Chapter 6

"Draco, sayang."

Si pirang itu hanya menggumam pelan lalu merapatkan badannya pada Harry.

"Hei manis, ayo bangun." Harry tersenyum geli saat Draco menggeleng didadanya. "Sunrise sebentar lagi akan muncul, lho. Apa kau tak mau melihatnya dari sini?"

Draco menghela nafas lalu membuka matanya pelan.

"Mau."

Harry tersenyum lalu mencium kekasihnya lembut. "Akhirnya kau bangun. Selamat pagi, sayang."

"Hm- selamat pagi, Harry." Draco balas tersenyum dan kembali merapatkan tubuhnya didada Harry, mencoba mencari kehangatan. "Kenapa disini mulai terasa dingin sekali-" Auror pirang itu menggumam sambil menarik selimut diantara mereka untuk menutupi punggungnya yang telanjang.

"Umh, kurasa manteranya sudah hilang." Harry membisik mantera pembuat hangat dan melingkarkan lengannya ditubuh Draco."Sudah terasa nyaman?"

Si pirang itu mengangguk pelan lalu bergumam lega saat Harry memijat punggungnya dengan lembut. "Harry, semalam benar-benar luar biasa hingga aku tak bisa menggerakkan pinggangku untuk beberapa saat." Ia menghela nafas lelah.

"Oh- umh-maafkan aku," Harry mencium rambut Draco dengan perasaan bersalah. "aku sedikit terlalu bersemangat semalam."

Draco mendengus. "5 ronde, sedikit? Kau membuatku gemetar, Harry."

Super Auror itu tertawa getir. "Well- oke. Aku ralat. Semalam aku benar-benar sangat bersemangat."

Draco tertawa pelan lalu mengangkat kepalanya. "Hm-ingatkan aku untuk menyembunyikan ramuan itu darimu saat kita kembali ke Dunia Sihir." Harry membuka mulutnya ingin protes tetapi terhenti saat Draco menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk. "Ssh-, kita boleh memakainya hanya diakhir minggu, setuju? Aku tak mau, aku atau dirimu berjalan dikementerian Sihir dijam kerja dengan pinggang cedera."

Harry mengangguk setuju lalu kembali memijat tubuh kekasihnya lembut, tetapi pijatan Harry berhenti seketika saat mendengar Draco bersuara.

"Ah- disana, Harry. Itu bagian yang sakit. Yah- teruskan."

Harry menelan ludah pelan mengingat aktiitas mereka semalam ketika mendengar desahan Draco. Ia memejamkan mata dan sekuat tenaga menahan diri.

Oh, fuck- aku merasa seperti remaja lagi.

Harry mencoba berkonsentrasi penuh pada tugas memijatnya. "Umh- begini enak?"

Draco mengangguk saat Harry memperkuat pijatannya disekitar pinggangnya dan kembali merapatkan kepalanya didada Harry. "Kau benar-benar berbakat menjadi tukang pijat, Harry."

Super Auror itu tertawa.

"Benarkah? Mungkin ini kemampuan yang diturunkan Voldemort padaku."

Draco membelalakkan matanya. "Jangan menyebut nama itu, Harry. Kau membuat suasana romantis kita hancur."

Harry tertawa dan mencium kekasihnya lembut.

"Oke. Maaf. Takkan kuulangi, lagi. Janji."

Draco mengangkat satu alisnya dan tersenyum manis, seketika membuat jantung Harry seakan ingin meloncat.

"Aku takkan bosan melihatmu, Draco."

"Aku tahu."

Harry memutar matanya terhibur lalu menukar posisi hingga berada diatas Draco dan menggelitik kekasihnya tanpa ampun.

"Hentikan, Harry! Rambutmu! Oh!" Draco tertawa geli saat Harry menggelitik lehernya dengan rambut hitam miliknya.

"Hm- cium aku, baru kuhentikan siksaan ini." Harry meneruskan gelitikannya tanpa ampun.

