Koibito wa Maid-sama!

Summary : "Kau tahu betapa inginnya aku bertemu denganmu?"/"Sebaliknya, aku sama sekali tak ingin bertemu denganmu."/Sang master pun pada akhirnya tunduk pada maid-nya. Warning : AU, OOC bertebaran, typo dimana-mana, gaje tingkat tinggi. SasuSaku.

Disclaimer : Dengan penuh kesadaran dan kewarasan, saia umumkan bahwa Naruto series masih milik MASASHI KISHIMOTO *sfx : applause*

A/N : Maaf update-nya lama. Soalnya saia lagi pundung meratapi 'kematian' band paling paporit saia, Kagrra,. *malah curhat*

Untung saja chapter ini udah selesai saia ketik jauh2 hari sebelum kabar laknat itu T^T

Yap, selamat membaca! Maap kalo A/N kali ini kesannya suram, karena saia emang sedang berduka T^T *nangis glundungan*

Special Gratitude : All reviewer dan yg udah nge-fave maupun nge-alert fic ini.

~*~ Koibito wa Maid-sama! ~*~

Dengan tangan gugup Sakura mulai mengurutkan pesan-pesan di kotak chat tersebut.

Ore-sama (22.34) : Kurasa sebentar lagi dia akan tahu. Bagaimana ini, aniki?

Itachi-aniki (22.34) : Kok bisa?

Ore-sama (22.35) : Koperku ditukar dengan miliknya. Dan KALUNG MILIKNYA ADA DI DALAM SANA! Bagaimana kalau dia menemukannya?

Itachi-aniki (22.35) : Masih belum pasti, kan? Lagipula apa salahnya kalau dia menemukan kalung itu? Toh memang itu kalungnya.

Ore-sama (22.36) : Ini semua terlalu cepat! Aku belum siap, aniki!

Itachi-aniki (22.37) : Cepat? Kau anggap sepuluh tahun itu cepat? Lalu kapan kau akan siap? Sepuluh tahun lagi?

Ore-sama (22.38) : Bukan itu! Aku hanya tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan terhadapnya.

Itachi-aniki (22.40) : Sekarang kutanya, kenapa kau kembali ke rumah saat kau tahu kalau pembantu baruku adalah Sakura-chan?

Ore-sama (22.41) : Saat itu yang terpikir olehku hanya aku ingin minta maaf karena tak bisa datang sepuluh tahun lalu.

Itachi-aniki (22.41) : Tapi kau tak kunjung minta maaf HINGGA DETIK INI. Malahan dengan bodohnya kau memintanya menjadi maid pribadimu!

Ore-sama (22.51) : Kau benar, aniki. Sepertinya aku sudah paham…

Itachi-aniki (22.52) : Kurasa sekarang adalah waktunya. Semakin lama kau menyembunyikannya hanya akan membuat Sakura-chan semakin sakit.

Aku tak menyangka seorang UCHIHA SASUKE bisa jadi berantakan seperti ini.

Tak terasa tangan Sakura terangkat ke bibirnya. "Ternyata… memang… Sasuke..?" airmata Sakura menetes membasahi layar ponsel Sasuke.

6th chapter : Kekasihku adalah Maid!

"Sakura-chan?" panggil seseorang. Reflek Sakura menoleh sementara tangannya menyembunyikan ponsel Sasuke di belakang tubuhnya.

"Sasori-senpai! Kenapa kembali ke sini?" tanya Sakura kelabakan.

"Kau menangis, Sakura-chan?" tanya balik Sasori saat melihat mata Sakura yang berkaca-kaca. Dia langsung berlari kecil mendekati Sakura.

"Ah, enggak! Tadi kelilipan pas ngambil benda di bawah kursi," sanggah Sakura. Dia menyelipkan ponsel Sasuke di sela kursinya lalu mengusap matanya yang basah.

"Ayo turun!" ajak Sasori sambil meraih tangan Sakura. Sakura menurut dan mengikuti Sasori turun dari bus.

