Disclaimer: Bleach is still not mine, will never be mine…

2. Para Pemimpi

"Nii-chan! Bangun!"

Gadis kecil berusia tiga belas tahun itu berlutut di sebelah tempat tidur itu. Matanya dipenuhi airmata yang siap meleleh ke pipinya, pandangannya mengabur namun ia masih dapat melihat wajah pucat sosok yang terbaring di hadapannya itu dengan jelas. Matanya masih terpecam. Gadis berambut kemerahan itu mencoba mengguncang tubuh dinginnya namun ia masih tidak bergerak. Ia tidak akan pernah membuka matanya lagi. Ia mati… Tubuh gadis itu bergetar hebat saat ia menyadari hal itu. Tidak, ia tidak boleh mati… Tidak sekarang!

"Nii-chan… Aku mohon…" bisiknya di telinganya, berharap agar nafasnya menggelitik telinga kakaknya dan membangunkannya, tapi ia tahu: orang mati tidak bangun lagi. Tidak peduli bagaimana pun usahanya memanggil nama kakaknya, ia tidak akan hidup kembali.

Orihime merasakan sebuah tangan di pundaknya, tanpa perlu menoleh pun ia sudah tahu siapa itu. Orihime tidak mengalihkan pandangannya dari wajah kakaknya yang tampak pucat. Sebisa mungkin ia tidak mengalihkan pandangannya ke arah dadanya, dimana peluru itu bersarang dan mengambil nyawanya.

"Hime-chan…" pria yang berdiri di belakangnya memanggil namanya dengan lembut, " Aku turut berdika cita, Inoue telah…"

"Itu bukan salah anda, Ishida-san." Orihime menghapus airmatanya, namun ketika ia mengkapus air matanya, air mata baru kembali mengalir, "Itu semua… salah mereka. Merekalah yang membunuh kakakku…"

"Inoue-kun meninggal saat sedang melaksanakan tugasnya. Dia adalah polisi yang baik. Inoue-kun…"

"Dia sudaah meninggal, ya aku tahu itu." Orihime memotong kata-kata pria itu, suaranya terdengar letih, "Aku tahu, Ishida-san. Aku tidak bisa menyalahkanmu karena menugaskannya dalam beberapa kasus. Bagaimana pun dia adalah seorang polisi, aku hanya…" Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tapi tenggorokannya tercekat dan tidak ada satu patah kata pun yang bisa dikeluarkannya.

"Sebagai atasannya aku tahu Inoue-kun adalah polisi yang baik. Aku menyerahkan kasus ini padanya karena aku tahu ia sanggup mengerjakannya. Andai saja aku tahu mereka membawa senjata saat itu…" Ishida tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kali ini Orihime kembali memotong kata-katanya, kali ini ia berbalik dan berteriak padaya. Gadis berwajah cantik itu menatapnya dengan tatapan yang merupakan campuran marah dan sedih.

"Yakuza selalu membawa senjata! Anda tahu itu! Seharusnya anda tahu! Anda telah menjadi polisi selama bertahun-tahun!" Ia sadar bahwa sebelumnya ia sudah berkata bahwa ia tidak menyalahkan pria itu, tapi ia tidak bisa menghentikan emosinya. Kata-kata menyakitkan itu seolah berlompatan keluar dari mulutnya begitu saja tanpa bisa dikendalikan lagi.

Ishida mengerutkan dahinya, bukan karena Orihime berteriak padanya namun lebih karena ia merasa tidak tega melihat gadis yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu tampak begitu hancur, "Mereka tengah mengadakan pertemuan antar kelompok saat itu, seharusnya mereka tidak membawa senjata."

"Tapi kenyataannya mereka bawa kan?" Orihime menambahkan dengan ketus dan kembali menatap tubuh kaku kakaknya, "Mereka membawa senjata dan mereka menembak Nii-chan…"

"Hime-chan…"

"Maaf…" Orihime mendesis, ia menatap luka tembakan di dada kakaknya, "Aku tidak bermaksud untuk membentak Anda, Aku lepas kendali. Maafkan aku…"

"Tidak apa-apa, aku mengerti…"

Orihime menelan ludah, "Ishida-san… Anda tahu siapa yang menembak kakak?"

Pria berambut hitam itu mengerutkan dahinya, ia tahu apa yang diinginkan gadis itu, "Hime-chan, polisi akan menangani kasus ini. Kami akan menangkap pelakunya dan…"

"Polisi tidak bisa melakukan apa-apa!" gadis itu kembali meninggikan suaranya yang mulai serak, "Polisi mungkin akan menangkap pelakunya, lalu apa? Setelah tiga tahun pelakuknya akan bebas lagi! Hanya tiga tahun, sementara aku tidak bisa bertemu kakakku lagi selamanya!"