Draco tertawa renyah lalu meraih kedua sisi wajah Harry. Mereka saling memandang satu sama lain dengan penuh cinta, kemudian Draco mendekat dan mencium Super Auror itu dengan lembut.

"Harry-"

"Hm-"

"Sunrise-"

Draco menghentikan ciuman mereka, otomatis membuat Harry membuka matanya pelan. "Hm."

"Jangan hanya ber'hm'ria. Buka pintu pondoknya, Harry."

Harry tersenyum nyengir lalu membisik mantera dan pintu pondok mereka terbuka lebar. Angin laut masuk dan menyibak rambut Harry lembut, membuat rambut Super Auror itu semakin awut-awutan. Draco terkikik pelan saat berpikir Harry terlihat semakin seksi.

"Apa yang lucu?"

"Tidak ada." Draco memalingkan mata dan terbelalak senang. "Lihat, Harry! Mataharinya mulai muncul!"

Harry tersenyum geli lalu bangun dan memakai celana jeansnya yang terlempar didekat pintu kemudian ia mengamati Draco yang sedang mencari celana hitamnya.

"Dimana celanaku? Kau tidak menyembunyikannya, kan Harry?" Draco bergumam kesal sambil mengintip dibawah kasur. Pemandangan barusan membuat Harry menahan nafas, tentu saja karena Draco tak memakai selembar kain pun untuk menutupi tubuhnya.

God- aku harus ikut training mengontrol nafsu, kalau ada.

Harry buru-buru men-accio celana hitam Draco untuk mencegah hal-hal yang sebenarnya diinginkannya.

"Ah! Itu dia. Thanks."

Harry tersenyum nyengir saat si pirang itu menciumnya kilat.

"Aku lupa kalau kau wandless. Oh! Sunrisenya!." Draco buru-buru memakai celananya lalu menarik tangan Harry dan berlari keluar pondok. Harry hanya bisa tertawa terhibur melihat semangat pagi kekasihnya.

"Tenang, Draco. Kau bahkan belum memasang resletingmu dengan benar."

Si pirang itu terlalu terpesona hingga mengacuhkan Harry. "Wow, lihat Harry! Indah sekali!"

Harry mengangguk setuju, ia memeluk Draco erat. "Aku bahagia melihatmu bahagia." Draco menoleh dan menatap kekasihnya lembut. "Aku juga, Harry.Thanks for this beautiful surprise." Mereka saling memandang lembut lalu kembali menikmati saat-saat indah matahari terbit di pulau dewata dalam keheningan pagi dan deburan ombak.

"Tinggal 5 hari lagi." Auror pirang itu menghela nafas dalam dekapan Harry.

"5 hari." Harry berbisik. "5 hari cukup untuk mengukir kenangan indah, kan?"

Draco tersenyum dan menggenggam tangan Harry erat. "Aku mencintaimu, Harry."

"Aku juga mencintaimu, Draco."

…..

2 hari sebelum kepulangan.

"Kau terlalu banyak membeli oleh-oleh, Draco." Harry berdiri berkacak pinggang di samping meja makan sambil menggelengkan kepala saat melihat Draco sedang membereskan barangnya.

"Berkaca pada diri sendiri, Potter. Oleh-oleh siapa yang lebih banyak jumlahnya? Melihatmu aku jadi ingat ibuku yang gila belanja." Draco mengangkat alisnya terhibur saat melirik tas jinjing Harry yang berserakan diruang tengah, penuh dengan berbagai macam barang hingga tak bisa ditutup.

"Hei! Aku beli banyak karena banyak orang yang akan aku beri oleh-oleh!" Harry berteriak panik.

"Oke,oke. Tak usah berteriak begitu aku tahu, Potter. Kau menarik jika tersipu membela diri seperti itu." Draco tersenyum nyengir saat Harry semakin memerah. Si pirang itu bangkit dari kegiatan beres-beresnya dan memeluk Harry.

"Kau beri untuk siapa saja buah tangan itu, Harry?"

