Disclaimer: Hetalia Axis Power © Hidekaz Himaruya

Genre: Romance, Angst, Hurt/comfort

Warnings: Shounen-ai (USUK), AU, maso!England, human names used, character's death (ending), kemungkinan agak OOC, bahasa semi-formal, tanda baca (?), don't like, don't read!

By Mint or Quincy Peppermint

Notes: Guten tag! #sokJerman. Saya akhirnya dapet ide baru juga buat yang The Second ini setelah membuang ide lama saya jauh2 =)

Di fic Trilogy yang The First, pada bilang sebel sama Alfred. Gomen! Saya tak ada maksut, kan dia gak tau kalo Artie demen sama dia. Hahaha. Yodah lah pokok'e USUK! #gakonek

Trimakasih buat reviewnya di fic sebelum ini(bebrapa +fave): Nyasar-tan, Charles Grey, Pilong, Baka Mutsumix, SugarLove (maaf, saya memang payah bisa salah orang! 0_0), Caca Sakura Diamond, eka kuchiki, Xavierre, Nami (NatureMature), Ryokiku, Beth, Santa Clau numpang lewat. Dan Chiaki Banjou & Ayano Mamoru yg udh ngefave.

I want to say… I LOVE YOU ALL! #plak xD

Smoga kalian juga berkenan buat suka yg kedua ini…

Udah ah bacotnya, start~


.

Sebuah rumah, dibangun kokoh diatas tanah itu. Bangunan yang segala sesuatunya selalu membuat setiap orang yang melintas berdecak kagum akan kemegahannya.

Atap merah gelap yang terbuat dari genteng keramik untuk menaungi rumah itu dari segala cuaca. Dinding tebal berlapiskan cat putih membatasi setiap pandangan dari luar terhadap isi dari bangunan itu, seolah bahwa didalam terdapat sebuah kehidupan lain yang tidak terbayang sebelumnya.

Jendela-jendela terpampang di beberapa bagian rumah. Dengan kusen putih membingkai kacanya, yang membiarkan sinar mentari maupun rembulan untuk menyusup masuk melewati celah mosaiknya. Memaparkan kerlipan cahaya bagaikan sebuah ilusi kristalisasi. Menari-nari di udara sedang sinarnya menyorot jatuh menimpa lantai granit.

Bagian luar dari rumah itu, yang terungkap bagi siapa saja, belum menandingi keindahan setiap inchi dalam bangunan itu. Yang selalu tampak diselimuti kegelapan, seakan belum pernah terjamah oleh seberkas cahaya dari luar. Menimbulkan keraguan dan seribu pertanyaan yang tak kunjung terjawab dalam diri setiap jiwa yang penasaran akan adanya keberadaan seseorang dalam tempat itu.

Rumah megah itu.

Yang tak pernah membuka daun pintunya lebar-lebar kemudian mempersilakan siapapun untuk masuk.

Sebab sang penghuni rumah itu. Majikannya.

Selalu menutup dirinya, apatis dengan segala keadaan luar.

Meringkuk sendiri di sudut ruangan.

Memendam segala perasaannya yang selalu terkurung dalam jeruji-jeruji dingin hatinya.

Dilanda kesepian yang tak berujung,

Arthur Kirkland

.


The Trilogy of His Anguish

The Second; Piquancy

Savor The Endless Loneliness

By Mint


Hari itu, hujan turun dengan derasnya. Gumpalan awan putih yang semula berarak perlahan di langit biru, telah berubah gelap. Menghardik satu sama lain sebelum akhirnya guntur menerjang. Seolah merobek awan itu sehingga rintik hujan tidak dapat dicegah, membanjiri permukaan daratan dengan airnya. Menangis deras tanpa mentolerir keadaan cuaca yang semakin memburuk.

Membuat siapa saja untuk mengggigil.

Ia meraih sebuah payung berwarna biru dari dalam guci keramik yang terdapat di sebelah pintu keluar rumahnya sebelum beranjak menuju beranda rumahnya. Sementara ia tergoda untuk memandang sepintas bayangan dirinya pada sebuah cermin yang tertempel di dinding.

Rambut pirang terang, kulitnya yang putih pucat sebab tidak pernah terkena paparan sinar teriknya matahari. Tubuhnya yang cukup kurus bila dibandingkan dengan anak-anak sebayanya. Kemeja putih dan rompi hitam, dipadu dasi hitam kelam yang senada dengan perasaanya. Serta matanya yang menyiratkan kesedihan. Matanya yang hijau bagai hamparan rumput, membuat siapa saja mengagumi keindahannya.