~*~ Koibito wa Maid-sama! ~*~

'Aku ga bisa menemukan Sasuke dimanapun. Kemana sih sebenarnya dia pergi?' dumal Sakura dalam hati. Perasaan yang campur aduk berkecamuk di dalam dadanya. Jujur, dia senang mengetahui fakta bahwa bocah itu adalah Sasuke, tapi dia juga merasa dibohongi.

"Sakura-chan, ada yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Sasori prihatin.

"Enggak kok! Mungkin hanya perasaan Senpai saja," bantah Sakura kikuk.

"Jangan bohong, Sakura-chan! Sudah hampir sejam kita berjalan di tepi sungai ini tetapi kau sama sekali tidak mengatakan sesuatu selain 'ya' dan 'hm'," ujar Sasori.

"Aku… Itu…" Sakura kehilangan kata-katanya. Dia menghela napas dalam-dalam. "Sasori-senpai ingat cerita tentang bocah yang menyelamatkanku saat aku hampir mati?"

"Ya. Kenapa?"

"Sebenarnya saat itu aku hampir mati karena tenggelam. Di tempat ini…" kedua bola mata Sakura menatap dalam bola mata Sasori. "…di waktu yang sama saat Sasori-senpai juga hampir mati tenggelam."

Mata Sasori membulat. "Maksudmu?"

"Ya. Awalnya kukira mungkin Sasori-senpai adalah bocah itu," Sakura berjalan ke arah pinggir sungai dan memandang pantulan wajahnya dari permukaan air. "Tapi ternyata salah."

"Bagaimana kau tahu bahwa dia bukan aku?" desak Sasori yang mengikuti Sakura ke tepi sungai. "Kusso! Kalau saja aku ingat kejadian itu!" Sasori mengepalkan tangannya.

"Malam itu… setelah aku dan bocah itu diselamatkan, ada seorang bocah lagi yang terjatuh dan terseret arus," ujar Sakura.

Tiba-tiba mata Sasori membulat. Ingatannya kembali ke peristiwa sepuluh tahun yang lalu. "Aku ingat," ujarnya datar.

Sakura menoleh dan menatap Sasori. "Senpai?"

"Saat itu aku sedang melihat kerumunan orang yang panik karena mencoba menyelamatkan dua orang anak yang terseret arus," katanya dengan pandangan mata kosong. "Setelah kedua selamat, aku mencoba mendekat. Tapi malangnya aku tersenggol seseorang dan terjatuh ke sungai."

Kepala Sasori terasa seperti dihantam palu besar. Tubuhnya bergerak-gerak tak seimbang hingga terlihat dia akan jatuh kapan saja.

"Sasori-senpai!" pekik Sakura saat melihat Sasori hampir saja tumbang. Dia mencoba menahan tubu Sasori, tapi karena posisinya yang terlalu dekat dengan permukaan sungai, tubuhnya limbung ke sungai.

BYUR!

"SAKURA-CHAN!" teriak Sasori yang sudah terduduk dengan tangan memegangi kepala. Beberapa orang yang ada di dekat situ langsung berlari mendekati Sasori.

BYUR!

Terlihat seseorang terjun ke dalam sungai.

"SASUKE-SENPAAAAAI!" teriak para siswi heboh dan histeris. Beberapa tampak mulai menangis tersedu-sedu.

'Bodohnya aku… jatuh di tempat yang sama…' gumam Sakura dalam hati yang masih terbawa arus sungai.

"Apa akan ada yang menolongku, ya? Ah, tapi kan arus sungai ini terlalu deras! Mana ada yang berani?" pikiran-pikiran aneh mulai bersliweran di kepala Sakura.

"Ada, bodoh! Buktinya aku mau menolongmu!" seru seseorang. Sakura seperti melihat bayangan seorang anak dengan pakaian musim dingin dan topi wol di dalam kegelapan.

"Kau?" suara Sakura tercekat saat melihat bocah yang ada di depan kedua matanya.

"Aku kan sudah bilang jangan main di dekat sungai lagi! Kenapa nggak nurut, sih? Lihat sekarang, kau jatuh lagi, kan?" omel bocah itu.

