Naruto still belong to Kishimoto-sama

Kupu-Kupu Tak Berkepak by aya-na rifa'i

.

.

Harmonisasi

.

Kakashi memandang berkas-berkas gugatan perceraian Sakura terhadapnya dengan bimbang. Di satu sisi, ia ingin terus menahan—kalau perlu membatalkan—gugatan yang diajukan Sakura. Tapi di sisi lain, ia telah berjanji kepada Sakura bahwa akan menyerahkan berkas-berkas ini berikut tanda tangannya besok siang kepada Sakura. Kalau boleh jujur, ia sangat tidak ingin bercerai dari gadis itu. Setidaknya tidak di saat ia merasakan dan memahami... ia mencintai wanita itu. Wanita yang pertama kali mengajarkannya sebuah hal abstrak bernama... cinta.

Wangi aroma terapi lavender kesukaan Sakura masih tercium dalam udara kamar mereka. Kakashi tak pernah mengganti aromanya, meski Sakura telah lama tak lagi menempati kamar mereka. Ia hanya ingin menegaskan, kamar ini masih milik mereka—ia dan Sakura. Tak pernah dan tak ada keinginan sedikit pun di hatinya untuk menghilangkan jejak-jejak keberadaan Sakura di kamar mereka. Miris memang, mengharapkan wanita yang pernah ditampiknya secara sadar.

Foto pernikahan mereka yang masih tergantung rapi di kamar ini menambah nelangsa di hati Kakashi. Rasanya berat jika suatu hari nanti ia harus melepas foto itu dan menggantinya dengan pajangan lain.

Gila.

Kakashi sadar betul jika ia sangat tidak menginginkan perceraian ini. Namun kebahagiaan Sakura dipertaruhkan di atas lembar gugatan cerai yang kini ada di atas meja. Jika Sakura sendiri meyakini bahwa dirinya lebih bahagia bersama Uchiha Sasuke, mengapa pula Kakashi harus menjadi penghalang dari semua itu? Bukankah yang terpenting kebahagiaan wanita itu?

Kakashi sering dengar kalimat mutiara 'Cinta itu butuh pengorbanan.' Apa itu berarti ia harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi kebahagiaan Sakura—wanita yang dicintainya?

Kakashi tersenyum miris.

.

.

Dulu, Sakura pernah punya mimpi. Ia ingin memiliki sebuah keluarga yang harmonis. Ia bahkan pernah berharap bahwa pria yang nanti menjadi suaminya adalah pria yang mencintainya dengan tulus. Namun Sakura sadar, mimpinya harus dikubur jauh-jauh ketika ia memilih menerima lamaran Kakashi. Karena bukan ia yang memilih, melainkan Kakashilah yang memilihnya menjadi istri.

Awalnya, Sakura tahu ia dan Kakashi sama-sama saling memanfaatkan. Kakashi demi kelainannya dan Sakura demi uang Kakashi. Sama sekali tak pernah terbersit di hatinya bahwa ia akan jatuh ke lubang yang digalinya sendiri. Selalu meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan pernah jatuh cinta kepada Kakashi. Nyatanya ia malah jatuh dalam pesona pria itu.

Sakura tahu, pernikahan mereka hanyalah sebuah kamuflase kelainan Kakashi. Ia bodoh ketika berharap pria berambut keperakan itu akan mencintainya. Tapi itu tidak salah kan? Mengharapkan cinta dari seseorang yang kita cintai?

Sakura menggelengkan kepalanya. Ia kini tengah beristirahat di kamar tamu rumahnya sendiri—ia lebih suka menyebutnya sebagai rumah Kakashi. Ia sudah memutuskan untuk bercerai dengan Kakashi. Ia tak ingin membuat kesalahan lagi dalam hidupnya. Sudah cukup ia menyiksa perasaan Sasuke dengan kebimbangannya selama ini. Ia tak menampik jika masih ada segumpal rasa cinta di hatinya kepada Kakashi, pria yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai mantan suaminya. Namun ia pun tahu, Sasuke telah menempati sudut hatinya dengan segala perhatian dan cinta tulusnya.

Ketukan di pintu kamar membuat Sakura mengalihkan pikirannya. Ia segera membuka pintu kamar dan Kakashi yang berada di balik pintu menampakan kehadirannya.