Namun, kedua mata itu gelap, amat gelap, seolah segala beban dan kepahitan dalam dunia ini telah ditimpakan kepadanya.

Seorang Arthur Kirkland, telah menggunakan waktu hidupnya di bumi ini selama limabelas tahun. Dalam kepedihan. Semua yang terjadi pada roda kehidupannya seakan tidak pernah benar baginya. Kehilangan orang tuanya sejak kecil, orang tua kandungnya yang mati meninggalkan seluruh warisan dan harta yang melimpah padanya sehingga hendaklah ia untuk hidup serba berkecukupan.

Walau sendiri

Tanpa ada seseorang yang selalu ada disisinya, menyemangatinya bilamana ia merasa terpuruk.

Karena memang seperti itulah takdir hidup tak terelakkan yang harus ia jalani.

Arthur diam tak bergerak menatap refleksi dirinya yang tampak menyedihkan. Sudah kian lama ini ia selalu bertahan dalam kesendiriannya. Sedari dulu hingga kini. Ya, ia yang sekarang berdiri menatap bayangan dirinya, berdiri kaku.

Ia mengalihkan pandangannya dari cermin, membuang-buang waktu saja hanya untuk diam dan meratapi nasibnya yang selalu ia rutuki itu. Arthur kemudian membuka payungnya, memutar gagang pintu rumahnya dan mendorongnya hingga terbuka sebelum ia menuruni anak tangga teras lalu menyentuh aspal. Menapaki permukaan tanah yang basah akibat siraman air hujan dengan kedua kakinya.

Menyusuri jalan sepi dikarenakan oleh cuaca yang tidak mengijinkan siapapun untuk beranjak keluar menjauhi perlindungan atap rumahnya.

Jalanan yang biasanya ramai akan penduduk yang lalu-lalang menjalani aktivitasnya sehari-hari. Kini sunyi bagaikan kota mati. Diselimuti kabut putih hujan yang memudarkan pandangan mata.

Hanya suara serangan rintikan hujan beserta terpaan angin dingin yang membuat suasana semakin mencekam. Merasuk tiap jiwa yang rapuh.

Arthur mempererat genggamannya pada gagang payung itu, merasakan tetesan hujan yang setiap menitnya semakin deras. Bulir-bulir tangisan langit yang tertumpah merembes di setiap rangka luar payung yang menaungi dirinya.

Sedari puncaknya, turun, turun, hingga menetes ketika alirannya terhenti pada sebuah ujung besi yang tipis.

Arthur terus melangkah, walau tanpa tujuan yang pasti. Kedua tatapan mata hijaunya terus tertampang pada kedua kakinya yang tidak lelah menapaki jalanan yang tergenangi air hujan. Menimbulkan suara gemericik air pada setiap pijakannya, samar-samar hilang ditelan angkuhnya suara sumbang air hujan yang berjatuhan ke tanah.

Air hujan yang telah jatuh ke permukaan. Warnanya yang bening dan mengalir.

Seketika itu berubah layaknya warna darah seorang manusia.

Merah.

Darah manusia yang bercampur dengan hujan.

Ia sedikit terbelalak, baru saja ia hanya mendapati telapak kakinya yang menopang tubuhnya pada permukaan tanah. Tapi sekarang ia menyaksikan merahnya darah yang mengalir bagai sungai melintas di pandangannya. Arthur mendongakkan kepalanya, mencoba untuk melihat langsung akan darimana sebenarnya asal muasal darah itu yang tidak pada tempatnya.

Sesosok.

Sesosok anak manusia dengan pakaian compang-camping, terbaring bersimbah darah. Luka-luka serius yang tampak amat menyakitkan hingga mungkin tak terbayang oleh pikiran sempit seseorang, tersebar di seluruh bagian tubuhnya. Mengalirkan darah merah yang kemudian terguyur hujan. Raganya yang pucat pasi layaknya mayat, dingin dan kaku seperti es. Rambutnya yang pirang terkotori oleh bercak darah.

Korban kecelakaan.

Ia sudah pergi meninggalkan dunia ini.

