Panas…

'Di mana ini?'

Panas sekali…

Robin berlari sambil memandang sekelilingnya yang gelap.

Tiba-tiba, sekelilingnya berubah menjadi terang.

Terang, menyala kemerahan, dan panas.

Api.

Api di mana-mana.

'Tapi ini di mana?'

"Pergi Robin!"

'Siapa? Suara itu sangat familiar….'

Ketika Robin sedang berputar, mencari sumber suara itu, di kejauhan tampak suatu bangunan….. bukan….. pohon besar…

Pohon pengetahuan!

Pohon itu terbakar….

'Ini….'

"Pergi Robin!"

Robin menoleh, dan menemukan sumber dari suara itu. Matanya terbelalak kaget.

"IBU!"

Dia melihat ibunya berada di dekat pohon yang sedang terbakar itu. Robin harus ke sana! Dia harus mengeluarkan ibunya dari tempat itu.

"Tidak Robin! Pergilah! Teruslah hidup!"

"Tidak mau! Ibu! Jangan tinggalkan aku!"

Robin berusaha berlari dan menggapai ibunya. Tapi tiba-tiba, kakinya tidak dapat bergerak. Dia melihat ke bawah, dan ternyata kedua kakinya terikat oleh rantai. Lalu, kedua tangannya juga! Dia tidak dapat bergerak!

Dengan panik Robin berusaha melepaskan diri dari ikatan rantai itu, agar dapat bergerak maju. Tetapi ketika dia kembali memandang ke arah Pohon Pengetahuan, pohon itu telah musnah.

"Tidaaak! IBUUUU!"

"Pergilah ke laut Robin! Di sana kau akan menemukan teman-temanmu!"

Kali ini, Robin melihat ke sampingnya.

"Saul!"

"Pergilah Robin! Dereshishishi….."

"Tidak! Tunggu!"

Tiba-tiba tiupan angin dingin membutakan pandangannya. Secara reflek Robin menutup matanya

Ketika dia membuka matanya, serpihan dan butiran es beterbangan di sekitarnya.

"Kau tetaplah kau, Nico Robin"

'Suara itu….'

Robin memutar badannya.

Aokiji…

"Di manapun kau berada, organisasi apapun. Kru apapun. Pasti hancur. Menyisakan kau sendiri. Kau selalu sendiri. Dan akan selalu sendiri!"

'Tidak….' Robin menggeleng kuat.

"Jawaban yang sangat mengecewakan, Nico Robin!"

"Itu tidak benar! Aku yang sekarang….."

"Lihat itu!" Aokiji menunjuk ke belakang Robin.

Seketika itu juga Robin membalik dan matanya kembali terbelalak. Ia melihat teman-temannya yang juga keluarga barunya, kru Topi Jerami, sebagian telah menjadi patung es, sebagian lagi bergelimpangan bersimbah darah. Sunny Go hancur berantakan, dan pecahan-pecahannya tersebar di sekitar mereka.

Jantung Robin berdegup kencang, nafasnya memburu.

'Tidak mungkin….. Tidak mung….'

"Keberadaanmu adalah kutukan! Kau tidak bisa lari dari itu!"

"TIDAK!" Robin berusaha melawan ikatan-ikatan rantai pada tangan dan kakinya.

"Kau akan selalu menghancurkan mereka yang ada di sekitarmu. Keberadaanmu adalah dosa! Kau akan selalu sendiri!"

Selalu sendiri…..

Selalu sendiri…

Dia ingin menggapai teman-temannya. Tetapi tiba-tiba sekelilingnya berubah menjadi gelap. Robin memandang tubuhnya. Kegelapan itu keluar dari dirinya. Dan kegelapan itu perlahan-lahan menelan teman-temanya.

Luffy…. Chopper…. Nami…. Usopp….

"Hentikan!"

Sanji….Franky…. Brook….

"Hentikaaaan!"

Robin bergerak, meronta, berusaha melepaskan diri dari ikatan rantai, dan berusaha menghentikan kegelapan yang terus mengalir keluar dari dirinya.

"Ro….bin….."

Robin menengok ke arah suara itu.

"ZORO!"

Zoro tampak tergeletak di tanah. Darah tampak mengalir deras keluar dari dirinya, tetapi dia masih bergerak. Setidaknya satu masih hidup. Tapi ada seseorang yang berdiri di sampingnya.