"Bisa kita bicara sebentar?"

Sakura mengangguk. "Masuklah."

Kakashi memasuki kamar diikuti Sakura di belakangnya. Pria yang memiliki iris berlainan warna itu mengambil tempat di tepi tempat tidur. Sakura berdiri di hadapannya seolah canggung dengan keadaan mereka saat ini.

"Duduklah, di sini," tawar Kakashi sambil memberikan isyarat agar Sakura duduk di sampingnya.

Sakura duduk di sebelah Kakashi. Ia hanya menunduk memandang lantai marmer kamar ini.

"Sakura..."

"Kuharap bukan hal itu yang ingin kaubicarakan Kashi."

Kakashi menghela napasnya dengan berat. Ia tahu Sakura pasti menolak membicarakan hubungan mereka. Tapi Kakashi harus. Ia tidak ingin kehilangan wanita itu dalam hidupnya. Satu-satunya jalan adalah tetap mengikat wanita itu dalam pernikahan mereka.

"Kautahu apa yang ingin kubicarakan," kata Kakashi. "Aku tidak bisa menandatangani gugatan ceraimu. Aku mencintaimu, Sakura..."

Sakura tersenyum tipis. "Maaf, aku tidak bisa Kashi."

"Apa karena Sasuke?" Kakashi menatap wanita di sebelahnya dengan intens. "Aku mengerti—"

"—Kau tidak pernah mengerti," kata Sakura hampir menyerupai seruan. "Kau tidak akan pernah mengerti, Kashi," desah Sakura pelan. "Aku... aku tidak bisa meninggalkan Sasuke. Aku tidak ingin meninggalkannya."

"Lalu kenapa kauingin meninggalkanku?" tanya Kakashi. "Apa aku tidak begitu berharga untuk kaupertahankan?" Kakashi memejamkan matanya. "Jawab pertanyaanku, Sakura. Apakah kau mencintaiku?"

Sakura terdiam, menghela napasnya sejenak. "Apa itu penting untuk saat ini, Kashi?"

"Penting bagiku."

"Aku... mencintai Sasuke."

'Maaf...'

Kakashi tahu, ia tak memiliki harapan lagi untuk menahan Sakura. Ia membuka kedua matanya. "Baiklah jika itu yang kauingini, aku akan menandatangani gugatan ceraimu sekarang," kata Kakashi sambil bangkit dari duduknya, meninggalkan Sakura yang terdiam mematung.

Suara pintu yang ditutup Kakashi mengawali isakan tertahan Sakura.

'Maaf...'

.

.

Suasana hati Sasuke sedang buruk ketika pintu apartemennya diketuk. Dengan malas Sasuke membuka pintu.

Sakura yang berada di balik pintu tersenyum kikuk melihat Sasuke. "Apa kabar?"

Sasuke diam. Ia memperhatikan wanita di hadapannya dengan seksama. Wanita itu masih dengan rambut merah jambu pucat sebahunya, masih dengan kedua mata emerald yang berkilau, masih dengan kulit porselen pucat yang dibingkai rambut merah jambunya.

"Maaf, kalau aku mengganggumu. Aku—"

"—Tidak, masuklah," ajak Sasuke. "Maksudku, kau tidak menggangguku sama sekali, Sakura."

Sasuke memasuki apartemennya, diikuti Sakura di belakangnya. Ruang duduk yang mereka masuki masih sama seperti terakhir kali Sakura datang ke tempat ini. Tak ada yang berubah kecuali satu lukisan yang Sakura tak lihat lagi berada di tempat semula.

"Kamu memindahkannya?"

"Hn?"

"Lukisan itu."

Sasuke tersenyum. "Aku hanya tidak ingin terlarut dalam sebuah kesedihan," kata Sasuke. "Melihat lukisan itu mengingatkanku pada seorang wanita yang kucintai."

Sasuke duduk di sofa, mempersilahkan Sakura untuk duduk di sampingnya.

"Kauingin melupakanku?"

"Aku tidak akan lagi mengganggu rumah tanggamu dengan Kakashi," Sasuke menghela napasnya. "Aku hanya ingin kau bahagia, Sakura."

