Summary : Sekalipun kau berada di ujung dunia, aku akan tetap bersamamu. Karena sesungguhnya tak ada yang bisa menyayangimu sebaik aku….

Disclaimer : Bleach itu punya ku….dalam mimpi! Hehehehe…

Warning : AU, OOC, abal, gaje, nista, typo selalu jadi momok menakutkan, alur kecepetan, dan temukanlah keanehan lainnya di fic ini..

Rate : T

.

.

.

WHERE EVER YOU ARE

By

Relya Schiffer

.

.

.

Seorang pemuda berambut hitam melangkah pelan menyusuri jalanan yang sepi. Sisa-sisa hujan beberapa saat yang lalu masih meninggalkan genangan air. Sebentuk sabit tergantung di langit malam yang sepi dari bintang. Angin berhembus pelan, menebarkan dingin yang semakin menegaskan kesunyian.

Pemuda berambut hitam kebiruan itu menghela nafas perlahan. Dia menatap langit sebentar dengan sepasang mata kuningnya yang benderang diantara gelap. Entah apa yang ia pikirkan, tak ada yang tahu. Wajah pemuda itu tampak sangat serius, seolah ia tengah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Oh, bukan lagi seolah. Saat ini dia memang tengah teringat kejadian beberapa hari yang lalu, ketika orang tuanya kembali setelah hampir sebulan berada di luar negeri. Ingin tahu apa yang mereka bawa? Perdebatan!

Lagi, untuk kesekian kalinya pemuda berambut dikepang pendek itu menghela nafas. Keasyikannya menatap langit terusik saat ia menyadari kehadiran seseorang yang tengah menatapnya. Mata pemuda itu beralih dan menemukan seorang laki-laki dengan tubuh kurus tinggi menyeringai lebar.

"Wah, wah... Apa yang sedang dilakukan seorang Ggio Ishida di tengah jalanan seperti ini, eh?"

"Ggio Vega, Nnoitra Jiruga! Koreksi ucapanmu!"

Pemuda kurus yang dipanggil Nnoitra itu terkekeh. Ia menghampiri orang yang tadi dipanggilnya dengan nama Ggio itu. Rambutnya yang lurus dan cukup panjang bagi laki-laki itu tergerai jatuh melebihi nahunya.

" Kenapa kau tudak mau memakai nama ayahmu, hah? Bertengkar lagi?" ejeknya.

"Bukan urusanmu. Kau tidak datang kesini dengan tangan kosong, kan?" tanya Ggio malas.

Nnoitra tersenyum aneh.

"Ikut saja dengan ku. Kau tidak akan menyesal. Bagaimana?"

Mata Ggio menyipit menatap Nnoitra yang masih menyunggingkan senyuman aneh di bibirnya itu. Rasa penasaran yang menjadi ciri khasnya sejak kecil mendorongnya untuk menuruti keinginan laki-laki ini. Sekalipun hati kecilnya melarang karena Ggio telah mengenal baik siapa Nnoitra Jiruga. Namun, rasa penasarannya lah yang menang.

"Baik. Tapi awas kalau kau membuat ku menyesal!" ancam Ggio.

Nnoitra tak menyahut. Dia hanya melangkah sambil terus tertawa. Sementara dibelakangnya, GGio mengikuti.

Sementara di lain tempat, di sebuah rumah yang terletak di salah satu sudut kota Karakura, seorang gadis berusia 16 tahun sedang gelisah dalam tidurnya. Matanya terpejam erat dengan raut wajah yang menunjukkan ketakutan. Keringat menetes dan membasahi wajah manisnya yang sedang terlelap. Sepertinya gadis itu bermimpi buruk. Tubuhnya terus bergerak dan membuat tempat tidurnya kacau balau. Dari bibirnya terlontar desisan samar yang bercampur dengan isakan kecil.

"Otou-san... Okaa-san... T-tolong hentikan... A-aku takut... Grimm-nii..."

Setetes cairan bening menetes dan tampak berkiilau di bawah cahaya sabit malam.


Pagi hari, pukul 06.00.

Seorang pemuda berambut biru cerah membuka jendela kamarnya yang tak berteralis. Pemuda bermata sapphire itu tersenyum saat menghirup udara segar yang mencuci sisa-sisa pernapasan di rongga paru-parunya. Dengan wajah yang penuh semangat, pemuda bertinggi 185 cm itu menyahut tas gemblok yang tergeletak di atas meja di sudut ruangan. Sambil bersiul kecil ia keluar dari ruangan pribadinya itu dan melangkah menuju ruang makan.

