Cendrillion

"Asa made odoru yume dake misete,

tokei no kane ga toku mahou.

"Aimaina yubi sasou kaidan

sandan tobashi ni haneteiku…"

-Normal POV-

"Ada pesta dansa di istana malam besok…" kata seorang gadis berambut pirang, bermata biru langit bagaikan sapphire yang sedang memandang keluar jendela. Ia mengharapkan untuk pergi ke pesta dansa yang diadakan untuk semua gadis di kota besok malam.

"Claire? CLAIRE!" teriak seorang wanita berambut coklat dengan poni yang disemir berumur 40-an bernama Karen, diikuti oleh seorang perempuan berambut orange yang dikuncir bernama Ann yang merupakan anak perempuan Karen.

"Y-Yes mother!" Dengan cepat gadis berpakaian pembantu yang lusuh itu mengambil sapu yang tadi disandarkannya di dinding. Ya, Claire merupakan anak tiri Karen dari pernikahan Karen yang kedua.

"Dasar lelet! Cepat bersihkan ruang tengah! Kita akan kedatangan tamu penting!" bentak Karen sambil meninggalkan ruangan tersebut.

"Ayo cepat! Mungkin Ibu akan berubah pikiran dan akan mengijinkanmu untuk pergi ke pesta dansa! Yah… Meski nggak mungkin ada yang mau berdansa dengan seorang pembantu kotor seperti dirimu! Hahahaha!" kata Ann tertawa sambil berjalan mengikuti Ibunya.

"… Ayah…" kata Claire sambil menunduk.

Claire Harvenheit sangat merindukan almarhum ayah kandungnya, Rick Harvenheit yang juga suami kedua dari Karen Abberline. Dulu, kehidupannya begitu damai ketika ayahnya masih hidup. Ibu kandung Claire, Mary Harvenheit meninggal saat melahirkan Claire.

Kemudian, setelah Claire berumur 16 tahun, Rick menikah lagi dengan Karen yang merupakan seorang janda. Ann Abberline pun menjadi kakak perempuan tirinya. Claire maupun Ayahnya tidak menyadari bahwa Karen dan Ann hanya mengincar nama dan kekayaan dari keluarga Claire yang merupakan bangsawan yang sangat kaya.

Dua tahun setelah itu, Rick meninggal karena sakit. Kekayaan keluarga Harvenheit pun jatuh ke tangan Karen. Tetapi, kekayaannya hanya bertahan untuk sementara saja karena Karen dan Ann yang senang berfoya-foya. Keluarga Harvenheit pun hanya tinggal nama dan penampilan luarnya saja. Hari-hari Claire sebagai pembantu pun satu-satunya dimulai. Claire hanya bisa pasrah saja ketika dijadikan pembantu.

Tetapi gadis itu tidak mengeluh dalam pekerjaannya. Awalnya memang sulit, tapi dia mulai terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. 'Yah… Anggap saja sebagai latihan untuk rumah tangga masa depan nanti…' pikirnya ketika baru menjadi pembantu.

-Karen's POV-

"Ann! Ayo segera berdandan!" perintahku pada putriku mendobrak masuk ke kamarnya.

"Aduh… Mom… Kan cuma tamu biasa. Ibu bisa layani sendiri kan?" kata Ann malas-malasan berbaring di tempat tidurnya.

"Justru itu! Yang datang adalah keluarga Baron Dowsen! Skye Dowsen! Mereka ingin meminta bantuan dari kamu untuk pesta dansa besok malam!" kataku sambil mengambil bedak dan beberapa perhiasan dari kotak perhiasan.

"Apa? Bangsawan yang merupakan keluarga dari sang raja? Aduh… Ibu! Kenapa tidak bilang dari tadi?" kata Ann heboh sambil bangkit dari tempat tidurnya, kemudian merebut bedak yang kupegang.

Ann yang sibuk berdandan kemudian kupakaikan perhiasan padanya.

"Ibu… Ada tamu dari keluarga Dowsen…" kata Claire pelan.

"Kyaaa! Sudah datang!" kata Ann sambil berlari keluar dan menginjak kaki Claire tanpa sengaja.

"Aduh!" rintih Claire.

"Kamu jangan sampai banyak bicara di depan tamu nanti! Siapkan teh sekarang! Dan bawakan ke ruang tamu!" perintahku sambil melangkah keluar dari kamar putriku.

"Iya Ibu…"sahut Claire dengan pelan.

"And…" aku menghentikan langkahku dan menoleh pada anak tiri alias pembantuku.

"Jangan panggil aku Ibu..." kataku sambil memandangnya dengan rendah. Aku memang tidak pernah menganggapnya sebagai anakku.

