Heart

Harry's POV

Disclaimer : J.K Rowling

Pair : Draco M. & Harry P.

Rate : T

Genre : Romance / Angst

Perang berakhir empat bulan yang lalu, suasana damai tercipta kembali di dunia sihir. Para murid dari sekolah sihir Hogwarts tetap mengulang tahun terakhir mereka yang kemarin terbengkalai, tapi sekarang semua berubah, tak ada lagi kepala sekolah dengan janggut peraknya yang selalu tersenyum hangat, tak ada lagi guru ramuan yang terkenal kejam dan selalu memberi detensi untuk murid-muridnya terutama padaku, murid yang selalu dianak tirikan sebagai bentuk perlindungannya.

Semua berubah, berubah menjadi lebih baik untuk orang banyak, tapi entah untukku. Aku, Harry Potter, -yang berhasil mengalahkan Voldemort, yang dielu-elukan sebagai pahlawan-, aku tak tahu apakah ini semua akan menjadi baik untukku, karena saat ini pun aku kembali duduk sendiri di sudut perpustakaan, tempat yang biasanya malas ku datangi. Mata hijauku memandang keluar jendela, mengabaikan buku –entah apa- yang terbuka di hadapanku.

Sejak perang berakhir aku lebih suka menyendiri, aku malas mendengar pujian-pujian yang ditujukan padaku, saat ini semua murid berlomba mencari perhatianku. Gelar pahlawan tak lantas membuatku bangga, justru aku ingin julukan itu menghilang dari diriku.

"Kalau kau tak berminat membaca buku itu, berikan padaku," kejut sebuah suara yang membuyarkan lamunanku. Aku mendongakkan wajahku dan mata hijauku bertemu dengan kilau abu-abu yang menyorot dingin.

"Kubilang kalau kau tak berminat cepat berikan buku itu padaku, disini cuma tinggal itu yang belum keluar," lanjut pemuda berambut pirang itu dengan ketus.

Aku menghela nafas panjang mencoba bersabar menghadapi pemuda arogan tersebut. Aku menutup buku di depanku lalu mengulurkannya pada Draco.

Draco meraih buku itu lalu menghempaskan tubuhnya di kursi kosong di depanku. Aku tak berbicara, aku hanya menatap wajah pucatnya yang mulai berkonsentrasi membaca buku.

Draco Malfoy, musuh besarku dulu yang kini telah berubah status menjadi kekasihku, mungkin.

Empat bulan yang lalu disaat perang berakhir hubungan permusuhan kami juga berakhir. Selama empat bulan kami berada dalam pengawasan ketat pihak kementrian. Orang tua Draco mendapatkan keringanan hukuman karena kesaksianku yang menyatakan kalau keluarga Malfoy telah membantuku lolos dari maut sehingga aku dapat menghancurkan Voldemort.

Mereka tidak mendapatkan hukuman mati, hanya hukuman satu tahun penjara untuk mengembalikan nama baik mereka. Draco yang masih harus menyelesaikan pendidikannya di Hogwarts pun diloloskan dari hukuman, tapi Draco belum diijinkan kembali ke Malfoy Manor karena rumah itu masih dalam sitaan pihak kementrian karena telah menjadi markas para pelahap maut.

Akhirnya pihak kementrian memutuskan agar aku dan Draco tinggal sementara di Grimmauld Place, rumah keluarga Black yang diberikan Sirius padaku, dengan catatan setiap hari pihak kementrian berjaga disana untuk memastikan kondisi kami aman, aman dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh musuh-musuh kami dan aman dari para pemburu berita.

Selama empat bulan tinggal bersama masing-masing dari kami mulai membuka diri walau Draco masih bertahan dengan sikap ketusnya. Aku melihat sisi berbeda dari Malfoy junior itu, ada sinar sepi di sudut mata abu-abunya, mungkin itu yang membuatnya bersikap negatif selama ini. Kami sering berbincang atau menghabiskan waktu berdua dengan membaca buku-buku koleksi keluarga Black. Tak banyak yang kami bicarakan tapi entah kenapa suasana sunyi yang kerap tercipta saat kami berdua terasa begitu nyaman.

Sampai pada saat seminggu sebelum kami kembali ke Hogwarts dia memintaku untuk mendampinginya, menjadi orang terdekat untuknya karena dia telah terbiasa dengan kehadiranku. Tanpa berpikir panjang akupun menganggukkan kepalaku, ada rasa hangat menjalar dalam hatiku, terlebih saat dia mencium bibirku. Aku tak mau memikirkan benar atau salahnya, aku hanya menikmati apa yang dia berikan padaku, juga pelukannya.

Selama seminggu aku begitu menikmati waktu-waktu kami, dia tidak romantis, dia tetap bersikap sebagai Malfoy, tapi aku bisa melihat perubahan pada sikapnya, saat dia menyentuhku dan saat kami menghabiskan malam terakhir kami dalam sebuah dekapan yang menyatukan tubuh dan jiwa kami. Aku mempercayainya dan menyerahkan seluruh hatiku dalam genggamannya.

Tapi sudah dua minggu ini hubungan kami sedikit merenggang, perbedaan asrama menjadi alasan utama. Kami jarang bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Sikapnya pun kembali dingin dan ketus, walau terkadang dia pun masih menemuiku dengan cara seperti ini, hanya berdua dengan saling diam.

"Kau sudah menyelesaikan esai ramuanmu, Draco?" tanyaku mengawali percakapan kami.

"Sudah," jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya pada buku yang dia baca.

Aku mengangguk mencoba mengerti kalau dia tak ingin diganggu, lalu dengan perlahan aku mengambil satu perkamen, buku dan alat tulis dari tasku lalu mulai mengerjakan sendiri tugas yang diberikan oleh Profesor Slughron di kelas ramuan kami tadi. Aku sedikit menyesal karena tadi aku menolak ajakan Hermione dan Ron untuk mengerjakan tugas ini bersama di asrama. Hubungan dua sahabatku itu sudah lebih dari sekedar sahabat jadi aku harus sedikit tahu diri untuk tak terus bersama mereka.

Aku menggaruk rambut hitamku karena aku sedikit kesulitan dengan soal yang ada, aku membalik-balik halaman buku ramuan mencoba mencari penyelesaiannya tapi tak juga kutemukan dari jawaban soal tersebut. Aku tercekat saat jemari panjang Draco meraih pena buluku, dia melingkari satu kolom pada buku ramuanku, "Kau cari disini jawabannya," katanya sambil menjelaskan sedikit tentang apa yang perlu aku ketahui.

Aku tersenyum, mendengar suaranya saja sudah mampu membuat jantungku berdebar. Rasanya lama sekali kami tak pernah menghabiskan waktu seperti ini, tak kupungkiri kalau aku merindukannya.

