A/N : Too much watching 'Criminal Minds', 'How I Met Your Mother', dan 'America's Next Top Model' bikin gue ngebet pengen bikin cerita ini. Well, yang dua terakhir emang gak nyambung sama temanya, tapi cukup mengganggu. MY GOD, NEIL! KENAPA DIRIMU HARUS GAAAYY? TT^TT (biarkan saya menggalau sebentar, meratapi nasib si pemeran Barney yang oh, so very fab—wait for it—OLOUS! Ihik...)

Lupakan, sungguh. Itu hanya raungan jiwa dari seorang authoress galau yang sumpah ini kerjaan ternyata menyiksaaa! Mari kita langsung masuk disclaimer sama warning.

Disclaimer : Kepunyaannya Hidekazu Himaruya.

Warning : OC, OOC mungkin. Penggunaan human name, dan beberapa mungkin bakal dijelasin di akhir A/N ini nama siapa aja. Sedikit kekerasan, swearing, dan hati-hati dengan SHONEN AI bertebaran. Gak tau shonen ai? GAY! Seperti yang sudah gue ratapi di atas. Kenapa semua cowok imut kebanyakan gaaayy... Dan hint BarneyxTed di 'How I Met Your Mother' sungguh menggila belakangan ini.

Baik dibaca sambil mendengarkan : "Tiger", "Judgement", and "High Rock!" by DEPAPEPE


"Pagi, Antonio!"

"Yo! Antonio!"

"Selamat pagi, Antonio!"

Antonio Fernandez Carriedo membalas semua sapaan yang ditujukan kepadanya itu sambil mengangguk dan tersenyum manis. Tak sempat ia berhenti sejenak untuk berbasa-basi dengan orang-orang ini. Inspektur Roderich telah memanggilnya ke kantor. Entah apa yang ingin dibicarakan. Kasus baru, atau mungkin hasil penyelidikan yang baru-baru ini menggemparkan kepolisian.

Sebuah organisasi mafia belakangan ini sering melakukan aksi mereka dan meresahkan masyarakat. Perdagangan narkoba dan senjata api ilegal milik mereka sudah begitu meluas dan tak terbendung. Bahkan, kekerasan dan pembunuhan yang terjadi belakangan ini juga berbuntut pada mereka.

Commedia dell'Arte adalah nama organisasi tersebut. Bukan nama resmi, tentu saja, tapi merupakan julukan bagi organisasi ini. Julukan itu tentu tidak muncul dengan begitu saja tanpa sebab. Istilah Commedia dell'Arte mulai disematkan pada kelompok kriminal ini karena nama sandi yang dikenakan oleh petinggi-petinggi kelompoknya yang sama dengan karakter dalam drama komedi tersebut, seperti Il Capitano, Scaramuccia, Brighella, dan masih banyak nama karakter lainnya.

Kasus yang baru saja dipecahkan oleh Antonio adalah kasus narkoba yang berujung pada baku tembak antara polisi dan kawanan Commedia dell'Arte. Meski harus mengorbankan pundak Antonio yang terkena tembak, tapi mereka berhasil menemukan satu nama sandi Arlecchino. Bukan hanya sekedar nama sandi, tapi juga nama asli dan wajahnya.

Antonio menghentikan langkahnya saat melihat pintu kayu besar berdiri kokoh di depannya. Sebuah hembusan napas panjang ia keluarkan sebelum mengetuk pelan. Ia langsung membuka pintu ketika sahutan terdengar dari balik pintu.

Seorang pemuda berambut hitam dan berkacamata mendongak dari berkas-berkasnya ketika Antonio melangkah masuk. "Akhirnya kau datang juga, Antonio. Bagaimana pundakmu?" tanyanya.

Seulas senyum cerah dilontarkan oleh Antonio sambil menjawab, "Sudah tidak apa-apa. Terserempet peluru seperti itu masih enteng bagiku! Hahaha!"

Roderich—nama sang pemuda berkacamata itu—menghela napas. "Beruntung hanya pundakmu yang kena, Antonio. Bagaimana kalau kena yang lainnya? Dan lebih beruntung lagi karena kita berhasil mengetahui identitas Arlecchino."

Antonio ingat betul bagaimana ia berhasil mengungkap identitas Arlecchino, atau kadang disebut Harlequin. Sebuah kesalahan kecil—cenderung bodoh, sebenarnya—dilakukan oleh Arlecchino.


FLASHBACK

"Tim tiga dan empat, ikut denganku sekarang. Kita akan menyerang secara frontal. Tim dua kepung dari sisi kiri dan tim satu kepung dari sisi kanan. Sisanya, amankan sisi belakang dan luar gudang."