"Yes… Ma'am…" sahut Claire sambil menundukkan wajah.

-Skye's POV-

"A nice house indeed…" kataku sambil tersenyum pada gadis pirang bermata biru dengan pakaian pembantu yang lusuh.

"Harap menunggu sebentar, saya akan menyampaikan kedatangan anda pada tuan rumah" kata gadis itu sambil menunduk.

Aku duduk di kursi (atau sofa?) yang terdapat ruang tamu. Padahal menurut gossip, mereka sudah turun dari masa kejayaannya semenjak Rick Harvenheit meninggal.

'Mereka memang hebat untuk menyembunyikan kemiskinan mereka dengan hidup mewah selayaknya bangsawan kaya." pikirku sambil memandangi isi ruangan itu. Aku tersenyum seakan-akan merendahkan mereka.

Kemudian, seorang wanita yang berponi kuning memasuki ruang tamu diikuti dengan seorang gadis berambut orange. Aku segera bangkit dari tempat dudukku.

"Selamat datang di kediaman Harvenheit! Sungguh kehormatan bisa mendapat kunjungan dari anda!" kata wanita separuh baya tersebut.

"My name is Karen. Karen Harvenheit. This is my daughter, Ann ." katanya sambil tersenyum ramah.

"Nice to meet you. Mr. Dowsen." katanya sambil tersenyum. Menghaturkan hormat padaku.

Aku meraih tangan Karen dan mencium punggung tangannya dan berkata, "It is my pleasure to meet you, my beautiful ladies. My name is Skye Dowsen"

"Please have a seat." kata Karen ramah.

"Kalau begitu, langsung saja ke inti pembicaraan." Kataku sambil menyilangkan kaki.

"Saya ingin meminta bantuan anda secara rahasia dan juga… pribadi…" lanjutku dengan senyuman yang serius.

"Saya tahu… Anda ingin mengajak putri saya sebagai pasangan anda kan?" sahut wanita separuh baya itu dengan penuh harap.

"Tidak… Bukan itu…" jawabku dengan santai. Langsung terlihat wajah kekecewaan dari gadis berambut orange itu.

"Anda tahu untuk apa pesta dansa itu dilaksanakan?" aku bertanya seakan untuk menguji mereka.

"Tentu untuk merayakan ulang tahun pangeran satu-satunya di istana yang ke-21. Dan yang paling utama adalah mencarikan jodoh untuk sang pangeran." jawabnya dengan penuh kepastian. Maklum, dia pasti mengharapkan putrinya dan juga dirinya sendiri untuk 'naik status' menjadi keluarga kerajaan.

"Ya… Karena itu, aku ingin agar kalian… membunuh pangeran…" nada suaraku menjadi lebih tegas saat mengucapkan kata 'membunuh'. Mereka tertegun, karena diminta 'bantuan' seperti ini.

"A-ahahahahahaha…" tertawa Karen perih. "Anda humoris sekali… Anda pasti bercan-" dia menyembunyikan wajah terkejutnya dengan kipas lipat yang ditangannya.

"Saya tidak bercanda." aku memotong kalimatnya dengan nada yang tegas dan serius tetapi masih dengan senyum seorang bangsawan. "Anda pasti tahu hubungan saya dengan pangeran. Saya merupakan putra dari adik perempuan sang raja, dengan kata lain sepupu dari pangeran."

"Jika pangeran mati, maka saya yang akan menjadi pewaris tahta." lanjutku dengan santai. "Tentu saya tak akan melupakan jasa-jasa Anda pada saya dan menjamin keselamatan Anda." Kataku sambil menyerahkan sebuah cek.

Karen mengambil cek itu, kemudian melihat angka yang tertera. Anak gadisnya pun mencuri lihat cek itu. Mereka langsung tertegun. "Bagaimana? Ini hanyalah uang muka. Sisanya akan dibayar setelah putri anda menyelesaikan misi ini." saat itu kulihat gadis pembantu itu masuk ke ruang tamu, membawa teh dengan wajah yang pucat.

-Claire's POV-

Aku membawa the ke ruang tamu dengan tea set yang paling mewah di kediaman ini. Saat aku akan memasuki ruang tamu terdengar suara seorang lelaki yang berkata, "Karena itu, aku ingin agar kalian… membunuh pangeran…"

Aku terkejut. Tanganku langsung terhenti saat aku memegang handle pintu. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun. Keringat dingin menetes dari dahiku. Untungnya aku tidak menjatuhkan teh yang kubawa. 'Tidak, tenangkan dirimu, Claire!' suara hatiku yang berusaha menenangkan diriku yang panik.