Aku terkejut saat dia tiba-tiba berdiri dan berlalu meninggalkanku. Aku mengernyit heran sampai aku sadari kalau Ron dan Hermione sedang berjalan kearahku. Aku mendesah kecewa, padahal aku masih ingin lebih lama lagi menghabiskan waktu dengannya.

"Apa Malfoy mengganggumu, mate?" tanya Ron kesal.

Aku tertawa, "Tidak, kami bukan musuh sekarang," jawabku. Semua orang tahu kalau kami sekarang sudah berhenti menjadi musuh, tapi tak ada yang tahu akan hubungan kami yang sebenarnya.

"Esaimu sudah selesai?" tanya Hermione.

Aku melihat bukuku dan meraih pena buluku yang tergeletak diatas meja, dadaku berdesir mengingat kalau baru saja jemari Draco menyentuh pena itu, "Hampir selesai," jawabku.

.

#

.

Saat makan di aula besar adalah saat yang menyebalkan untukku, karena aku mau tak mau harus menjawab banyak pertanyaan dari teman-temanku seputar petempuranku dengan Voldemort. Aku bosan mendengar nada kagum mereka dan sebagainya. Sama halnya seperti malam ini, aku bahkan tak sempat menyuapkan sesendokpun makanan ke dalam mulutku sampai Hermione sedikit membentak mereka supaya jangan terus menggangguku dengan pertanyaan-pertanyaan konyol.

Aku tersenyum tapi tetap saja aku tak bisa menikmati makan malamku sampai satu tepukan menyentuh bahuku. Aku tersentak dan menoleh kebelakang, dadaku berdebar merasakan tangan Draco di bahuku, "What?" tanyaku.

Draco mengedikkan kepalanya ke pintu aula besar, "Ikut aku," perintahnya singkat.

"Hei, kau jangan seenaknya sendiri, Malfoy," sergah Ron yang sudah berdiri dari duduknya.

Aku menangkap tangan Ron yang hampir mencekal lengan Draco, "Kalian teruskan saja makan malam kalian, aku juga ada sedikit keperluan dengannya," tengahku sebelum Ron membuat keributan. Lalu aku berjalan mengikuti langkah Draco yang telah mendahuluiku. Aku mendesah kesal, Ron terlalu keras kepala untuk memaafkan sikap Draco yang dulu begitu menyebalkan, walau sampai sekarang pun sikap itu juga tak banyak berkurang.

.

Kami duduk di teras menara astronomi yang kosong dan gelap, "Kenapa kau mengajakku kesini?" tanyaku heran.

"Kupikir kau sudah kenyang menjawab banyak pertanyaan dari teman-temanmu," jawabnya datar.

Aku terkekeh pelan, lalu kami kembali terdiam menikmati saat-saat yang telah lama menghilang. Mataku memandang sinar bulan yang bersinar sempurna, aku tercekat saat sinar peraknya berganti abu-abu ketika wajah Draco menghalangi pancarannya. Lidahku kelu, kupejamkan mataku saat bibirnya menyentuh bibirku dengan begitu lembut. Aku mencecap rasanya yang begitu manis, aku meneguk seluruh kehangatan yang diberikannya. Tapi itu masih terasa kurang, kerinduanku begitu besar akan sentuhannya.

Kulingkarkan lenganku di bahunya, menariknya semakin mendekat, aku ingin lebih, aku ingin dia seutuhnya, seperti malam terakhir kami di Grimmauld Place. Kubiarkan bibirnya menjelajahi leherku, tubuhku semakin memanas dan bergejolak dan tiba-tiba aku terhempas saat Draco mendorong tubuhku.

"Draco?" tanyaku tak mengerti.

Dia berdiri dan memalingkan wajahnya, "Sudah malam, aku harus kembali ke asrama," katanya cepat sambil berlalu meninggalkanku yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi.

Ada sedikit rasa nyeri di sudut hatiku saat pintu asrama astronomi tertutup dengan suara yang begitu keras, entahlah.

.

#

.

Sejak malam itu aku merasa Draco terus menjauhiku, dia tak pernah lagi menghampiriku, saat aku mencarinya pun dia selalu bersama teman-temannya. Hanya sapa kecil yang terlontar saat kami kebetulan bertemu, tidak lebih. Kali ini aku benar-benar merasa kesepian, dan aku semakin merindukannya.

Siang ini akhirnya aku melihatnya duduk sendiri disudut taman samping dengan buku di pangkuannya. Dengan memberanikan diri aku menghampirinya, "Draco," sapaku pelan.

Aku melihat bahunya sedikit bergoyang tanda kalau dia mendengar dan tahu kalau aku yang datang, tapi tak sekalipun matanya menatapku. Aku mencoba menahan diri dan bersabar, "Kau sudah makan siang?" tanyaku sambil duduk disampingnya.

"Belum," jawabnya singkat sambil terus membaca.

Aku bingung harus bersikap bagaimana, dia terus diam seakan tak ada aku disampingnya. "Mmmh... Draco, ada yang mau kubicarakan," kataku berusaha mengambil sedikit perhatiannya. Dia tetap diam seolah tak mendengar kata-kataku, "Draco..." kataku lagi dengan sedikit keras.

Draco menutup bukunya dan berdiri, "Tidak sekarang, Harry," katanya sambil berlalu dari hadapanku.

Ada luka yang tergores di hatiku saat dia menjauh dan tak menoleh lagi padaku. Apakah saat-saat di Grimmauld Place tak pernah memiliki arti untuknya? Apakah ini hanya perasaan sepihakku saja? Apakah saat-saat itu hanya hiburan semata sekedar penghilang rasa bosannya? Padahal aku masih ingat dengan jelas saat dia menciumku, masih terasa hangatnya saat dia memelukku dengan begitu erat malam itu.

'Aku harus mencari penjelasan pada Draco, aku tak mau terus bingung sendiri seperti ini', tekadku dalam hati.

.

#

.

Malam ini aku harus membicarakan semua dengan Draco, aku menghampirinya saat dia sedang bersama Zabini dan Nott, dua teman dekatnya, di koridor samping.

"Draco," panggilku. Dia menoleh dan mengernyit melihatku mendekatinya. "Aku perlu bicara denganmu, sekarang," kataku padanya.

Mata abu-abunya memandangku tajam, "Baiklah," jawabnya sambil berjalan mendahuluiku.

.

Kami terdiam cukup lama di menara astronomi yang hening ini, tak ada yang memulai pembicaraan.

"Draco," kataku memulai. "Aku hanya ingin memastikan semua yang ... telah terjadi..."

"Tak ada yang terjadi, Harry," potongnya. Aku tercekat, "Ap-apa maksudmu?" tanyaku bingung.

