CRAT!

Cairan merah beraroma metalik kini menodai jubah putih Luminous Prince. Pemuda bermata hijau itu menahan sakit bahunya yang tertebas pedang hitam Dark Lord.

Satu kesempatan!

Pemuda berjubah hitam itu maju ke depan untuk memukul mundur lawannya. Makin bersemangat, ia melancarkan pukulan telak ke tubuh pemuda berjubah putih itu.

CTAR!

Serangan petir putih hampir saja mengenainya, kalau saja sedetik dia terlambat menghindar, ia bisa tinggal nama.

"Sialan!"

Di tengah deru angin, dinginnya es, panasnya api, dan tebalnya debu, mereka terus bertarung. Jeritan-jeritan dari kedua kubu dan suara hentakan keempat elemen menjadi latar musik mereka.

Semakin banyak darah ditumpahkan dari kedua kubu hingga membuat area pertempuran itu menjadi lautan darah.

Seperti warna gerhana bulan yang lingkar cincinnya semakin menebal.


#

Hetalia Axis Powers (c) Hidekaz Himaruya

Luminous Prince (c) Eka Kuchiki

#


BRAK!

Pintu kamar Antonio dibuka dengan kasar. Mata emerald Antonio menatap sosok yang baru saja membuka pintu kamar tanpa seizinnya. Lovino Vargas berdiri dihadapannya dengan sorot mata amber setajam pedang.

"Sedang apa kau didalam?" tanya Lovino dingin. Tangan kanannya memegang erat sisi pintu. Air mukanya nampak keruh.

"Kudengar kau berbicara dengan seseorang," lanjutnya.

Antonio menaikkan alisnya, "Aku tidak bicara dengan siapa-siapa, Lovi. Aku saja baru sadar—"

"Tapi aku mendengar suaramu, Bastard! " bentak Lovino. Ia menggebrak daun pintu sehingga suara gebrakannya menggema di kamar Antonio. Rahangnya mengeras, mata amber itu menatap tajam pemilik mata emerald itu.

"Tapi—"

Belum sempat Antonio mengelak, dua sosok tak diundang berteleportasi ke dalam kamarnya. Satu sosok berambut putih dan mata merahnya kini menatap Antonio. Hal yang sama dilakukan oleh pemuda berambut pirang sebahu. Tak seperti biasanya, keduanya terlihat menyelipkan pedang di pinggang. Sepertinya mereka bersiap untuk menumpahkan darah—dengan pedang mereka.

Gilbert dan Francis? Untuk apa mereka ke rumah Antonio tengah malam seperti ini?

"Kalian!" seru Lovino saat melihat kedua makhluk tak diundang itu. "Seharusnya kalian pergi dari sini!"

"Maaf, Mon cheri, " sela Francis—sambil tetap menarik tangan Lovino. "Kita harus pergi dari sini!"

"Untuk apa, Bastard?"

Dengan gerakan cepat, Francis mengambil senjata pedang Magnificent Spirit milik Antonio dan panah milik Lovino kemudian melemparkannya kepada sang pemilik. Mata azure Francis menatap antonio dan Lovino bergantian. sorot matanya kini memancarkan keseriusan. Ketiga temannya menatap aneh Francis, tidak biasanya ia bersikap seperti itu.

"Bawa senjata kalian," perintahnya. "Kita harus keluar dari sini secepatnya!"

"Untuk apa?"

Pertanyaan serempak yang keluar dari mulut Antonio dan Lovino itu tidak terjawab karena tangan Antonio sudah ditarik oleh Gilbert—yang menariknya keluar dari kamar. Sementara Francis mendorong Lovino keluar dari kamar Antonio. Kemudian mereka berempat berteleportasi keluar.


Rembulan tertutup oleh tebalnya awan hitam kelam. Tanda kegelapan akan menguasai cahaya dan menutupinya bagai gerhana. Pertanda buruk datang dari sisi aura putih.

Pertumpahan darah akan terjadi dalam waktu dekat...