Antonio Fernandez Carriedo sibuk memberikan komando kepada tim-tim yang dia pimpin. Setelah berminggu-minggu menganalisa dan mengawasi sindikat perdagangan narkotika yang ia yakini didalangi oleh Commedia dell'Arte, akhirnya persembunyian mereka ditemukan. Meskipun Antonio tidak yakin kalau gudang di tepi pelabuhan ini adalah markas besar dari Commedia dell'Arte, tapi paling tidak dengan penemuan ini mereka selangkah dalam membongkar identitas kelompok mafia.

"Oi, Antonio!" panggil sebuah suara serak yang datang dari sisi kiri Antonio. Seorang pria berambut putih dan bermata merah tampak berjalan menghampiri sang detektif bersama dengan dua orang di kiri dan kanannya.

"Gilbert." sapa Antonio disertai anggukan pelan. "Timmu sudah siap?"

"Tentu. Aku hanya ingin memastikan lagi strateginya." sahut Gilbert sambil tersenyum. "Francis dan timnya juga sudah siap sedia di posisi yang kau berikan. Semuanya tinggal menunggu instruksi darimu, Antonio."

Sang detektif menggangguk pelan. Ia menggenggam erat walkie-talkie di tangan kanannya, tak sabar untuk memulai aksi penyergapan ini. Akhirnya, setelah berminggu-minggu berkutat dengan data-data serta penyelidikan yang berputar-putar, mereka berhasil menemukan persembunyian kelompok mafia paling disegani dan paling dicari di seluruh dunia. Perdagangan narkoba dan senjata mereka kuasai dengan mudahnya. Berkat tangan dingin pemimpin mereka yang dikenal dengan nama sandi Il Capitano, kuasa mereka dengan cepat menyebar.

Lagi, Antonio melihat rekannya. Wajahnya begitu yakin, begitu siap. "Kalian yakin sudah siap?" tanya Antonio. Pertanyaan yang tidak dibutuhkan, sebenarnya. Ia tahu kalau Gilbert bukanlah orang sembarangan. Kemampuan menembaknya di atas rata-rata dan pengambilan keputusannya tergolong cepat. Walau kadang sering dipandang remeh oleh beberapa atasan karena sikapnya yang santai. Tapi sebagai personel kepolisian, Gilbert adalah satu dari sekian banyak polisi yang benar-benar cakap di bidangnya.

Mungkin pertanyaan itu lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.

Gilbert menepuk lembut pundak Antonio seraya memberikan senyuman hangat. "Ayolah, Antonio. Masa' kau mau mundur setelah kita sampai sejauh ini? Lihatlah," Ia menunjuk sebuah gudang tua dengan latar pelabuhan usang di belakangnya. Gudang itu begitu gelap dan sunyi. Tempat persembunyian yang sempurna bagi para pelanggar hukum. "Sudah susah payah kau korbankan waktu dan tenagamu untuk menemukan persembunyian mereka. Dan di saat kita akan menuai hasilnya, kau malah mundur karena takut? Ayolah! Ini bukan Antonio yang kukenal!"

Dorongan moral dari perkataan Gilbert berhasil membuat sebuah senyuman merekah di bibir Antonio. Ya. Dia sudah mati-matian menyelidiki geng mafia ini. Waktu dan tenaganya ia habiskan hanya untuk berkutat dengan dokumen-dokumen tentang mafia ini. Segalanya ia teliti, ia analisa, hingga berdirilah ia dan rekan-rekannya di pelabuhan tua ini.

"Ayo, kita mulai." kata Antonio. Mata hijaunya menyorotkan keteguhan dan kesiapan. Tangan kanannya mulai bersiap menggenggam pistolnya. "Hei, Francis." panggilnya melalui walkie-talkie. "Siapkan timmu. Kita akan mulai penyerangan. Tunggu aba-aba dariku."

Mata hijau itu menghujam tajam, menanti dengan begitu sabar gerak-gerik dari musuhnya. Bagaikan seekor leopard yang siap menerkam mangsanya.

"Dalam hitungan ketiga."

Pengaman pistol sudah diturunkan.

"Tiga."

Napas saling memburu dan adrenalin semakin meningkat.

"Dua."

Hening, sunyi tanpa suara sedikitpun. Diselimuti malam yang kelam, bulan berdiri dengan agung sebagai saksi.

"Satu."

Saksi atas pertarungan hidup dan mati.



Hetalia Axis Powers © Hidekazu Himaruya

Commedia dell'Arte © anonymous

Godfather © are. key. take. tour


"POLISI! ANGKAT TANGAN SEMUANYA!"