Harry mengernyitkan dahi mencoba mengingat. "Umh, untuk Hermione dan Ron, keluarga Weasley. Lalu, teman-teman di Auror. Oh! Untuk si kecil Rose, Hugo dan Teddy." Harry kemudian tersenyum. "Untuk Minister Kingsley, juga."

Mereka berdua saling melempar senyum iseng.

"Well, aku juga beli sesuatu untuk Minister tercinta kita." Draco meng-accio sesuatu dari tasnya dan menunjukkannya pada Harry. Harry membelalakkan matanya dan tertawa geli.

"Kau- kau benar-benar kurang kerjaan, Draco."

Si pirang itu tersenyum nyengir dan memasangkannya pada kepala Harry. "Yeah, aku hanya berpikir topi aneh ini cocok dengan Minister. Kau tahu kan bagaimana nyentriknya Kingsley dengan pakaiannya saat ini. Aku akan memberikan ini sebagai pelengkap pakaiannya."

Harry memutar matanya terhibur dan mencubit pipi Draco gemas. "Hm, kesampingkan pendapatku, kurasa Kingsley bakal suka. Kau pintar memilihnya, Draco."

Si pirang itu tersenyum nyengir lalu mengangkat tubuh Harry keatas meja makan dan menggelitik lehernya dengan bulu jenggot miliknya. Super Auror itu tertawa geli dan mendorong Draco menjauh.

"Stop, Draco! Geli, idiot!" Harry tak bisa berhenti tertawa saat Draco meniup telinga Harry. Si pirang itu tersenyum nyengir saat menyadari Harry merinding ketika ia menjilat iseng telinganya.

"Berhenti menjilat telingaku, idiot! " Harry mendorong wajah Draco menjauh dari telinganya.

Auror pirang itu menaikkan alisnya saat melihat Harry terengah-engah.

"Well- ternyata daerah sensitifmu ada dileher dan telinga." Draco tersenyum nyengir saat wajah Harry memerah. Si pirang itu menjilat bibir, mencoba merayu Super Auror dihadapannya.

Harry merinding melihat kelakuan Draco barusan tetapi ia segera menggelengkan kepala menyadarkan diri. "Hentikan, Draco. Kita belum selesai beres-beres dan berpamitan pada murid training kita." Harry mengangkat kedua alisnya meminta persetujuan.

Draco memajukan bibirnya dan menggeleng pelan. "Ayolah, Harry. Sekali saja dan mari kita beres-beres. Yah? Sekali saja aku janji!"

"Tidak, tidak dan tidak."

"Harry… ayolah, Harry…"

"Berhenti bernyanyi seperti, Draco."

"Ayolah…"

Super Auror itu menggeleng heran dan menepuk pipi Draco lembut. "Oke, oke aku menyerah. Sekali dan kau harus menjauh dan berhenti menyentuhku hingga beres-beres kita selesai. Setuju?"

Draco mengangguk mantap lalu membuka pakaiannya dengan semangat. Harry memandang Draco sambil menahan tawa.

Merlin, kenapa melihat Draco aku jadi ingat Teddy yang merengek-rengek. Tunggu, Teddy?

Harry menggeleng-geleng kepalanya horor, membuat Draco mengernyitkan dahi.

"Ada apa, Harry? Kau tak berniat kabur, kan?"

Super Auror itu tersenyum lalu menggeleng. "Sekarang giliranmu, Draco."

Auror pirang itu menghentikan proses membuka celananya lalu mengernyitkan dahinya tak mengerti.

"Giliranku?"

Harry memutar mata menahan tawa. "Aku yang bottom, Draco sayang."

Draco membelalakkan mata dan tersenyum lebar. Ia menerjang Harry yang sedang duduk dimeja dengan antusias. Harry memutar mata terhibur melihat Draco bersemangat sekali membuka pakaiannya.