Sakura memantapkan hatinya. "Bagaimana jika kubilang bahwa aku akan bahagia jika bersamamu."

Hening yang cukup lama menemani mereka. Sasuke tahu, Sakura sangat mencintai Kakashi. Tak mungkin jika wanita itu mencintainya, ia tahu apa yang Sakura lakukan hanyalah untuk menghiburnya—menutupi rasa bersalah wanita itu kepadanya. Ia tersenyum miris.

"Aku tahu kau hanya menghiburku, aku hargai itu Sakura. Tapi percayalah, aku baik-baik saja."

"Apakah ini sebuah penolakan, Sasuke-kun?"

Sasuke meremas jemari Sakura dengan lembut. "Percayalah, aku sangat mencintaimu. Mungkin terdengar gombal jika kubilang aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku sangat menginginkanmu menjadi istriku, ibu dari anak-anakku, tapi aku tahu. Kau mencintai pria lain, jangan sela aku," kata Sasuke ketika melihat gelagat Sakura akan menyela perkataannya. "Aku tahu. Maka di sini, aku merelakanmu. Demi kebahagiannmu, juga kebahagiaanku. Karena aku hanya ingin kau bahagia."

"Aku akan bercerai dengan Kakashi. Aku..., aku bingung, Sasuke-kun..."

"Sssttt..." Sasuke meletakkan jemarinya di bibir Sakura. "Kembalilah kepadanya. Kau mencintainya 'kan?"

Sakura mengangguk. Sasuke menarik wanita itu ke pelukannya. "Aku mencintaimu Sakura. Sangat mencintaimu. Maka dari itu, berbahagialah meski dengannya... demi aku." Sasuke membelai pucuk rambut Sakura sebelum melepaskan pelukannya dan mengecup kening wanita itu.

"Terima kasih, Sasuke-kun."

Sasuke menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ia memejamkan kedua matanya. Mungkin ia bodoh, melepas wanita yang dicintainya demi pria lain. Tapi ia tidak ingin menjadi lebih bodoh lagi dengan terus menjadi penghalang kebahagiaan wanita yang dicintainya. Ia hanya ingin belajar menerima. Sebab dari awal, ia sadar, posisinya salah. Sakura adalah istri sah Kakashi. Ia bukan melepas apa yang seharusnya menjadi miliknya, melainkan mengembalikan apa yang seharusnya bukan menjadi miliknya. Karena ia tahu, hati dan cinta Sakura adalah milik Kakashi.

.

.

Malam ini adalah purnama penuh. Sinar rembulan menyinari Konoha dengan indah. Sakura sedang berada di dalam mobil Sasuke. Kini mereka telah sampai di kediaman Kakashi. Sakura melepas sabuk pengamannya, memandang Sasuke dengan gelisah.

"Masuklah," kata Sasuke.

Sakura masih terdiam. Sasuke yang mengerti kegelisahan Sakura menggenggam tangan wanita itu pelan. "Jangan biarkan dia menunggu terlalu lama, Sakura."

Sakura menatap kedua mata hitam Sasuke. Sakura sadar ia lagi-lagi telah menyakiti pria ini. Pria yang dengan baiknya selalu menjadi tempatnya mengadu, melindunginya, dan... mencintainya. Sakura tahu Sasuke telah mengorbankan perasaannya sendiri demi dirinya—kebahagiaannya. Maka itu, ia tak ingin mengecewakan Sasuke. Sakura tidak ingin menyia-nyiakan apa yang telah Sasuke korbankan. Ia akan mengejar kebahagiaannya.

Sasuke menepuk-nepuk pelan punggung tangan Sakura. "Nah, masuklah."

"He'em..."

Dari balik tirai kamarnya, Kakashi dapat melihat mobil Sasuke yang menepi di jalan. Sosok yang keluar dari mobil itu membuat hati Kakashi merasa ia telah kalah. Sakura ingin bercerai darinya. Pernikahan yang baru ia sadari penting bagi hidupnya, kini harus kandas dan berakhir.