Arthur menatap sebuah figur anak yang terbujur kaku, tampak tidak bernyawa. Mata hijau miliknya memandangi kedua kelopak mata yang tertutup di hadapannya. Tidak berbuat apa-apa. Hanya berdiri kaku menyaksikan tubuh mati yang tidak bergeming.

Tidak merasa takut maupun jijik akan pemandangan yang saat ini dilihatnya.

Sedang pada umumnya orang-orang lain akan menjerit histeris bila tengah berada di posisinya, ketika menatap langsung sebuah raga yang telah kehilangan kehidupan. Mati bergelimang darah.

Anak ini… Mungkinkah ia tewas karena kelalaian pihak lain?

Seperti apakah raut wajah orang yang menyebabkan kematian anak ini?

Sehingga ia meninggal dalam usia belia.

Payah.

Pemuda itu melangkah ke depan, mendekati sosok anak itu hingga berdiri tepat di hadapan wajah pucat itu yang teronggok di tanah, membuat sepatu kulitnya ternoda oleh merahnya darah yang berasal dari luka goresan wajahnya.

Ia menundukkan kepalanya, masih belum mengalihkan tatapan mata hijaunya pada tubuh mati itu. Membiarkan kedua sepatunya berpijak pada genangan darah yang belum berhenti mengucur dari daging yang telah terkoyak.

Perlahan, ia mengangkat kaki kanannya sehingga penopang berat badannya hanyalah kaki kirinya. Ia memosisikan telapak kaki terangkatnya yang terbungkus sepatu kulit pada wajah mayat bocah itu. Sehingga sepatunya terbasahi oleh hujan yang setelah itu menetes jatuh di muka pucat tubuh malang itu.

Arthur memberikan sejenak jeda waktu sebelum ia mengerahkan kekuatannya untuk menginjak raga mati itu tepat di mukanya yang menyedihkan. Mengontrol alas sepatunya untuk menggilas wajah itu.

Sebagai bukti bisu pelampiasan jiwanya yang telah kehilangan nuraninya.

Sekarang

"…Ugh…"

Arthur terperanjat. Ia buru-buru menarik kembali kakinya. Mengurungkan niat awalnya untuk menginjak-injak tubuh itu tanpa perasaan dan rasa manusiawi. Ia mundur beberapa langkah, kedua tangannya mengeratkan pegangannya pada gagang payungnya. Tiba-tiba rasa ketakutan hadir dalam dirinya. Buliran keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Sosok yang awalnya ia sangka telah mati, saat itu pula bergeming. Menggeliat dan mengerang kesakitan.

Pemuda itu membelalakkan mata hijaunya, sedikit merasa tidak percaya pada penglihatannya. Anak itu yang hendak ia tambah penderitaannya, tengah melontarkan erangan lirih yang sayup-sayup terdengar di tengah derunya rintikan hujan.

Anak itu mengepalkan tangannya yang penuh goresan pedih, berusaha menahan rasa sakit yang didera. Pelan-pelan, ia membuka kedua kelopak matanya, memperlihatkan dua bola mata biru yang indah.

Bola matanya yang biru secerah langit pada pagi hari.

Yang amat kontras dengan segala luka-luka pedih di tubuhnya.

Mata biru itu, bertemu pandang dengan mata hijaunya.

Membuatnya tertegun dan berdiri kaku, diam seribu bahasa.

Arthur merasakan tangannya yang bergetar hebat, sedang matanya masih tetap memandang wajah anak itu yang matanya mengisyaratkan dirinya yang sangat membutuhkan pertolongan sebelum daya tubuhnya menurun sehingga ia akan benar-benar mati di bawah kejinya hujan.

Tanpa berpikir dua kali, pemuda itu membuang payungnya, membiarkan siraman air hujan yang dalam sekejap membasahi dirinya. Kemudian segera bersimpuh di atas lututnya sebelum meraih tubuh anak itu dan mendekapnya di dalam pelukannya, tidak peduli bila pakaiannya ternoda oleh darah sang bocah dalam rengkuhannya. Merasakan dinginnya tubuh itu yang tak berhenti menggigil dan gemetaran.

"…Tolong…" desis anak itu tersendat-sendat, mencengkram lengan Arthur yang melingkupi dirinya.

Arthur terdiam menatapnya, mengeratkan tangannya pada raga lemah itu. Lelaki itu mengangguk lirih kemudian susah payah bangkit di atas kedua tungkai kakinya dengan anak itu dalam gendongannya. Melangkahkan kakinya ke depan.