Seruan-seruan serupa terdengar menggema dalam gudang kargo yang besar dan kosong tersebut. Bunyi derap kaki dan senjata dikokang menjadi pengiring atas penyergapan di kala malam itu. Dalam hitungan detik, gudang usang itu sudah terkepung oleh para polisi bersenjata laras panjang, lengkap dengan rompi anti peluru untuk melindungi tubuh masing-masing.

Sayangnya gudang tersebut kosong melompong.

"Apa-apaan ini!" seru seorang personel polisi. Seorang pemuda berambut pirang sepundak dan ikal. "Antonio, kau yakin mereka ada disini? Kenapa kosong melompong begini?"

"Aku yakin, Francis!" bentak Antonio, frustrasi. "Aku yang terus melacak posisi mereka. Aku tak mungkin salah!"

"Hmp. Sayangnya, kali ini sepertinya kau salah, Carriedo." ucap satu personel lainnya. Polisi berambut ash-blond itu menumpukan senapan yang ia bawa pada pundak kirinya. "Buktinya, tak ada seorangpun disini." lanjutnya, seraya menyisir rambutnya yang jabrik.

"Sudah kubilang mereka ada disini!" bentak Antonio ketus. Ia tak mau menerima kenyataan bahwa pencarian berminggu-minggu yang ia lakukan sia-sia belaka. Ia tak mau menerima kenyataan bahwa analisanya selama ini salah. 'Tidak. Mereka pasti ada disini...' pikirnya panik.

"Oi, kalian bertiga! Coba kesini!" Terdengar seruan dengan aksen Prancis yang khas dari sudut gudang.

Tak sulit bagi Antonio dan yang lainnya untuk menemukan Francis Bonnefoy dan anak buahnya berdiri mengitari sebuah meja, penuh dengan kantung-kantung berisi kokain. Bergepok-gepok uang tampak tersusun manis di tengah meja, walau sebagian seolah-olah dibiarkan tersebar di seluruh meja, berantakan. Tak hanya uang dan narkoba, di meja itu juga terlihat kartu-kartu yang digunakan oleh para mafia untuk bermain dan mengusir kebosanan bersama teman sejawatnya. Dan...

"Sebuah hamburger?" tanya Willem van der Plast penuh kebingungan. Pemuda berdarah Belanda ini menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal. "Diantara makanan yang lainnya, kenapa harus hamburger?"

"Apapun itu, Willem, hamburger itu tetaplah sebuah barang bukti. Gilbert, tolong kumpulkan barang-barang ini. Uangnya juga." perintah Antonio. "Aku dan Willem akan menyusuri gudang ini. Siapa tahu masih ada barang bukti yang bisa kita kumpulkan. Willem, ayo."

Belum sempat Antonio dan Willem memulai pencarian mereka, terdengar suara tembakan dan seruan dari sisi kiri gudang, cukup jauh dari tempat mereka berdiri saat itu.

"Apa yang..."

Belum sempat Willem menyelesaikan perkataannya, sekelebat bayangan berlalu di atas kepala mereka, berayun melalui katrol besi. Pakaiannya yang serba hitam membaur, lebur menjadi satu dengan gelapnya gudang tersebut. Topeng hitam bergaris-garis merah melekat menutupi wajahnya.

"Arlecchino..."

Nama itu meluncur dengan penuh kebencian dari mulut Antonio ketika melihat sosok dibalut hitam itu melompat dengan begitu luwesnya ke atas tumpukan tinggi peti-peti kayu. Tawa ringan membahana ke seluruh gudang, menyindir para polisi yang berada disana.

"Tidak kusangka kalian bisa melacakku sampai sejauh ini." seru Arlecchino dari atas sana. Dengan pose berkacak pinggang, ia busungkan dada, menyombongkan diri. "Hebat juga kau, Carriedo!"

"Aku tidak butuh pujian dari penjahat seperti dirimu, Arlecchino!" bentak Antonio, muak. "Dan hentikan omong kosongmu itu! Menyerahlah sekarang sebelum terlambat, Arlecchino!"

Sosok tinggi tegap Arlecchino tampak merendah dan menjulurkan tubuhnya mendekat ke kerumunan di bawahnya. Seolah-olah ia ingin mendengarkan lebih jelas apa yang dikatakan lawan bicaranya barusan. "Hah! Kau bercanda, ya? Kalau aku menyerahkan diriku pada kalian, aku sudah pasti akan dibunuh oleh Il Capitano! Kalau bukan Capitano yang membunuhku, Brighella sudah pasti menerima kesempatan itu tanpa memikirkannya dua kali. Yah, meski aku tidak terlalu ambil pusing mengenainya." cibirnya. "Maaf saja, Carriedo. Biarpun penjara kalian sekarang sudah setaraf Burj Al Arab Dubai, tetap saja aku tidak mau kesana. Aku masih ingin hidup bebas."