"Draco, pelan-pelan idiot. Kau bakal merusak kemeja-" Belum sempat Harry menyelesaikan perkataannya, Draco membuka paksa kemeja Harry dan membuat kancing-kancingnya terlepas dan jatuh disekitar meja makan.

"-baruku."

Draco tersenyum bodoh dan memandang Harry penuh rasa menyesal. "Sorry, love. Mau kubelikan yang baru?" Harry memutar mata dan menarik Draco untuk menciumnya gemas.

Setelah beberapa menit berciuman, Draco membisik mantera untuk membuat Harry rileks. Si pirang itu tersenyum lembut dan menatap kekasihnya penuh rasa cinta.

"Harry, aku sayang padamu. Selamanya."

Super Auror itu mengedipkan mata kaget mendengar Draco tiba-tiba berkata manis, ia menarik nafas dalam dan membalas senyum kekasihnya.

"Aku juga, Draco. Love you."

Tepat sesaat setelah Draco dan Harry selesai memakai baju mereka, para Auror muda mengetuk pintu bungalow dan berteriak girang didepan pintu mereka.

"Auror Potter dan Auror Malfoy! Kami datang!"

"Oh, merlin. Untung kita sudah selesai." Draco tersenyum nyengir pada Harry yang sedang memegangi pinggulnya dan menatap Draco penuh amarah.

"Sialan kau, Draco. Aku takkan percaya lagi kalau bilang sekali saja. Kau membuat punggungku kram!"

Draco mengelus pinggang Harry lembut dan mencium pipinya nervous. "Maaf, maaf Harry. Aku benar-benar tak bisa menahan diri. Uh, aku benar-benar minta maaf. Jangan marah, sayang." Draco memasang wajah menyesal dan memeluk Harry erat.

Harry menghela nafas lelah dan menggeleng kepala tak habis pikir. "Aku tak tahu bagaimana bisa kau bersikap seperti Teddy." Draco mengernyitkan dahi. "Lupakan, Malfoy. Cepat buka pintunya sebelum mereka mendobrak masuk."

Auror pirang itu mengangguk dan dengan cekatan berlari menuju pintu dan membukanya. Beberapa wajah ceria muncul dibalik pintu dan tersenyum melihat Draco.

"Uhm, well- selamat datang para penggemarku."

Mereka tertawa dan memeluk Draco bergantian.

"Halo, Auror Potter! Uh, kenapa cara jalanmu aneh?" Tangguh mengernyitkan dahi dan menatap Harry penasaran melihat idolanya berjalan terpincang.

Super Auror itu menelan ludah dan tertawa gugup. "Oh, ini. Draco yang membuatku begini."

Semua Auror muda serentak menoleh pada Draco penasaran.

"Oh, eh. Aku tak sengaja melempar Stinging Hex pada Harry. Biasalah… kami sering berduel tak penting. Ya, kan Harry?"

Harry mengangguk dan tertawa setuju.

Para Auror dihadapan mereka mengganguk mengerti. Harry dan Draco menghela nafas lega hampir berbarengan, membuat Surya mengernyitkan dahi.

"Harry dan Malfoy! Kami membawakan kalian oleh-oleh. Semoga kalian suka." Putu menyerahkan beberapa tas jinjing yang sangat super berat pada kedua Auror senior itu.

"Umh, well tak usah repot-repot kalian ini." Harry tersenyum dan mengangguk pada mereka lalu mengutuk punggungnya yang seketika linu saat menerima tas jinjing berat itu.

"Tak apa-apa, Auror Potter. Ini sebagai rasa terimakasih kami atas kebaikan kalian mengajar kami sebulan ini." Tangguh mengayunkan tangannya dan menepuk pundak Harry tanpa rasa bersalah.

"Terimakasih semuanya, sini Harry, kubantu membawakannya." Draco dengan cekatan segera mengambil alih tas bawaan Harry sebelum Super Auror itu meledak kesal.

Harry menatap Draco sebal yang hanya dibalas si pirang itu dengan cengiran.