Berpijak pada genangan-genangan air yang bergejolak.

Melaju menembus hujan yang tak kunjung reda sekuat tenaga.

Tanpa menyadari bahwa ia tengah menolong seorang anak yang baru saja ia temui.

Bocah yang bahkan semula ia lontarkan tatapan mata ketidak pedulian.

Dan objek pelampiasan konyol dirinya yang tidak dapat disebut lagi sebagai 'manusia'


Arthur duduk pada sebuah kursi didalam ruang tunggu operasi, dimana anak itu tengah ditangani oleh tangan-tangan dokter yang berusaha menyelamatkan jiwa sang bocah.

Pemuda itu membenamkan wajahnya di atas tangkupan wajahnya, duduk menanti dengan was-was akan keadaan anak itu selanjutnya. Tidak memudarkan kesunyian dalam ruangan putih hanya dengan dirinya sendiri dan kursi-kursi yang berjejer kaku.

Tanpa menyadari bahwa ia tengah mengkhawatirkan akan kondisi seorang anak yang bahkan bukan siapa-siapa baginya.

Sebab ia terlalu larut dalam perasaan takutnya, terus berdoa dalam hati untuk keselamatan bocah lelaki itu.

Krek

"Sir Arthur Kirkland?" ujar seorang dokter separuh baya berjas putih yang baru saja keluar dari pintu ruangan operasi. Raut mukanya terlihat letih dan kewalahan entah apa penyebabnya.

"Ba-bagaimana dengan anak itu…? A-apa ia selamat…?" tukas Arthur tergesa-gesa, ia segera berdiri di depan dokter itu. Wajahnya tampak terlalu ketakutan dan hatinya tidak bisa berhenti berdegup kencang.

"Maaf, Sir. Anak itu… Kehabisan terlalu banyak darah. Bila tidak ada pendonor saat ini juga, maka nyawanya tidak dapat diselamatkan—"

"TOLONG! Dokter, berapapun biayanya akan kubayar! Tapi tolong selamatkanlah dia!" teriak remaja lelaki itu panik, mata hijaunya mulai terlihat berkaca-kaca dan perasaannya terasa amat tertekan.

Apa… anak itu akan mati?

"Tapi… Tidak ada pendonor darah dengan jenis yang cocok. Maka tranfusi darah tidak bisa terlaksana." Sahut pria itu dengan nada suara yang terdengar kecewa, matanya tidak berani menatap langsung tatapan mata hijau yang dilingkupi kabut rasa kegelisahan.

Kalimat itu membuat Arthur terdiam bisu.

"…Ambil darahku."

Dokter itu tersentak, ia tidak percaya akan kata-kata yang baru saja terlontar dari anak remaja yang berdiri dihadapannya.

"Ambil saja darahku." ulangnya.

"Ti-tidak bisa! Meskipun darahmu cocok dengannya, kamu masih belum cukup umur! Dan lagipula darah yang anak itu butuhkan bukan hanya dalam jumlah yang sedikit…!" ujarnya, mencoba sekuat tenaga mengubah keputusan sembrono Arthur.

Anak itu… Tidak akan mati.

"Kubilang, ambil saja darahku." katanya. Kedua mata hijaunya memandang tajam pada wajah dokter itu seolah bahwa ia telah berpikir ribuan kali akan keputusannya yang mungkin dapat membahayakan dirinya.

Akan tetapi ia tetap serius.

Sangat.

Butiran keringat dingin mengalir di wajah pria separuh baya itu. Ia menelan ludah, sebagai simbol akan rasa terkejutnya yang bercampur dengan rasa takut. Hidup mati seorang anak yang dipertahankan sepenuh hati oleh seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapannya.

Yang telah mengambil sebuah keputusan dengan tegas.

Tetap kukuh pada pendiriannya.

Untuk menyelamatkan jiwa sang bocah.

Tanpa menyadari bahwa ia bukanlah siapa-siapa baginya.

Hanya karena ia telah terhanyut pada birunya kedua mata itu.

Seakan telah terhipnotis olehnya.

Ia akan tetap hidup.

….


Hari demi hari berlalu seiring dengan kepulihan tubuh anak itu yang telah begitu nyaris menjadikan hari berhujan itu sebagai hari kematiannya.