Draco memutar tubuhnya yang sedari tadi membelakangiku, "Tak pernah terjadi apa-apa diantara kita," jawabnya pelan, dan aku bisa merasakan kalau saat itu jantungku menghentikan detaknya saat Draco melanjutkan kata-katanya sebelum dia meninggalkanku sendiri, "Lupakan semuanya, Harry."

Gelap, semua terlihat kabur saat sekali lagi dia menutup pintu kayu itu seperti malam terakhir kami disini. Aku tak tahu harus berpikir bagaimana, "Melupakan? Aku harus melupakan semuanya, Draco?" bisikku pada kesunyian, jantungku terasa begitu perih, dadaku seakan terkoyak. Aku hanya mampu tersenyum miris pada diriku sendiri, aku menertawai yang baru saja terjadi, aku menertawai kebodohanku.

.

#

.

Perlahan aku mencoba bangkit dan melupakan semua. Melupakan? Bisakah aku melupakan pelukannya dan ciumannya saat itu?.

"Harry, kau baik-baik saja?" tanya Hermione saat kami sedang duduk santai di ruang rekreasi Gryffindor.

"Wajahmu pucat," sambung Ginny yang juga ikut duduk bersama kami.

Aku menggeleng pelan, "Tak apa, aku baik-baik saja," elakku.

"Mau kuantar ke Hospital Wing?" tawar Ginny cemas sambil menyentuh keningku.

Sekali lagi aku menggeleng dan berusaha tersenyum pada gadis yang dulu sempat menjadi kekasihku itu, "Tak perlu, Gin, thanks," jawabku, "Mungkin aku hanya perlu tidur saja," kataku lagi sambil berdiri dan meninggalkan mereka yang memandangku dengan khawatir.

.

"Harry, aku ingin kau selalu bersamaku, kau mau?" tanya Draco pelan saat itu, saat kami tinggal bersama di Grimmauld Place.

Jantungku berdegup kencang, rasa hangat mengalir keseluruh tubuhku, aku tersenyum saat menganggukkan kepalaku. Aku merasa begitu bahagia, rasa sepiku musnah entah kemana.

Terlepas semua beban di pundakku saat dia mencium bibirku untuk pertama kalinya. Banyak ciuman yang telah kami lakukan sejak dia mengatakan itu sampai dengan malam terakhir kami bersama.

Masih terasa hembusan nafasnya di wajahku, masih terasa sakitnya saat kami bersatu, rasa sakit yang segera menghilang saat dia membuaiku dan memanjaku. Masih tercium aroma tubuhnya saat peluh membanjiri wajah, leher dan lengannya. Dan masih kudengar suaranya yang memanggilku dengan lembut saat jiwa kami bersatu dan melebur bersama.

Ingatan akan malam itu kembali merobek jantungku, sekuat tenaga aku menggigit bibirku agar aku tak menangis. Sakit, aku merasa begitu sakit, semua bayangan tentang Draco mengurung otakku. Setelah seluruh hatiku kuberikan padanya dan kini aku harus melupakan semua? Setelah apa yang kuberikan dan ternyata itu tak berarti apa-apa untuknya. Jantungku berdegup semakin kencang, tubuhku gemetar, entah karena sedih atau marah, yang pasti rasa sakit semakin erat memelukku dan membuatku nyaris kehilangan kendali. Dadaku terasa begitu sesak, sakit… begitu sakit, aku melompat dari tempat tidur dan mengambil pisau kecil yang tersimpan di laciku. Tak mampu berpikir panjang segera kugoreskan pisau itu ke telapak tanganku. Bisa kulihat darah mengalir dari kulitku yang tersayat, aku tersenyum lega karena rasa sakit di tanganku mulai mengurangi rasa sakit di hatiku.

Aku segera meraih buah apel diatas mejaku saat kulihat pintu kamarku terbuka, kulihat Ron masuk sambil membelalakkan matanya.

"Merlin, Harry... kenapa tanganmu?" tanyanya panik melihat darah yang terus mengucur.

Aku menggeleng, "Tak sengaja terkena pisau saat aku akan mengupas apel," jawabku sambil sedikit meringis.

"Kita ke madam Pomfrey sekarang," ajaknya sambil menarik lenganku, aku terpaksa mengikuti ajakannya karena kulihat darahku terus mengalir. Aku tak sempat menutupi luka itu dengan apapun sehingga semua terpekik ngeri saat kami melewati ruang rekreasi.

"Harry... apa yang terjadi?" tanya Hermione dan Ginny panik sambil mengikuti langkah kami yang tergesa.

Aku mencoba tersenyum walau kepalaku mulai terasa pusing akibat banyaknya darah yang mengucur dari telapak tanganku, "Tak sengaja tergores saat hendak memotong apel," jawabku sama seperti jawaban yang kuberikan pada Ron.

Ron terus memegang lenganku saat kami melewati koridor yang sepi, langkah kami yang tergesa membuat kami tak memperhatikan ada yang muncul dari belokan dan akhirnya membuatku dan Ron terjatuh.

"DIMANA MATA KALIAN?" bentak suara yang begitu kukenal.

Banyaknya darah yang keluar membuat kepalaku semakin pusing, mataku mulai kabur dan rasa mual menyerang perutku karena bau darah yang anyir. aku mendengar Ron mulai berteriak kesal pada orang yang menabrak kami, aku ingin melerai mereka tapi aku tak mampu berdiri.

"CUKUP RON, MALFOY, HENTIKAN PERTENGKARAN KALIAN, HARRY HARUS SEGERA DIBAWA KE RUMAH SAKIT, DIA SEMAKIN LEMAS," teriak Hermione.

Aku mencoba berdiri tapi tenagaku seakan menguap, sebuah tangan menopang tubuhku sebelum aku kembali terjatuh. Tak perlu melihat untuk mengetahui tangan siapa yang menopangku, karena aroma tubuh dan kehangatannya begitu kukenal, Draco.

"LEPASKAN TANGANMU DARI HARRY, MALFOY," teriak Ron berusaha melepaskan tangan Draco dari tubuhku.

"TUTUP MULUTMU, WEASEL," teriak Draco tak kalah kerasnya sambil menepis tangan Ron, lalu dia membawaku berlalu dari situ dengan ketiga temanku masih mengikuti kami dari belakang. Walau samar aku masih bisa mendengar bisikan Draco, "Bodoh, apa yang telah kau lakukan, Harry?"

.

#

.

Aku mengerjapkan mataku, seberkas sinar menerobos masuk melalui kisi-kisi jendela.

"Morning, Mr. Potter, bagaimana keadaanmu?" sapa madam Pomfrey sambil membuka kelambu putih yang menutupi tempat tidurku.

"Baik, ma'am," jawabku sambil memakai kacamataku yang diletakkan di meja samping tempat tidur.

"Bagaimana bisa tanganmu tergores pisau, Mr. Potter? Darahmu banyak sekali yang terbuang," tanyanya.