Dua sosok berjubah hitam sampai di tempat tujuan mereka berteleportasi. Sebuah hutan kecil yang akan mengarah ke desa. Mata violet pemuda itu menatap tajam pemilik mata hijau disampingnya. Sementara pemilik mata hijau berambut pirang berantakan itu menghindari kontak mata dengan pemilik mata violet itu.

"Kau yakin, Arthur?" tanya Halldor tak yakin. "Apa ini tempat yang menurutmu tidak ada orang beraura putih?"

"Tentu saja," jawab Arthur. "Aku sudah pernah melewati tempat ini dua kali dan tidak merasakan aura putih."

"Tapi aku mempunyai fisarat berbeda," sela Halldor. "Menurutku, ada satu orang yang tidak terdeteksi auranya, tetapi tubuhnya tidak diselubungi aura pelindung."

Arthur paham dengan kemampuan Halldor. Fisaratnya sangat kuat. Di antara anggota Darth Saint lainnya—kecuali Dark Lord, hanya dirinya yang tidak bisa ditipu dengan aura pelindung. Arthur sudah memberitahu sebelumnya tanda-tanda lain secara fisik agar mereka tidak tertipu dengan aura pelindung. Ya, itu semua karena ia tidak mau bekerja keras sendirian saja.

Tapi kasus aura putih tidak terdeteksi ini berbeda, ia memerlukan fisarat kuat Halldor. Fisarat pemuda itulah yang berhasil mengalahkan kemampuan khususnya. Yah, meskipun dia membenci kenyataan ini—mengakui keunggulan Halldor yang merupakan saingan terberatnya.

.

Mata hijau Arthur beralih menatap mata violet Halldor, "Kau mau mengecek ke tempat itu lagi?"

Tidak ada jawaban dari Halldor—berarti ya.

Arthur mengangguk singkat. "Baiklah, kita kembali ke sana—"

"Artieee...!"

Suara itu... Wajah Arthur pias ketika mendengar suara yang dikenalnya itu. Jangan bilang kalau dia...

"Alfred!" mata hijau itu hampir terloncat melihat adik angkatnya—Alfred, berteleportasi didepannya lalu memeluknya dengan erat. Arthur hampir tercekik dipelukan maut Alfred. Sementara Halldor hanya mengeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan 'kakak-adik' itu.

"Artiee... kamu kalau pergi ajak-ajak aku dong!" rajuk Alfred sambil tetap memeluk Arthur erat. Arthur—yang hampir tidak bisa bernafas karena pelukan maut itu—menginjak kaki kiri Alfred sekuat tenaga.

"Adaaaww~!" jerit Alfred sambil melepaskan Arthur dari pelukannya dan beralih memegangi kakinya yang bengkak. Rupanya deritanya belum cukup sampai di situ.

BUGH!

...dan bogem mentah dilayangkan ke wajah Alfred. Kasihan sekali nasib Alfred hari ini, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sementara Halldor hanya bisa sweat drop melihat kelakuan kedua anak buahnya yang aneh bin ajaib itu.

"Bloody git! Kau ini seperti anak kecil saja!" sembur Arthur tanpa tendeng aling-aling. "Lagipula, siapa yang menyuruh kau ke sini, git?"

Alfred hanya tersenyum simpul. "Tentu saja oleh Dark Lord!"

Arthur hanya bisa menghela nafas berat. Percuma saja Alfred dilarang. Arthur tahu kalau alasan tadi bukanlah alasan yang masuk akal. Tapi mau tak mau ia mengizinkan Alfred mengikutinya—bersama dengan Halldor.


Erik berlari tanpa mempedulikan teriakan Tino di belakang. Ia tak mau lagi memutar memorinya percuma untuk pemuda yang telah meninggalkannya selama sebelas tahun, kakak yang tidak bertanggung jawab.

Ia bukan kakaknya lagi!

"ARGH!"

Langkah kaki Erik terhenti mendengar jeritan dari arah mata angin Selatan. Fisaratnya berkata buruk. Ia membelokkan kakinya lalu berteleportasi ke tempat asal jeritan tersebut terdengar.

.

Kaki Erik mendarat di atas tanah yang lembab. Mata violetnya terbelalak saat melihat sosok seseorang yang tengah mencekal leher Tino dengan erat. Pemuda berjubah hitam—memiliki rambut pirang spike itu—itu mengalihkan pandangan mata birunya ke arah Erik. Tino nampak terengah-engah kesulitan bernafas. Darah satu-persatu menetes di tanah.