Kuambil sapu tangan dari sakuku, dan menghapus keringat dingin di dahiku. Aku mencoba untuk menarik nafas. 'Tenang… Tenang…' bisikku terhadap diriku sendiri.

Tangan kiriku memegang handle kemudian membuka pintu ruang tamu. Kulihat seorang tamu berambut perak, matanya bagaikan emerald, berwajah tampan yang tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan tersenyum sedikit.

Aku meletakkan cangkir teh pada Ibu, Ann dan tamu itu dan menuangkan teh dengan tangan yang sedikit gemetaran. "Si-silahkan tehnya…" kataku sedikit terputus-putus.

"Saya permisi dulu." kataku sambil menunduk. Kemudian menuju keluar.

"Wait!" seru pria bermata hijau itu.

Aku menghentikan langkahku. Jantung berdetak sangat keras. Tuan Dowsen mendekatiku.

"Namamu siapa?" tanyanya dengan lembut, matanya bertemu dengan mataku.

"Cl-Claire…"

"E-excuse me!" aku langsung berlari keluar dari ruang tamu.

Aku langsung berlari menuju ke kamarku. Pintu tersebut kutahan dengan tubuhku. Badanku langsung terasa lemas, dan aku terduduk lemas.

-Ann's POV-

'I-Ibu! Bagaimana ini?' aku menyikut tangan Ibuku. Pria ini gila! Masa menyuruh aku untuk membunuh pangeran? Kalau dia bisa menjamin keselamatanku, kenapa tidak dia lakukan saja sendiri?

'Mana aku tahu!' kata Ibu sambil berbisik, tapi dengan suara yang lebih keras.

"Kudengar, anda mempunyai masalah keuangan ya? Nyonya Harvenheit?" katanya dengan sangat tenang, menguasai keadaan dengan kepala dingin.

"Jika anda bersedia untuk membantu saya, maka Anda tidak perlu lagi untuk mengkhawatirkan soal itu. Sebab uang yang Anda dapatkan akan berpuluh-puluh kali lipat lebih banyak dari yang barusan Anda dapatkan." katanya dengan tersenyum.

"Selain itu, saya juga berharap agar kaki putri anda pas untuk memakai sepatu kaca ini." katanya sambil mengeluarkan sepasang sepatu kaca yang ukurannya sangat kecil.

'Santai sekali omongannya! Dia pikir bisa menyuruhku membunuh hanya dengan uang? Dan lagi jika yang kubunuh itu pangeran! Kalau sampai ketahuan, yang mati kan bukan dia!' teriakku dalam hati. Ibu pasti tidak akan membiarkanku untuk melakukan itu.

Ibuku melihat sepatu kaca itu. "Baiklah, putriku akan melaksanakannya." jawabnya.

"Mom? Apa yang Ibu katakan?" teriakku panik. Apa yang Ibu pikirkan sampai sanggup mengorbankan putrinya?

"Harap menunggu sebentar. Saya ingin membicarakan dengan putri saya. Please excuse us." kata Ibuku sambil menarikku keluar dari ruang tamu.

Ibu menutup pintu ruang tamu.

"Ayo!" kata Ibuku sambil berjalan menuju kamar Claire.

"Tenang saja, kamu tidak akan Ibu biarkan untuk diperalat olehnya untuk membunuh pangeran." kata Ibuku sambil tersenyum licik.

"Kakimu juga tidak akan muat memakai sepatu kaca itu."

"Jadi kenapa Ibu memenuhi permintaannya? Memangnya Ibu punya berapa putri ? kan Cuma aku seorang!" teriakku sambil mempercepat langkahku. Kemudian Ibu membuka pintu kamar Claire.

-Claire's POV-

Aku duduk di tempat tidurku. 'Tidak mungkin Ibu akan memenuhi permintaan dari Tuan Dowsen untuk membunuh pangeran. Kemudian terdengar suara seseorang berbicara di luar kamarku. Pintu kamarku terbuka, Ibu dan kakakku memasuki kamarku dengan wajah yang ketus.

Aku merasakan firasat buruk. Kemudian Ibu mengatakan sesuatu yang sebenarnya sangat kunanti-nantikan, tetapi aku takut untuk mendengarkannya sekarang. Jangan! Jangan katakan!

Akhirnya terucap dari mulut Ibu, "Claire! Aku akan mengijinkanmu untuk pergi ke pesta dansa besok!"

"Dan tugasmu adalah membunuh pangeran!"

"After showing me a dream where I dance all night,

the sound of the clock bell expels the magic.

A bewildering finger lures me down the stairs,

so I leap down 3 steps at a time…"

TO BE CONTINUED