Disclaimer

Bleach by Tite Kubo-sensei

Devil Isn't Angel by Lenalee Shihouin

Dedicated to Yuminozomi

Pair(s) : GgioSoi, slight UlquiHime

Genre : Romance – Humor

Last Chapter!

LEMPARI SAIAA DUIT KARENA UDAH NGARET UPDATENYA, SAIAA RELA KOK! #BUAGH

.

.

::: Chapter 8 :::

Truth


"Berhentilah memasang wajah seperti itu! Harusnya aku yang marah padamu, bukan kamu yang marah padaku, Ggio," ujarku sambil mengimbangi jalannya yang jauh lebih cepat dariku.

Tidak ada respon.

"Kalau kau pikir aku akan minta maaf, kau salah besar," kataku lagi seolah memanas-manasi hatinya.

Dia berhenti mendadak, tentu saja aku yang melangkah di belakangnya kaget dan tidak sempat lagi menyuruh kakiku untuk berhenti.

BRUK!

"Hei, jangan berhenti mendadak!" teriakku kesal. Ggio masih dalam posisi membelakangiku dan beberapa saat kemudian dia berbalik.

"KENAPA? PADAHAL BAJU YANG TADI ITU MANIS SEKALI, KAN?" pekiknya tiba-tiba.

Sweatdrop. Speechless. Aku ternganga mendengar Ggio tiba-tiba berteriak.

Aku jadi teringat lagi kejadian beberapa menit yang lalu. Ggio menyeretku masuk ke sebuah butik mewah dan ia memilihkan dress dan beberapa baju feminim lainnya. Semua pilihannya aku tolak mentah-mentah. Perseteruan kami menjadi tontonan para pelanggan dan karyawan di sana, hingga akhirnya kami diusir dengan tidak terhormat. Begitulah asal-muasal wajah cemberut Ggio sepanjang jalan.

"—Ka-kalau menurutmu manis, kau saja yang pakai!" balasku kemudian.

"AH, SOIFON! KAU INI PEREMPUAN ATAU BUKAN HAH?" teriaknya lagi kali ini ditambah guncangan yang ia lakukan padaku.

"Aku tidak suka baju penuh renda dan memakai rok melambai begitu! Seperti tidak tahu aku saja!" kataku sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya yang masih menggoyang-goyangkan tubuhku.

Ggio menyerah kali ini. Ia bungkam dan melepaskan genggamannya. Kali ini Ggio tertunduk.

"G—Ggio? Oi!" kataku menyadarkan dirinya yang sekarang diam seribu bahasa.

Tiba-tiba Ggio meletakkan dahinya di atas pundakku. Terang saja membuatku malu setengah mati jika Ggio mendadak menggodaku apalagi di tengah keramaian begini. Orang-orang yang melintas memandang kami dengan tatapan aneh dan terdengar bisikan-bisikan. Ayolah, haruskah dia mempermainkanku di depan umum juga?

"Ggio! Jangan menggodaku di tengah jalan begini! Memalukan!" kataku sambil mengangkat kepalanya.

"Aku lapar…," kata Ggio mengeluh dengan sepasang puppy eyes menjurus ke arahku ketika aku berhasil menjauhkan wajahnya.

Lagi-lagi aku sweatdrop mendengar si setan kecil yang tiba-tiba berubah menjadi malaikat polos ini.

"Baiklah, baiklah. Kita makan dulu," ujarku sambil berjalan lebih dulu.

Dasar.

.

"Ggio, makan pelan-pelan!" kataku memperingatkannya yang sedang lahap dengan spagetinya.

Sepertinya dia tidak mendengarkan perintahku. Tetap saja bocah di hadapanku ini makan dengan ganasnya.

"Coba lihat, saosnya menempel di pipimu. Makanya aku bilang pelan-pelan," kataku sambil mencoba menghapuskan saos yang ada di pipinya dengan tisu.

Lumayan sulit menjangkaunya karena jarak kami terhalang meja. Aku harus setengah berdiri agar tanganku bisa menggapai wajahnya. Padahal Ggio hanya memandangku saja, tapi entah kenapa hanya dengan tatapannya sudah membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku menyalahkan aksi heroikku menghapuskan noda kecil di pipi Ggio.