"Kau—" Erik terperanjat melihat Tino yg meringis kesakitan. Pada bagian perutnya, keluar cairan merah yang hampir membuatnya limbung.

"Tino—" Erik tak melanjutkan kata-katanya karena ia merasakan aura negatif baru yang yang datang di tempat ini.

Tiba-tiba dari arah Selatan, seorang berjubah hitam berteleportasi dihadapan pemuda berambut spike itu dan merebut

"D'a mil'kku s'kar'ng," Berwald merebut Tino dari cengkraman Mathias. "Bi'r ak' ya'g ur's."

"Cih!" Mathias meludah dengan tak rela. Tatapan membunuh dilayangkan kepada Ya, siapa yang tak rela jika sedang enak-enaknya menyiksa buruannya diambil secara paksa oleh orang lain?

Tapi Mathias hanya bisa diam. Percuma saja ia melawan Berwald. Meskipun aura mereka sama-sama berwarna coklat, Berwald lebih kuat dibandingkan dirinya. Lebih baik ia mengalah menghadapi kenyataan daripada mati konyol di tangan pemuda bertubuh tinggi besar itu.

Tanpa menunggu lama, Berwald membawa Tino berteleportasi. Sementara bola mata safir itu berpaling ke mangsanya yang baru. Seringai kejam terulas di sudut bibirnya.

Erik mengambil langkah mundur. Ia menarik pedang dari sarungnya dan mengacungkan mata pedang itu ke depan Mathias.


Di suatu desa yang terletak di bagian Barat, telah terenggut satu nyawa seorang pemilik aura putih. Merah darah mengalir perlahan dari dada kiri pemuda itu. Darah yang sama telah menodai pisau perak milik gadis berjubah hitam yang berdiri tak jauh dari tempat tergeletaknya mayat itu, menetes perlahan ke tanah.

Mata violet gadis itu menghujam sadis ditambah seringai kejam dibibirnya menyatakan ia telah kehilangan hati nuraninya. Aura berwarna kelabu masih menyelubungi tubuhnya.

Seringai kejam itu dengan cepat terhapus saat seseorang berteleportasi didekatnya. Seorang pemuda berambut pirang sebahu menatap gadis berambut pirang kecoklatan itu lewat mata hijaunya.

"Kau," geramnya. Tangannya menodongkan pisau perak yang masih ternoda oleh lumuran darah ke leher pemuda itu. "Untuk apa kau ke sini?"

"Hanya memperhatikanmu," jawabnya datar. Tangannya hanya memutar-mutar pedang yang telah berlumuran darah. Ekspresinya masih tetap datar meskipun jarak pisau perak itu kini berjarak lima senti dari lehernya.

"Urus saja urusanmu sendiri, Vash!" balas Natalia kasar. "Aku tidak membutuhkanmu!"

"Terserah kau saja," dengan tenangnya, tangan bersarung hitam itu menyingkirkan pisau perak dari lehernya. Pemilik pisau itu hanya bisa mendengus kesal.

Natalia memasukkan kembali pisau itu di balik jubah hitamnya. "Pergi kau!" bentak Natalia.

Vash hanya tersenyum sinis melihat tanggapan dari gadis berambut pirang platinum itu.

"Kau akan menyesal nanti..."

Itulah kata-katanya yang diucapkan Vash sebelum ia membalikkan badan membelakangi Natalia dan lenyap dipandangan gadis itu.


Di sebuah tempat yang begitu gelap, dingin, dan hanya ditemani cahaya nyala api dari lima obor, seorang pemuda bertubuh besar dengan jubah hitamnya tengah duduk di atas singgasananya. Tiga orang berpakaian identik berlutut dihadapan orang yang duduk di atas singgasana itu. Kaki mereka terlihat gemetar, meskipun mereka sudah berlutut. Entah karena ketakutan pada pemilik aura hitam itu atau senyum manis yang terlihat mengintimidasi dari wajah yang tertutup topeng hitam itu.