Ishida tahu, Orihime akan melakukan sesuatu yang berbahaya kalau ia memberikan informasi apapun kepadanya. Ia pun tahu, Sora tidak akan ingin kalau adiknya sampai terlibat dengan sesuatu yang berbahaya. Kapten polisi itu menghela nafas, ia tahu Orihime benar namun ia tidak bisa membiarkannya membahayakan dirinya sendiri. Ia menggelengkan kepalanya, "Maafkan aku, Hime-chan… Aku tidak bisa mengatakannya padamu…"


Gadis itu tersentak dari lamunannya oleh tangan kecil yang menarik ujung roknya. Buru-buru ia menghapus airmatanya untuk melihat seorang gadis kecil, yang baru saja menarik ujung roknya, tengah memandangnya dengan tatapan cemas. Ia membungkuk sehingga sejajar dengan gadis kecil itu dan menepuk kepalanya dengan lembut.

"Ya, Saori-chan?" Orihime tersenyum pada gadis kecil itu.

"Sensei… Kenapa menangis?" tanya gadis bernama Saori itu sambil menatap ke dalam bola mata berwarna kelabu keunguan milik gurunya itu. Orihime mengusap kepala gadis kecil itu dengan hati-hati agar tidak mengacak-acak rambutnya dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain sibuk mengusap air matanya, "Apa Sensei diserang alien-alien kecil itu lagi?"

Orihime tertawa, menjadi seorang guru seperti ini adalah hal yang paling menyenangkan untuknya. Kata-kata sederhana semacam ini dari seorang gadis kecil seperti Saori mampu dengan mudahnya membuatnya merasa jauh lebih baik.

Biasanya bekerja dengan dikelilingi anak-anak seperti ini dapat membuatnya mampu melupakan semua masalahnya, namun kali ini sepertinya ia terlalu terpengaruh mimpinya semalam sehingga tanpa sengaja ia menangis di tengah jam kerjanya. Ia menatap ke Saori dengan tatapan meminta maaf.

Ia mencoba untuk tersenyum "Oh, maafkan Sensei, Saori-chan… Tadi Sensei melamun." Lalu ia menambahkan dengan nada ceria, "Para alien kecil itu sama sekali tidak nakal hari ini…"

Melihat sang guru tampak lebih ceria, Saori pun tersenyum, "Syukurlah… tadinya kupikir Sensei sedang sedih…"

Orihime tertawa, "Sensei sudah tidak sedih… Dikelilingi anak-anak manis seperti kalian Sensei tidak akan merasa sedih berlama-lama."

"Sensei juga manis…" kata Saori, masih sambil tersenyum lebar, "Kata Mama, laki-laki yang jadi pacar Sensei pasti sangat beruntung."

Orihime terdiam sejenak, dalam sekejap wajahnya memerah dan ia menjadi panic, "Eh… Mamamu bilang seperti itu padamu, Saori-chan?"

"Tidak, aku dengar waktu Mama sedang ngobrol sama Mamanya Hina-chan…" Saori tampak penasaran, "Apa tadi Sensei sedang memikirkan pacar Sensei?"

Orihime tertawa gugup wajahnya mulai bersemu merah, "Ahaha, tidak… Saori chan…" Orihime tersenyum dan mencubit hidung Saori penuh kasih sayang, "Lagipula, ada hal-hal yang anak kecil tidak perlu tahu."

Ia mengedipkan sebelah matanya pada gadis kecil di hadapannya itu.

"Sensei baik-baik saja?" tanya gadis kecil itu lagi untuk memastikan bahwa sang guru baik-baik saja.

"Sekarang sudah tidak apa-apa kok, Saori-chan… Terima kasih…" Orihime menepuk kepala gadis itu dengan lembut, "Sana, kembali bermain dengan yang lain!"

"Ya!" Saori mengangguk dan segera berlari menuju teman-temannya yang tengah asyik bermain di area permainan.

Orihime mengawasi gadis kecil itu bergabung dengan beberapa gadis kecil lainnya dan mulai bermain bersama. Segera saja para gadis kecil itu sudah tampak asyik bermain lompat tali. Orihime menarik nafas dalam-dalam. Mungkin sudah waktunya aku mengunjungi makamnya… Guru TK berwajah cantik itu menengadahkan wajahnya menatap langit biru. Nii-chan…


"Apa maksudnya 'kau akan melakukannya'?"

Pemuda berambut oranye itu menghela nafas panjang. Ia menumpukan dagunya pada tangannya sambil memandang gadis berambut gelap yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk sengan tatapan bosan, "Aku akan melakukannya. Kau tidak salah dengar, Rukia…" Ia meraih sebuah jeruk yang ada di atas meja dan memainkannya.