"Wow, bungalow kalian keren sekali." Tangguh mengelilingi ruang tengah dan mengamati interiornya dengan kagum, tetapi ia kemudian berteriak kaget saat sesuatu menusuk kakinya.

"Aw! Apa ini-" Tangguh mengambil sesuatu dari telapak kakinya dan mengernyitkan dahi. "Auror Potter, apa ini kancingmu? Kenapa disekitar sini banyak sekali kancing…"

Harry merasa terkena serangan jantung. Ia menatap kancing ditangan Tangguh dengan horor.

Shit! Alasan apa lagi yang bisa kujelaskan? Draco sialan!

"Oh, itu- well-"

Surya tiba-tiba mendatangi Tangguh dan mengambil kancing itu dari tangannya.

"Hentikan bersikap seperti itu, Tangguh! Jangan seenaknya berkeliling tanpa ijin pada yang punya rumah." Surya menaruh kancing itu dimeja makan dan menarik tangan Tangguh menjauh dari ruang tengah.

"Oh, umh maafkan aku Auror Potter. Aku hanya penasaran-" Tangguh menunduk malu saat Harry tetap menatapnya horor.

Surya tersenyum nyengir dan mendatangi Draco, lalu berbisik ditelinganya. "Kurasa lebih baik kalau kau membawa kami keteras saja, Auror Malfoy. Sebelum Tangguh berteriak malu menyadari apa yang baru kalian lakukan."

Draco menatap Surya takjub dan balas nyengir padanya.

"Well, thanks atas perhatiannya, Surya."

Tangguh menatap mereka berdua dengan penasaran.

Bandara Ngurah Rai

"Sampai berjumpa lain waktu, oke?"

Harry dan Draco menyalami satu-satu para Auror muda yang mengantarkan kepergian mereka dibandara. Suasana haru biru terasa saat Tangguh menitikkan air mata ketika bersalaman dengan Harry.

"Auror Potter- terimakasih untuk segalanya-"

Harry ikut terbawa suasana dan memeluk Tangguh erat. Ia menepuk pundak Auror paling muda itu dan membisikkan kata-kata penuh semangat.

"Ssh, jangan menangis idiot. Perpisahan bukan akhir segalanya. Kau adalah Auror paling muda yang berbakat. Jangan menyerah dan berusahalah menjadi yang terbaik bagi negaramu. Aku akan selalu mendukung kalian, oke? Semangat, Tangguh!" Harry melepas pelukannya dan menatap Tangguh penuh kebanggaan. Auror muda itu mengangguk mantap dan mengacungkan jempolnya pada Harry.

Draco mengernyitkan dahi melihat adegan yang terlalu hiperbola baginya.

"Maklum. Tangguh paling muda diantara kami, sifatnya masih kekanakan dan melankolis. Melihat Auror Potter menyemangati dia, aku ingat murid TK dan gurunya." Surya mengangkat alis terhibur melihat si Tangguh mengusap airmatanya dengan kaos yang dipakainya.

Draco menatap Surya dan mengangguk. "Hm, kurasa tipe seperti itu yang kau sukai, bukan?"

Surya melirik Draco dengan ekspresi kaget yang minimum lalu tersenyum nyengir. "Ternyata anda mengamatiku."

"Oh, jangan ge-er. Aku tahu sekali lihat. Kau selalu mengamati si melankolis itu dimanapun ia berada." Draco balas nyengir dan mengulurkan tangannya. "Sampai ketemu lain waktu, Surya. Semoga kalian sukses. Kalau membutuhkan bantuan, jangan sungkan menghubungi kami."

Surya mengangguk dan meraih tangan Auror Pirang itu.

"Semoga hubungan kalian tetap langgeng."

Draco tertawa dan mengangguk mantap.

Epilog.

1 bulan kemudian.

Di dunia sihir.

"Harry, apa kau serius?"

Super Auror itu mengunyah makanannya dan mengangguk mantap. "Tag fernah seserius ini."