Aku mencoba tersenyum, "Tidak ada, ma'am, aku hanya tak sengaja tergores saat hendak mengupas apel, itu saja," jawabku berbohong.

Madam Pomfrey menghela nafas panjang, "Pagi ini tetaplah disini dulu, siang nanti kau bisa kembali ke asramamu."

Aku hanya menganggukkan kepalaku.

.

Pintu Hospital Wing terbuka pelan, aku melihat Ginny tersenyum dan melangkah masuk, "Bagaimana keadaanmu?" tanyanya pelan.

Aku membalas senyumnya, "Baik, Gin," jawabku, "Kau sendirian?" tanyaku heran sambil melihat ke arah pintu.

Ginny mengangguk, "Kalian kan ada kelas pagi ini, jadi Ron dan Hermione belum bisa menjengukmu," jawabnya.

Aku tercekat saat dia meraih tanganku yang terbalut perban putih, "Sakitkah?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, "Tidak, sudah tak apa-apa, nanti siang aku sudah bisa kembali ke asrama."

Aku tersenyum samar saat Ginny mencium tanganku yang terluka, "Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah kau benar-benar sebodoh itu sampai tak bisa mengupas apel?" tanyanya menyelidik.

Aku tertawa pelan.

"Harry... jawab pertanyaanku," paksanya sambil setengah cemberut.

Lagi-lagi aku tertawa, tak biasanya Ginny memasang wajah begitu. Selama kami berkencan dua tahun yang lalu dia tak pernah bertingkah kekanakan, bahkan dia terkesan memaksakan diri menjadi dewasa. Tapi semenjak kami berpisah aku semakin tahu sisi lain dari dirinya. Aku menyayangi gadis ini seperti adikku sendiri.

"Tak ada apa-apa, aku hanya mengantuk saat itu," elakku lagi.

"Bohong..." seru Ginny, "Kau tak sebodoh itu kan?" paksanya lagi.

Kali ini aku tak menjawab, aku hanya terbahak melihat wajah kesalnya, tiba-tiba ujung mataku menangkap sebuah bayangan berlalu dari depan pintu Hospital Wing yang terbuka, 'Siapa itu?', batinku.

.

#

.

Keesokan harinya aku mulai bisa mengikuti kelas seperti biasanya, aku datang sedikit terlambat pada pelajaran Professor Binns karena aku harus kembali ke Hospital Wing untuk merawat lukaku. Aku lihat dikelas semua kursi telah terisi, hanya satu yang kosong... disamping Draco.

Draco menyadari kehadiranku dan sepertinya dia mengerti kalau aku bingung harus duduk dimana, dengan segera dia menarik tasnya dari kursi kosong disampingnya lalu mengedikkan dagunya agar aku duduk disana. Berusaha menahan debar jantungku akupun menuruti perintahnya.

Aku tercekat saat Draco meraih tangan kiriku yang masih terbalut perban, tanpa sadar aku menarik keras tanganku dan membuatnya semakin berdenyut, "Sakitkah?" tanya Draco pelan. Aku yakin mendengar ada nada cemas disana tapi aku berusaha mengacuhkan debar senang di dadaku.

"Tidak," jawabku singkat, lalu aku mulai mencoba mendengarkan pelajaran Proffesor Binns walau aku tak yakin kalau fungsi otakku tak terganggu oleh debaran jantungku. Untung saja kami duduk pada deret paling belakang sehingga tak ada yang menyadari apa yang terjadi pada kami.

Pelajaran Profesor Binns benar-benar membosankan dan aku bisa segera melihat Draco yang merebahkan kepalanya diatas meja, juga beberapa anak lain. Wajah pucatnya mengarah kepadaku sehingga aku bisa leluasa memandang wajahnya yang tertidur.

Dulu, kami pernah tidur dalam satu dekapan. Masih kuingat gerakan teratur dadanya saat kepalaku berbaring disana, belaian jarinya yang mengusap rambut dan punggungku, juga seringainya saat dia menggodaku.

Aku menopang kepalaku dengan tanganku yang tak sakit, mengamati wajah tidurnya yang sangat kusuka. Terlupakan sakit hatiku dengan kata-kata terakhinya, aku tersenyum mengingat kenangan kami dan tanpa sadar tanganku yang terluka bergerak sendiri untuk menyibak helai rambut pirang yang menutupi matanya.

Aku tercekat saat mata abu-abu itu tiba-tiba terbuka dan menatapku lurus, dia menarik jemariku yang mengusap rambutnya dan menggenggamnya dibawah meja, setelah itu dia kembali tertidur.

Jantungku berdegup semakin kencang, kehangatannya mengalir melalui tautan tangan kami. 'Bisakah aku melupakan ini, Draco?', tanya hatiku lirih. Kunikmati saat-saat seperti ini sampai jam pelajaran berakhir, setelah itu aku harus sanggup menerima sakit hatiku lagi saat dia meninggalkanku begitu saja.

.

#

.

"Harry..." seru sebuah suara dibelakangku.

"Hai, Gin," jawabku dan membiarkan gadis itu memeluk lengan kiriku. Aku suka dengan cara Ginny bermanja padaku, aku tahu kalau saat ini perasaannya tak lebih dari seorang saudara terhadapku, begitupun denganku.

"Harry, kau tahu tidak?" tanyanya.

Aku memandangnya heran, "Tahu apa?" tanyaku bingung.

Ginny menarik tanganku dan berbisik di telingaku, "Aku terpilih sebagai kapten Quidditch."

"Benarkah?" seruku senang, lalu aku memeluknya dan mengacak rambut merah panjangnya dengan sayang, "Selamat ya," ucapku.

Ginny tertawa gembira, "Thanks, Harry," katanya, "Sabtu nanti kita rayakan di Hogsmeade ya?" pintanya.

Aku tersenyum dan mengangguk, "Baiklah," jawabku dan membiarkannya berlari meninggalkanku.

"Kulihat kau begitu gembira, Harry?" sapa suara dari belakangku.

Aku memutar tubuhku dan berhadapan dengan sosok yang begitu aku rindukan, "Draco," jawabku. Aku tercekat melihat sorot matanya yang dingin, sorot mata yang dulu sering kudapat darinya.

"Senang melihatmu telah kembali bersama Weasley wanita itu," sindirnya sinis.

Dadaku berdebar, ada rasa sakit pada iramanya, 'Benarkah dia senang melihatku bersama Ginny?', tanyaku dalam hati.

"Apakah kau akhirnya juga menyadari kalau 'saat itu' adalah sebuah kesalahan?" tanyanya dingin.

'Juga?', teriakku dalam hati, hatiku semakin sakit, jelas aku tahu apa yang dimaksudnya dengan 'saat itu', Berarti selama ini dia menganggap itu kesalahan?. Aku menantang matanya yang memandangku dengan tajam, "Ya," jawabku akhirnya, tak kuhiraukan walau sekali lagi hatiku terasa teriris.