"Aaah! Makanya makan itu jangan buru-buru! Makan nih tisu!" kataku sambil menarik tanganku kembali setelah berhasil menyumbat mulut Ggio dengan tisu yang tadinya aku pakai untuk membersihkan saos yang menempel di pipi Ggio.

"OOII! AHA HAHAHHUU?" (OOII! APA SALAHKU?) teriaknya.

Ggio terdengar memaki-makiku atas aksi penyumbatan tisu yang aku lakukan padanya. Sedangkan aku hanya segera melahap habis mocca-ku yang mulai terasa agak dingin sekarang dengan wajah memerah.

.

Sudah berjam-jam setelah aku dan Ggio meninggalkan rumah. Matahari makin turun ke peraduan, hanya tinggal beberapa menit lagi cahayanya akan hilang dan digantikan bulan. Tidak ada tanda-tanda Ggio ingin mengajakku pulang. Padahal empat jam jalan-jalan saja sudah cukup membuat kakiku sangat pegal, apalagi kalau sampai sekarang. Nampaknya memang ide buruk meladeni ajakan Ggio.

"Menara Tokyo? Yakin mau ke sana?" tanyaku dengan nada yang sudah sangat ingin pulang.

Ggio mengangguk semangat. "Aku belum pernah ke sana, kau sendiri?"

Dasar tidak peka.

"Aku juga belum pernah, tapi—" kataku.

Ggio menyeretku berjalan. Berkali-kali aku protes memintanya melepaskanku, tapi sedikit pun tidak ia pedulikan. Rangkulannya di pundakku semaki erat tiap ia melangkahkan kakinya.

Tepat saat sunset berlangsung, kami sampai di menara baja tertinggi dunia yang tegak sendiri di permukaan tanah penerangan menara telah dinyalakan, pertanda bahwa matahari mulai tenggelam. Berhubung bulan ini masih musim dingin, lampu yang dinyalakan pada menara berwarna orange yang berkesan hangat. Kami bermaksud menaiki lift untuk mencapai lantai obervasi –tempat dimana pengunjung dapat melihat pemandangan seluruh penjuru kota Tokyo. Tapi sebelum itu Ggio tertarik pada bangunan di bawah Menara Tokyo –Tokyo Tower Building yang memiliki 5 lantai. Puas melihat akuarium dengan 50.000 ikan hias, kami menaiki lantai berikutnya yang terdapat Wax museum hingga tempat penjualan cinderamata.

Rasa lelah yang sedari tadi aku rasakan seolah lenyap ketika kami telah sampai di lantai observasi menara. Kami bukan pengunjung tunggal di lantai observasi, ratusan orang memadati lantai yang menyuguhkan keindahan panorama di bawahnya tersebut. Apalagi hari ini adalah hari minggu, jadilah tempat ini benar-benar penuh. Mayoritas kebanyakan anak remaja seumuran kami. Mereka berpasang-pasangan. Maklum, kemarin baru hari kasih sayang dan hari ini libur, tentu saja hari ini dimanfaatkan sebaik mungkin untuk berkencan oleh para pasangan muda-mudi.

"Indahnya," ujarku sambil menempelkan diriku pada kaca transparan sambil memandang ke luar.

"Lebih indah lagi setelah ini," kata Ggio membuyarkan decak kagumku.

Aku menatap wajah Ggio yang silau karena sisa pancaran cahaya jingga singgah di wajah manisnya. Warna gold matanya terlihat begitu serasi dengan warna senja ini. Arah bola mata Ggio tertuju padaku, membuatku segera membuang muka ke arah lain.

"—Apa sih? Seperti melihat hantu saja," ujarnya yang terdengar kesal.

"Sayang masih senja, bintangnya belum keluar," kata Ggio kemudian sambil mengintip keluar. "Cuacanya juga kurang mendukung," tambahnya lagi.

Aku hanya mengangguk. "Kedengarannya kau sudah pernah kemari," ujarku heran.