Pikirannya melayang pada pertemuan pertamanya dengan wanita itu. Wanita yang begitu menarik baginya meski ia tahu wanita itu hanya mengejar hartanya. Wanita yang secara lucu menolak dari pesonanya meski ia seringkali menggoda. Wanita yang dengan lembut memberikannya perhatian tulus. Wanita yang mengajarinya bahwa masih ada segelintir orang yang menyayanginya. Wanita yang ternyata ia sakiti berkali-kali. Wanita yang kini meminta cerai darinya.

Kakashi menggeleng pelan. "Apa yang harus kulakukan, Sakura...?" tanyanya kepada dirinya sendiri. Ia memandang foto pernikahan mereka yang masih tergantung di dinding kamar ini. Sakura memakai gaun pengantin berwarna putih, ia mengapit mesra lengan Kakashi di sebelahnya. "Seandainya kita terus seperti itu," desah Kakashi pelan.

Suara ketukan di pintu kamarnya menyadarkan Kakashi dari lamunannya.

"Boleh aku masuk?"

Kakashi cukup terkejut ketika mendapati Sakura berdiri di depan pintu kamarnya—kamar mereka.

"Tentu, masuklah," kata Kakashi.

Kakashi menutup pintu kamarnya sebelum mengikuti Sakura masuk ke dalam kamar. Sakura kini tengah berdiri memandang foto pernikahan mereka.

"Kurasa, aku dulu terlalu gemuk ya?" tanya Sakura pada Kakashi.

"Hn?"

"Lihatlah foto itu, aku seperti ibu-ibu yang hamil lima bulan, dan kau seperti pangeran yang sedang sial menikah denganku," kata Sakura.

Kakashi menaikan alis kanannya. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Sakura mengatakan hal itu padanya. "Kau bermaksud melucu atau apa?"

"Menurutmu?"

Sisi menyebalkan istrinya telah muncul. Kakashi tersenyum simpul. "Kau tidak pernah berubah."

"Memangnya kauingin aku berubah?"

Kakashi tertawa kecil. "Sudahlah, aku yakin kau ke sini bukan hanya untuk mengomentari foto itu," lirik Kakashi pada foto pernikahan mereka.

Sakura nampak meremas ujung kemeja yang dipakainya. "Mmm... aku ingin meminta berkas-berkas gugatan ceraiku."

Kakashi tahu inilah kemungkinan paling besar Sakura mendatanginya. Kakashi berjalan lunglai menuju laci meja di samping tempat tidur. Ia mengeluarkan seberkas surat-surat gugatan cerai Sakura yang ia telah tandatangani siang tadi. Berat rasanya harus mengakhiri sesuatu yang sekiranya baru ingin dijalaninya dengan setulus hati. Kakashi menyerahkan berkas-berkas itu kepada Sakura.

"Seberapa besar pentingnya berkas-berkas ini untukmu, Kashi?"

Kakashi mendengus pelan. "Kautahu lebih baik dari apa yang mungkin kukatakan, Saku."

Sakura tersenyum. Ia merobek berkas-berkas itu menjadi dua bagian. Kakashi tak percaya dengan apa yang kini dilakukan Sakura.

"Sakura?"

"Dengan begini, aku masih menjadi istri sahmu kan?"

"Kau... sedang tidak bercanda kan, Saku?"

"Kalau kau tidak suka, aku akan menyambung kembali berkas-berkas ini," ancam Sakura sambil mengerucutkan bibirnya.

Kakashi tertawa—tawa kebahagiaannya. "Tak akan kubiarkan kau melaksanakan niat jelekmu itu."

Tanpa ragu, pria berambut perak itu menarik Sakura ke dalam pelukannya. "Aku mencintaimu, Sakura," kata Kakashi. "Aku sangat-sangat mencintaimu, Saku."

Sakura tersenyum dalam pelukan Kakashi. Aroma maskulin Kakashi menyeruak ke dalam indera penciumannya. Wangi yang ia rindukan. "Aku juga mencintaimu... Kashi."

Kakashi melepaskan pelukannya. Ia menatap intens Sakura. Sakura mengadahkan wajahnya untuk melihat kedua mata Kakashi yang berada di atasnya. Dengan lembut Kakashi menyentuh dagu Sakura, menuntun wajah gadis itu mendekat padanya. Dengan lebut dikecupnya bibir ranum Sakura.