Sebab seorang remaja lelaki yang telah mengulurkan tangannya.

Memberikan darahnya sendiri pada sang bocah.

Membiarkannya mengalir leluasa dalam diri itu.

Seolah takdir telah menghendaki semua ini terjadi begitu saja.

"Siapa namamu?"

.

Roda kehidupannya yang terus berputar pada porosnya.

"Alfred F Jones…"

.

Yang tanpa disadari akan mengubah hidupnya.

.


"Baiklah, Alfred. Namaku Arthur Kirkland."

Belasan tahun yang telah ia lewati dalam kesepian yang tak berujung.

Dirinya yang selalu menolak untuk menatap mata siapapun.

Tak akan pernah ia bayangkan sebelumnya, yakni sekarang ia yang tengah memandang langsung kedua mata biru langit itu.

"Kak Arthur, terimakasih sudah menolongku."

"Aku tidak menolongmu. Jangan salah sangka. Aku hanya kebetulan melintas, itu saja."

Biru itu yang membuatnya tergugah untuk membuka sedikit dari celah hatinya yang selama ini tertutup rapat dalam bongkahan batu yang tak retak.

"Oh iya, satu lagi, jangan panggil aku 'Kakak'."

"Ke-kenapa? Wajar kan, aku lebih muda beberapa tahun darimu…"

Ia menyunggingkan seutas senyum. Sebuah senyuman yang bahkan telah lama ia kubur dalam-dalam dari segala ekspresi yang sejauh ini ia gunakan.

Senyuman, yang mungkin telah ia lupakan bagaimana caranya untuk membuatnya terlihat. Saking suram dan sedihnya kehidupannya selama ini.

Senyuman, yang kini tengah ia tunjukkan pada sang anak yang berdiri di depannya.

"Karena aku sama sepertimu. Tak lain dari seorang anak yang masih belum mengenal dunia."

.

.


Arthur mendorong daun pintu rumahnya dan membukakan pintu itu lebar-lebar. Membiarkan anak bermata biru itu untuk melangkah masuk.

"Ayo masuk, Alfred" tukasnya dengan nada sedikit datar, walaupun ia berusaha untuk tersenyum kecil.

Bocah itu memandang takjub seisi rumah besar itu, mata azure-nya menjelajahi setiap sudut dalamnya. Belum pernah ia saksikan tempat seperti itu. "I-iya…" sahutnya malu-malu sembari berjalan masuk makin mendalami kediamannya.

"Rumahmu besar dan bagus sekali, Kak—ah maksudku, A-Arthur!" lanjutnya, matanya masih sibuk memandang ke sekeliling rumah itu.

"Tidak juga," ujarnya kaku, menatap Alfred yang terkagum-kagum akan tempat yang sama-sekali tidak istimewa baginya. Karena telah belasan tahun ia lewatkan di dalam rumah ini. Untuk diam dan meringkuk sendiri dalam kegelapan.

Tanpa memiliki secercah harapan dan keberanian untuk bangkit dan beranjak keluar rumah sehingga merasakan terangnya sinar mentari.

Hanya kegelapan dan kesuraman yang melingkupi tiap waktunya.

Maka selama ini sebuah dunia yang luasnya tak terkira, belum pernah ia cicipi, belum pernah ia rasakan. Betapa kayanya bumi yang ternyata semenjak dahulu hingga sekarang ia tinggali.

"… Arthur? Kau kenapa?"

Arthur terkesiap, ia buru-buru mengucek matanya yang dalam hitungan detik meneteskan air mata. Ia balas menatap Alfred yang kini tengah menatapnya dengan raut wajah kekhawatiran.

"A-aku tidak apa-apa kok. Hanya merasa agak kesepian untuk tinggal sendirian saja di rumah besar ini." tuturnya lirih dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.

"Arthur,"

"Ya?"

Anak itu berjalan mendekatkan dirinya pada Arthur lalu merentangkan tangannya dan memeluknya. Mendekapnya erat-erat meskipun terdapat perbedaan tinggi tubuhnya yang lebih pendek dibandingkan dengan lelaki bermata hijau itu.

Remaja itu terperanjat, ia menunduk menatap Alfred yang merengkuh erat dirinya yang gemetaran ketika ingatan akan kesepian dan kegelapan itu kembali menghantuinya.