"A—ada a—apa, Tuanku me—memanggil ka—kami?" tanya Toris gagap. Beruntung lidahnya tidak tergigit. Rahang giginya terus gemelutukan seolah-olah ia kedinginan dan membuatnya bicara dengan gagap.

Pemuda yang dipanggil 'Tuanku' tadi hanya menyunggingkan senyum singkat. Aura hitam masih menguar di sekeliling tubuhnya. Mata violet itu memancarkan keceriaan sekaligus kekejaman dan haus akan pertumpahan darah.

"Aku ingin kalian bertiga pergi menyusul yang lain," aura hitam pemuda bertubuh besar itu mulai berkurang—tapi tetap saja tiga orang itu gemetar.

"Ka—kami harus pergi kemana, Tuanku? " seorang pemuda berkacamata di samping Toris membuka mulutnya. Pemuda bernama Eduard itu terlihat lebih tenang dibandingkan Toris, meskipun tubuhnya tetap gemetar.

"Tentu saja pergi ke tempat di mana pemilik aura putih berada..."

"Ta—tapi... i—itu terlalu berat untuk ka—kami, My lord!" pemuda bertubuh mungil bernama Raivis itu terlihat keberatan dengan perintah pemimpinnya itu.

Toris dan Eduard memandang Raivis dengan rasa cemas bercampur kesal. Ucapan Raivis tadi bisa-bisa membuat mereka bertiga dicincang oleh Dark Lord!

"Begitu rupanya..."

Ketiga bawahannya makin bergetar ketika 'Yang Mulia' mereka memasang senyum di hadapan mereka. Bukan, bukan karena senyuma yang terulas pemimpin tertinggi Darth Saint itu. Mereka ketakutan dengan aura hitam yang menguar di tubuh pemimpin mereka. Aura hitam tersebut merambati ruangan dan mulai mencekik leher mereka.

Sang pemilik aura hitam tersebut hanya tersenyum inosen. "Baiklah, aku akan mengganti rencana," ia kembali memandangi bawahannya—yang masih gemetar—satu persatu.

"...Kalian kutugaskan untuk pergi ke hutan Andorra. Bunuh orang-orang yang berada di sana." Dark Lord kembali menyunggingkan senyum dilatari oleh aura hitam yang pekat. "Mengerti?"

"Si—siap, My Lord!" jawab mereka bertiga serempak.

Toris, Eduard, dan Raivis berteleportasi meninggalkan pimpinan mereka sendirian di ruangan. Mereka tak sempat melihat seringai yang menyiratkan kekejaman pada bibir pemuda bertopeng hitam itu.

"Akhirnya semakin dekat waktuku untuk menguasai dunia!"

Tawa yang menggelegar menyeruak di tempat yang tak terjamahkan oleh orang luar tanpa kekuatan aura. Kini kegelapan mulai menyelusup di dalam cahaya kebenaran.

...Waktunya telah dekat.


BUM!

Gempa menggetarkan tanah yang tengah mereka pijaki. Getaran yang begitu hebat telah membuat tanah dan bebatuan kehilangan gravitasi sesaat dan terjatuh membentuk runtuhan tanah dimensi tak beraturan dengan berbagai ukuran. Sebuah rumah mungil yang berada di lokasi gempa tersebut itu bernasib sama dengan tanah dan bebatuan yang terkena gempa—hancur lebur.

Rumah mungil yang tidak beruntung itu adalah milik Antonio.

"Rumahku!" jerit Antonio histeris. Tubuhnya lemas melihat tempat tinggalnya kini rata oleh tanah. Oh, Tuhan. Nanti ia dan Lovino mau tinggal di mana? Batinnya kini menjerit kebingungan memikirkan nasibnya setelah rumahnya amblas dihantam reruntuhan tanah.

"Kau dan Lovino bisa tinggal dirumahku," Francis seakan-akan bisa membaca pikiran Antonio. Dan tak lupa ciri khasnya, sebuah senyuman tersungging dibibirnya. Ada sesuatu yang berada di pikiran seorang Francis yang tidak bisa dijabarkan—saking abstraknya dan terpaksa disensor karena memuat adegan khusus untuk orang dewasa.