Sakura mulai terisak. "Tapi… tapi…" suara Sakura mulai tidak jelas. "Kau tidak akan datang… kalau aku tidak jatuh ke sungai!"

Bocah itu menghela napas. "Kau sudah tak perlu jatuh ke sungai lagi. Aku akan datang kapanpun kau ingin. Sekarang, buka matamu!"

Sakura menuruti perintah bocah itu dan membuka mata.

"Sakura-chaaaaan!" isak Ino yang sudah memegangi tangannya. Pipinya basah dan matanya sembab.

"Sakura-chan!" kepala Sakura berputar dan menemukan Sasori duduk di sampingnya.

"Ini dimana?" tanya Sakura lemah.

"Di ruang tengah kantor parkir," jawab Sasori.

"Haruno-san, kau baik-baik saja? Bagaimana perasaanmu?" tanya Tsunade-sensei yang berdiri di depan kaki Sakura.

"Saya sudah tidak apa-apa, Sensei!" jawab Sakura.

"Syukurlah! Aku akan keluar sebentar untuk mencarikan makanan" ujar Tsunade-sensei kemudian keluar dari ruangan itu.

"Syukurlah, Sakura-chan! Aku takut terjadi sesuatu padamu!" kata Ino yang masih terisak.

Sakura tersenyum. "Sudahlah Ino-chan… Yang penting sekarang aku selamat," hibur Sakura.

"Sakura-chan, maafkan aku," ujar Sasori. "Karena aku kau sampai jatuh ke sungai."

Sakura menggeleng. "Ini bukan salah siapa-siapa. Lagipula aku selamat, kan? Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Untung saja ada Sasuke-senpai di dekat situ," kata Ino. Sontak Sakura langsung terduduk. "Sakura-chan?"

Sakura menatap lurus dengan pandangan kosong. "Dia… sekarang dimana?"

"Saat aku masuk untuk membawa hoodie-mu dia terlihat pergi keluar," jawab Ino.

Tanpa menunggu Sakura langsung melompat turun dan segera berlari dan keluar dari ruangan itu.

"Sakura-chan?" panggil Ino. Namun Sakura tidak menggubrisnya dan terus berlari.

'Dimana…? Dia dimana?' batin Sakura kalut. Semua orang yang ia temui ia tanyai dimana Sasuke. Namun hampir semuanya tidak tahu dimana keberadaan Sasuke.

"Sasuke-kun?" tanya balik seorang siswi tahun ketiga. "Kalau tak salah tadi dia sedang berdiri di dekat pohon besar sebelah sana," lanjutnya sambil menunjuk ke arah yang menjauhi parkiran.

"Arigatou!" balas Sakura kemudian mulai berlari lagi.

Setelah sekitar dua puluh meter berlari, Sakura melihat Sasuke yang sedang berdiri menyandar pada pohon besar. Pohon tempat Sakura menunggu Sasuke setiap tahunnya.

"Ketemu!" kata Sakura lega. Sasuke yang sedari tadi melihat ke arah sungai langsung menoleh ke arahnya.

"Kau sudah baikan?" tanya Sasuke datar lalu kembali memandangi sungai. Tangannya dimasukkan ke saku hoodie.

"Terima kasih kau sudah menyelamatkanku," kata Sakura. "Lagi."

"Apa maksudmu?" timpal Sasuke yang tetap terlihat tenang tanpa menoleh ke arah Sakura.

"Kau sudah tak perlu menutupinya lagi. Aku sudah tahu," sahut Sakura. "Kau… bocah yang dulu menyelamatkanku, kan?"

Sasuke tidak menjawab. Dia hanya membisu tanpa sedikitpun mengalihkan perhatiannya pada Sakura.

"Kenapa kau tidak mengaku padaku kalau kau adalah bocah itu?" desak Sakura.

Sasuke masih tetap diam. Dia mengerjapkan matanya sekali.

"SASUKE, LIHAT AKU! APAKAH SUNGAI LEBIH MENARIK DARIPADA AKU?" bentak Sakura seraya menarik lengan baju Sasuke. Mau tak mau Sasuke harus menoleh.