Pemuda itu bernama Grimmjow Ichimaru. Usianya 20 tahun. Dia hanya tinggal berdua dengan adiknya yang baru berusia 16 tahun, Orihime Ichimaru. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia dua bulan yang lalu. Dan sekarang ini ia masih berstatus mahasiswa semester lima dengaan beasiswa di Universitas Karakura. Tadinya Grimmjow tinggal sendiri di Karakura, sedangkan adik dan orang tuanya berada di Tokyo. Tapi sejak ayah dan ibunya meninggal, Grimmjow memilih untuk membawa Orihime bersamanya lantaran khawatir jika adiknya itu tinggal sendirian di Karakura. Orihime sendiri masih berstatus sabagai siswi kelas 2 SMA. Namun, Grimmjow memiliki alasan sendiri mengapa setelah 2 bulan menetap di kota ini ia belum juga memasukkan adiknya itu ke salah satu sekolah di Karakura. Untuk mencukupi hidupnya dan adiknya, Grimmjow harus bekerja paruh waktu di sebuah cafe di sela-sela waktu kuliahnya. Memang terasa berat, tapi ia tak punya pilihan lain.

Rumah yang di tempati Grimjow dan Orihime tidak luas. Hanya terdiri dari dua kamar tidur, ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur dan kamar mandi. Namun baginya rumah ini adalah tempat yang ia rasa paling aman. Terutama untuk adinya, Orihime.

Senyum di wajah Grimmjow tambah lebar ketika melihat seorang gadis berambut orange duduk di kursi makan. Dihampirinya sosok itu sambil berucap pelan.

"Ohayou, Hime-chan."

Orihime menoleh perlahan. Dia tersenyum tipis melihat sosok kakaknya.

"Ohayou, Grimm-nii."

Grimmjow mengusap kepala Orihime penuh sayang.

"Aku berangkat dulu ya, cantik! Baik-baik di rumah sampai kakakmu yang ganteng ini kembali, oke?"

"Tidak sarapan dulu, Grimm-nii?" tanya Orihime, mengacuhkan ocehan super pede kakaknya tadi. Dia menatap Grimmjow polos.

"Euh, aku sedang banyak tugas. Jadi hari ini harus berangkat lebih pagi." jawab Grimmjow sambil meminum susu yang telah tersedia di gelas. Dalam hati ia bersyukur. Hari ini susu yang ia minum terasa manis. Yah, kemarin mungkin adalah hari sialnya karena adiknya tersayang memasukkan garam ke dalam susu jatah sarapannya.

"Kamu jangan kemana-mana ya, Hime-chan."

Orihime mengangguk tanpa menyahut. Tapi itu saja sudah memberikan jawaban.

Grimmjow lagi-lagi tersenyum. Setelah mencium kening Orihime, pemuda itu pun berlalu. Suara langkahnya kian lama kian menjauh dan memudar, diakhiri dengan suara pintu tertutup.

Orihime masih menatap jalan yang tadi dilalui Grimmjow. Setelah yakin bahwa kakaknya itu telah pergi, gadis manis itu pun kembali fokus pada roti panggang di hadapannya. Baru saja ia ingin menyuap roti yang telah di potong-potong dan diberi selai strawberi itu, tiba-tiba saja tangan Orihime gemetar hebat. Sepasang mata beriris abu-abu miliknya melebar seperti mau meloncat keluar. Dia menoleh ke sekelilingnya dengan ragu-ragu, bersikap seperti orang yang sedang diamati. Padahal jelas-jelas tak ada siapapun di tempat itu. Hanya ada dirinya dan kesunyian. Tak butuh waktu lama sampai alat makan yang dipegangnya jatuh di atas piring dan menimbulkan denting keras. Orihime tersentak hebat sampai-sampai tubuhnya terjatuh dari kursi. Raut ketakutan terukir jelas di wajah manisnya yang memucat. Serta merta, ia menutup telinga dan kedua matanya yang mundur hingga menabrak dinding. Matanya terpejam erat seolah apa pun yang ia lihat adalah hal yang sangat mengerikan. Orihime tersudut sambil memeluk lututnya. Seiring dengan tubuhnya yang gemetar hebat, suara isakan pedih meluncur dari bibir mungilnya.

.

.

.

Perpustakaan Universitas Karakura, pukul 13.00.

Grimmjow mwnelusuri tiap rak buku berisi buku-buku yang berkaitan dengan manajemen. Keningnya berkerut serius, membuat wajahnya yang memang sudah tampan jadi semakin tampan. Saking seriusnya mencari, ia sampai tidak sadar bahwa ada sosok lain yang mendekatinya dari belakang.

"Cari ini?"

Grimmjow tersentak dan menoleh cepat.

"Ulquiorra?" serunya." Dammit! Jangan ngagetin gitu, dong! Kau mau jantungku copot, hah?" ia mengomel.

Seorang pemuda berambut hitam menatap Grimmjow dengan tatapan biasa saja. Ia terkesan tak peduli, padahal jelas-jelas ia baru saja menjadi penyebab seseorang mengomel. Untung saja petugas perpustakaan tak ada yang melihat. Jika tidak, mereka pasti sudah diusir karena membuat keributan.