"Aku mencintaimu."

Sakura tersipu malu. "Jangan menggodaku terus, Kashi."

Kakashi menyeringai. "Biar saja. Aku akan terus menggodamu sampai kau tergoda olehku."

Sakura tertawa kecil. "Bodoh! Apa kau tidak tahu, aku sudah tergoda padamu sejak pertama kali kita bertemu."

"Dan berusaha berkali-kali menolak pesonaku, eh?"

"Terlalu percaya diri!"

Kakashi terbahak. Dengan pelan ia menggendong Sakura ke tempat tidur mereka. Sakura mengalungkan tangannya di leher Kakashi. "Kashi!"

"Sssttt... akan kubuat kau tidak bisa lagi menolak pesonaku," kata Kakashi.

Sakura tertawa kecil. "Dasar!"

Kakashi telah menggendong Sakura sampai tempat tidur mereka. Ia membaringkan Sakura di atas tempat tidur dengan hati-hati. Wajah Sakura memerah ketika ia merasakan hembusan napas Kakashi di atasnya, yang perlahan-lahan mendekat dan mengecup bibirnya. Lalu naik menyusuri tulang hidungnya, sampai mengecup keningnya.

Kakashi menjauh dari tubuhnya lalu dengan cepat membuka kemeja yang dikenakannya. Hal ini mengekspos dada bidang Kakashi yang lagi-lagi membuat wajah Sakura memerah.

"Kashi... kurasa tidak untuk saat ini."

"Kurasa ini malah waktu yang sangat tepat... Sayang."

Sakura memalingkan wajahnya. Ada sebongkah perasaan aneh, bahagia bercampur malu dengan apa yang sebentar lagi mungkin akan dilakukannya dengan Kakashi. Ia telah berkali-kali bercinta dengan pria yang pernah membayarnya. Tapi ini lain. Kali ini ia akan melakukan hal itu dengan suaminya—pria yang dicintainya. Dan ia merasa seperti anak remaja yang baru pertama kali melakukan hubungan intim.

"Jangan palingkan wajahmu dariku, Saku," bisik Kakashi mesra di telinga Sakura.

Sakura tersenyum kecil. "Kau membuat wajahku memerah, Kashi," gerutu Sakura pelan.

Kakashi terkekeh. "Kau cantik Sakura." Tangan kanan Kakashi kini sedang berusaha melepaskan kancing pertama kemeja Sakura. Ia kelihatan frustasi karena tidak juga berhasil membuka kancing itu. "Astaga! Jelek sekali kancing ini, Sakura!"

Sakura tertawa gemas melihat tingkah Kakashi.

"Apa aku harus merobek kemejamu?" pinta Kakashi dengan wajah dibuat sememelas mungkin.

"Jangan! Ini salah satu kemeja terbaikku, Kashi," kata Sakura.

"Yakin? Padahal kurasa aku akan menjadi pahlawan jika berhasil merobek-robek kemeja jelek ini," kata Kakashi. Sakura kembali tertawa. "Sudahlah, biar aku yang membuka kancing kemejaku."

"Serius?" tanya Kakashi tak percaya.

Sakura terkikik sambil membuka kancing-kancing kemejanya. Dulu ia pernah bermimpi memiliki keluarga yang bahagia dan harmonis dengan suami yang mencintainya dengan tulus. Dan kini, mimpi itu perlahan-lahan menjadi kenyataan.

Malam ini menjadi malam yang panjang bagi Kakashi dan Sakura. Meski Sakura hanyalah kupu-kupu tanpa sayap di kedua sisinya, tanpa kepakan di sela-sela hidupnya. Ia akan tetap kembali pulang ke peraduannya, pulang dalam pelukan kebahagiaannya. Selamanya.

TAMAT

.

Arghhhh... selesai juga akhirnya fic gaje ini. T.T #pundung

Maap kalau hasilnya sangat mengecewakan, mau bagaimana lagi? Rumus-rumus ratio sudah meracuni otak saya. Dan sepertinya berpengaruh pada tulisan saya yang abal. Hikss... #

Thanks a lot buat semuanya yang ga bisa aku sebutin satu per satu... :3 hug all...

Aya^^080511