Sasuke terlihat sedang berpikir. "Kalau memang aku, lalu kenapa?"

Airmata Sakura kembali bergulir. Dia menundukkan kepalanya tanpa melepas remasan tangannya di lengan baju Sasuke. Suara isak tangis pun mulai terdengar pelan.

Sakura mendongak dan menatap Sasuke lurus. "Kau tahu betapa inginnya aku bertemu denganmu?" ujarnya getir. "Sepuluh tahun aku terus menunggu di tempat yang sama, berharap kau akan muncul kapanpun dan dari manapun."

Sasuke mengalihkan pandangannya. "Sebaliknya, aku sama sekali tak ingin bertemu denganmu."

Kedua mata Sakura terbelalak dan mulutnya agak terbuka. "Ap-apa maksudmu?"

"Kau tidak mengerti? Akan kuulangi, AKU TIDAK INGIN BERTEMU DENGANMU!" tandas Sasuke.

Tangan Sakura terlepas dari lengan baju Sasuke secara tak sadar. Kakinya mundur selangkah, dan tiba-tiba dia jatuh terduduk di tanah. Kepalanya tertunduk dan suara isakan kembali terdengar.

"Kenapa?" isak Sakura. "Kau membuatku terlihat bodoh! Kenapa?" pekik Sakura lepas kendali. Dia mengelap airmata yang membanjiri wajahnya dengan punggung tangan.

Jari Sasuke bergerak menyapu pipi Sakura dan terus bergerak menuju belakang kepala Sakura. "Jangan menangis," pintanya miris. Dan saat Sakura sadar, dia sudah berada di dalam pelukan Sasuke yang duduk di depannya.

"Karena aku merasa tidak pantas bertemu denganmu," lanjut Sasuke.

Sakura mendongak agar bisa melihat wajah Sasuke. Tapi yang bisa ia lihat hanyalah sebagian wajah Sasuke saja. "Apa maksudmu?" tanyanya meminta penjelasan.

"Aku sudah membuatmu menunggu sampai sepuluh tahun, kan? Apa itu kurang menjelaskan segalanya?" ujar Sasuke.

"Lalu, kenapa kau tak datang waktu itu?" Sakura mengusap pipinya yang basah.

"Aku punya alasan yang bagus untuk itu. Tapi aku tidak yakin kau mau mendengarkannya," jawab Sasuke ragu.

Sakura melepas pelukan Sasuke. Dia menundukkan kepalanya. "Akhirnya aku mengerti saat Itachi-sama mengatakan agar aku tidak membencimu karena kau pasti punya alasan kuat."

"Hn?" Sasuke memiringkan kepalanya.

"Dan aku sudah berjanji. Jadi, apapun alasanmu, aku takkan marah ataupun membencimu," ujar Sakura nampak tenang. "Sekarang, katakan semuanya. Aku akan mendengarkan sampai akhir."

Sasuke menghela napas dalam. "Baiklah, akan kuceritakan…

Beberapa hari sebelum Tanabata tiba-tiba orangtuaku memutuskan untuk mengelola perusahaan mereka yang ada di luar negeri untuk beberapa tahun. Karena saat itu aku masih terlalu kecil, orangtuaku ikut memboyongku dan menyekolahkanku di sana. Aku yang tahu tentang rencana itu berkeras tidak ingin meninggalkan Konoha apapun yang terjadi.

Tapi kehendak orangtuaku tidak bisa dipatahkan oleh apapun…

Hingga akhirnya aku melalukan hal yang ekstrim. Aku kabur dari bandara beberapa jam sebelum keberangkatan. Saat itu hujan lebat dan aku nekat berlari pulang ke rumah. Untung saja aku sudah menghapalkan jalurnya.

Karena tindakan ekstrimku keberangkatan ditunda. Awalnya aku merasa senang karena setidaknya aku bisa pergi ke sini saat Tanabata. Tapi perkiraanku salah. Aku terserang flu dan demam sehingga tidak bisa bangun dari tempat tidur. Barulah setelah lewat beberapa hari aku sembuh. Tapi orangtuaku langsung membawaku ke luar negeri.