"Harry! Habiskan makananmu dulu baru bicara!"

Ron dan Harry lalu memelankan suaranya saat Hermione berteriak dari arah dapur. "Apa kau sudah memikirkannya matang-matang, mate?"

Harry mengangguk dan menelan makanannya sebelum bicara berbisik. "Tenang, Ron. Draco dan aku sudah merencanakan ini sejak di Bali. Kami tak ingin menyembunyikan hubungan cinta ini lebih lama lagi. Aku tak peduli apa reaksi para penyihir didunia sihir, atau Rita Sketer yang membuat artikel hiperbola atau berapa banyak Howler yang kami terima dan lain-lain. Oh, masalah Howler, Draco dengan senang hati menghancurkannya."

Ron mengangkat bibirnya dan menggeleng heran. "Oh, mate. Aku masih tak percaya kau menjalin hubungan dengan si Malfoy itu."

"Ayolah, Ron. Terimalah kenyataan ini. Kami saling mencintai dan aku bahagia bersama dengannya. Hei, aku baru sadar kau memakai baju batik Bali!" Harry mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk baju yang dipakai Ron.

Ron membuat bunyi 'oh' lalu mengangguk senang. "Tentu saja aku memakainya, Harry. Baju ini benar-benar nyaman dan lembut."

Harry mengangguk dan tersenyum senang. "Itu Draco yang memilihkannya untukmu, asal kau tahu."

"Umh, well aku belum berterimakasih padanya atas oleh-olehnya untukku dan Mione." Ron mengangkat pundaknya tak enak hati.

Harry tersenyum senang dan menepuk pundak sahabatnya. "Tenang saja,mate. Ia tak mempermasalahkan hal seperti itu."

Hermione akhirnya muncul dari dapur membawa nampan berisi puding kesukaan Harry. "Oh, Mione! Kau memang dewi penyelamat perutku!" Harry dan Ron bersiap-siap mengambil selusin puding dihadapannya tetapi dihalau oleh Mione dengan sukses.

"Hush! Puding ini untuk anak-anak, Harry! Bagian kalian menyusul!" Hermione menepis tangan Harry yang usil, membuat Super Auror itu memajukan bibirnya.

"Wah, bau puding! Lose! Lose! Ayo ke meja makan! Mom membuat puding untuk kita!" Hugo berteriak dengan lidah cadelnya lalu menarik tangan kakaknya dan berlari menuju meja dengan semangat. Hermione membantu Hugo menaiki kursi dan membuatnya duduk nyaman.

"Hei, paman Hally! Kenapa kau menatapku sepelti itu?" Hugo memakan pudingnya dengan lahap sambil melirik pamannya yang sedang kelaparan.

Hermione tertawa geli melihat Harry menelan ludah. Ia menggelengkan kepalanya dan balik menuju dapur.

"Oh, tak ada apa-apa Hugo. Paman hanya merasa bahagia melihat kau makan dengan lahap."

Rose mengangguk setuju atas jawaban pamannya. "Kau benar, paman Harry! Hugo suka sekali makan! Lihat pipinya, ia bahkan sering jatuh karena keberatan pipi."

Harry dan Ron tertawa keras mendengar celotehan si kecil Rose. Hugo hanya ikut mengangguk tak mengerti.

"Hei, mate. Apa Malfoy tak bingung mencarimu jika kau ada disini menunggu puding dari Mione?"

Harry menggeleng dan menghela nafas. "Dia sedang pergi ke Malfoy Manor mengunjungi kedua orangtuanya. Aku tak boleh ikut. Umh, dia sedang mencoba membicarakan hubungan kami."

Ron mengangguk mengerti dan menepuk pundak Harry penuh perhatian.

"Kuharap kedua Malfoy senior itu menyetujui hubungan kalian."

Harry mengangguk pelan dan menghela nafas lagi. "Aku merindukannya, Ron"

"Please, Harry. Kau baru berpisah dengannya tak kurang dari 2 jam yang lalu."