"Berarti sekarang kau bisa melakukan yang benar bersamanya, kan?" sindir Draco lagi.

Menahan amarah dan sakit hatiku aku berusaha tak menghiraukan dia, "Itu bukan urusanmu," jawabku sambil berbalik hendak meninggalkannya. Tapi belum sempat aku melangkah dia kembali menarik lenganku dengan keras dan membuat punggungku menghantam tembok, "KENAPA KAU INI, DRACO?" teriakku marah, aku memejamkan mataku saat dia menghantamkan kepalan tangannya pada dinding batu disamping kepalaku.

"Aku membencimu, Harry, sangat membencimu," desisnya tepat di depan bibirku.

Aku tercekat, mata abu-abunya menyorot sakit, ada kemarahan disana. Aku terkesiap saat bibir Draco menekan bibirku dengan keras. Jantungku seakan berhenti berdetak dan terasa begitu sakit, 'Ini bukan ciuman yang selalu dilakukannya dengan lembut seperti saat dulu, ini kemarahannya. Kenapa dia marah padaku?', batinku tak mengerti. Aku mencoba berontak tapi aku salah, dia semakin menguatkan gigitannya pada bibirku dan aku merasakan perih pada bibir bawahku. Aku mendorongnya dengan keras sampai tubuhnya menjauh dariku, nafasku tersengal karena ciumannya barusan.

Dia tampak terkejut, dan aku lebih terkejut saat dia mengusap bibirku yang terluka dengan begitu lembut. Tubuhku bergetar, aku merindukan sentuhannya yang seperti ini. Tubuhku membeku saat tiba-tiba dia memelukku begitu erat. Aku merasa pusing, tubuhku terasa begitu ringan, karena aku mendapatkan kembali rasa nyaman yang telah lama hilang dari hidupku.

"Maafkan aku," bisiknya pelan.

Aku terkesiap dan berusaha melepaskan pelukannya, tapi lengan Draco terus menahanku dengan kuat, "Lepaskan aku, Draco," desisku, aku tak mau lagi tenggelam dalam kebodohanku. Sudah cukup aku merasakan sakit karena dia.

Suara langkah kaki di ujung koridor yang gelap akhirnya memaksa Draco untuk melepaskanku, "Harry?" panggil Ginny, "Kau masih disini?" tanya gadis itu yang entah kenapa kembali lagi ke tempat ini.

Kutatap mata abu-abu yang masih tampak marah itu, "Asal kau tahu, Draco, aku pun membencimu," desisku lagi lalu meninggalkan pemuda yang kembali meninggalkan perih di dadaku dan menghampiri Ginny yang masih menungguku diujung koridor, "Ya, aku ada sedikit urusan dengan Draco," jawabku sambil menarik tangannya agar mengikutiku meninggalkan tempat itu.

"Bibirmu terluka, kalian bertengkar? Apakah Malfoy memukulmu?" tanya Ginny cemas.

Aku menggeleng, "Tidak, Gin, tidak ada apa-apa," jawabku sambil terus berjalan, aku membiarkan saja Ginny menggandeng tanganku, hatiku terlalu panas memikirkan semuanya. 'Aku akan melupakan semua, Draco, aku akan melakukan apa yang kau mau', bisikku dalam hati.

.

#

.

Setelah kejadian itu aku benar-benar menghindari Draco, tak ada lagi tegur sapa saat kami bertemu, tak ada lagi tatapan untuknya saat kami makan di aula besar, aku memutuskan semua kontak kami. Tak kuhiraukan hatiku yang menjerit rindu, tak kuhiraukan tubuhku yang haus akan sentuhannya. Aku cukup tersakiti olehnya, aku harus melupakan semua walau mungkin akan terasa berat.

"Harry, kau tak makan?" tanya Ginny cemas.

Aku tergagap, "Ah, iya," jawabku sambil menyuapkan makanan kedalam mulutku. Makanan yang lezat itu terasa hambar dimulutku, terlebih saat aku menyadari tatapan tajam dari meja Slytherin.

"Harry, apa yang terjadi antara kau dan Malfoy?" pertanyaan Ginny yang pelan itu bagai sambaran kilat ditelingaku dan membuatku tersedak.

Ginny menepuk punggungku pelan dan menyodorkan segelas air untuk ku minum, "Pertanyaan apa itu, Gin?" tanyaku setelah berhasil menenangkan hatiku.

"Akan kuberitahu apa alasanku menanyakan itu," kata Ginny lagi.

"Apa?" tanyaku penasaran.

Ginny tersenyum padaku, lalu dia berdiri dan menarik tanganku supaya mengikutinya, akupun hanya pasrah saja.

"Hei, bisa tidak sih kalian tidak bermesraan sebentar saja?" goda teman-teman seasrama kami.

Aku dan Ginny terus berjalan ke pintu keluar dengan melempar senyum. Kami memang digosipkan oleh seisi asrama kalau kami kembali menjalin hubungan, tapi aku dan Ginny tak mau ngotot membantah berita itu. "Biarkan saja, kalau kita banyak bicara mereka justru gencar menggoda kita", itu kata Ginny beberapa waktu yang lalu.

.

"Baik, katakan padaku," paksaku penasaran saat kami telah sampai di halaman belakang kastil, hanya kami berdua.

Ginny tertawa pelan, "Harry, apa yang kau sembunyikan dari kami tentang kau dan Malfoy itu?" tembaknya langsung.

Aku menatap mata coklatnya yang berkilau indah, "Apa maksudmu?" tanyaku bingung, jantungku berdebar semakin kencang, aku tak ingin mereka tahu tentang apa yang terjadi padaku dan Draco.

Ginny tersenyum, dia mendekatiku dan menggengam tanganku, "Kau tahu, sejak liburan berakhir kami, aku dan Hermione maksudku, tak lagi melihat tatapan kebencian di matamu dan Malfoy. Kami merasa ada yang berubah dalam hubungan kalian, kalian tidak lagi terlihat sebagai musuh, benarkah?" selidiknya.

Aku tak menjawab, aku menyandarkan tubuhku pada sandaran tangga yang terbuat dari batu. Kutundukkan kepalaku begitu dalam agar dia tak melihat ekspresi wajahku.

Ginny kembali tertawa kecil, lalu dia ikut bersandar di sampingku, "Saat kau terluka malam itu, saat kau bilang dengan bodohnya kalau kau tak bisa mengupas apel," sindir gadis itu dan tertawa saat aku mendelik padanya, "Saat itu Malfoy tampak begitu mencemaskanmu, dia membawamu ke Hospital Wing dengan wajah yang pucatnya hampir menyerupai wajahmu saat itu," lanjutnya.

