"Apa ada cerita yang tak pernah kamu ceritakan ..pada siapapun?"

Begitu tanya Mori, saat mereka duduk-duduk santai di taman. Hanya berekreasi, menikmati oase di Tokyo yang semakin sibuk – sampai nyaris tak manusiawi? – dan berbincang-bincang. Tidak lagi menjadi "tukang kebersihan tanpa bayaran" di taman ini.

Sementara itu, hati Mori menjawab pertanyaannya sendiri. (Aku punya. Banyak, malah).

Sedetik, dua detik, dan sampai bermenit-menit, Ueki nampak berpikir keras sebelum menjawab – atau bertanya kembali, tepatnya. "Memangnya mengapa kau bertanya begitu, Mori?"

"Aku.. penasaran saja," jawab Mori. "Mencari bahan omongan."

Mori tahu,jauh di dalam hatinya, ia sebenarnya mencari pembelaan. Penyangkalan untuk kesalahannya, mungkin. Yah, ia tahu, kedengaran egois.

..tapi, apa salahnya sekali-sekali untuk memikirkan dirinya sendiri – ketimbang si rambut hijau yang membuatnya ingin menjitaknya?

"Tidak. Aku tidak pernah. Buat apa gunanya?"

"Oh."

Hanya itu jawabannya. Ia tak punya mood untuk bertanya macam-macam. Dirinya kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Hening. Ia tak tahu hendak berkata apa setelah segalanya terkuak seperti ini. Rasa bersalah kembali membenamnya, terlalu dalam, sampai-sampai ia merasa begitu... sesak.

Seandainya ia tak pernah menaruh coklat "spesial" itu untuk Ueki.

Seandainya ia tak pernah egois dan mendahulukan perasaannya sendiri.

..mungkin segalanya masih sama saja. Ia tak perlu terbangun dan merasa bersalah akan tindakan (bodoh) yang ia lakukan beberapa waktu lalu, tindakan spontan yang bahkan baru ia sadar efeknya setelah semuanya keburu terjadi – dan efeknya sudah terjadi, pula.

"Mori? Kau kenapa? Sakit?" tanya cemas Ueki. Mungkin penasaran mengapa sahabatnya ini menjadi pendiam begini.

Tangan Ueki menyentuh dahi Mori, hanya hendak mengecek apa gadis ini sakit (panas, mungkin?) atau tidak. Tapi, efeknya begitu besar. Gadis itu dengan jengah segera menampik tangan itu. "Aku baik-baik saja, Ueki. Sungguh."

Wajah polos Ueki nampak bingung, namun laki-laki itu tidak bertanya banyak lagi. "Yah, senang mendengarnya."


The Odds and The Reality.
3. Unsung Story

disclaimer: Law of Ueki (c) Fukuchi Tsubasa.


Help, I have done it again.
I have been here many time before.
Hurt myself again today.
And, the worst part is there's no one else to blame
.

Lirik lagu itu mengiris hati Mori. Sekali lagi. Padahal ia sudah berharap bahwa I-podnya tak akan memainkan lagu ini. Yah, tapi nampaknya mode shuffle I-Podnya begitu mencintai lagu ini sehingga sudah tiga kali dalam satu hari ini ia mendengar lagu itu.

Tapi, seberapapun ingin ia untuk mengganti lagu itu, ia tak pernah juga melakukannya. Ia terlalu tenggelam dengan lirik lagu itu, sampai keinginannya untuk mengganti lagu itu sampai terlupakan. Ada sesuatu yang menyentuhnya – entah suara si penyanyi yang begitu fragile, atau liriknya – yang membuatnya mau tak mau toh tetap menikmati lagu ini.

Breathe Me, lagu ini ia tahu dari teman Amerika-nya, Charlotte. Ia memang katalog berjalan mengenai musik. Dari Charlotte-lah ia tahu banyak lagu-lagu enak yang menghibur hari-hari sepinya di Amerika dulu. Lagu inilah yang membuatnya seakan punya teman dulu saat awal-awal ia di Amerika. Pada saat itu.. ia selalu merasa, sakit.

Sakit karena Uekilah orang terakhir yang ia beri tahu bahwa ia akan ke Amerika (mana ia memberitahunya saat ia sudah di bandara dan hendak take-off!). Tindakan egois yang toh ternyata malah hanya menyakiti dirinya sendiri.

Seharusnya setelah insiden "Valentine bodoh"nya itu, ia bisa berpura-pura menganggap bahwa insiden itu tak pernah ada. Ia seharusnya tetap memperlakukan Ueki sebagai temannya meski jauh di lubuk hatinya ia tahu ada perasaan yang mengembang – dan membuatnya sesak, sejujurnya.

