Pikirannya terus melayang hingga dia terkejut saat Draco telah duduk tegak dan menatapnya.

"Harry…"

Suara itu terdengar begitu parau di telinga Harry, ada kesedihan yang teramat sangat di sana. Dia melihat penyesalan yang begitu dalam pada bola mata kelabu yang selalu dirindukannya itu.

"Kau sudah bangun?" tanya Draco tak percaya.

Harry mencoba untuk tersenyum, tak boleh ada pertengkaran lagi, mereka sudah cukup tersakiti malam itu, dan Draco sudah cukup bersedih dengan kondisinya saat ini.

Draco berdiri dan perlahan duduk di sisi Harry, diusapnya rambut hitam itu dengan lembut, "Akan sakitkah jika aku memelukmu?" tanyanya lirih dengan suara bergetar.

Harry meraih tangan Draco dan mencium telapaknya, "No," jawabnya pelan.

Perlahan, begitu pelan dan lembut seakan takut menyakiti kekasihnya lagi, Draco pun memeluk tubuh lemah Harry. Membenamkan wajahnya pada lekuk leher pria bermata emerald itu.

Tak ada yang bersuara, keduanya hanya diam menikmati kebersamaan mereka. Harry mengusap punggung Draco yang bergetar pelan, entah Draco sedang menangis atau apa, tapi dia tahu kalau kekasih arogannya itu tengah tenggelam dalam penyesalan.

"Maaf…"

Kata itu terdengar lirih di telinga Harry, pelan bibirnya membentuk sebuah lengkungan kecil, "Aku bosan dengan kesalahpahaman, Draco," bisiknya.

Draco mendongakkan kepalanya dan menatap mata hijau yang kali ini tak dibingkai oleh kaca mata bundarnya itu, "Aku juga, Love, akupun lelah terus merasa takut kehilanganmu," jawabnya.

"Seharusnya kau tahu, Draco, kau tak akan pernah kehilanganku," jawab Harry sambil mengusap pipi pucat Malfoy junior itu.

"Seharusnya aku tak sebodoh itu, Harry. Seharusnya aku tak meragukan kesetiaanmu," sesalnya.

Harry menutup bibr Draco dengan jarinya yang lemah, dadanya berdebar halus saat Draco justru menciumi jemarinya dengan lembut, "Sudah, cukup, Draco, aku tak ingin mengingat hal itu lagi. Aku hanya ingin menikmati waktuku bersamamu."

Draco tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya, lalu dia merogoh kantong celana panjangnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana, sesuatu yang mampu membuat mata hijau itu terbelalak takjub.

Harry membiarkan Draco meraih jemarinya dan menyusupkan cincin emas itu di jari manisnya, "Jadilah milikku, hanya milikku, untuk selamanya," bisik Draco di telinga Harry sebelum dia mengecup bibir merah Harry yang masih menganga.

"Kau mau?" tanya Draco lagi setelah beberapa saat tetap tak ada suara yang terdengar dari bibir yang baru dikecupnya itu.

Harry masih memperhatikan cincin polos yang kini melingkar di jarinya itu, cincin polos sederhana tapi tampak manis dengan inisial M terukir halus pada permukaannya yang berkilau.

"Aku bermaksud memberikan ini di malam kepulanganku dua hari yang lalu, tapi ternyata aku justru…"

"Ya, aku bersedia, Draco," jawab Harry lirih. Dia sengaja memotong kata-kata kekasihnya agar momen yang mendebarkan ini tidak ternoda oleh kenangan pahit mereka malam itu.

Draco menatap emerald itu dengan pandangan tak percaya.

"Kenapa kau terkejut? Bukannya kau juga selalu tahu apa jawabanku sejak kita bersama tiga tahun yang lalu?" goda Harry.

Draco tersenyum gugup sambil mengusap ujung hidungnya, "Ini berbeda, Harry. Ya kau benar, tiga tahun bersamamu, selalu membuatku yakin kalau suatu hari nanti kita akan benar-benar bersama, tapi… tapi tetap saja berbeda."

Harry ikut tersenyum, "Berbeda bagaimana?"