Empat tahun kemudian aku diperbolehkan kembali ke Konoha karena musim liburan. Saat itu bukan Tanabata, jadi aku sudah tahu pasti kau takkan datang ke sana. Aku mencoba mencari rumahmu, tapi penduduk sekitar bilang kau sudah pindah ke luar kota.

Saat itulah aku merasa kau pasti sudah melupakan janji kita dulu. Makanya aku menyerah untuk datang pada malam Tanabata selanjutnya," tutup Sasuke.

Sakura memandang Sasuke dengan tatapan tak percaya. "Baka! Aku pindah karena aku mendapat beasiswa di Konoha. Aku menerima beasiswa itu juga karena aku ingat kau bilang tinggal di Konoha!" cerocos Sakura.

"Mana kutahu kau ke Konoha!" sanggah Sasuke. "Lalu suatu hari Aniki menghubungi ibuku karena dia baru saja memperkerjakan pembantu baru. Lalu dia mengatakan padaku bahwa dia menemukan gadis yang kucari."

Sakura termenung sejenak. 'Ternyata Itachi-sama juga tahu! Pantas saja dia langsung menerimaku saat pertama melihatku!' batinnya.

"Hari itu juga, karena terdorong rasa menyesal, aku memutuskan untuk tinggal bersama Aniki di Konoha," lanjut Sasuke. "Tapi setelah melihatmu aku malah tak berani mengatakan bahwa aku adalah bocah yang kau tunggu."

"Dasar pengecut!" rutuk Sakura sebal.

Sasuke mengangkat bahunya. "Terserah! Oh iya, apa kau tahu alasanku menjadikanmu maid pribadiku?"

"Hm…" Sakura berpikir keras. "Jujur, saat pertama kali mendengarnya aku ingin sekali menonjokmu."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku, Sakura!"

"Tapi, memang itulah yang kupikirkan saat itu!" sergah Sakura.

"Alasan utamanya adalah agar aku bisa memonitor gerak-gerikmu dan menemukan waktu yang tepat untuk meminta maaf."

"Sampai masuk ke sekolahku segala?"

Sasuke mengangguk ringan. "Kalau saat itu aku tidak diijinkan pindah sekolah, mungkin aku akan memaksamu untuk home schooling saja."

"Kau!"

"Tapi ternyata berada terus di dekatmu malah lebih berbahaya. Lama-kelamaan aku mulai menaruh hati padamu. Hingga membuatku semakin takut untuk mengaku," ujar Sasuke panjang lebar. "Hingga Ino menceritakan masa lalumu."

"Cukup, Sasuke!" pinta Sakura. "Yang penting sekarang kau sudah di sini, dan mengatakan semuanya padaku. Aku tak peduli lagi dengan masa lalu."

Sasuke memundurkan kepalanya sehingga bisa melihat wajah Sakura lebih jelas. Wajah yang begitu bahagia. Sampai tidak menampakkan kalau beberapa saat yang lalu dia baru saja menangis histeris.

"Hai, kau datang juga! Aku sudah lama menunggumu, lho!" cetus Sakura lucu.

Sasuke menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Err… Maaf membuatmu menunggu," balasnya kikuk.

Sakura tertawa pelan. Lalu tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Aku sudah menerima kalungku. Jadi, kau tak perlu repot-repot mengembalikannya," katanya tenang.

"Hn?" Sasuke terlihat bingung.

"Jadi sekarang giliranku mengembalikan sesuatu yang kau titipkan dulu," Sakura mendekatkan wajahnya ke wajah Sasuke.

CUP!

Saat Sakura berniat melepas ciumannya, Sasuke menahan kepalanya dengan tangan yang sudah berada di tengkuk Sakura. Setelah beberapa saat Sasuke melepas ciumannya.

"Sasuke…" panggil Sakura secara tidak sadar.

"Apa?" tanya Sasuke lembut.

"Ah, sudahlah! Yang penting sekarang kita impas," ujarnya puas.

"Uhm… Sebenarnya…" Sasuke merasa ragu.