"A—ah, mana mungkin aku pernah kemari? Sudahlah, aku mau beli minuman hangat dulu, kau tunggu di sini saja, ya!" serunya, padahal belum sempat aku menyetujuinya, tapi Ggio sudah melenggang pergi dengan cepatnya.

"—Aneh," gumamku kemudian kembali menikmati pemandangan di depanku.

Entah kenapa suhunya semakin dingin, berkali-kali aku rapatkan syal tebalku menutupi leherku. Sekali-kali aku menggosokkan kedua telapak tanganku agar mendapatkan sedikit kehangatan sesaat. Aku melihat ke arah jam tanganku, dan tidak terasa sudah menunjukkan pukul 8 malam. Ggio juga nampaknya belum juga datang membawakan minuman hangat yang ia janjikan beberapa menit lalu.

"Haaa, kenapa jadi lebih dingin begini?" tanyakuku seorang diri.

"…Soifon?" seseorang memanggil namaku dengan nada datar, seolah tidak meminta jawaban.

Aku kaget melihat bayangan seorang laki-laki dengan kulit pucat terpantul di kaca transparan di depanku.

"HIYAA!" pekikku kaget sambil berbalik ke belakang. "U—Ulquiorra-san?"

Benar sekali. Kakak ke-tiga Ggio berdiri dengan wajah stoic di belakangku. Aku tidak tahu harus bicara apa setelah melakukan reaksi seperti melihat hantu di depan Ulquiorra. Dia juga terlihat tidak ingin memberi respon pada kelakuanku tadi.

"Sudah lama di belakangku?" tanyaku memulai pembicaraan sambil memposisikan tubuhku menjadi lebih normal.

Ia mengangguk, benar-benar pangeran es dan irit bicara. Pantas saja sejak tadi aku merinding tidak karuan, tahunya ada dia di belakangku. Mana cara menyapanya itu yang tidak biasa.

"Sedang apa Ulquiorra-san di sini?" tanyaku lagi.

"—Jalan-jalan saja," ujarnya. Benar-benar singkat. Dia seolah ingin mengakhiri pembicaraan kami. Maksudku, dia sedang dalam mood untuk bicara lebih lanjut denganku, walaupun biasanya memang seperti ini. Rasanya ingin menangis saja tidak dipedulikan orang begini.

"Kau sendiri?" sebuah pertanyaan meluncur dari mulut Ulquiorra. Posisinya masih membelakangiku. Seperti dia asyik menatap keluar kaca transparan.

Aku mengedarkan pandanganku ke kiri dan ke kanan, siapa tahu bukan aku orang yang diberikan pertanyaan itu. Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari pertanyaannya, Ulquiorra membalikkan badannya dan menatapku lurus. "Kau sendiri sedanga apa di sini?" katanya mengulang pertanyaannya.

"A—ah, aku juga sedang jalan-jalan," ujarku. "Ulquiorra-san sendirian?" tanyaku setelah menyadari tidak ada orang lain di sekitarnya.

Tidak ada jawaban. "Kau?" pertanyaanku dibalas pertanyaan lagi olehnya. Menyebalkan. Terlalu sulit membuka mulut si pucat ini, walau aku tahu fakta itu sejak dulu, sejak aku masih bocah, tapi tetap saja ada rasa dongkol bila diberi reaksi datar seperti ini.

"Aku bersama…," kataku hampir menyebut nama adik Ulquiorra satu-satunya itu.

"—Ggio ya? Kencan rupanya," sahutnya lagi.

Aku menggeleng cepat. Tidak sanggup mengiyakan atau mengatakan tidak. Aku juga tidak tahu sedang apa kami sebenarnya.

Beberapa menit berlalu. Ulquiorra tidak pernah lagi memberiku pertanyaan. Semua ucapanku bahkan tidak ada lagi yang ia respon. Pepatah 'silence is golden' atau' iwanu ga hana' sudah menjadi pedoman hidupnya, mungkin.