"Aku tidak akan tinggal dirumahmu, pervert!" tolak Lovino mentah-mentah. Tunggu, sejak kapan Lovino bisa membaca pikiran Francis?

Bibir Gilbert kini menyunggingkan senyum penuh kemenangan. "Bagaimana kalau tinggal dirumahku yang awesome?" sarannya. "Rumahku lebih awesome daripada Francis!"

"...Serumah denganmu dan potato bastard?" Lovino mengernyit jijik mendengar ide dari Gilbert. "TIDAK AKAN, ALBINO BASTARD!"

"Bagaimana kalau—"

"WOI! BAHAS RUMAHNYA NANTI AJA!" jerit Antonio frustasi seraya mengacak-acak rambut coklatnya akibat kelakuan autis teman-temannya. "ITU—"

BUM!

KRAK!

Tanah yang diinjaki mereka bergemuruh dan menimbulkan retakan tanah yang terbelah—dengan jarak lubang retakan yang semakin membesar. Sebelum mereka jatuh ke inti bumi, mereka melompat ke mata angin yang berlawanan. Debu-debu dari tanah mengepul di udara membuat mata mereka pedih. Kemudian retakan tanah itu kembali merapat hingga tak ada bekas retakan yang tertinggal—hanya reruntuhan akibat retakan tanah yang masih tersisa di atas tanah.

Belum hilang rasa syok mereka, tiga sosok berjubah hitam muncul dari kepulan debu tanah. Tiga sosok itu menghentikan langkahnya pada jarak beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Mata hijau Antonio membelalak saat sosok yang ditemuinya dua hari yang lalu berada di hadapannya.

"Ternyata kita bertemu di sini," pemuda berambut pirang berantakan itu mendekati Antonio. Pedang perak yang tergenggam ditangan kanannya mulai diarahkan ke depan pemuda berambut coklat itu.

"Arthur?" desis Francis tak percaya. "Untuk apa kau ke sini?"

'Arthur?' nama itu terngiang di pikiran Antonio saat Francis menyebutkan nama pemuda beralis tebal itu. 'Jadi pemuda itu bernama Arthur...'

"Dan kau—" mata rubi Gilbert menghujam pada sosok pemuda berambut pirang sebahu di sebelah Arthur. "Halldor?" desisnya. Tatapan tak percaya dilayangkan oleh pemuda albino itu.

"Bukan urusanmu, Francis," sahut Arthur sinis. "Aku ke sini untuk berhadapan dengan dia!"

Mata emerald itu menatap Antonio, lalu melangkahkan kakinya dua lAntonio. Untungnya ia melangkahkan kakinya, sebuah pedang hitam dihunuskan di depan Antonio. Untungnya Antonio cukup sigap sehingga pedangnya kini membentur pedang hitam milik pemuda bermata violet.

"Biar aku yang urus dia, Arthur,"

Halldor menatap tajam Arthur. Pemilik mata emerald itu hanya mendengus kesal. Pandangan pemuda berambut pirang berantakan itu akhirnya beralih pada Francis.

"Kau targetku sekarang!"

Dalam sedetik, Francis dan Arthur saling beradu senjata. Diikuti dengan peraduan senjata yang tak seimbang antara Alfred melawan Gilbert dan Lovino. Aura mereka saling beradu disertai elemen-elemen penghancur yang mereka miliki.

.

"Apa tujuan kau datang ke sini?" tanya Antonio dingin. Sorot mata emerald yang selalu memancarkan keceriaan berganti menjadi sorot mata yang dingin dan penuh kebencian.

"Kau tidak perlu tahu apa tujuanku," Halldor menarik pedang hitam dari sarungnya, disertai aura hitam pekat menguar dari tubuhnya. Mata violetnya kini menghujam tajam pada mata emerald Antonio. Melihat reaksi tersebut, pemuda berkulit coklat itu memberikan respon dengan mengeluarkan pedang Magnificent Spiritnya

"...Lawan aku terlebih dahulu!"

TRANG!