Antonio terdiam. Bicara dengan seorang Arlecchino sama saja bicara pada seorang pelawak ulung yang selalu memutarbalik fakta. Lidahnya begitu lihai dalam memutarkan kebenaran dan mengalihkan pembicaraan. Kebohongan tak masuk akal dapat ia ubah menjadi sebuah kebenaran dengan latar belakang meyakinkan.

"Bagaimana kalau kita tembak saja sekarang?" bisik Willem. Pemuda berambut pirang ini sudah tidak sabar untuk menangkap anggota Commedia dell'Arte mereka yang pertama. "Posisinya sangat tidak menguntungkan. Ia berdiri di atas sana, tanpa ada pijakan lain di kiri dan kanannya."

"Jangan, bodoh. Perintah langsung dari Roderich, mereka tak boleh mati." sanggah Antonio.

"Hanya kakinya saja—"

"Dan begitu ia tumbang, kawannya yang lain akan langsung menyerbu masuk dan menghabisi kita."

"Ia hanya sendiri—"

"Arlecchino adalah bagian penting dari Commedia dell'Arte. Tidak mungkin ia berkeliaran sendiri tanpa ada anak buahnya yang mengawasi. Aku yakin saat ini mereka pasti sedang mengawasi tiap gerak-gerik kita, menanti saat yang tepat untuk membantu bos mereka."

Desah panjang menghembus keluar. Meskipun kecewa, Willem terpaksa menerima alasan dari Antonio tersebut. Masuk akal dan penuh perhitungan. Tidak terburu-buru seperti miliknya.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan?" tanya Francis. Mata birunya masih menatap lekat ke arah Arlecchino. "Kau punya rencana, Antonio?"

Antonio terdiam. Jujur, ia tak punya rencana cadangan. Awalnya ia berharap dapat membekuk Arlecchino dan anak buahnya tepat ketika menyerbu masuk. Mungkin, baku tembak antara kelompoknya dengan Arlecchino sempat ia perhitungkan, tapi sama sekali tak terpikirkan olehnya skenario seperti ini. Gudang yang kosong dan tak ada siapa-siapa. Yang lebih mengejutkan lagi adalah kenyataan bahwa Arlecchino yang telah Antonio asumsikan kabur malah kembali ke tempat kejadian perkara dengan lagaknya yang besar kepala itu, menyombongkan betapa hebatnya ia. Ada apa gerangan? Apa yang membuat Arlecchino sampai repot-repot kembali ke tempat yang sudah penuh dengan polisi seperti ini? Selain itu, benarkah anak buahnya mengawasi di sekitar ruangan? Kenapa tak ada panggilan darurat dari Gilbert yang sekarang masih berjaga di luar gudang? Apa Arlecchino dikhianati dan ditinggal seorang diri oleh pengikutnya?

Lalu, di saat itulah mata hijau Antonio mendarat pada meja mungil di sampingnya. Meja kayu yang sudah cukup tua dimakan usia. Tumpukan uang menghambur di atasnya; sebagian sudah dibungkus sementara lainnya masih tercecer. Di tengah hijaunya lembaran uang, terlihat beberapa lembar kartu yang tercecer, tak sempat dibereskan oleh sang empunya. Warna cokelat tua sedikit ternoda oleh serbuk putih dari kantung-kantung kokain yang terkoyak. Obat terlarang paling mahal yang pernah beredar di dunia. Harganya yang selangit menjadikan kokain sebagai barang eksklusif yang hanya bisa diperoleh dengan mudah bagi segelintir orang. Dan yang terakhir adalah hamburger. Belum tersentuh dan masih hangat. Masih baru. Salah satu dari keempat ini adalah barang yang begitu penting bagi Arlecchino sampai-sampai ia rela kembali ke gudang untuk mengambilnya.

Tapi, apa?

Uang? Mungkin. Uang sangat penting bagi semua orang. Namun, apakah itu yang benar-benar ingin diambil oleh Arlecchino? Uang hasil kejahatannya yang harus ia sumbangkan kepada petinggi di Commedia dell'Arte? Mengingat hubungan Arlecchino dengan atasannya, Il Capitano yang tak terlalu baik (sedikit petunjuk dari cara bicara Arlecchino yang seolah-olah merendahkan atasannya tersebut), apakah benar ia rela kembali hanya untuk uang itu?

Lalu kartu. Orang yang senang berkelakar dan bermain-main seperti Arlecchino pasti menganggap kartu adalah bagian dari hidupnya. Ia mati tanpa kartu. Ia mati tanpa permainan. Ia mati tanpa mempermainkan orang lain. Apakah kartu ini begitu berarti sampai ia tak mau kehilangannya? Atau jangan-jangan tersimpan kode rahasia di balik kartu-kartu ini? Apakah urutan kartu ini merupakan sandi? Target mereka selanjutnya? Atau malah letak markas besar mereka?