Bartolomew Kuma….

Jantung Robin berdegup semakin kencang.

"Per…gi…."

"TIDAAK!"

Kuma mengangkat tangannya, dan menembakkan peluru meriam udara dari telapak tangannya. Tembakan itu langsung mengarah pada Zoro yang sudah tidak berdaya.

"HENTIKAAAANNN!"

"Ro….bin… Robin…."

Robin berusaha menggapai…..

"ROBIN!"

Sebuah sentakan keras membuat Robin membuka matanya dengan segera. Jantungnya berdegup sangat keras, dan nafasnya tersengal-sengal. Dengan liar matanya mencari-cari di sekitarnya.

"Robin! Hei! Lihat aku!"

Suara itu membuat Robin kembali memfokuskan pandangannya, dan dengan segera dia mengenali pemilik suara itu.

'Zoro!'

Secara reflek Robin merangkul dan mendekap erat-erat orang yang ada di depannya itu, sambil memejamkan matanya rapat-rapat.

'Setidaknya satu….. setidaknya satu….. satu masih ada…..'

Tubuhnya gemetar dan tanpa terasa airmatanya mengalir.

"Jangan pergi…. Jangan pergi…." bisiknya lirih, sambil sedikit terisak menahan tangis.

Beberapa saat kemudian, dia baru menyadari bahwa punggungnya sedang diusap dan ditepuk-tepuk dengan lembut.

"Sudah… sudah… tidak apa-apa…." Suara Zoro terdengar lembut di telinganya.

"Itu hanya mimpi…."

'Mimpi? Tapi …. Hal itu terlihat sangat nyata….'

Perlahan, Robin memberanikan diri untuk membuka matanya. Setelah mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali, pandangannya menjadi fokus. Dia dapat mengenali, peralatan yang ada di depannya, dinding, dan semuanya merupakan bagian dalam dari kamar kesehatan.

Kalau begitu, berarti orang yang sedang dipeluknya ini...

Tunggu...peluk?

Dengan kaget Robin segera melepaskan dekapannya, dan bergerak mundur. Sebuah tindakan yang salah, karena seketika itu juga, dunia di sekelilingnya terasa berputar. Dan Robin hampir saja terhempas kembali ke kasur, andai saja lengan kekar itu tidak memegangi punggungnya.

"Whoa... pelan-pelan..."

"Uuh..." Robin memejamkan lagi matanya kuat-kuat, sampai dunia disekitarnya tidak lagi terasa berputar, baru dia mencoba membuka matanya lagi.

"Sudah lebih baik?" suara di sampingnya bertanya dengan nada khawatir.

Ia mengangguk pelan, sebelum menjawab, "Terima kasih". Robin agak terkejut mendengar suaranya sendiri yang terdengar sangat serak. Saat itu dia baru menyadari bahwa dirinya amat sangat haus.

Seakan dapat membaca apa yang Robin inginkan, Zoro bergerak mengambil gelas berisi air yang berada di meja di belakang kursinya, lalu memberikannya. Tangan Robin yang masih gemetar, mencoba menahan gelas tersebut untuk mendekatkannya ke mulutnya. Tapi pada akhirnya, pria itu tetap harus membantunya minum. Setelah menghabiskan satu gelas, dirinya merasa sedikit lebih segar.

"Lagi?"

Dia menggeleng pelan.

Zoro lalu mengisi kembali gelas itu, lalu mengambil sesuatu dari botol di sebelahnya, sebelum menyerahkannya pada Robin.

"Ini. Aku dititipi pesan agar kau meminumnya."

Ia menerima pil itu, dan tanpa banyak bicara, menelannya, dengan masih dibantu oleh Zoro.

"Habiskan saja airnya."

Robin pun menurut dan menghabiskan satu gelas air itu. Ketika mengembalikan gelas kosong ke tangan Zoro, ia mengamati, bahwa di lengan pendekar itu tampak beberapa luka cakaran yang masih segar.

'Jangan-jangan gara-gara tadi ….'

"Maaf…. Tadi sepertinya aku….."

"Hm?" Zoro mengikuti tatapannya ke arah luka lecetnya, "Ah, tidak apa-apa…." sahutnya, sambil membantunya berbaring dengan sangat hati-hati, dan menyelimutinya lagi. Robin menatap wajahnya, sambil tersenyum kecil, menyampaikan rasa terimakasihnya tanpa suara. Sejujurnya, ia sedikit terkejut, tidak menyangka orang di sebelahnya bisa selembut ini.