Harry menaruh wajahnya dimeja makan dan menghela nafas lagi, membuat Ron menggeleng kepala heran. Rose kemudian berkata pelan pada ayahnya saat ia mendengar suara berisik diruang tengah.

"Ayah, ada seseorang datang dari perapian."

Ron bangun dari kursi dan menuju ruang tengah. "Kurasa itu nenekmu, Rose. Aku akan menemuinya."

Rose bangkit dari mejanya dan ikut mengejar Ron. "Aku ikut! Aku ingin bertemu nenek!"

Harry memandang adegan barusan dengan tersenyum. Ia kemudian melirik Hugo yang tak tertarik untuk bergerak selain memakan puding cokelatnya.

Mengingatkanku pada Ron kecil.

Harry tersenyum geli saat Hugo menyodorkan sendok berisi puding untuknya.

"Mau, paman Hally?"

Draco mengedipkan matanya kaget saat seorang gadis kecil menerjang kakinya dan memanggilnya nenek.

"Nenek? Siapa nenek?"

"Malfoy?"

Draco mengangkat kepala dan mengedipkan mata lagi.

"Oh, hai Weasley. Apa ini putrimu?"

Rose kemudian sadar bahwa yang ia peluk bukan kaki neneknya, ia segera mundur dan menatap Draco kaget.

"Oh, aku kira nenek Molly. Maaf, paman berambut pirang." Rose tersenyum malu dan melepas pegangannya di kaki Draco, kemudian ia dengan ramah menyodorkan tangan kecilnya pada Auror Pirang itu. "Aku Rose Weasley, salam kenal, paman pirang."

Draco tersenyum dan meraih tangan gadis kecil itu. "Aku Draco Malfoy, salam kenal Weasley kecil."

Ron melotot horor melihat adegan barusan. Ia segera menarik tangan Rose untuk menjauh dari Draco.

"Maaf, Malfoy. Ia memang sedikit ramah pada orang tak dikenal." Rose meronta saat Ron hendak menggendongnya.

"Aku ingin digendong paman Draco!"

Ron mengedipkan matanya horor saat Draco tertawa geli.

"Oh, tak apa Weasley. Aku takkan menggigit putrimu. Sini anak manis… kau mau kugendong?" Rose mengangguk senang dan meloncat dipelukan Draco. Auror Pirang itu tertawa saat melihat Ron membelalakkan matanya.

"Tenang, Weasley. Aku takkan merebut putri kecil ini darimu." Ia mengedip pada Rose dan dibalas gadis kecil itu dengan kikikan.

Ron menghela nafas dan memutar mata. "Aku yakin kau pasti mencari Harry. Dia sedang di meja makan bersama Hugo."

Draco mengangguk lalu berjalan disamping Ron sambil menggendong Rose yang meloncat-loncat dipelukannya.

"Paman apanya paman Harry?"

"Paman kekasih paman Harry-mu."

Rose membuat suara 'oh' yang panjang lalu ia mengangguk mengerti. "Kapan paman menikahi paman Harry?." Ron tersedak horor mendengar pertanyaan putri kecilnya. Draco menahan tawanya, lalu menjawab santai. "Well, tergantung paman Harry-mu, Rose." Si kecil Rose mengangkat alisnya tak mengerti. Sebelum putrinya bertanya yang macam-macam pada Draco, Ron memanggil Harry yang sedang disuapi Hugo.

"Harry! Lihat siapa yang datang."

Draco tersenyum geli saat Harry tersedak puding ketika melihatnya. Rose turun dari pelukan Draco dan ganti berlari memeluk ibunya yang berdiri disamping meja makan.

"Malam, Draco. Selamat datang dirumah kami." Hermione menyapa Draco sambil menggendong putrinya.

"Malam juga, Granger."

"Aku bukan Granger lagi, Draco. Aku sudah menjadi Hermione Weasley."