"Ckk… aku bingung harus bagaimana menjelaskannya padamu," gerutu Draco.

Harry tersenyum geli, dia berusaha bangun dari tidurnya dengan bantuan Draco, punggungnya masih terasa sakit, tapi dia tak peduli, "Tidak ada yang berbeda, Draco. sejak awal hingga saat ini perasaanku tak berubah, semua tetap sama, utuh hanya milikmu," bisiknya sambil meraih tangan Draco dan menggenggamnya. Harry mengambil satu cincin yang masih tertinggal di dalam kotak beludru hitam itu lalu menyelipkannya di jemari pria tampan berambut pirang itu, "Aku akan selalu menjadi milikmu, Draco Malfoy… selamanya."

Draco mengusap cincin yang dipasangkan Harry lalu tersenyum lega pada pria itu, "Aku ada karena cintamu, untuk terus mencintaimu," bisiknya di depan bibir Harry sebelum kedua bibir mereka terikat dalam sebuah ciuman yang panjang. Melepaskan semua kerinduan dan keraguan yang tercipta sebelumnya. Keduanya hanya berpelukan dalam diam setelah ciuman itu berakhir, hingga mentari pagi menyapa mereka melalui kisi-kisi jendela rumah sakit yang terbuka.

Keduanya tersenyum menyambut hari baru itu, "Good morning, Love," bisik Draco sambil mengeratkan pelukannya.

.

#

.

Kesehatan Harry membaik dengan cepat, dalam tiga hari dia hampir pulih seperti sedia kala. Draco selalu menemaninya setelah dia pulang dari kantor. Narcissa, Lucius dan teman-temannyapun tak berhenti mengunjunginya selama dia terbaring di rumah sakit. Hanya Daphne yang tak terlihat, dia sudah bertanya pada Draco, bahkan Astoria, tapi keduanya menjawab kalau mereka tidak tahu. Astoria juga tampak bingung dan kalut karena kakaknya tak kunjung pulang.

Harry tak ingin menceritakan apa yang terjadi pada gadis itu, dia tak mau Astoria jadi membenci kakak yang begitu disayanginya. Dia pun melarang Draco untuk bercerita, hanya Lucius dan Narcissa lah yang tahu cerita sebenarnya. Ini hanya masalah perasaan, jadi Lucius meyakinkan kementrian kalau Harry hanya mendapatkan kecelakaan saja. Draco sempat menolak dan ingin tetap mengadili Daphne, tapi bujukan Harry dan Narcissa membuatnya mengalah.

Lamunan Harry terpecah saat pintu kamar terbuka, "Hai," sapanya pada Draco yang baru datang, dia menumpuk bantalnya dan memposisikan tubuhnya setengah duduk di sandaran tempat tidur.

Draco hanya menjawab melalui senyuman. Dia menghampiri Harry dengan membawa bungkusan di tangannya, "Apa itu?" tanya Harry setelah Draco memberikan satu kecupan singkat di bibirnya.

"Hanya makan siang, kebetulan aku belum sempat makan dan ingin bersamamu di sini, kau mau?" tawarnya sambil mengambil satu salad sayur dari dalam kantong kertas dan tersenyum saat Harry menerimanya.

"Kapan aku bisa pulang?" tanya Harry sambil menyuapkan sayuran ke dalam mulutnya.

"Besok, tadi aku sudah menghadap Healer, dan katanya besok kau sudah bisa pulang," jawab Draco.

Perhatian mereka pecah saat pintu kamar bernuansa putih itu kembali terbuka. Draco langsung berdiri sambil mengacungkan tongkat sihirnya, wajahnya memerah menahan amarah, untung Harry bisa bergerak cepat dan merampas tongkat hitam itu dari tangan pemiliknya, "Jangan, Draco!" serunya.

Draco tak bisa merebut kembali tongkatnya dari tangan Harry yang menjauhkan benda itu darinya, dan dia semakin marah, "Kau… beraninya kau datang ke sini setelah apa yang kau lakukan," desisnya pada Daphne yang berdiri di depan pintu.