Benturan pedang Halldor dengan pedang Antonio tak terelakkan. Kini mereka berdua saling berhadapan dan melayangkan pandangan membunuh. Mata hijau bertemu dengan mata violet yang saling menghunuskan pedang hitam mereka. Bunyi gemuruh petir putih dan hitam saling bersahutan.


Di suatu tempat yang minim penerangan—dengan pepohonan lebat disekelilingnya, terdapat sebuah kastil yang tak terlihat oleh mata orang biasa di hutan bernama hutan Andorra.

Didalam kastil tua tak terlihat itu, terdapat empat orang yang masih berada di dalam ruangan. Raut wajah mereka terlihat panik. Sementara itu, bola kristal yang berada di tengah mereka memancarkan warna hitam pekat.

...Itulah tanda bahaya dari sisi aura positif.

"Bruder mengirimkan sinyal dari auranya bahwa ia dikepung oleh kelompok berjubah hitam di dekat desa Spain," kata Ludwig sembari melemparkan pandangan cemas ke arah bola kristal tersebut.

"Bagaimana, Ludwig?" tanya Roderich seraya membetulkan letak kacamatanya. "Apa kita langsung bertindak ke sana?"

"Kita harus cepat ke sana!" sahut Elizaveta panik. "...Sebelum ada korban lagi!"

"Elizaveta benar," sambung Kiku. "Kita berteleportasi—"

DUAR!

Ledakan terjadi di luar hingga menggetarkan tanah yang dipijaki keempat orang di dalam kastil tersebut.

"Apa yang terjadi?" seru Elizaveta. Ia berpegangan pada meja untuk menyeimbangkan tubuhnya.

"Cepat kita berteleportasi ke luar!"

Perintah Ludwig dilaksanakan oleh ketiga temannya. Mereka berteleportasi keluar dari kastil—markas Angel Salvation. Ancaman baru bagi anggota Angel Salvation telah dimulai.


#

T.B.C

#


Eka's note : Maafkan saya yang baru bisa update sekarang! *dihajar rame-rame* Ide saya mandek pada pertengahan. Ya, semoga tidak mandek lagi seperti sekarang. ^^; Ya, saya nulis apa adanya yang ada di otak saya. Gomen kalau jadinya aneh banget. (pundung dipojokan)

Aih, OOC abis! (pundung dipojokan lagi) Francis dewasa banget di sini! Dan saya baru saja nge-ship crack pair! Swizbela! *digeplak karena menuh-menuhin crack pair* Maaf buat yang request NorIce, saya belum bisa memenuhi sekarang demi alur cerita... *plak* Dan... masih banyak lagi karakter yang belum dimunculkan (headbang)! Yah, saya usahakan agar karakter-karakter tersebut muncul! ^^

Ada cerita lagi seputar kejadian sebelum fic ini dibuat (anggap aja ini kayak 'behind the scene' di film-film). Ini cuma skrip iseng-iseng author yang lagi galau kuadrat.


Behind the Scene

-Adegan pertama-

Lovino menggebrak daun pintu kamar Antonio. Saking maksimal aktingnya, Lovino lupa bahwa daun pintu itu kayu jati yang kerasnya bukan main.

BRAK!

"ADAW~!" jerit Lovino dengan tidak anggunnya. Antonio menghampiri Lovino yang kini memegangi kepalan tangan kanannya yang membentur daun pintu.

"Duh, Lovi... makanya kalau mukul itu jangan terlalu kenceng..."

"Diem lo, tomato bastard!" bentak Lovino sambil meringis kesakitan.

-Adegan kedua-

"Artieee...!" Alfred berlari menyongsong kakak angkatnya. Sampai saat ini, Alfred berlari persis seperti

Arthur—yang tahu kalau Alfred akan memeluknya—berlari menghindar dari Alfred. Sementara Alfred masih terus berlari dan tidak melihat ada batu didepannya.

GUBRAK!

Niat Alfred untuk memeluk Arthur pupus sudah. Berakhir dengan nyungsep tidak elit di tanah.

"Artie kejam! Author kejam!" lho, kok author ikut disalahin? Sudahlah... terima saja nasibmu, Fred!


Sudah dulu deh. Saya minta maaf karena chapter ini pendek sangat. Akhir kata...

Review please?