Aku menghela napas panjang saat menyadari Ggio belum juga kembali. Rasa cemas mulai kurasakan setelah melihat lagi pada jam tangan berwarna putihku, pukul 8 lewat 28 menit. Jangan bilang kau tersesat, Ggio!

"Aku mau beli minum dulu, lalu pulang. Jaa, Soi," ujar Ulquiorra membuyarkan lamunanku.

Tanpa perintah otakku, tiba-tiba saja aku sudah menggenggam lengan Ulquiorra, membuat laki-laki pencinta warna hijau itu berhenti dan berbalik. Tatapan matanya seolah bertanya.

"Boleh aku ikut bersamamu?" tanyaku, terkesan sedang menyatakan cinta. "Aku juga haus," tambahku agar dia tidak salah paham.

Ulquiorra kemudian memandang genggaman tanganku yang belum lepas dari lengannya, seperti bertanya, "sampai kapan kau mau memegangiku?"

Secepat kilat aku melepaskan genggamanku dan kemudian melangkahkan kakiku mengikuti Ulquiorra yang bisa dibilang berjalan lumayan cepat. Karena tidak mau tersesat sekaligus terseret ratusan orang yang lalu-lalang ke sana kemari, refleks, tanganku kembali menangkap telapak tangan Ulquiorra.

Dan tanpa aku sadari Ulquiorra berhenti, aku pikir dia akan melempar deathglare ke arahku karena sudah seenaknya memegang tangan pucatnya yang dingin itu. Tapi aku yakin alasanku sangat kuat untuk masalah satu ini. Tapi hingga detik berikutnya tak ada reaksi yang diberikan Ulquiorra padaku, membuatku memandang ke arah depanku.

Bola mataku membulat sempurna ketika melihat Ggio dan seorang perempuan yang aku lihat memberikan coklatnya kemarin pada Ggio –Inoue Orihime. Gadis itu segukan di dada Ggio, sedangkan Ggio dengan lembut mengelus kepala si gadis. Hatiku bergemuruh, aku tahu apa artinya. Aku ingin lari, berpura-pura tidak melihat adegan ini, tapi tanpa aku sangka, Ulquiorra menggenggam tanganku lebih erat.

"Ul—Ulquiorra-san, kumohon lepaskan," ujarku lirih dengan susah payah berucap karena air mata ini hampir jatuh.

Ulquiorra tidak merespon.

"Kak Ulquiorra? Soi?" suara Ggio menghentikan aksiku untuk melepaskan genggaman kakaknya. Tidak sanggup rasanya menatap langsung wajah Ggio saat ini. Menunduk adalah posisi pilihanku kali ini, menunduk dan terus menggenggam tangan Ulquiorra yang terasa begitu dingin.

Tanpa aku lihat, aku bisa rasakan Ggio melihat ke arah genggaman tangan Ulquiorra dan tanganku. Gadis itu nampaknya juga kaget melihat kami. Masih terdengar suara isakannya di telingaku.

"A—Apa yang kalian…?" suara Ggio makin mendekat.

"Kalian sendiri?" Ulquiorra buka mulut kemudian melepaskan genggaman tangannya. Tidak melewatkan kesempatan itu, aku langsung bergegas pergi meninggalkan keadaan ini. Berlari untuk mencari pintu keluar. Ggio meneriakkan namaku, tapi sungguh aku tidak peduli. Air mataku sudah jatuh tanpa bisa aku hentikan, dan aku tidak ingin seorang pun melihatku dalam keadaan ini. Tidak ingin seseorang melihat sisi lemahku. Dan tanpa aku ketahui, perbincangan masih terjadi di sana.

"Kejar dia," ujar Ulquiorra.

"Berisik! Aku juga sudah tahu!" sahut Ggio marah pada kakaknya dan seketika itu juga dia berlari. Tanpa aku ketahui dia berlari mengejarku.

Ulquiorra mengekori arah Ggio berlari lewat sudut matanya. Kemudian dia kembali memandang gadis yang masih tutup mulut di depannya. "Hei, Onna," katanya sambil mendekat.

.