"Kau… bermimpi tentang ibumu?"

Robin menegang. 'Bagaimana bisa dia ….?'

"Ah… maaf. Aku tidak bermaksud…. "

"Apa tadi aku….. " Robin bertanya sambil melirik ke sampingnya.

"Ya. Tadi kau mengigau, memanggil-manggil ibumu…..," jawabnya, sambil membalas tatapan Robin, "dan memanggilk-….kami."

Robin menghela nafas panjang.

"Umm…. kau... mau menceritakannya?"

Kali ini Robin memutar kepalanya, untuk menatap pria berambut hijau itu.

"Ah! Maksudku…. kata orang, kalau kita menceritakan mimpi…. aargh…. sudahlah…lupakan. Kembalilah tidur."

Robin tersenyum. Dia melihat betapa Zoro menjadi salah tingkah, dan berusaha menutupinya dengan membereskan apa saja.

'Menceritakannya ya?', pikirnya, sambil menatap atap ruangan itu. Dia tidak pernah melakukannya sebelumnya. Nami memang pernah beberapa kali bertanya dan memintanya untuk bercerita. Tapi, bukankah hal itu hanya akan buang-buang waktu saja? Lagipula, mimpi hanyalah mimpi. Itu hanya bunga tidur, tidak nyata. Meskipun, mimpinya yang terakhir ini benar-benar terlihat nyata.

Robin melirik lagi ke sebelahnya. Pendekar itu masih tampak menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak penting.

Dari semua kru yang lain, apakah Zoro adalah pilihan yang tepat?

Robin sangat mengerti bahwa pria yang duduk di sebelahnya ini, adalah seseorang yang dapat diandalkan. Seseorang yang begitu dewasa, jika dibandingkan dengan usianya. Dia tidak banyak bicara, tapi dengan gerak-geriknya dia dapat menunjukkan dengan jelas, bahwa dia sangat memperhatikan semua teman-temannya, sambil tetap menjaga agar dirinya tidak mengganggu privasi tiap-tiap kru. Mungkin karena itulah, selama ini Robin merasa lebih nyaman berbagi atau bertukar pikiran mengenai hal-hal yang lebih serius dengannya.

'Apa sebaiknya kucoba saja...?' pikirnya lagi.

Wanita itu menghela nafasnya.

"Aku... bermimpi tentang... kampung halamanku..." Robin memulai ceritanya. Seketika itu juga, suara gerakan-gerakan di sebelahnya berhenti. Robin melirik ke sampingnya, dan dia melihat bahwa Zoro telah menghentikan semua aktivitasnya, dan sekarang duduk diam, menyilangkan lengan di depan dadanya, serta menatapnya.

"... Ohara... terbakar. Ibuku ada di situ... tapi aku... aku tidak bisa menyelamatkannya."

Dia berhenti sejenak untuk menarik nafas dalam-dalam.

"Begitu juga dengan... salah satu sahabatku, Saul"

"Lalu... Aokiji muncul. Dia mengatakan bahwa aku... aku tetaplah aku. Kutukanku tidak akan pernah hilang. Dan aku melihat kalian... " Robin tercekat. Dia merasakan air matanya mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia pun mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba menahannya, sambil berpaling, melihat dinding kamar di sisinya yang lain.

"... kalian... tewas... dan kegelapan ...dalam diriku... penyebabnya..." suaranya semakin lirih. Tangannya mencengkeram selimutnya kuat-kuat, sampai ujung-ujung jarinya memutih. Mau tidak mau, kejadian demi kejadian yang pernah terjadi, terputar ulang di kepala Robin. Kejadian sesaat setelah mereka mengalahkan bajak laut Foxy dan bertemu Aokiji untuk pertama kalinya, kejadian di Water Seven dan Enies Lobby, dan kejadian di Thriller Bark, di mana mereka hampir saja kehilangan... Zoro.

"...aku... takut..." bisiknya hampir tak terdengar. Robin mengigit bibir bawahnya, tapi pada akhirnya air matanya meleleh tak terbendung lagi.

Beberapa saat berlalu dalam keheningan, sebelum kemudian ia mendengar orang di sampingnya mendesah.