Aku tercekat, "Benarkah?" tanyaku lirih. Dadaku menghangat saat kulihat Ginny menganggukkan kepalanya.

Gadis itu kembali tersenyum, "Tapi terakhir kali aku bertemu dia di koridor malam itu bersamamu, dia tampak begitu marah, begitu benci…"

"Dia membenciku, Gin, dan itu kenyataannya," potongku.

Ginny menggeleng, "Tatapan marah dan benci itu bukan untukmu, Harry, tapi untukku," sambung gadis itu.

Aku membelalakkan mataku, "Kau salah, Gin, dia..."

"Dia tak suka melihatku bersamamu, dan itu bisa dikatakan 'cemburu', benar begitu, Harry?" paksa Ginny lagi.

Aku menghela nafas panjang, "Tak ada yang terjadi, Gin, semua telah berakhir," jawabku pelan.

Ginny berdiri di depanku dan memegang kedua tanganku, "Apa maksudmu berakhir?"

Aku menatap wajahnya dan tersenyum miris, "Semua hanya kegilaan sesaat, hanya itu," jawabku lagi, kali ini aku berusaha mengabaikan perih di sudut hatiku saat mengatakan hal itu.

Aku tercekat saat jemari Ginny menyentuh kedua pipiku, "Kau mencintainya?" tanyanya hati-hati seakan takut melukaiku.

Aku menelan ludah dengan berat dan menggeleng lemah berusaha menyangkal apa yang sebenarnya kurasakan.

"Kau bohong," bisik Ginny, "Matamu tak akan tampak begitu terluka kalau kau memang tak mencintainya, Harry."

Aku terdiam dan hanya mampu memeluk erat tubuh gadis itu yang telah mendekap dadaku. Aku mencoba mencari kehangatan dari tubuhnya untuk mencairkan kebekuan di hatiku, tapi gagal, kehangatannya tak mampu membuatku tenang. Rasa perih itu semakin nyata saat aku melihat sorot mata abu-abu yang menatapku dengan penuh kebencian dari kejauhan, dan berlalu begitu saja meninggalkan kibasan jubah sutranya yang lebar.

.

#

.

"Mate, kepala sekolah memanggilmu," kata Ron yang baru masuk ke ruang rekreasi Gryffindor.

Aku mengernyitkan keningku, "Profesor McGonagall? Ada apa?" tanyaku bingung.

Ron mengangkat bahunya, "Mana aku tahu, aku hanya menyampaikan saja kalau kau diminta datang ke kantor kepala sekolah," jawab Ron tak acuh.

Aku berdiri dan melangkah dengan malas menuju kantor yang dulu sering ku datangi untuk menemui Albus Dumbledore. Aku mengetuk pintunya dan masuk saat pintu itu membuka sendiri dengan perlahan, dan betapa terkejutnya aku melihat Draco sudah ada disana.

"Mr. Potter, duduklah," perintah Profesor McGonagall padaku, dan aku duduk di kursi yang telah disediakan di samping Draco. Tanda tanya besar muncul di kepalaku, 'Ada apa sebenarnya?', tanyaku dalam hati. Aku menatap lurus pada kepala sekolah, sekuat tenaga aku mencoba untuk tak menghiraukan keberadaan Draco di dekatku karena aku tahu dia pun tak peduli padaku.

"Baiklah, karena kalian sudah berkumpul maka aku bisa menyampaikan hal ini pada kalian," suara McGonagall memecah keheningan diantara kami.

"Ada apa, Profesor?" tanya Draco tak sabar. Aku menunduk dan tersenyum miris, padahal hanya suaranya yang terdengar tapi jantungku bereaksi terlalu berlebihan.

"Aku hanya ingin menyampaikan kalau untuk liburan Natal nanti kalian masih tetap berada di bawah pengawasan para auror sampai orang tua Mr. Malfoy dibebaskan dari Azkaban," jawab kepala sekolah, "Kalian berdua tetap kembali ke Grimmauld Place."

Aku tersentak, dadaku berdebar begitu kencang, 'Haruskah terulang lagi apa yang seharusnya tak terjadi? Haruskah akan ada rasa sakit yang kedua?', batinku lirih.

"Biarkan aku kembali ke Manor saja, atau aku akan tetap disini, Profesor," kata Draco cepat. Aku meringis saat merasakan sakit yang begitu dalam di sudut hatiku, 'Dia menolaknya, dia benar-benar membenciku', bisikku dalam hati.

"Ya, kurasa keadaan sudah cukup aman untuk kami, Profesor," kataku dengan nada sedikit bergetar.

Profesor McGonagall mengangguk-angguk pelan, "Kalau kalian berdua ada disini aku rasa tak masalah, tapi kalau berada diluar Hogwarts kalian harus berdua. Dan kau tak boleh kembali ke Manormu dulu, Mr. Malfoy," jawab wanita yang sudah terlihat tua tersebut.

Aku terdiam, aku ingin menjauh dari Draco, aku tak mau merasakan sakit lagi, "Kalau diijinkan aku akan berada di kediaman keluarga Weasley," kataku lagi dan aku bisa mendengar Draco mendengus di sebelahku. Aku terkejut melihatnya berdiri dan melangkah keluar.

"Aku tinggal disini, Profesor," katanya sebelum menutup pintu di belakangnya dengan keras.

"Dan keputusanmu, Mr. Potter?" tanya Minerva McGonagall padaku.

Aku menarik nafas panjang dan memantapkan keputusanku.

.

#

.

Aku melangkah keluar ruangan kepala sekolah dan terkejut mendapati Draco berdiri sendiri di koridor yang sepi. Aku terus berjalan dan berusaha tetap tak menghiraukannya.

"Jadi, kau tetap memilih tinggal bersama kekasihmu yang berambut merah itu, Harry?" sindirnya pedas.

Aku tak peduli, aku tak menjawab sindirannya.

Aku mendengarnya tertawa pelan di belakangku, "Baguslah, akhirnya kau tahu bagaimana rasanya bercinta yang sesungguhnya kan, Mr. potter?" sindirnya lagi.

Aku mencoba untuk tetap tak menghiraukan sindirannya, aku terus melangkah walau dadaku terasa sakit karena dia menghina Ginny.

"Bagaimana rasanya? Apakah lebih berkesan dibandingkan denganku, Harry?" tanyanya kali ini sambil mengikuti langkahku.

Aku kehilangan kendali diriku, aku berbalik dan mengacungkan tongkat sihirku padanya, "TUTUP MULUTMU, DRACO, JANGAN BERKATA MENJIJIKKAN TENTANG GINNY," teriakku marah.

"Menjijikkan? Bukankah kalian memang seperti itu?" jawabnya dingin.

Amarahku menggelegak, "DEPULSO," teriakku keras dan aku melihat tubuh Draco terdorong membentur dinding. Aku mendekatinya yang tersungkur dengan masih mengacungkan tongkatku padanya, "Jaga bicaramu, Draco, jangan pernah kau menghina Ginny dengan mulut busukmu," desisku.