Aku menelusuri keramaian dengan buru-buru. Tak jarang aku menabrak orang di depanku dan mendapat peringatan untuk menggunakan mataku melihat ke depan, tapi terlalu sulit bagiku untuk melihat ke depan dan menunjukkan wajah kusut ini pada semua orang. Memalukan.

Aku memilih untuk terus berlari tanpa meminta maaf dan pasrah mendengar cacian keluar dari mulut orang-orang yang telah aku tabrak. Sungguh memalukan. Lari setelah melihat teman masa kecilku berpelukan dengan perempuan lain. Apa hak-ku? Apa yang mendasari sakitnya hati ini? Bolehkah aku menjawabnya? Karena aku berusaha menyangkali perasaan ini. Aku menyukainya, aku menyukai Ggio Vega. Dan yang tadi adalah reaksi cemburuku pada Ggio dan Inoue. Aku tahu itu semua, tapi terlalu berat mengakuinya karena harga diriku terlalu tinggi.

Cukup jauh aku berlari. Aku berhenti di tempat sepi, tidak ada seorang pun di sini. Belum sempat aku menenangkan hatiku, ponsel yang masih setia berada di saku celanaku bergetar dengan hebohnya, menandakan satu panggilan masuk. Nama familiar terpampang di sana, kekasih sepupuku –Rangiku. Malas rasanya bicara dengan seseorang tapi getaran yang disuguhkan ponsel bututku ini terus-terusan menuntut agar panggilan ini lekas dijawab. Aku kalah, ponsel digenggaman tanganku yang menang.

"SO-I-FON-CHAN!" teriaknya di seberang sana, terdengar nada gusar di sapaannya.

Aku berusaha menahan suara bergetarku. "Ada apa, Rangiku?"

"Kau kemana saja? Pulanglah! Gin benar-benar frustasi saat tahu kau belum juga pulang sampai sekarang, Soi—" kalimat Rangiku terputus mendengar sesuatu yang lain dariku.

Baiklah, aku tidak sanggup jika tidak memperdengarkan tangisanku. "Soi-chan? Kau ke-kenapa?" tanyanya khawatir kemudian terdengar suara Gin merebut ponsel yang dipakai Rangiku.

"Soi? Ada apa? Kau diapakan Ggio?" tanya Gin terdengar jelas. "Katakan sekarang kau ada dimana? Biar aku susul!" ujarnya lagi setelah pertanyaannya tidak aku jawab.

Gin kadang berlebihan melindungiku. Penyakit sister complex itu nampaknya kembali menyerang Gin, walau kami hanya saudara sepupu, tapi Gin sudah menganggapku seperti adiknya sendiri apalagi aku adalah keluarga terdekatnya karena tinggal satu atap bertahun-tahun. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya flu," balasku sesaat sebelum Gin berniat mematikan ponselnya.

Rangiku kembali merebut ponselnya, terbukti dari suaranya yang kembali terdengar. "Kau sakit?" tanya Rangiku.

"Ya, sakit," kataku sambil menekan detak jantungku yang masih berdetak kencang itu.

"Ggio mana? Jangan bilang dia meninggalkanmu sendirian!" kata Rangiku. Samar terdengar Gin menyumpahi Ggio setelah Rangiku mengatakan itu.

"Ggio—"

Tiba-tiba seseorang merebut ponselku, refleks aku berbalik. Ggio. Dia menggenggam erat tanganku, seolah takut aku akan lari lagi.

"Aku ada di sampingnya, tenang saja. Aku tidak mungkin meninggalkannya," kata Ggio berbicara pada ponsel itu.

"Lepas…," kataku lirih tanpa melihat ke arah Ggio.

Suara Gin kembali terdengar. "Aku tidak akan memaafkanmu jika hal itu sampai terjadi, Ggio Vega," katanya.

"Aku tahu," jawab Ggio makin memperat genggamannya, membuatku meringis. Beberapa saat kemudian Ggio memutuskan panggilan Rangiku.

"Larimu cepat sekali," katanya. Aku masih berusaha melepaskan genggamannya. "Lepas!" pekikku.

Memang tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Ggio, tapi yang pasti Ggio tidak ada niat mengindahkan permintaanku, ralat, bukan permintaan, tapi perintah.