"Apa lagi?"

"Sebenarnya aku sudah menerima ciuman itu."

"Ah! Benar juga! Tempo hari di kamarmu itu," dengus Sakura. "Harusnya aku tak perlu melakukannya tadi!"

"Bukan! Bukan waktu itu," koreksi Sasuke.

"Hmm? Lalu kapan?"

"Saat aku mengendongmu ke kamarku dulu," kata Sasuke pelan-pelan.

Sakura mengernyitkan dahinya. Dia mencoba berpikir keras. "Jadi kau memang melakukan sesuatu padaku!" tuding Sakura emosi.

"Ya abis… Aku kan hanya ingin berjaga-jaga sebelum bibirmu dijarah orang lain!" Sasuke membela diri.

"Grrrr…" urat marah di dahi Sakura mulai bermunculan satu demi satu.

"Udah, dong! Masa gitu aja marah?" ujar Sasuke mencoba menenangkan. "Ah, nggak nyangka kekasihku adalah maid!"

"SIAPA BILANG AKU SETUJU JADI KEKASIHMU!"

Sasuke terkekeh sambil berlari menjauhi Sakura yang sudah siap melemparnya dengan sepatu.

"Sasori-senpai?" panggil Ino seraya menepuk bahu Sasori. Sejak beberapa saat tadi ia dan Sasori sudah memperhatikan Sakura dan Sasuke dari balik pohon besar.

"Kalau saja saat itu aku lebih dulu tahu ada anak yang tenggelam…" gumam Sasori. Beberapa saat kemudian dia melangkah menjauh dari tempat itu.

Ino memutar-mutar bola matanya lalu dia menjentikkan jari. "Senpaaaiii! Bagaimana kalau menyewa maid? Akan kubantu mencarikannya!" seru Ino sembari berlari mengikuti Sasori.

~*~ Koibito wa Maid-sama! ~*~

Hari Minggu…

Sasuke sedang duduk di ranjangnya sambil menghadap laptop. Di kepalanya terpasang headphone lengkap dengan mikrofon kecil. Dia sedang berbincang dengan ayahnya melalui Skype.

Fuga : Kau yakin, Sasuke?

Sasu : Sangat yakin. Makanya, batalkan semua rencana pertunanganku dengan gadis-gadis yang tidak jelas itu.

Fuga : Yah, kalau masalah itu sih Mama yang memegang kendali. Ayah tidak bisa apa-apa.

Sasu : Baiklah, aku akan berbicara dengan Mama nanti.

Fuga : Tiga jam lalu Mama pamit mau keluar, tapi kok Ayah punya firasat buruk, ya? Oh ya, kapan kau akan mengenalkannya pada Ayah?

Sasu : Tidak sekarang pastinya! Aku masih butuh kepastian dari Mama. Bisa repot kalau aku membawanya ke sana tapi gadis-gadis aneh itu masih saja berkeliaran di sekitarku.

Fuga : Oke-oke… Ayah juga akan mencoba berbicara dengan Mama. Ayah harap kau bisa secepatnya menyusul Itachi.

Sasu : Menyusul apa? Dia kan belum mau menikah!

"Sasuke! Aku masuk, ya?" ucap Sakura dari luar kamar.

Sasu : Udah dulu, Yah! Nanti saja kalau Mama sudah pulang aku online lagi.

Fuga : Oke.

"Masuk aja!" balas Sasuke seraya membereskan headphone dan menutup laptopnya.

Terlihat Sakura dalam balutan seragam maid masuk sambil membawa nampan berisi roti panggang dan susu. Langsung saja nampan itu ia taruh di atas meja sebelah ranjang.

"Jadi? Kenapa pagi-pagi begini kau sudah datang?" tanya Sasuke. "Ini kan hari Minggu. Nggak ada sekolah." Dia memposisikan duduk di tepi ranjang.

"Kau juga harus bangun, mandi, dan sarapan di hari Minggu, kan?" celetuk Sakura. "Tapi sepertinya kau sudah bangun dan…" dia mendekatkan hidungnya di tubuh Sasuke. "…sudah mandi."