"Takut... adalah hal yang wajar, menurutku," Zoro mulai menjawab dengan hati-hati, "apalagi rasa takut kehilangan."

"Aku tidak akan berpura-pura mengatakan bahwa aku mengerti perasaanmu, karena memang aku tidak mengerti. Tapi, aku tau rasanya kehilangan seorang sahabat. Seorang sahabat yang impiannya akan kupenuhi, bersamaan dengan terpenuhinya impianku."

Zoro terdiam sebentar, sebelum melanjutkan, "Kita semua memiliki impian. Tetapi terkadang kita tidak bisa mengusahakannya sendiri, dan karena itu, kita berkumpul. Tentu saja masing-masing kita memiliki masa lalunya sendiri-sendiri, tapi hal itu tidak menjadi masalah. Kita akan terus maju, menatap hal yang ada di hadapan kita. Kita akan saling mendukung, dan saling melindungi, hingga impian tersebut tercapai."

Perlahan, Robin melepaskan cengkeramannya, mengusap matanya, dan memalingkan wajahnya untuk kembali menatap Zoro.

"Kau... adalah bagian dari kami, Robin. Kami akan mendukungmu, melindungimu, sampai suatu saat nanti impianmu tercapai. Dan aku yakin, kau pun akan berbuat demikian, untuk kami." ujar pendekar itu sambil tersenyum menatapnya.

"Percayalah... kru Topi Jerami sangat kuat...dan masih akan terus bertambah kuat. Luffy, tidak akan pernah meninggalkan salah satu dari kita, sampai kita semua berhasil mencapai impian kita." tambahnya lagi.

Robin mengangguk. Ya, dia memang telah menemukan sahabat-sahabat terbaik. Meskipun, masih ada secuil rasa takut dikhianati jauh di lubuk hatinya, tapi sedikit demi sedikit perasaan itu mulai hilang. Ya, kali ini, dia tidak akan membiarkan kegelapan masa lalunya terus mengusik kehidupannya. Dia akan menatap masa depan, terus mengejar impiannya, bersama dengan orang-orang yang sangat disayanginya, yang tidak akan pernah meninggalkannya, yang tidak akan pernah berhenti mendukungnya. Dan tepat seperti kata Zoro, dia pun akan melindungi tiap-tiap orang di dalam kru ini, dari ancaman apapun, termasuk kegelapan dirinya sendiri, sampai mereka semua berhasil.

Robin merasa lebih lega sekarang. Tampaknya dia memang harus mulai belajar untuk lebih terbuka. Tentu saja hal itu tidak mudah, mengingat pengalamannya selama 20 tahun. Tapi tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Sekarang, matanya mulai terasa berat. Entah hal itu akibat efek dari obat yang tadi diminumnya, atau karena bebannya yang telah terangkat. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, dan dia harus memastikan suatu hal, sebelum dirinya masuk ke alam mimpi.

"Ya, kita akan mencapai impian kita, dan saat itu tercapai, kita akan merayakannya bersama" katanya, lalu dia menatap mata pendekar itu dengan tajam, "karenanya, berjanjilah, untuk tidak berbuat sesuatu secara gegabah, dan tetaplah hidup, sampai saat itu tiba."

Zoro tampak sedikit terkejut, mendapat permintaan seperti itu. Ia tampak berpikir sejenak, sebelum menjawab, "Ya, aku janji.", lalu tambahnya, "Tapi, hal yang sama juga berlaku untukmu."

Mendengarnya, Robin tersenyum lalu mengangguk. Akhirnya ia mengijinkan dirinya masuk ke alam bawah sadar yang nyaman, yang sangat dibutuhkannya. Dan kali ini, dia yakin, tidak akan ada yang menggangunya.

"Terimakasih... Zoro..." ujarnya, sebelum benar-benar tertidur pulas.

~OoOoOoO~

Zoro memandangi wanita yang akhirnya telah tertidur di depannya. Kali ini, tampaknya tidurnya nyenyak, karena dia tidak bergerak-gerak gelisah lagi. Dia mengambil kembali lap pengompres yang ada di dahi Robin, membasahinya lagi, dan mengembalikan ke tempatnya semula. Kemudian dia duduk bersandar sambil menerawang.