Ataukah itu berkantung-kantung kokain yang tertinggal? Jelas Arlecchino akan mendapat teguran keras bila meninggalkan salah satu komoditas utama Commedia dell'Arte di tangan para polisi. Untuk inikah Arlecchino sampai rela mengorbankan nyawa—coret—mengorbankan kebebasannya demi kokain? Tapi, sama dengan argumen mengenai uang. Arlecchino tak pernah ambil peduli atas apa yang dipikirkan oleh organisasinya. Ia bertindak berdasarkan impulsnya sendiri, bukan orang lain. Ia adalah pemimpin bagi tubuhnya. Tak ada orang lain yang bisa memerintahnya, meskipun itu Il Capitano, atasan tertinggi Commedia dell'Arte.

Yang terakhir adalah hamburger. Memikirkan opsi yang ketiga ini membuat Antonio ingin menjitak kepalanya sendiri. Sungguh alasan yang sangat bodoh bagi seseorang—penjahat kelas berat yang sedang dalam pelarian—untuk kembali ke dalam jebakan polisi hanya demi seonggok makanan. Dan hamburger, demi nama Tuhan. Hamburger seperti ini bisa ia dapatkan di semua gerai makanan cepat saji manapun di seluruh sudut kota! Apa istimewanya sepotong hamburger ini? Sayang, Antonio saat ini sedang berhadapan dengan Arlecchino, anggota Commedia dell'Arte dengan pikiran sulit ditebak. Lain halnya bila ia dihadapkan dengan seorang Brighella. Berhadapan dengan salah satu petinggi Commedia dell'Arte ini hanya ada dua opsi; dibunuh atau membunuh.

"Maaf sekali saudara-saudara sekalian," kata Arlecchino lantang. Ia mulai meregangkan sendi-sendi tubuhnya, siap untuk memulai aksi pelariannya yang sensasional. "Aku tidak bisa berlama-lama disini. Aku yakin kalau Il Capitano pasti sudah tak sabar menanti kepulanganku ke markas. Jadi, aku harus segera mengambilnya dan meninggalkan tempat ini."

"Mengambil? Apa yang mau ia ambil?" bisik Francis bingung.

Apa? Uang, kartu, kokain, atau makanan? Mana yang akan ia ambil?

"Sayang sekali, ya. Padahal aku masih ingin berlama-lama disini dan bermain kejar-kejaran bersama kalian."

Tentukan sekarang! Satu di antara empat bukanlah hal yang sulit!

"Mungkin, lain waktu kita bisa bersenang-senang lagi dan memulai pengejaran yang sebenarnya."

Uang? Paling memungkinkan, tapi rasanya tidak. Arlecchino tidak seserius itu. Kartu? Bisa jadi. Kokain? Dengan daya pikir pendek Arlecchino, tak mungkin ia terpikir untuk kembali dan mengamankan barang berharga, aset milik organisasinya itu. Hamburger? Sedikit tidak masuk akal, tapi mengingat ini Arlecchino, apa saja bisa terjadi.

"Nah, sampai ketemu di kasus berikutnya!"

Begitu cepat bagaikan kilat, Arlecchino langsung menyambar jutaian rantai yang menggantung tak jauh di atasnya. Sementara tangan kanannya sibuk mencengkeram rantai besi tersebut, tangan kirinya memyusup ke balik pakaiannya. Sebuah bola kecil ia keluarkan sambil tersenyum lebar.

Bom.

"SEMUANYA MENYINGKIR!" seru Francis panik ketika menyadari bola mungil yang berada di tangan Arlecchino.

Tak perlu dikomandoi dua kali, para polisi yang semula memenuhi gudang tersebut langsung berlarian menuju pintu keluar terdekat. Kepanikan dan ketakutan menyergap mereka, membuat suasana semakin carut-marut dan tak karuan. Semuanya sudah melupakan tugas mereka dan mementingkan keselamatan diri sendiri. Semuanya pergi.

Semua, kecuali Antonio.

Arlecchino mengangkat kedua alisnya, takjub dengan sosok Antonio yang masih tegap berdiri menghadangnya. "Kau tak takut dengan bom ini, Antonio? Padahal, komradmu yang lain sampai tunggang langgang begitu melihat benda mungilku ini."

"Untuk apa aku takut? Bisa saja itu hanya mainan barumu, kan?" balas Antonio tegas. Sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. "Lagipula, dengan keberadaan dirimu disini, bisa jadi itu bukanlah bom eksplosif. Orang sepertimu pasti juga sudah terpikirkan untuk tidak mati konyol dengan mainanmu sendiri, kan? Mungkin, itu suatu racikan lainnya. Bom lainnya yang tidak membahayakan diri."