Sasuke memandang Sakura yang berdiri di depannya. "Masih betah jadi maid-ku?' godanya.

"Aku masih membutuhku pekerjaan ini untuk menopang hidupku sampai lulus," jawab Sakura datar. "Tapi kalau kau tidak berminat kulayani lagi, aku bisa mengajukan pengunduran diri," tambah Sakura cepat-cepat.

"Yang bilang tidak berminat itu siapa? Lalu, apa kau akan berhenti setelah lulus?"

"Mungkin," jawab Sakura singkat.

"Heee?" Sasuke tampak kecewa. "Tinggalah di sini terus."

"Aku juga masih ingin kuliah. Masa aku harus menghabiskan hidupku menjadi maid pribadimu?" tolak Sakura.

"Kalau begitu jangan jadi maid."

"Lalu jadi apa? Tukang kebun? Satpam?"

Sasuke menggeleng-geleng. "Kau bisa tetap tinggal di sini…" Sasuke berhenti sejenak. "…sebagai istriku."

Mata Sakura terbelalak. "Kau melamarku?" tanyanya tak percaya.

Sasuke memutar-mutar bola matanya. "Mungkin? Jadi, apa jawabanmu?"

Sakura merenung sejenak. "Kalau begitu… Akan kujawab sepuluh tahun lagi!" jawabnya tegas.

"Sepuluh tahun?" seru Sasuke kaget. "Bagaimana kalau aku sudah menikah dengan orang lain?"

"Berarti kau tidak serius. Lagipula, aku ingin kau merasakan bagaimana sakitnya menunggu selama itu!" balas Sakura. "Sebenarnya, kalaupun kau menikahi orang lain, aku tidak peduli."

"Kau tidak mencintaiku, Sakura?" tanya Sasuke dengan wajah memelas.

Sakura terdiam. Matanya bergerak-gerak, "Memangnya kapan aku bilang mencintaimu!" sergahnya kikuk.

Sasuke menyeringai. "Hoo? Begitukah? Baiklah. Aku akan menunggu jawabanmu meski harus menunggu sepuluh tahun," kata Sasuke tenang. "Dan selama aku menunggu, aku akan membuatmu mencintaiku!" tudingnya mantap.

"Huh! Terserah kau saja!" balas Sakura sambil melengos.

Sasuke tersenyum tipis melihat Sakura yang merona. "Jadi, sarapan apa hari ini?" gumam Sasuke sambil memperhatikan isi nampan. "Hanya ini? Ayolah, Sakura… Aku kan bukan balita lagi!" protes Sasuke.

"Tapi hanya itu yang ada di dapur. Kisame belum kembali dari pasar."

Sasuke berdiri di depan Sakura. Reflek Sakura mundur beberapa langkah.

"Ada perlu apa?" tanya Sakura mencoba terdengar tenang.

Sasuke mendekatkan wajahnya ke dada Sakura. "Hmmm…"

"Saya sarankan untuk tidak berbuat macam-macam di pagi yang cerah ini, Sasuke-sama!" ancam Sakura.

'Cih! Siapa yang punya niat begitu!" Sasuke menarik kepalanya dan memandang Sakura sambil nyengir. "Kalung itu memang cocok di lehermu."

Wajah Sakura merona lagi. "Jelas aja! Ini kan kalungku!" sahutnya malu. Tangannya menyentuh singkat liontin kalungnya yang tergantung indah di depan dada atasnya.

"Aku tak mau makan itu!" kata Sasuke tiba-tiba.

"Lalu kau mau apa?" tanya Sakura reflek.

Sasuke kembali mendekatkan wajahnya ke depan dada Sakura. Tangannya meraih liontin kalung Sakura. Matanya menyeringai mesum yang membuat Sakura tidak bisa bergerak.

"Aku mau…"

~*~ E.N.D ~*~

~*~ Koibito wa Maid-sama! ~*~

O.M.A.K.E

Miko : Pembantu lagi? Ya ampun. Ita-chan… Kau kan sudah punya 3 pembantu, 2 satpam, dan satu sopir. Masih kurang?