Sungguh tidak disangka, seseorang sekuat dan setegar Robin, ternyata memiliki ketakutan yang sangat mendasar. Ketakutan itu bahkan sekali lagi, merontokkan topeng yang selama ini dipakainya, dan membuatnya tampak sangat rapuh. Zoro kembali teringat akan kejadian di Enies Loby, dimana untuk pertama kalinya, Robin melepaskan topengnya, dan meluapkan seluruh emosinya. Seluruh perasaannya yang telah terpendam selama ini. Rupanya, setelah kejadian itu, masih ada sisa-sisa ketakutan dalam dirinya, yang sekali lagi, disembunyikannya dengan sangat baik di balik topengnya.

Tapi, Zoro tidak bisa menyalahkannya. Dia sendiri pun sudah sangat terikat dengan kru gila ini, dan terkadang mengalami ketakutan yang sama. Rasa takut untuk kehilangan sahabatnya, sekali lagi. Oh... tidak... Zoro akan memastikan kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi. Kali ini, pendekar itu telah memiliki kekuatan lebih untuk mencegahnya. Meskipun... itu masih sangat kurang. Buktinya dia masih saja hampir kehilangan mereka, gara-gara Shicibukai sial...

Tunggu...

Pertanyaan terakhir Robin kembali terngiang di telinganya.

'Masa sih... dia tau tentang? Tapi... bagaimana mungkin...' pikirnya dalam hati, sambil memandang sosok di hadapannya.

Zoro menggeleng kuat-kuat. Ah... dia lupa. Wanita di depannya ini, pandai sekali dalam mengumpulkan informasi. Dia bahkan bisa mendapatkan segudang informasi dari sepotong tulang! Tapi itu tidak penting. Zoro harus berterimakasih. Karena dengan demikian, dia sekali lagi diingatkan, bahwa jalan menuju impiannya masih sangat jauh. Dia masih harus terus berlatih, menjadi kuat, dan lebih kuat lagi. Dan dalam proses mencapai impiannya, dia akan melindungi tiap-tiap kru di kapal ini, mendukung mereka, sampai impian mereka tercapai juga. Dan pada saat itu barulah impiannya akan tercapai dengan sempurna.

Tapi, ngomong-ngomong... rasanya dia melupakan sesuatu...

"AAH! Celaka! aku lupa memanggil Nami!"

'Ah, tapi sudahlah. Cerita semacam ini kan memang bukan untuk dibagi-bagi,' katanya dalam hati.

Dia lalu meregangkan otot-ototnya, sebelum kembali pada posisinya semula. Meneruskan berjaga sampai pagi tiba.

~OoOoOoO~

Secercah cahaya masuk melalui kelopak mata pria berambut hijau itu, dan hal itu mengganggu tidurnya. Ditambah lagi suara berisik di luar kamar.

'Uugh... silau... berisik...'

Zoro lalu memperbaiki posisi selimutnya, dan berbalik arah. Dia masih ingin tidur sebentar lagi...

Eh...? tunggu...

"HAH?" Zoro membuka matanya dengan kaget.

Waduh, tampaknya dia ketiduran.

Pendekar itu mengamati bahwa dia masih berada di kamar periksa, tertidur di bangkunya, dan diselimuti.

'Ini...'

Saat itulah, dia baru menyadari bahwa kasur di hadapannya sudah kosong.

Dahinya berkerut, 'ke mana perginya wanita itu?'

Segera dia keluar dari kamar periksa itu, dan saat membuka pintu, dia tidak lagi melihat pulau yang kemarin mereka singgahi. Tampaknya mereka telah berlayar. Matahari pun sudah tinggi. Artinya hari sudah mulai siang.

"AWAS ZORO!"

Ougfff!

Zoro tidak sempat menghindari sesuatu yang terbang ke arahnya, dan akhirnya merekapun jatuh terguling sampai ke ujung kapal.

"Apa-apaan kau, Luffy?"

"Shishishisi... kau yang menghalangiku Zoro... lagipula, darimana saja..."

"Kena kau Luffy!" teriak seseorang di belakangnya, sambil menepuk punggung Luffy, sebelum lari lagi.

"AAH! Curang, Usopp! Awas kau!" dan dia segera berlari mengejar pria berhidung panjang itu, meninggalkan Zoro sendirian.

"fufufufu... kau tidak apa-apa, Kenshi-san?"