Tawa renyah meluncur keluar dari mulut Arlecchino. "Hebat juga, kau, Antonio. Tak heran kalau Il Capitano sampai pusing karena ulahmu. Kau tahu, ia sampai tak bisa tidur gara-gara memikirkanmu. Bahkan, ia juga mengigaukan namamu di kala tidur."

Antonio tak menggubris perkataan musuhnya. Pikirannya kembali terkonsentrasi pada empat benda yang tergeletak tak berdosa di atas meja. Uang, kartu, kokain, dan hamburger. Yang manapun di antara keempatnya adalah barang terpenting Arlecchino. Barang yang dapat ia pergunakan untuk memancing Arlechino turun dari ayunan besinya.

"Nah, karena waktu semakin sempit, mari kita mulai saja duel satu lawan satu kita ini."

Bagaikan film yang diputar lambat, Antonio dapat merasakan detik per detik sejak Arlecchino melepaskan bom itu. Lama, tak kunjung benda mungil itu bersua dengan lantai kayu gudang, membuat debar jantung tak karuan. Apakah taruhan yang ia lakukan sekarang dapat menyelamatkan jiwanya dan menggiring Arlecchino ke penjara? Sebelum itu, ia harus memilih satu di antara empat. Mana yang harus ia pilih untuk memancing Arlecchino ke dalam jebakannya? Yang mana?

Tanpa pikir panjang dan perhitungan, Antonio langsung menyambar sebuah benda dari meja kayu di sampingnya dan lari, tepat sebelum sinar yang luar biasa terang menyelimuti seluruh isi gudang.

Arlecchino mendarat mulus tepat di samping meja mungil tersebut. Kedua tangannya diposisikan di pinggangnya dan dagu terangkat tinggi. "Hah! Memang beruntung aku membawa bom cahaya itu! Padahal sempat dicemooh oleh Scaramuccia." Dengan begitu santainya, ia membalikan tubuhnya menghadap ke meja mungil di belakangnya. "Nah, sekarang saatnya untuk mengambil barang yang kuti—"

Kata-katanya tercekat, tersendat di tenggorokan.

Matanya membelalak lebar.

Barang itu. Barang yang membuatnya rela kembali setelah kabur beberapa meter bersama anak buahnya.

Barang itu sudah lenyap.

Hilang, tak berbekas.

"Mencari ini, Arlecchino?"

Pemuda bertopeng itu menoleh dan mendapati Antonio berdiri sekitar sepuluh meter di belakangnya sambil mengangkat sesuatu di tangannya. Bungkusan putih dengan tulisan merah. Tidak terlalu besar dan agak empuk. Bau wangi daging dan keju tercium dari sana.

Hamburger.

"Kenapa...?" tanya Arlecchino kebingungan.

"Kenapa? Karena aku tahu kau bukanlah orang yang serius dan mau mengamankan uang serta kokain itu. Kau tidak seperti Brighella ataupun Burrattino. Keduanya pasti akan mengamankan aset berharga organisasi; kokain yang menjadi salah satu sumber penghasilan kalian yang utama dan uang hasil penjualannya yang bisa dijadikan modal. Kau juga tidak mungkin mengambil kartu. Tipe orang yang suka main-main sepertimu pasti mudah bosan dengan mainan lama. Kau selalu ingin mencari mainan baru, mencoba hal yang baru untuk menguji batasmu. Kartu yang sudah sering kau mainkan pasti bukanlah barang penting di matamu. Itu hanyalah seonggok mainan lama yang sudah pantas masuk ke tempat sampah. Dan yang terakhir," Antonio mengangkat bungkus makanan yang ada di tangannya tinggi-tinggi, mengejek Arlecchino yang masih terpaku. "Hamburger. Awalnya aku memang tak berpikir bahwa kau akan menganggap makanan ini penting, tapi mengingat ini adalah kau—Arlecchino yang sulit ditebak—pilihan paling aneh pun bisa menjadi pilihan yang paling memungkinkan diantara yang lainnya."

Arlecchino masih terdiam, terpaku. Ia tak percaya kalau Antonio bisa menebak jalan pikirannya yang pendek itu sampai sejauh ini. Inikah orang yang begitu ditakuti oleh organisasinya?

"Kalau kau benar-benar menginginkan ini, ambillah." pancing Antonio.

Sang musuh berpakaian hitam itu menggertakan giginya geram. Tak seorangpun boleh mengontrolnya.