Tapi ia tak bisa. Rasa bersalah itu telah merenggut akal sehatnya. Memang benar juga kata pepatah bahwa "perempuan itu berpikir dengan emosi, laki-laki berpikir dengan logika."

..tapi, kini, setelah hal-hal aneh terjadi terlalu cepat akhir-akhir ini: Robert dan ia akan bertunangan, ia kembali berhubungan dengan Ueki setelah bertahun-tahun seakan melupakannya, kilasan masa lalu yang saling bertumpuk dalam kepalanya, hal terakhir yang ia butuhkan adalah mendengar kenyataan yang terjadi.

Itu terlalu menyakitkan, kau tahu. Ia ingin membiarkannya menjadi sesuatu yang tak perlu terucapkan – meski ia sadar bahwa kenyataan itu ada.

Ia ingin lari dari kenyataan.

Tapi ia tak berani mengambil langkah. Langkah terberani yang ia lakukan adalah kabur dari Jepang – menuju belantara negara adidaya yang kadang terasa begitu meraksasa. Apalagi dibandingkan figur mungil Mori – gadis biasa dengan determinasi biasa pula.


"Kau mau ke Amerika?"

Ayahnya kaget juga melihat Mori, dengan surat pemberitahuan akan lolosnya seleksi beasiswanya ke Amerika, nampak siap pergi dari negaranya. "Ayah pikir kamu cuma coba-coba saja."

"Tapi aku dapat, Yah," jawab Mori, duduk di sebelah ayahnya. Ia tutupi gesturnya, ingin memberi kesan bahwa tak-ada-masalah-kok-di-sini. "Aku jadi ingin. Kan susah juga dapat beasiswa ke Amerika," katanya, cepat. Padahal, jujur saja, ia sangaaaat ingin di sini saja. Ia ingin untuk tetap di Tokyo. Amerika terdengar terlalu besar untuknya.

..tapi, kesempatan seperti ini tidak datang dua kali.

Dan yang ia maksud bukanlah kesempatan belajar. Yah, ia yakin universitas di Tokyo tak kalah dibandingkan universitas di Amerika. Yah, mungkin beda sedikit lah, tapi toh buktinya banyak orang Jepang yang bisa sukses di luar sana. Intinya, kuliah di Jepang sebenarnya tak kalah dengan kuliah di Amerika.

Kesempatan yang ia maksud adalah kesempatan memulai hidup baru.

Ia sumpek dengan hubungan stagnan – atau malah memburuk? – dengan Ueki. Ia bosan dengan selalu mencemaskan Ueki tapi di satu sisi kebingungan bagaimana ia harus menempatkan dirinya. Ia tak kuat dengan segala tarik-ulur yang mungkin Ueki bahkan tak sadar (atau memang dari dulu itu hanya ilusinya saja?)

Ia ingin kabur secepatnya.

Tapi tentu saja, alasan itu tak mungkin dikemukakan di depan ayahnya. Kok kedengaran melankolis sekali, sih. Plus memalukan juga. Ia juga tak ingin mencemaskan ayahnya.

"Kamu yakin kamu ingin? Kamu siap" tanya ayahnya dari balik koran, memastikan sekali lagi. Tentu saja, ia tak ingin anak kesayangannya ini malah tersiksa dengan pilihannya sendiri.

"Iya," dan Mori menjawabnya dengan determinasi pas-pasan.


..apakah ia sebenarnya sudah siap? Jawabannya, belum. Dan selalu belum.

Meski sudah meyakinkan dirinya sendiri dengan berbagai cara, meski ia sudah berjuang mengatakan bahwa ia pasti bisa, tapi ia sejujurnya tak pernah siap dengan hal-hal yang akan melandanya nun jauh di sana. Ia toh hanya gadis biasa yang ingin kehidupan biasa – tapi bagaimana bisa?

Ia keburu mengambil jalan keluar yang rumit – tanpa keberanian dan determinasi yang cukup.


Benar, ia telah berhasil melupakan Ueki di kelas 3 SMA. Melupakan bukan istilah yang tepat. Berpura-pura permasalahan itu tidak eksis. Menumpuknya dengan segala kecemasan yang lain – tugas, ujian masuk kuliah, sekolah, kesehatannya, dan segala hal normal nan nonsense lainnya.

Tapi, setiap melihat Ueki, ia selalu mengalami euforia yang membuat jiwanya menggigil ketakutan. Takut akan apa yang ia perkirakan berjalan terlalu mulus. Takut akan kehilangan seseorang yang terlalu "klik" sampai-sampai ia kadang ogah mencari teman di SMA. Yah, memang ia punya Sano, Rinko, Hideyoshi (err, untuk yang ini ia agak tak yakin juga), Haiji, Sora, Nagara, dan Millie.