"Kecilkan suaramu, baka! Kau mau kita diusir dari ruangan ini?"

Grimmjow menggeram kecil, "Kau!" desisnya kesal pada kecuekan sahabatnya ini.

Ulquiorra Schiffer. Pemuda bermata emerald hijau itu adalah sahabat Grimmjow sejak SMA. Meskipun lebih serang bertengkar mulut daripada akur, tapi mereka berdua memiliki cara tersendiri dalam menjalin persahabatan. Yah, cara yang aneh memang. Tapi begitulah mereka. Di Universitas Karakura, Grimmjow dan Ulquiorra serta satu teman mereka cukup menjadi trend setter lantaran sama-sama berwajah tampan. Tak hanya itu, kepandaian mereka pun kerap menjadi perbincangan para dosen.

"Aku telah mengamatimu dari tadi. Kau yang tak sadar!" ujar Ulquiorra agak ketus. "Nih, buku yang kau cari. Aku menemukannya sebelum kau pusing mencari buku ini." ia menyodorkan sebuah buku yang lumayan tebal.

Grimmjow meraih buku dari tangan Ulquiorra.

"Arigatou. Tapi kau telat, karena aku sudah sempat pusing." cibirnya.

"Derita mu." tukas ULquiorra yang membuat Grimmjow kembali menggeram kecil.

Mereka berdua kemudian menuju meja yang terletak di tengah ruangan. Beberapa mahasiswi tersenyum ketika melihat dua pemuda tampan itu. Hanya Grimmjow yang membalas senyuman mereka, sedangkan Ulquiorra tetap terfokus dengan buku di tangannya. Grimmjow hanya bisa geleng-geleng. Dari dulu, Ulquiorra tetap saja tak berubah. Tetap dingin danjarang tersenyum.

"Oia, kemana Nel dan Soi, Ulqui?" tanya Grimmjow setelah mengisi satu dari sekian banyak bangku kayu yang mengelilingi meja.

"Kau pikir siapa yang sejak tadi ada di hadapanmu itu?" jawab Ulquiorra tak menatap sahabatnya.

Grimmjow langsung menghadap ke depan. Ia mendapati seorang perempuan berambut hijau toska yang sedang merengut dan seorang perempuan mungil berambut pendek dengan dua kepangan menyeringai kecil. Neliel Tu Oderscvank, kekasihnya. Dan Soi Fon, sahabatnya.

"Sudah puas tebar pesona, Tuan Grimmjow Ichimaru?"

Grimmjow memamerkan sederet gigi putihnya dalam satu cengiran.

"Ehehehe...Nel? Kamu disitu,ya?"

"Ya, dan aku melihat semua tingkah mu yang pamer senyum pada gadis-gadis junior itu!"

Grimmjow melirik Ulquiorra yang masih asyik dengan buku bacaannya. Tapi ia bisa memastikan bahwa ada semacam seringai tipis di wajah pemuda stoic itu, seringai meledek. Sial!

"Aku hanya membalas senyuman mereka, Nel. Apa salah?"

"S-a-l-a-h."

"Diam kau, Soi!" sengat Grimmjow pada sosok mungil berkepang yang duduk di sebelah Neliel.

Disuruh diam, Soi Fon malah terkikik. Tawa kecilnya itu baru berhenti ketika petugas perpustakaan bernama Unohana Retsu yang sedang berjaga melirik ke arah mereka berempat.

Neliel masih cemberut, tapi ekspresi itu tak bertahan lama. Perempuan cantik itu memasang wajah serius seiring dengan sikap Soi Fon yang juga tampak serius. Ulquiorra bahkan telah menutup bukunya dan mengangkat wajahnya yang memang sudah serius. Sikap mereka bertiga membuat kening Grimmjow berkerut.

"Ada apa? Kenapa tampang kalian jadi serius begitu?" tanyanya heran.

"Ada masalah, Grimm." Neliel menjawab.

Kerutan Grimmjow bertambah. "Masalah?" ulangnya.

Neliel mengangguk mantap.

"Ggio tidak pulang." Soi Fon buka suara.

"Eh? Bukannya dia memang sering tidak pulang? Apa yang aneh?"

"Kali ini berbeda." Ulquiorra menatap Grimmjow yang duduk di sebelahnya. "Dia juga bolos kelas pertama. Sesuatu yang tak pernah dilakukan oleh Ggio." jelas pemuda bertinggi 169 cm itu.

"Yang benar?" mata sapphire Grimmjow melebar. Dia menatap Soi Fon meminta penjelasan lebih. Tapi gadis berpostur mungil itu hanya mengangguk.

"Teman ku, ada yang melihatnya bersama Nnoitra."

"APA? NNOITRA?"

.

.

.TBC.


Yooooo...relya Schiffer hadir dengan fic baru. Semoga typo berkurang. Mind to ripuyu? ^^