"Oh- aku lupa kalau kau sudah menjadi bagian dari keluarga Weasley." Ron mendengus saat mendengar nada sarkastis yang familiar milik Malfoy.

Harry mengedip tak percaya melihat Draco muncul dirumah Ron. Super Auror itu segera bangkit dari kursi meja makan dan menerjang Draco dengan pelukan dan ciuman selamat datang.

"Merlin, Draco. Aku rindu padamu!"

Ron segera menutup mata Hugo agar tidak melihat adegan khusus 13 tahun keatas itu. Draco memutar mata terhibur dan menepuk pundak Harry lembut.

"Jangan hiperbola, Harry. Aku hanya menghilang selama 2 jam dan kau sudah menangisiku seperti aku baru balik dari luar angkasa." Harry mendorong tubuhnya untuk menatap Draco.

"2 jam bagiku seperti 2 abad, Draco."

Ron mengerang sambil menutup mukanya. "Kalian berdua berhenti membuatku ingin muntah. Cepat bawa Harry pergi dari sini, Malfoy."

"Tenang, Weasley. Kami akan segera pergi meninggalkan kalian dalam damai. Bye, Rose. Bye Hugo. Oh bye juga Hermione Weasley."

Harry membawa mereka ber-apparate dari rumah Ron langsung menuju kasur mereka di Grimauld Place. Draco memutar mata melihat wajah sumringah Harry .

"So, bagaimana kunjunganmu ke Malfoy Manor, Draco? Baik, buruk?"

Si pirang itu tersenyum dan meraih kedua pipi Harry dan mendekatkan wajah mereka.

"Orangtuaku merestui hubungan kita, Harry."

Harry tersenyum lebar dan mencium si pirang kekasihnya dengan antusias.

"Well, tak ada masalah lagi, bukan?"

Draco mengangguk dan membuka mulutnya lebar agar Harry bisa menciumnya dengan leluasa.

"Harry-"

"Hm?"

"Besok ibu mengundangmu datang ke Malfoy Manor untuk makan malam. Kau bisa datang?" Harry menghentikan ciuman mereka dan menatap Draco lembut.

"Bisa, aku pasti datang."

"Pastikan kau memakai pakaian yang kubelikan untukmu kemarin, oke?"

Harry tersenyum nyengir dan menggelengkan kepalanya " Aku tidak bisa memakainya Draco." seketika Draco membelalakkan mata heran mendengar jawaban Harry.

"Apa maksudmu dengan tidak, Harry? Apa kau tidak suka?"

"Kau lupa, Draco-" Harry menggigit bibir Draco pelan, lalu melanjutkan perkataannya. "kau merusakkannya saat kita bercinta kemarin."

Draco mengerang dan menutup mukanya saat mengingat kejadian kemarin malam. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak mencumbu Harry dan bercinta dengannya ketika melihat Super Auror itu terlihat hot dengan setelan formal baru yang ia hadiahkan untuk Harry. Kebiasaan membuka pakaian dengan sedikit penuh kekerasan itu sepertinya sudah mendarah daging. Draco menghela nafas dan mengangguk.

"Baiklah. Besok siang aku akan membelikan setelan yang baru untukmu dan kau harus memakainya saat hadir dirumahku, oke?"

Harry tertawa dan mencumbu leher Draco. "Dan kau, Malfoy. Jangan sekali-kali mendaratkan tanganmu di setelan baru ku, deal?"

Draco mendesah enggan lalu mengangguk setuju.

"Deal."

*THE END*

.

Akhirnya- akhirnya!

Aku sedih berpisah dengan duo auror manis ini. Kuharap kalian menyukai ending the God Island buatanku. *hope hope*

Aku masih ingin membuat sekuel-sekuel dari cerita ini, karena duo auror seksi ini telah mendarah daging diotakku. Apalagi hobi mereka merusak kemeja ini sangat menginspirasi. *loh2*

Akhir kata, saya slalu menunggu repiewnya.

Thanks and See u in the next story!

Love u all.