"Alfred…"

"Sekarang kamu tidak akan kesepian lagi, karena ada aku disini, wahai penyelamat nyawaku." ucapnya dengan nada riang namun terdengar serius.

Arthur membelalakkan mata hijaunya, tidak dapat membayangkan perasaannya sendiri sewaktu kalimat itu terucap dari bibir seorang bocah yang mungkin saja dilontarkan tanpa sempat dipikir terlebih dahulu.

Namun sebuah dekapan hangat yang melingkupi dirinya, yang telah mencairkan sebagian hatinya yang sedingin es. Membuatnya terharu dan larut dalam suatu perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Ia mengulurkan tangannya dan membungkukkan badannya, sebelum balas memeluknya erat. Dekapan yang sangat berbeda, dibanding dengan ketika ia mencengkram tubuh bocah yang tengah sekarat itu dalam derasnya hujan.

Lelaki itu kembali tersenyum, bukan sebuah senyuman palsu yang dipaksakan maupun sebuah senyuman yang tak terlahir dari relung hatinya. Tetapi seulas senyuman yang tulus, yang belum pernah ia perlihatkan pada siapapun.

"Ya…"

Ya.

Roda kehidupannya terus berputar pada porosnya.

Membawanya pada hari esok yang akan ia jalani.

Sedang ia berdiri pada waktu dimana detik-detiknya dapat ia ubah untuk menghapus sisa-sisa hidupnya. Baik hal yang baik maupun buruk.

Bagaikan sebuah kronologis waktu.

.


"Arthur,"

Ia terhenyak, menoleh secara refleks ke arah pintu kamarnya, dimana sumber suara yang telah memanggilnya berasal. Kedua mata hijaunya yang semula kosong sedang pikirannya mengawang-awang jauh, kini mengerjap keheranan.

Cahaya mentari yang awalnya menerobos masuk melalui jendela kamarnya telah perlahan berubah lembayung. Sinarnya yang menimpa kulit wajahnya.

"Arthur, kau didalam?" sahut suara itu diiringi dengan suara ketukan kayu.

"Tu-tunggu!"

Arthur segera beranjak dan memutar kunci besi pintu kamarnya sebelum menarik kenopnya dan membukakan pintu kayu kokoh itu. Memperlihatkan sesosok anak lelaki kecil yang tengah berdiri di depan ambang pintunya. Ia mengenakan piyama dan jari-jarinya menggenggam sebuah bantal putih. Alfred menyiratkan pandangan mata kebingungan.

"Alfred…ada apa?" tukasnya dengan suara sehalus mungkin. Jujur saja, sulit baginya yang tak pernah bersosialisasi dengan orang lain, untuk mengetahui bagaimana cara menyikapi seorang anak kecil berumur sepuluh tahun.

Yang sejak hari itu, tinggal bersamanya.

Atas keputusan yang telah terlontar sendiri dari mulutnya.

Sebab sebuah bisikan, suara yang seolah merasuk. Terngiang di gendang telinganya.

Memintanya supaya mengulurkan tangannya dan mempersilakan seorang bocah yang bahkan baru dikenalnya.

Untuk masuk, melangkah dalam kehidupannya. Untuk melongok melalui celah hatinya.

Sembari ia memungut serpihan-serpihan batinnya.

"Arthur, kenapa kamu selalu mengurung diri di kamarmu?" sergah bocah berbola mata biru itu, membuatnya sedikit terkesiap. Ia membuka mulutnya, namun tidak dapat meluncurkan sepatah katapun. Tidak bisa menemukan barang sebuah kata sebagai respon atas pertanyaan spontan itu.

"Karena aku selalu sendirian di dunia ini."

Berdiri di sudut kamarnya, mematung layaknya tubuh yang tak lagi memiliki pancaran sinar kehidupan.

Membiarkan hatinya dikuasai oleh luasnya palung kepedihan yang senantiasa merajai hidupnya.

Alfred memandangnya keheranan, anak itu memiringkan kepalanya sebagai simbol ketidakmengertian.

"Sendirian? Bukankah ada banyak orang yang tinggal disekitar kita?" jawabnya dengan polos, hati kecilnya yang murni masih belum sampai kepada kepahitan yang selalu dikecapnya. Membuatnya termangu, tidak ingin mengotori hati lugu itu.