..tapi itu semua berbeda dengan apa yang ia miliki bersama Ueki. Dan ia tahu bahwa itu takkan tergantikan.

Tapi, sekali lagi, otaknya mensugestinya untuk melupakan segala tetek-bengek mengenai Uekinya (?) itu. Kau harus rasional, Mori, begitu kata otaknya saat itu, kau tak boleh terjebak pada masa lalu terus. Masa depan itu jauh lebih penting dan menjulang daripada masa lalu yang kamu kedepankan itu.

Ia memforsir dirinya terus. Bukan gara-gara ingin diterima di universitas ternama, jujur saja. Yah, setidaknya itu bukan alasan utamanya. Ia juga bukan ingin menjadi bintang kelas, murid kesayangan guru, atau apapun istilahnya.

Ia melakukannya untuk menjauhkan dirinya dan terutama pikirannya dari Ueki Kosuke.

Dan pada saat itu, ia sebenarnya sadar, kelak, suatu hari nanti, ia akan merindukan dirinya yang berpikir mengenai Ueki. Tapi ia tak ingin memikirkannya terlebih dahulu. Ia tak punya banyak waktu. Ia terlalu sibuk, terlalu pusing untuk mengatasi segala hal. Satu-satu saja dulu..


Be my friends,hold me,
Wrap me up,unfold me,
I am small, I'm needy.
Warm me up, and breathe me.

...dan ia semakin sesak. Sesak sekali, karena ia sadar bahwa jalan pintasnya malah membawa masalah baru – terutama untuk dirinya sendiri.

Jika, hanya jika, ia betul-betul melupakan Ueki, seharusnya ia tak perlu repot-repot merahasiakan kepergiannya ke Amerika sampai ia di Bandara Narita. Atau kalau perlu, ia seharusnya tak perlu repot-repot memberitahu Ueki tentang ini. Toh kan (katanya) ia bukan seseorang yang penting lagi.

Tapi tidak. Ketimbang menggunakan akal sehatnya, ia menelepon Ueki di detik-detik keberangkatannya.

..keegoisannya lagi?

Hatinya tahu bahwa ia butuh teman. Ia butuh seseorang. Dan jauh di dalam sana, ia tahu bahwa Ueki masih menganggap dirinya sebagai "teman". Dan ia juga masih melabeli Ueki sebagai temannya meski ia sembunyikan setengah mati.

Jadi, setelah berbulan-bulan ia menunda memberi tahu Ueki.. ia memilih untuk memberitahunya.. di saat ia hendak pergi ke luar sana?

Terdengar tidak rasional.

Tapi terdengar begitu pas, ia tahu itu. Sebuah alasan yang terdengar cocok baginya – meski secara tidak langsung ini berarti mengakui bahwa ia memang egois – mungkin?

Atau mungkin semua orang akan melakukannya jika mereka di posisinya?

Tiit.

Perenungannya terganggu oleh bunyi HP yang berdering di sebelahnya. Welcome to the real world. Ia tersadar langsung dari pikirannya, gagasannya, dan.. ketakutannya?

Tampilan HP mengindikasikan bahwa ada satu SMS baru masuk dari HP-nya. Ia segera membuka pesan itu, mencari distraksi dari deillusional grandeurnya ini.

From: Robert.
Messages: Hei, kamu mau ketemu besok, jam 11, di kafe Claire? Aku ingin memberitahu, ada perubahan lagi dalam rencana pertunangan kita.

-R.H.

Ia mereplynya, malas-malasan. Terimakasih berkat perenungan nistanya tadi, ia sampai lupa bahwa yang akan menjadi calon suaminya bukan si rambut hijau (yang tidak worth to think itu – seharusnya.) Ia butuh waktu sejenak untuk merespons SMS ini.

To: Robert
Messages: Memang mau berubah apa lagi? Aku sih besok tidak ada acara apa-apa, jadi bisa datang.

MoriA.

Matanya terpejam, membayangkan pertemuannya dengan Robert yang biasanya. Hambar excitement, serasa hanya sekedar kewajiban – basa-basi belaka.

-..to be continued..-

AuthorNotes:

-First of all, HAPPY BIRTHDAAY TO MEE! #stress. Yep, di hari dimana kambing-kambing disembelih,saya malah ultah. Weird, huh? Dan ultah saya secara ajaib malah sama dengan tokoh fiksional : Ruth Fisher (Six Feet Under). Duh, kagak ada yang lebih muda yak? #oot

-Lagu yang digunakan di awal itu adalah lagu Breathe Me dari Sia. Lagunya enak bangeet, reccomended deh.

-Dan maaf, saya telat apdet -_-. Maafkan author sialan ini yak.

-Pluus.. makasih atas nominasi (nista?) untuk fanfic ini untuk IFA 2010. Grah, saya jadi maluuu .