"Draco…" Harry meraih lengan Draco, menahan pria itu agar tidak maju dan menyerang gadis yang tampak kuyu itu.

Draco hampir saja kembali membentak Harry karena masih membela orang yang sudah mencelakainya, tapi melihat kilat penuh permohonan dari kilau emerald itu, dan kata "Please" yang meluncur dari bibir Harry membuat Draco kembali menelan emosinya. Dia mencoba mengendalikan dirinya yang hampir meledak.

"Biarkan aku berbicara berdua dengan Daphne," pinta Harry pelan.

Draco mengernyitkan keningnya, dia tak suka mendengar itu.

"Aku harus menyelesaikan satu hal dengannya," kata Harry lagi, "Please… percayalah padaku."

"Bagaimana jika dia melukaimu lagi?" tanya Draco.

Harry memandang gadis yang masih berdiri di depan pintu itu, dia hanya melihat raut wajah penuh penyesalan dan kesedihan yang teramat dalam di matanya, "Tidak, Draco… dia tak akan berbuat seperti itu," yakinnya.

Draco mendesah kesal, "Aku akan berada di luar kamar," sungutnya, lalu dia mengulurkan tangannya, "Kembalikan tongkatku."

Harry tersenyum geli, "Nanti, kalau Daphne sudah pergi dari sini, oke?"

Draco memutar bola matanya dengan sebal, dan dia kembali tak mampu menolak pesona senyuman kekasihnya itu. Dengan hati kesal diapun melangkah keluar, melirik penuh ancaman pada Daphne yang dilewatinya.

Harry terkekeh pelan melihat tingkah Draco itu. Lalu dia tersenyum pada Daphne, "Masuklah, Daph," katanya lembut.

Gadis itu mendekati Harry dan berdiri di sisinya, "Kenapa kau masih bisa tersenyum padaku?" tanyanya lirih.

Harry bisa melihat bagaimana letihnya gadis ini, entah kemana dia pergi setelah berhasil mendapatkan kembali tongkatnya dan ber-apparate meninggalkannya dan Draco malam itu. Pelan dia mengulurkan tangannya, meraih telapak tangan Daphne yang terasa dingin di kulitnya, lalu menggenggamnya dengan lembut, "Kau tetap temanku, Daph," jawabnya sambil menatap mata gadis itu.

"Setelah apa yang aku lakukan padamu?"

"Kau tak melakukan apapun, Daphne Greengrass. Semua ini murni kecelakaan," jawab Harry.

Tiba-tiba Daphne terduduk di kursi di sisi tempat tidur Harry, dia menangis keras dan membiarkan tangannya tetap dalam genggaman pria itu, "Aku tak bermaksud melakukan itu padamu, Harry. Aku marah pada Draco karena dia telah membuatmu terluka, aku benci pada Draco yang membuatmu terhempas ke dinding. Aku tak menyangka kau akan berlari dan justru menggantikan posisinya, maafkan aku!" kata gadis itu dengan terisak kencang, "Aku tak mungkin bisa melukaimu, karena aku mencintaimu. Harusnya kau tak menyelamatkan dia! Harusnya kau biarkan aku menusuk pria angkuh itu untukmu!" isaknya lagi.

Harry hanya tersenyum, dia tak bersuara hingga tangis gadis itu sedikit mereda, "Seperti katamu, Daph. Aku pun tak bisa membiarkan orang yang aku cintai terluka. Aku akan menukarnya dengan apapun, bahkan dengan nyawaku, agar dia selamat dan hidup," jawab Harry lembut, tapi penuh dengan ketegasan.

Daphne kembali menangis, "Kenapa kau tak bisa mencintaiku? Kenapa harus dia?"

Harry menggeleng, "Perasaan itu tak bisa dipaksakan, Daph, semua mengalir seperti air. Yang aku tahu hanyalah bahwa… hatiku telah terikat sepenuhnya pada Draco."

Daphne melihat pancaran cinta yang begitu kuat pada emerald Harry, dan dia tahu kalau usahanya merayu pria itu akan sia-sia saja. Pelan dia berdiri dan mengusap air matanya, "Aku akan pergi dari negara ini, Harry," katanya.