"Ah, bukan begitu maksudku, Alfred. Oh iya, mengingat tadi, apa yang sedang kau lakukan disini?" tukas Arthur canggung sembari bersimpuh di atas lututnya sehingga tatapan mata mereka sejajar. "Ada perlu apa denganku?" lanjutnya dengan nada seramah mungkin.

Seketika itu juga, kedua pipi sang bocah menampakkan semburat warna merah yang terlihat cukup jelas. Ia melemparkan pandangan mata birunya ke lantai, berusaha menjauhi tatapan mata hijau Arthur.

"A-aku… takut tidur sendirian… B-boleh kan aku tidur bersamamu disini?" desisnya secara tersendat-sendat.

Arthur terbelalak, tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat, segera setelah kalimat itu terdengar dari pribadi polos situ.

Dirinya yang selama ini selalu serba melangkah dalam kesendirian.

Dirinya yang pada hari-hari sebelumnya selalu dilanda kesunyian, di dalam kamar itu.

Dan mendadak pada suatu titik, seorang anak menyusup masuk dalam hidupnya.

Menyentak masuk, menerobos begitu saja.

Tanpa sempat memberinya waktu untuk membiasakan diri.

Seakan mengganggu hidupnya.

TIDAK

"Tidak."

"…Apa?"

"Aku bilang tidak, maaf." ucap remaja itu dingin sembari bangkit berdiri diatas kedua kakinya dan membalikkan tubuhnya. Memunggungi Alfred yang terperanjat dibuatnya.

"A-Arthur… Kumohon… Aku takut kegelapan…!" teriaknya sambil jemarinya meraih tangan pucat Arthur dan menggenggamnya erat-erat di dalam tangkupan telapak tangannya. Memintanya untuk jangan pergi.

Plak!

"Ah.."

Arthur tersentak, mata hijaunya membesar. Baru saja tangannya menampik tangan mungil anak itu tanpa perasaan. Menimbulkan segores luka yang tak tampak. Ia mengangkat tangan kejinya yang bergetar dashyat, tidak menyangka bahwa dirinya dapat dengan mudah terombang-ambingkan oleh perasaan pahitnya.

Yang menolak keras akan kehadiran seseorang dalam hidupnya.

Terkontrol oleh hatinya yang sudah sejak dahulu terluka.

"Arthur…kamu…" ucap Alfred lirih, memandang tangannya yang telah ditampar dengan dingin. Wajahnya merah menahan tangis. Bulir-bulir air mata tak terasa tergenang di pelupuk mata birunya, siap untuk tumpah kapan saja. Hati polosnya merasa terkejut dan takut akan reaksi seorang pemuda yang telah membuatnya tersinggung.

"A-aku…Alfred, aku tidak sengaja…" tukasnya gelagapan kemudian melangkah menghampiri figur sang bocah dan membungkukkan badannya. Lalu mengusap kepala anak itu dengan tangannya.

Tangannya, yang semula menepis kasar tangan kecil itu darinya.

Tangannya, yang kini gemetar dengan hebat.

Karena sulit baginya untuk menyentuhnya.

Dengan segenap perasaan yang tulus.

Sebab sebuah luka yang dalam,

Yang mungkin tidak akan dapat disembuhkan oleh tiap makhluk.

Telah tergali dengan segala kegelapan yang ada.

Dalam sudut hatinya yang tersirat bagi siapapun.

.

"Maaf"

.

Anak itu, seorang insan yang kini hidup dengan darahnya .

.

.


Until The Next Chapter

.

Note: Hah. Chapter 1 slese~ Padahal rencananya Cuma oneshot, tapi baru segini aja udah 3k words lebih! Bisa-bisa ntar readers bosan… =(

*O ya, si Apple meski review saya, tidak mau saya hiraukan (NO thanks for u!) #dijitakApple.

FYI: tentang judul, Savor itu artinya mengecap, Endless Loneliness= kesepian yang tak berujung. Piquancy= kepedihan. Arthur ceritanya masih 15 tahun, si Alfred 10 thn, tapi ntar makin tua kok #plak.

Anyway, thanks udh baca! Review sangat saya sukai~! Jadi bikin semangat lanjutin loh gatau knapa =)

Jadi saya bisa lebih bahagia(?) dan dapat mengupdate fic abal nan mellow ini lebih cepat dalam badai sekolah laknat—coret dan segala tugasnya yang beranak-bercucu-bercicit itu.

See you in the (probability) chapter 2~