"Yang kau lihat tidak seperti yang kau pikirkan, bisa aku jelaskan," kata Ggio berusaha agar aku berbalik ke arahnya.

"Tidak butuh. Untuk apa? Tidak ada hubungannya denganku," kataku berusaha melawan.

"Ada hubungannya!" teriak Ggio, membuatku menatap wajah Ggio, wajah Ggio yang baru aku sadari terlihat begitu cemas. Titik peluh bercucuran di pelipis matanya. Apa artinya dia berusaha mati-matian mencariku? Mengejarku?

"Ada hubungannya, karena aku tidak ingin gadis yang aku sukai salah paham," katanya lirih. Aku tercengang. Siapa yang dimaksud Ggio 'gadis yang kusukai'?

"Ja-jangan mempermainkanku! Kau selalu begitu—pada siapapun," kataku kembali tertunduk.

Ggio menghela napas panjang kemudian melepaskan genggamannya. "Aku harus bagaimana menjelaskannya padamu?" katanya lagi.

Aku kembali terisak setelah terduduk. "Inoue-san, dia pacar kakakku, Kak Ulquiorra," katanya membelakangiku. "Cokelat yang diberikannya kemarin bukan untukku, tapi dia menitipkannya padaku."

Aku tercengang mendengar penjelasan Ggio. Rasa cemburu itu terasa terkikis sedikit demi sedikit.

"Kak Ulquiorra dan Inoue-san sedang kencan, lalu aku tidak tahu apa penyebabnya, saat membeli minuman tadi aku melihatnya menangis. Makanya…"

Ggio jongkok di depanku yang menenggelamkan wajah di kedua telapak tanganku. Perlahan dan dengan lembut ia mengelus kepalaku, mencoba menenangkanku. Tidak tahu kenapa, tapi Ggio dengan tiba-tiba merengkuhku dalam pelukannya. Tentu saja hal itu membuatku tercengang dan berusaha melepaskan pelukannya.

"Aku menyukaimu, tidakkah kau paham hal ini, Soi?" tanyanya yang masih menenggelamkan wajahku di dada bidangnya.

"G—Ggio Vega, lepaskan! Sesak!" bentakku sambil mendorongnya, sayangnya dia terlalu kuat.

"Tidak akan aku lepaskan. Hei, mana jawabanmu?" katanya makin mempererat pelukanya.

Aku yakin dia sedang menjahiliku seperti biasanya. Aku menengadahkan kepalaku, melepaskan sesak itu. Ggio membuang wajahnya ketika sadar aku berhasil meloloskan diri. Hei, percayakah kalian dengan yang sedang aku lihat? Wajah Ggio Vega merah padam, semerah saos spaghetti yang menempel di pipinya beberapa saat yang lalu. Tunggu! Apa artinya yang dia katakan tadi serius?

"A—ku tidak bisa menjawabnya sekarang, terlalu tiba-tiba!" kataku berusaha menjaga jarak dengan Ggio yang masih bergulat dengan rasa malu itu.

Saat aku berniat berdiri, tangan Ggio menghentikanku. Aku berbalik dan mendapati wajah serius Ggio.

"Siapa bilang ini tiba-tiba? Aku pernah mengatakannya, sehari sebelum aku pergi ke Amerika, dulu."

BLUSH!

Wajahku memerah ketika mengingatnya setelah sekian lama aku lupakan. Benar, Ggio pernah mengatakannya. Ggio menatapku tajam ketika dia sadar aku baru saja mengingatnya. Perlahan, dia membiarkanku berdiri, tapi diikuti gerakannya yang membuat kaget. Dia memaksaku agar tubuhku terhalangi tembok dan tubuhnya. Aku meneguk ludahku dengan susah payah ketika Ggio mendekatkan wajahnya dengan wajahku, membiarkanku menangkap tiap tarikan napasnya.

"—G—Ggio," kataku sambil berusaha mendorong tubuhnya, menekan dada bidangnya.

"Kau selalu membuatku kesal, Soifon. Menyebalkan," katanya.