"Ichigo! Jangan bertindak bodoh, kau tahu kan kondisi kelompok kita sedang tidak bagus. Kelompok cabang yang lainnya meragukanmu sebagai ketua yang baru, aku tidak yakin mereka mau mengirimkan bantuan kalau sesuatu terjadi. Dan lagi…"

"Kubilang 'aku akan melakukannya'." Potong Ichigo, "Titik."

Rukia menggeram, ia berpaling pada pemuda berambut merah yang berdiri tidak jauh darinya, "Renji, katakan padanya untuk tidak berbuat bodoh!"

Renji menarik nafas panjang. Ia menatap ke arah Ichigo namun sebelum ia dapat membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, ketua yakuza muda itu sudah menggelengkan kepalanya pertanda tidak ingin mendengar sepatah kata pun darinya. Sekali lagi ia menghela nafas sebelum mengangkat kedua bahunya kea rah Rukia, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dia sudah menetapkan pikirannya.

Rukia menghentakkan kakinya ke lantai untuk melampiaskan kekesalannya, "Baiklah! Tapi kau tidak akan ke sana sendirian!" katanya bersikeras, "Aku dan Renji akan menemanimu ke sana, paham? Kau adalah pemimpin baru kami sekarang, keselamatanmu adalah tanggung jawab kami!"

Ichigo menyeringai, "Lakukan sesukamu asal tidak menghalangiku saja…"

Rukia menggerutu. Ichigo selalu bertindak seperti ini. Tidak bisakah ia menjauh dari sesuatu yang berbahaya? Rukia paham kalau Ichigo kesal karena ada kelompok lain yang seenaknya masuk ke wilayah mereka, tapi ini bukanlah saat yang tepat untuk memulai pertikaian dengan kelompok manapun. Datang ke markas sebuah kelompok tanpa diundang untuk menemui pemimpinnya dan memprotes kelakuan anak buahnya sama saja seperti melempar kotoran ke muka sang ketua kelompok, dan itu bukan pertanda baik untuk kelompok mereka.

Membiarkan orang-orang itu berjualan obat terlarang di wilayahnya hanya akan membuat kelompoknya semakin diremehkan. Ichigo, sama seperti kakeknya, tidak menyukai bisnis obat-obatan terlarang. Mereka melarang anggotanya untuk berbisnis obat-obatan terlarang, dan sekarang ketika orang dari kelompok lain seenaknya berjualan obat terlarang di wilayah mereka, Rukia mengerti mengapa Ichigo sangat marah.

Rukia mengerti mengapa Ichigo marah, namun bagaimana pun ia masih mencemaskannya. Posisi Ichigo saat ini sangat tidak menguntungkan. Ia tidak begitu popular di kalangan para pemimpin dari kelompok yang tergabung di aliansi mereka. Kalau ia bertindak sembarangan, Rukia khawatir itu akan dijadikan alasan untuk membubarkan aliansi yang sudah terjalin dengan kelompok mereka. Dalam dunia yakuza, aliansi sangat penting.

Ia menghela nafas. Rukia sudah mengenal Ichigo sejak lama dan ia tahu persis sekeras apa pendiriannya. Ia tidak akan berhenti sampai dapat mencapai tujuannya.

"Oi, Rukia, berhenti melamun, kita pergi sekarang."

"Eh? Kemana?" Rukia tampak terkejut saat melihat Ichigo yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya entah sejak kapan.

Ichigo mengerutkan dahinya, "Kita pergi ke sarang mereka."

Gadis bertubuh kecil itu menggeram, ia tidak suka dengan rencana itu, "Ichigo…" ia melihat ke arah pemimpin kelompoknya itu dengan sedikit pengharapan di matanya, tidak setiap hari ia menatap Ichigo dengan tatapan seperti ini,"Bagaimana kalau kita bertiga pergi minum-minum saja ke suatu tempat?"

Ichigo tersenyum, "Kedengarannya boleh juga."

"Ya kan? Ayo kita pergi minum-minum saja!"

"Segera setelah kita mengunjungi mereka. Ayo Renji, aku butuh bantuanmu kalau-kalau mereka tidak menginginkan pembicaraan secara baik-baik."

Rukia mengepalkan tangannya kuat-kuat, ia mencoba menahan diri untuk tidak memukul wajah pemuda berambut oranye itu. Dia mungkin merupakan pemimpin mereka, tapi bagaimana pun juga ia masih merupakan temannya juga. Teman yang merepotkan.

"Ayo, Rukia, sedang apa kau, melamun?" Ichigo berdecak tidak sabaran, "Kita tidak punya waktu seharian untuk memberi pelajaran pada pecundang-pecundang itu!"