"EVERTE STATUM," aku lengah, aku tak melihat tangan Draco yang terus memegang tongkatnya di balik jubahnya. Aku merasakan tubuhku terpental tinggi ke tembok, sama seperti Draco tadi, lalu merosot menghantam lantai batu.

Tubuhku terasa remuk, aku mencoba berdiri untuk kembali menghadapi Draco tapi aku terlambat, mantra Expelliarmus telah meluncur dari bibir Draco dan melucuti tongkatku.

Suara kepala sekolah menggelegar tepat sebelum Draco meraih jubahku, "Mr. MALFOY, Mr. POTTER, SEGERA KE RUANGANKU."

.

.

"Sungguh mengecewakan. Aku tak menyangka kalau hubungan kalian ternyata lebih buruk dibandingkan dulu," suara McGonagall menggema di ruangan yang sepi itu. "Apa yang terjadi sebenarnya?"

Aku tak menjawab, begitu pula dengan Draco.

"Tak ada penjelasan?" paksa kepala sekolah.

Kami tetap diam.

"Baiklah," jawab wanita tua itu akhirnya setelah menghela nafas panjang, "Malam ini aku ingin kalian bermalam di hutan terlarang, aku membutuhkan setangkai bunga kristal yang hanya tumbuh satu minggu sebelum bulan purnama sebagai bahan obat untuk Poppy. Dan saat yang tepat adalah tengah malam ini."

"Tapi, Profesor..." bantahku.

"Bunga itu biasa muncul di tepi sungai di tengah hutan, petik perlahan begitu dia mekar dan langsung serahkan pada Poppy di Hospital Wing, kalian paham?" kata kepala sekolah tegas dan tak ingin di tolak.

"Baik, Profesor," jawab kami pelan.

"Tanpa tongkat sihir," lanjut wanita tua itu lagi.

Aku terbelalak, begitu juga dengan Draco, "What?" seru kami tak percaya.

Minerva McGonagall mengulurkan tangannya meminta tongkat kami, "Tanpa tongkat sihir," ulangnya jelas.

.

#

.

Udara malam terasa begitu dingin, setelah makan malam kami langsung menuju hutan terlarang yang telah dinyatakan aman oleh pihak kementrian. Aku berjalan mendahului Draco, entah kenapa dia yang biasanya selalu berjalan di depan memilih untuk melambatkan langkahnya dan mengikutiku.

Kaki dan lenganku masih terasa sakit akibat serangannya siang tadi tapi aku mencoba tak menghiraukannya, aku terus berjalan walau kakiku sedikit tertatih.

"Kau terluka?" tanyanya pelan tapi mampu membuatku tersentak. Nadanya tampak khawatir tapi aku tak mau besar kepala dulu, mungkin pendengaranku yang salah. Aku tak menjawab dan terus berjalan.

"Harry, cukup... aku tak mau terus seperti ini," bentaknya dan membuatku memiliki alasan untuk berhenti. Perlahan kusandarkan tubuhku pada sebatang pohon yang cukup besar, setidaknya aku bisa mengistirahatkan kakiku.

"Bukannya kau yang menginginkan ini, Draco?" balasku ketus. Aku tak tahu apa maksudnya berkata seperti itu.

Dia menghampiriku dan berdiri begitu dekat denganku sampai aku takut debar jantungku akan terdengar olehnya.

"Kau terluka?" tanyanya lagi, dia tak menjawab pertanyaanku barusan.

Aku menghela nafas panjang, "Apa pedulimu?" jawabku dingin.

"AKU PEDULI PADAMU, HARRY!" teriak Draco keras dan sangat membuatku terkejut, "AKU SELALU PEDULI PADAMU..."

Aku tercekat oleh kata-katanya dan ku tatap kilau kelabunya yang bersinar ganjil. Aku bingung akan apa yang diucapkannya, dia peduli padaku setelah apa yang selalu dia lakukan padaku?

Dia tampak terkejut begitu menyadari apa yang baru diucapkannya, "Lupakan," katanya sambil berjalan mendahuluiku dan tak menoleh lagi padaku yang berjalan pelan di belakangnya.

.

.

Kami sampai di tepi sungai yang dimaksud oleh kepala sekolah, waktu menunjukkan dua jam sebelum tengah malam. Aku duduk bersandar pada batang pohon yang ada disana, kakiku terasa sedikit kram.

Aku melihat kearah Draco yang sedang duduk pada sebuah batu besar di tengah sungai, dia tak memandangku sama sekali, mata abu-abunya terus memandangi aliran sungai yang tak begitu deras.

Kami diam, tak ada yang bicara sampai aku tak tahan harus menanyakan sesuatu padanya. "Kenapa kau begitu membenci Ginny?"

Dia mendengus tapi tak menjawab.

"Draco, jawab aku," seruku tak sabar.

"Bukan urusanmu," jawabnya dingin.

Aku berusaha menahan emosiku, "Tentu saja itu urusanku," seruku lagi.

Dia tertawa mengejek, "Ya tentu saja, bagaimana aku bisa lupa kalau semua urusannya adalah urusanmu."

"Kau kenapa sih? Itu sama sekali tak menjawab pertanyaanku," kataku kesal.

Draco menatapku tajam, "Dan kurasa aku tak memiliki kewajiban untuk menjawab semua pertanyaan tentang Juliet-mu itu, Romeo," jawabnya tak kalah kesal.

Aku mengernyitkan keningku, melihatnya seperti itu aku justru merasa kemarahanku padanya sedikit berkurang. 'Kenapa dia menjadi begitu aneh?, batinku.

"Apa kesalahannya sampai kau begitu membencinya?" tanyaku lagi, "Padahal aku tahu Ginny tak pernah menyenggolmu, Draco."

Tiba-tiba dia berdiri diatas batu dan memandangku marah, "KAU TANYA APA KESALAHANNYA? DIA SELALU MENDEKATIMU DAN ITU BEGITU MEMBUATKU MUAK, POTTER!" teriaknya kencang.

BYUUURRRR…

Aku terbelalak saat melihatnya jatuh ke dalam sungai, dan dia pun tampak terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Baju dan jubahnya basah kuyub, begitupun dengan rambut pirang yang selalu rapi dan menjadi kebanggannya. Rambut indah itu kini tampak berantakan dan menutupi sebagian wajahnya.

Aku menutupi mulutku dengan kedua telapak tanganku. Sebisa mungkin aku tak tertawa karena aku tahu dia begitu benci ditertawakan.

"Bersumpahlah kau tak akan tertawa, Harry," ancamnya dengan masih terduduk di dasar sungai yang dangkal.