Zoro menoleh ke arah suara itu. Dan dia melihat, Robin sedang duduk di kursi lipatnya, sambil membaca buku.

Ia pun bangun, lalu menghampirinya.

"Kenapa kau sudah duduk-duduk di sini, dan bukannya berbaring?"

"Ah? Tapi aku sudah sembuh."

"Dalam satu malam? Tidak mungkin!"

"Tapi kenyataannya demikian. Chopper sudah memeriksaku tadi pagi. Dan dia bilang aku sembuh sepenuhnya."

Mulut pendekar itu menganga tak percaya, "Serius?"

"Aku rasa, itu karena aku hanya perlu tidur yang cukup saja." Jawab wanita berambut hitam itu dengan tersenyum, "Terimakasih ya..." lanjutnya sedikit berbisik dan mengedipkan sebelah matanya.

Wajah Zoro sedikit memerah, 'wanita ini...'

"Terserah lah..." katanya sambil berbalik pergi. Dia dapat mendengar arkeolog itu tertawa kecil di belakangnya.

'Memang orang aneh,' katanya dalam hati. Sungguh dia tidak percaya, bahwa itu adalah orang yang sama, yang tadi malam baru saja menceritakan suatu hal yang berat baginya. Tapi, lagi-lagi dia harus mengingatkan dirinya sendiri. Orang itu adalah Robin, seorang wanita yang sangat kompleks. Yang merupakan seorang yang enak bila diajak berdiskusi, tapi juga sering membuatnya frustasi dengan segala teka-teki manipulatifnya. Yang sering tampak tegar, tapi juga bisa terlihat sangat rapuh. Yang pasti, dia juga adalah salah seorang temannya.

Zoro hendak menuju ke ruang makan, untuk meminta sedikit makanan, ketika tiba-tiba ada yang menarik lengannya. Dia menoleh, dan ternyata orang itu adalah Nami.

"Apa yang terjadi tadi malam?" selidik navigator berambut oranye itu.

"Tidak terjadi apa-apa"

"Bohong! Robin sudah tampak kembali ceria pagi ini. Kenapa kau tidak memanggilku?"

Zoro menghela nafasnya, "Dengar Nami, sekali lagi kukatakan, tiap-tiap orang punya hak apabila dia tidak ingin membagikan suatu hal."

"Tapi, kena-... tunggu dulu... ini..."

Zoro memperhatikan perubahan di wajahnya. Dan biasanya bila navigator ini sudah memasang wajah demikian, itu artinya...

"Kita tunda dulu pembicaraan ini," katanya cepat. Tanpa disuruh, Zoro mengerti bahwa sebentar lagi akan turun badai besar, dan dia segera berlari ke posisinya.

"LUFFY! USOPP! Angkat Layar! FRANKY..." teriakan-teriakan Nami yang memberikan perintah dapat terdengar. Dan semua kru dengan segera menghentikan kegiatan mereka, lalu mengambil posisinya masing-masing.

Tidak berapa lama, awan hitam datang bergulung-gulung, dan dengan cepat mengubah suasana siang yang cerah, menjadi gelap. Lalu angin kencang mulai bertiup, dan hujan deras segera turun... bukan...

Tiba-tiba sesuatu yang keras jatuh ke kepala Zoro.

"Aduh! Apa ini?"

"Hujan?"

"Bukan! Ini bukan air. Keras dan bulat..."

"Masa sih? Permen!"

"Manisnyaaaaaa..."

"Jangan dimakan, Chopper!"

"Yohohoho!"

Ya, inilah Grand Line. Jalur yang harus mereka lalui, untuk mencapai impian mereka. Dan Zoro yakin, dia akan mencapainya, bersama teman-teman yang akan selalu ada di sisinya. Kejadian di Thriller Bark sempat terlintas di benaknya, begitu pula dengan janjinya tadi malam. Zoro lalu memantapkan hatinya. Dia harus lebih sering lagi berlatih, dan masih harus menjadi lebih kuat lagi.

Selesai


AN: Ah, terimakasih telah membaca sampai selesai
Bila ada salah-salah kata, atau OOCness, aku mohon maaf.
Dan tampaknya ff tidak mengijinkan penggunaan tanda baca berlebihan. Tapi, mudah-mudahan ceritanya masih bisa dinikmati ^^

Ditunggu saran dan kritiknya ^^
Terimakasih. Bye.. bye...