Hey! Harusnya aku yang mengatakan hal itu padanya! Sejak dulu, dia selalu membuatku kesal dengan ulah jahilnya. Tapi entah kenapa, aku malah jatuh hati pada bocah ini.

"…Suka," gumamku.

"Maaf mengganggu," kata seseorang. Aku dan Ggio segera mengedarkan pandangan ke arah sumber suara. Ulquiorra dan Inoue—yang sedang bergandengan tangan. Wajah Inoue memerah entah karena apa, dan ketika aku menyadari bahwa posisi kami yang menjadi penyebabnya, aku segera mendorong tubuh Ggio hingga ia terpental dan jatuh ke lantai.

"Awalnya aku ingin membantu Ggio menjelaskan semuanya pada Soi, tapi sepertinya semuanya—baik-baik saja," kata Ulquiorra kemudian berbalik dan meninggalkan kami berdua lagi.

"Maaf sudah mengganggu!" kata Inoue membungkuk kemudian kembali melangkah akibat tuntutan genggaman tangan Ulquiorra.

"DASAR KAKAK BODOH!" teriak Ggio.

"Cepatlah pulang, bocah! Sudah malam," kata Ulquiorra.

Ggio kalah. Ia melangkahkan kakinya setelah memastikan waktu. Ggio mengulurkan tangannya padaku, memintaku untuk menggandeng tanganku. Aku menurut kali ini. Aku mendaratkan sebuah ciuman di pipi kanan Ggio, entah apa yang membuatku begitu nekat meluncurkan aksi dadakan itu, tapi yang pasti, aku ingin Ggio tahu bahwa aku pun menyukainya. Ggio nampak terkejut mendapati gadis yang ia genggam tangannya tiba-tiba mencium pipinya. Seringai licik menghiasi wajahnya. Malaikat berganti menjadi setan. Aku merinding melihatnya.

"Lakukan yang benar, ba-ka~" katanya sambil mengusap-usap pipiku dan sebuah ciuman dihadiahkannya padaku, bukan di pipi tapi di—kau tahulah.

"Aku menyukaimu. Kau harus mau jadi pacarku, Nona."

Hei, itu sebuah pemaksaan!

THE END

.

.

Curcol bentar :

1. Maaf banget saiaa super duper extra ngaret, soalnya saiaa harus mengikuti ULUM, TO dari sekolah, TO dari Dinas, dan PRA-UAN pada tiap hari berturut-turut, yang tentu saja wajib diikuti membuat saiaa susah nyari waktu buat update! Catatan pentingnya adalah saiaa kena marah ortu gara-gara nilai UTS lalu turun drastis, dan yang disalahkan adalah MODEM! Ikh waw, indahnya dunia pelajar kelas XII ini ~(-_-~)(~-_-)~ SEMOGA NILAI SAIAA KEMBALI NAIK! MOHON DOANYA YO SEMUANYA!

2. Yosh, ini chapter terakhir. Kacau banget, deskripsinya kurang, alur geje, typo(s), yaaa salahkan saja saiaa~~~ Saiaa malas menjelaskan apa yang membuat UlquiHime berantem dan gimana baikannya, jadi buatlah imajinasi kalian sendiri *author geblek. ADA NIAT pengen bikin prekuel dari fic ini, tapi sepertinya beban seorang anak kelas XII lebih terasa berat dibanding harus mengetik sekuelnya. Jadi mungkin kapan-kapan saja bila ada mood atau niat itu kembali muncul atau tidak sama sekali #BUAGH

3. SEBENERNYA ada rencana bikin fic multichap GrimmNel, tapi FAKTANYA belum sempat saiaa ngetik, tapi keburu ULUM, jadi ditunda deh -_-

4. Ah, buat Yumonozomi, maaf banget ga bisa RnR fic Meaningless Naturalness-mu! Sebagai gantinya, saiaa rekomendasikan sama author lain deh, RnR fic ByakuSoiGgio dengan judul yang saiaa bold itu ya readers + reviewers~

Terima kasih buat para reviewers dan silent readers yang terus mengikuti fic (romance pertama) abal saiaa ^_^