"BRENGSEK!" seru Arlecchino. Amarah tampak jelas berkilat di kedua bola matanya. Tangannya dengancepat mengambil sepucuk pistol dari balik ikat pinggangnya. "TAK ADA YANG BOLEH MEMPERMAINKANKU!"

Antonio menatap pucuk pistol yang diarahkan tepat kepadanya. "... Oke. Ini agak diluar rencana..." gumamnya panik.

"Berikan barang itu sekarang kalau kau masih sayang nyawa, Carriedo." desis Arlecchino penuh kebencian. Pistolnya masih tergenggam dengan begitu erat, teracung pasti ke arah jantung sang detektif. "Berikan, atau kutembak kau."

"Lalu apa? Rekan-rekanku akan segera masuk ke dalam gudang ini bila mereka mendengar bunyi tembakan dan kau akan diringkus saat itu juga." balas Antonio tenang. Mata hijaunya menatap awas moncong senjata api tersebut. "Kau kalah dengan cara apapun, Arlecchino."

"AKU TIDAK KALAH!" raung Arlecchino penuh kebencian. "Aku tidak kalah. Jangan kau berani menyebutku kalah! Aku belum kalah, Carriedo. Serahkan barang itu, SEKARANG!"

"Kalau aku menolak?"

"Kalau kau menolak, ucapakan selamat tinggal pada dunia."

"Dan ucapkan selamat tinggal pada kebebasan untukmu, Arlecchino."

DOR!

Begitu mendadak sampai Antonio tak sempat menghindar. Timah panas yang dilontarkan pistol tersebut mengarah lurus menuju jantungnya.

Beruntung Gilbert datang di saat yang tepat dan mendorong Antonio tiarap ke lantai, sehingga peluru itu hanya mengenai pundaknya.

"Kau tak apa-apa, Antonio?" tanya Gilbert khawatir.

Masih terkejut dengan apa yang ia alami, Antonio hanya bisa mengangguk pelan.

"Pundaknya..." Kali ini giliran Francis yang berjongkok di sampingnya dan memeriksa kondisi luka tembakan pada pundak kiri sahabatnya itu.

Di belakang mereka, sosok tinggi tegap Willem berdiri. Senapan laras panjang ia arahkan lurus, tepat di antara kedua mata Arlecchino. Mata cokelatnya masih mengamati waspada tiap gerak-gerik musuhnya. Sekali saja Arlecchino melakukan gerakan yang salah, tanpa segan Willem akan menembak bedebah itu di tempat.

Arlecchino berdiri gelisah di tempatnya. Ia mulai merasa terpojokan begitu polisi mulai kembali ke dalam gudang dan mengepungnya. Benar kata Antonio. Memuntahkan peluru tepat ke arah sang detektif bukanlah opsi terhebat yang pernah ia buat. Kalau begini caranya, ia tak mungkin bisa lolos hidup-hidup. Belum lagi senapan yang diarahkan sang pemuda Belanda berambut jabrik itu ke arahnya. Ini sama saja bunuh diri.

"Menyerahlah, Arlecchino." seru Gilbert lantang. "Kau harus akui kalau aksimu kali ini tidak awesome dan menyerah sajalah!"

Menyerah? Tidak ada kata menyerah di dalam kamus seorang Arlecchino! Hah! Bahkan tak ada kata menyerah di kamus manapun milik anggota Commedia dell'Arte. Menyerah, sama saja dengan pengecut. Pengecut, sama saja dengan pengkhianat. Pengkhinat adalah orang yang pantas dibunuh. Mati.

"Turunkan kedua tanganmu perlahan-lahan dan letakan pistolmu di lantai."

Menyerahkan senjata? Yang benar saja. Bagaimana ia bisa mempertahankan dirinya nanti tanpa senjata?

"Lalu tendang pistolmu itu ke arahku."

Memberikan senjata suka rela? Hah! Tak akan Arlecchino melakukannya, bahkan sampai dunia kiamat sekalipun. Ia tak akan menyerah.

"Dan berjalanlah mendekat dengan tangan terangkat di udara. Serahkan dirimu pada polisi."

Menyerahkan diri pada polisi sama saja bunuh diri. Mati disini oleh polisi atau mati dikemudian hari di tangan organisasi. Yang manapun tetap akan membawanya ke kematian.

"Aku hitung sampai tiga. Satu."

Bedebah. Beraninya mereka memerintah Arlecchino. Ia tak akan menurut pada tuntutan ini. Tak akan.

"Dua."

Ia akan lari dengan caranya sendiri. Lari, dan memperoleh kebebasannya dengan tangan sendiri.

"Satu."

Sekarang.

DOR!