Ancamannya yang sama sekali tak menakutkan itu justru membuatku tertawa lepas, aku tak tahan melihat kondisinya yang sungguh tidak Malfoy sekali. Aku tertawa terbahak-bahak dan membiarkan dia berdiri sendiri dan melangkah keluar dari sungai.

"Kubilang tutup mulutmu," geramnya lagi sambil menghampiriku yang masih tertawa.

"Jangan salahkan aku kalau aku tak bisa berhenti tertawa, Draco, kau tampak aneh sekali," jawabku geli.

Dia semakin mendekat bahkan membungkukkan tubuhnya mendekatiku, "Kalau begitu aku juga tak mau disalahkan kalau aku sendirilah yang akan menutup mulutmu."

Aku tercekat saat bibirnya tiba-tiba menutup bibirku dengan satu ciuman yang dalam. Aku berusaha berontak tetapi lengannya terlalu kuat untukku yang sedikit terluka.

Dadaku berdebar kencang, ciuman ini mengingatkanku pada Draco yang dulu, yang selalu memanjaku dengan kecupan-kecupannya. Aku menutup mataku dan mulai menikmati sentuhannya. Bibirnya begitu lembut, tak memaksa dan tak menuntut, hanya memberikan semuanya padaku. Aku mengerang saat lidahnya membelai bibirku dan masuk begitu aku mengijinkannya. Entah berapa lama aku menikmati bibirnya sampai kurasakan dadaku sesak akan kebutuhan oksigen.

Kudorong dadanya pelan dan mengambil nafas panjang saat dia melepaskan bibirku. Aku tercekat memandang mata kelabunya yang menatapku tajam. Aku menunduk dan tersenyum getir saat menyadari apa yang baru saja terjadi, "Percayalah, aku juga berjanji akan melupakan ini, Draco," bisikku lirih.

Aku terkejut saat dia memelukku dengan begitu erat, "Draco," kataku serak.

Dia membenamkan wajahku pada dadanya dan dapat kurasakan debaran kencang disana, "Jangan, Harry, jangan lupakan semuanya," bisiknya pelan.

Lidahku terasa kelu dan membeku, apakah ini hanya salah dengar saja ataukah kenyataan? "Apa maksudmu?" tanyaku sambil mendongakkan kepalaku dan aku terkejut melihat luka di kilau abu-abu itu.

"Salahku, semua salahku. Aku tak pernah melupakanmu, Harry, semua tentangmu, tentang kita," jawabnya bergetar.

Aku manatap tak percaya pada pemuda yang begitu membuatku tersiksa selama ini.

"Kembalilah padaku dan tinggalkan gadis Weasley itu," geramnya marah sambil meremas rambutku.

Dadaku berdebar begitu kencang, 'Apakah ini nyata? Benarkah dia menginginkanku kembali?'. Kuusap pipinya yang pucat dengan lembut, bisa kurasakan ujung jemariku gemetar saat menyentuhnya, "Aku tak akan meninggalkan Ginny, Draco," jawabku pelan.

Aku meringis saat kurasakan cengkeramannya menguat di sisi wajahku, bisa kulihat ekspresinya yang mengeras dan tatapan matanya yang dingin, "Kenapa?" tanyanya tajam.

Aku meraih kedua telapak tangannya yang menangkup wajahku dan menggenggamnya lembut. Perlahan kudekati wajahnya dan kukecup bibirnya yang tipis, "Karena aku tak pernah bersamanya," jawabku pelan dengan sedikit tersenyum.

Ekspresinya melembut dan dia kembali memelukku erat, "Maafkan aku," bisiknya lirih, "Aku lelah, Harry, aku lelah terus berlari darimu, sedangkan aku sendiri ingin kau menghampiriku dan tinggal di hidupku."

Aku tersenyum dan membalas pelukannya, "Kalau begitu jangan berlari lagi, biarkan aku menghampirimu," jawabku lalu mencium bibirnya dengan dalam. Kubiarkan egoismeku mengambil alih otakku, saat ini aku hanya menginginkan Draco, hanya dia.

Aku pasrah dalam dekapannya, kureguk aroma tubuhnya yang begitu kurindukan. Kunikmati hangat nafasnya yang membelai wajahku, kubiarkan bibirnya meninggalkan jejak panas di seluruh tubuhku. Kuusap peluh yang mengalir di wajah dan bahunya dan kulepaskan eranganku dalam sebuah penyatuan yang panjang. Aku hanya mampu meneriakkan namanya saat duniaku berubah menjadi terang dan putih, menikmati setiap sentakan sebelum semua berakhir dalam satu dekapan erat.

.

.

"Berjanjilah kau tak akan memaksaku untuk melupakan semua ini lagi, Draco," bisikku di dadanya saat getaran tubuh kami mereda.

Draco mengeratkan pelukannya dan mengecup puncak kepalaku, "Aku berjanji," jawabnya, "Dan bersiaplah untuk satu hal lagi, Harry."

Aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya heran, "What?" tanyaku.

Draco menyeringai, "Bersiaplah untuk satu detensi lagi dari kepala sekolah karena kita telah melewatkan waktu mekar sempurna si bunga kristal," jawabnya sambil melihat keseberang sungai dimana setangkai bunga berwarna putih nyaris transparan sudah hampir menguncup.

Aku mengikuti arah pandangnya, "Oh, Merlin, ini semua gara-gara kau, Draco," keluhku kesal sambil bergerak duduk dan memeluk kedua lututku.

Draco terkekeh pelan dan membungkus tubuh telanjangku dengan jubahnya sambil kembali memelukku erat, "Aku akan menikmati waktu detensiku lagi bersamamu, Harry," godanya tanpa mempedulikan decakan kesalku.

"Ah, satu pertanyaan yang hampir terlupakan, dimana kau akan tinggal saat liburan natal nanti?" tanya Draco.

Aku tersenyum dan mengecup bibirnya singkat, "Tentu saja disini bersamamu. Aku malas bertemu para auror yang terus mengawasi kita sepanjang hari di Grimmauld Place."

Draco menyeringai, "Bagus, pilihan yang tepat, Harry," jawabnya dan kami tertawa bersama menganti seluruh waktu yang telah terbuang.

Satu hal yang tak bisa dibohongi, dan itu adalah hatimu...

- End -

Aaaaaaaaaaaah akhirnya setelah sebulan dianggurin fic ini selesai juga, bahagianyaaa...! Sekali lagi makasih buat NessVida dan Aicchan.

Udah lama ga bikin fic, maaf ya kalo ada yang kurang puas sama fic ini. Lemonnya juga cuma bisa implisit doang, akhir2 ini naluri M ku rada berkurang XD

Buat yang udah tanya-tanya fic baru dsb semoga ini bisa jadi pengobat kangen *GR beud*

Biar aku bisa semangat lagi bikin fic dimohon ripiunya ya *nyengir*