Ita : Tapi ini kasusnya berbeda, Mama!

Miko : Beda gimana?

Ita : Aku merasa kalau aku akan menyesal kalau tidak menerimanya!

Miko : Jangan-jangan kau mencintai pembantumu itu?

Ita : Keh! Aku lebih mencintai nyawaku.

Miko : Mama nggak ngerti, Ita-chan!

Ita : Mama nggak perlu ngerti. Uhm, bisa panggilkan Sasuke? Aku ingin bicara dengannya.

Miko : Ugh! Sebel deh dicuekin! Oke, sebentar!

Wajah di layar laptop Itachi berubah dari ibunya menjadi Sasuke.

Sasu : Ada apa, aniki?

Ita : Aku menemukannya!

Sasu : Apanya?

Ita : Gadis yang kau cari!

Sasu : Yang kucari? Siapa?

Ita : Coba kau tebak sendiri!

Sasu : Hm… Miss Universe?

Ita : Bukan.

Sasu : Ayumi Hamazaki?

Ita : Bukaan.

Sasu : Paris Hilton?

Ita : Bukaaan! Lagipula untuk apa kau mencarinya?

Sasu : Dia meneror twitter-ku. Makanya aku mencarinya biar bisa kuhajar(?)

Ita : Oke, balik ke topik. Kau yakin tak tahu siapa yang kumaksud?

Sasu : Entahlah. Aku menyerah.

"Itachi-sama, kopi dan kuenya saya taruh di sini," ujar seorang gadis yang berdiri di belakang Itachi. Gadis muda berambut pink muda dan bermata hijau terang. Gadis yang…

Sasu : Aniki…

Ita : Yah, tidak jadi kejutan, deh!

Sasu : Dimana kau menemukannya?

Ita : Dia datang ke rumah untuk melamar menjadi pembantu. Jadinya kuterima saja.

Sasu : Aniki…

Ita : Tidak perlu berterima kasih! Nah baka-outoto, Sekarang kau sudah bisa bertemu dengannya kapanpun. Atau perlu kutanyakan padanya tentang dirimu?

Sasuke tidak menjawab. Dengan gerakan yang kaku dia melepas headphone-nya dan berdiri. "MAMAAAAA! AKU INGIN TINGGAL DENGAN ANIKIIIII!" serunya sambil berlari meninggalkan laptop yang masih menyala.

E.N.D

~*~ Koibito wa Maid-sama! ~*~

A/N : Wah, beneran udah selesai, nih! Horeeeee! *selamatan nasi tumpeng*

Maap yah kalo endingnya maksa gitu, pendek lagi! Sasu juga rada aneh pas nyeritain masa lalu. Yah, mo gimana lagi? Takdir sudah mengatakan demikian(?).

Chapter ini saia selesaikan dalam sehari! Kayaknya sekitar 5 jam, deh! Waaaaaaw *tersepona*

Oh iya! Sebenarnya saia kepikiran untuk membuat ekstra chapter, ceritanya tentang hubungan mereka lebih lanjut. Kira-kira pada berminat buat baca, ga? Kalo banyak yang minat, ntar saia post-kan. Jadi, silakan nyatakan pendapat di review, ya?

Tapi, untuk mengantisipasi tidak diinginkannya ekstra chapter, saia akan melabeli fic ini dengan COMPLETE dulu. Kayaknya ga ngaruh deh, ya? Hehehe…

Okelah segitu aja penutupnya. Saia tunggu pendapat dari kalian ^^

M.A.T.A., N.E.E.!

Mohon maaf, tidak menerima flame dalam bentuk apapun sebelum mendapat ijin dari Presiden setempat dan SekJen PBB. Jadi, hanya akan menerima review berupa saran, kritik yang membangun, pujian, dan caci maki (ini juga termasuk flame, kan?). Eh, caci maki tidak diterima juga!

Thursday, October 21, 2010

23.23 P.M

Ryuuta

(suatu saat akan menjadi—pemenang Nobel Perdamaian *diamini Einstein XD*)