Harry terkejut, "Kenapa?"

Daphne tampak semakin murung, "Aku telah menceritakan semua yang terjadi malam itu pada keluargaku. Kedua orangtuaku marah dan mengusirku ke luar negeri."

"Bodoh, kenapa kau ceritakan pada mereka? Aku dan keluargaku menganggap kejadian itu tak pernah ada," kata Harry.

"Kau pikir mudah membohongi diri sendiri? Aku tak mau membawa kebohongan ini terus di sepanjang hidupku," jawab Daphne.

Harry tak tahu seberapa besar luka yang dibawa oleh gadis itu, dia tak berani membuatnya lebih terluka lagi, "Aku tak akan pernah membencimu, Astoria pun tentu akan selalu menyayangimu, jadi… ingatlah itu setiap kali kau ragu untuk pulang."

Air mata kembali meluncur di pipi putih yang kini tampak pucat itu, "Boleh aku memelukmu sebagai ucapan selamat tinggal?" pintanya.

Harry tersenyum dan mengangguk, dia membuka tangannya dan membiarkan gadis itu menangis di dadanya. Dibelainya rambut pirang itu dengan lembut, dia tak ingin membuat Daphne terus menangis.

Setelah tangisnya reda, Daphne mengangkat tubuhnya dan berdiri, rasa lega terpancar di matanya yang tadi redup, "Sepertinya aku tak bisa menghadiri pestamu," katanya sambil melirik jari manis Harry yang kini tak polos lagi.

Harry mengangguk sambil mengangkat tangannya, memperhatikan cincin emas yang melingkar di sana, "Tak apa, setidaknya beri kabar pada kami, oke?"

Daphne tersenyum samar lalu perlahan melangkah mundur, "Selamat tinggal, Harry," ucapnya lirih sebelum membalikkan tubuhnya dan menghilang di balik pintu.

Harry termenung, ada rasa iba dalam hatinya, 'Sesakit apakah rasanya jika perasaan tak berbalas?', tanyanya dalam hati.

"Dasar gadis liar," gerutuan Draco memecah lamunannya, "Dia mengancam akan membunuhku jika aku menyakitimu lagi," sambungnya.

Harry tertawa pelan, "Baguslah, setidaknya ada yang membelaku," guraunya.

Draco mencibir kesal sambil duduk di sisi tempat tidur Harry, tangannya menyeberangi perut datar kekasihnya dan mendekatkan wajahnya pada pria bermata itu, "Tapi aku kasihan juga dengannya. Bagaimana mungkin ada orang tua yang tega mengusir anaknya sendiri?"

Harry mengernyitkan keningnya, "Kau menguping ya?"

"Tentu saja, kau pikir aku akan benar-benar membiarkan kau berdua dengannya? TIDAK!" ucapnya posesif.

Harry tertawa keras kali ini, "Benar-benar pangeran Slytherin yang kukenal," katanya sambil mencium bibir Draco dan memanjakan diri di dalam kehangatannya.

Draco tersenyum setelah Harry mengakhiri ciumannya, "Bersiaplah, karena aku tak tahu pesta seperti apa yang telah disiapkan Mum sepulangnya kau dari tempat ini."

"Aku tak peduli, selama kau bersamaku," jawab Harry, dan kali ini ciuman mereka begitu dalam dan panjang. Perasaan memang tak bisa dipaksakan, tapi mereka percaya kalau hati mereka telah terikat dengan erat untuk selamanya.

END

A/N.

Dengan ini utangku berkurang satu, tinggal solmet doang #lega. Sebisa mungkin akan aku coba nyeleseiin Darrel & Vall, setelah itu mungkin akan istirahat menulis dulu. Eh tapi udah niat ikutan snapeday juga, orz … terus kapan brentinya?

Makasih buat semua yang udah ngebaca dan ngeripiu fic2 ku, maap kalo ada yg belom sempat di reply ya. Buat Donnaughty and OOT gank, juga trio harimau (ngakak…), ai lop yu pull, muah!

Mudah2an ini bisa jadi penutup yang manis, terima kasih.