END OF FLASHBACK


"Dan ketika ia hendak melarikan diri, Willem menembaknya. Beruntung ia hanya mengenai topengnya hingga pecah." kata Antonio. Ia baru saja menceritakan secara detail apa yang terjadi di gudang itu. "Saat kami berhasil melihat wajahnya, ia langsung mengeluarkan bom cahaya dalam keadaan panik dan menghilang di tengah cahaya menyilaukan."

"Hmm..." Roderich menggumam pelan sambil berjalan memutar dan duduk di kursinya. Jari jemarinya bergerak lincah di atas keyboard komputer, mencari-cari sebuah data. "Tapi, berkat tembakannya, kita bisa melihat wajah di balik topeng itu. Dan terima kasih atas jasa Francis, kita berhasil menemukan siapa ia sebenarnya."

"Jadi, siapa dia sebenarnya, Inspektur?"

"Namanya adalah Alfred Jones. Seorang warga negara Amerika Serikat. Lahir dan besar di Texas. Ia adalah seorang pemilik kasino besar di Las Vegas serta seorang pejudi ulung." kata Roderich. "Setelah kita menemukan identitasnya, aku langsung menyuruh beberapa agen terbaikku untuk menelusuri jejaknya dan mencaritahu lebih banyak tentang dia, kasinonya, serta hubungannya dengan Commedia dell'Arte."

Antonio mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya, satu mata rantai sudah berhasil ia pecahkan. Tidak akan sulit baginya untuk menyelesaikan teka-teki yang berikutnya dengan penemuan ini. Ia yakin dalam kurun waktu satu tahun ini, organisasi Commedia dell'Arte akan ia jebloskan semua ke penjara. Semua, tanpa terkecuali.

"Berjanjilah kau akan menungguku..."

"Pembohong! Semua kata-kata yang keluar dari mulutmu adalah palsu, dasar pendusta!"

"Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan bertekuk lutut. Aku, atau kau."

"Aku membencimu."

"Aku mencintaimu."

Kilasan masa lalu yang sudah lama terkubur dalam-dalam entah mengapa muncul kembali, memaksa Antonio untuk menarik napas panjang dan menenangkan dirinya. Tidak. Ia sudah lama melewati itu semua. Ia sudah tidak mempunyai keterikatan dengannya. Ia sudah sendiri, bebas, tak terikat.

TOK TOK!

"Ah, sepertinya ia sudah datang." Roderich beranjak dari kursinya dan berjalan menuju pintu untuk mempersilakan orang tersebut masuk. "Kau terlalu lama bersolo karir, Antonio. Makanya, aku putuskan untuk memberimu seorang partner."

"Partner?"

Pintu terbuka dan berdirilah di ambang pintu seorang pemuda manis dengan rambut hitam ikal. Kulitnya berwarna kuning langsat; tak hitam dan tak putih. Bola matanya yang berwarna abu-abu gelap tampak begitu dalam dan misterius, menunggu bagi seseorang untuk memecahkan misteri di baliknya. Bibirnya yang tipis tampak begitu dingin tanpa senyum, kaku bagai es.

"Namanya adalah Rangga Wicaksono. Mulai sekarang, ia yang akan menjadi partner-mu."

To Be Continued


A/N : ... Dan saya kembali pengen main "Nancy Drew : The Phantom of Venice". Saya kangen sama Brighella-nyaaaa! (peluk Brighella, terus digibeng yang lainnya) Dan saya rindu main scopa sama Scaramuccia! (peluk Scaramuccia, ditampol sama yang lainnya) Saya kangen tereak-tereak SCOPA kayak orang gila! YEAH FOR SCOPA!

Kebanyakan main Nancy Drew dan nonton Criminal Minds sangat membuat otak lo eror akut begini...

Anyway! Ada yang sudi review fanfic abal saya ini? Fic multichap ini moga-moga gak mandek di tengah jalan layaknya fic-fic saya di tiga fandom lainnya. (lirik Harry Potter, Yu-Gi-OH!, sama Death Note) Ehehehe. Maaf, kawan-kawin. Ide dan muse buat kalian udah menguap. Gone, with the wind!

Oiya. Yang nungguin "Hetalia Awards", mereka coming soon, kok. Tenang! Pasti diselesaikan buat yang itu. Nanggung, tinggal satu chapter lagi. Sayang kalo gak diselesein. Hehehe. Tunggu kira-kira sampe... Akhir Desember. #sambited Nggak, lah. Paling November juga udah publish. Mudah-mudahan, kalo tugas gak menggila. Ini tugas mulai kerasa gilanya sampe saya sakit. Uhuhuhuuu...

Oiya. Buat nama-namanya :

Netherlands : Willem van der Plast.

Indonesia : Rangga Wicaksono.

Jangan tanya saya dapet dua nama itu darimana... =_=