Disclaimer : Bleach punya Tite Kubo. Aku cuma baca n pinjem chara-nya.

Inspired by the Last Samurai Movie.

Rated: M for bloody content. No Lemon, kalo ada pasti aku warning. Pi kayaknya ga perlu lemon untuk fic ini. Sorry kalo bloody-nya kurang.

Gomen, hanya itu kemampuanku untuk saat ini.

Genre : Hurt/ Romance.

Pairing: Absolutely Ulquiorra-KU sayang ama Orihime. *ditampol*

Warning : OOC, AU, Bloody Content, Gaje bin Ajip. dll.

RnR please

Don't Like. Don't Read. Just Review

Happy Reading

Assassin

Chapter 1

Ulquiorra POV

Srreeekk! Murcielago menebas kepalanya…. Tidak perlu melihatpun aku tahu, lelaki itu telah menjadi mayat. Dia, entah korban keberapa yang telah ku tebas dengan pedang kesayanganku ini. Darah segar menetes dari ujung Murcielago. Aku menggerakkan lenganku perlahan. Ku sentuh darah di ujung pedangku dengan lembut. Lalu menjilati darah di ujung jariku dengan nikmat. Ya nikmat…. Darah itu sangat nikmat. Hanya itu yang ada dipikiranku saat merasakan cairan kental berwarna merah itu.

Aku semakin dalam memasuki medan pertempuran. Tempat ini adalah medan pertempuran bagiku. Satu-satunya tempat yang bisa membuat ku nyaman. Walau bagi orang lain, tempat ini adalah neraka. Pertanyaannya sekarang adalah mengapa aku bisa merasa nyaman di tempat seperti ini? Mungkin kalian mengira aku seorang psyco yang sangat mencintai darah dan seorang yang suka membunuh. Aku tidak menyalahkan kalian yang berpikiran aku seperti itu. Pada awal karierku, ini memang karierku, aku tidaklah terbiasa dengan semua ini. Pedang yang bisa membunuh hanya dengan sekali tebasan, atau bakatku yang membuat pedang ini bisa membunuh dengan sekali tebas. Darah segar yang berceceran di mana-mana. Serta tubuh-tubuh tak berguna yang telah tak bernyawa. Pada awalnya aku memang kesulitan menerima itu semua.

Tapi, seperti yang kalian ketahui. Manusia, selalu berkembang, bukan? Tentu saja, karena aku seorang manusia, akupun berkembang. Suara jeritan saat Murcielago menebas kepala seseorang tidak lagi membuatku bergetar. Bau anyir darah yang berserakan tidak lagi menggangguku. Malah sedikit banyak membuatku tenang. Atau mayat-mayat itu? Sama sekali tidak memberikan pengaruh baik ataupun buruk untukku. Dalam artian semua ini tidak lagi mempengaruhiku. Atau? Aku memang tidak mempunyai hati. Sehingga disaat kesedihan mengelilingi mereka yang masih hidup, tangisan kehilangan mereka tidak terdengar lagi, tidak membuatku bersimpati pada mereka.

Mungkin karena aku terbiasa dengan ini semua. Mungkin karena ini adalah perkerjaanku. Karena membunuh adalah pekerjaanku. Aku tak tahu lagi harus melakukan apa selain membunuh. Bisakah kalian membantuku? Membantuku menemukan pekerjaan yang baru. Yang menurut kalian lebih baik untukku tentunya. Tentunya tidak.

Aku meneruskan langkahku. Sekali lagi aku menebas seseorang. Aku tidak peduli siapa mereka. Mereka bersalah atau tidak, aku tidak peduli. Yang penting aku puas dengan keadaanku yang seperti ini, itu sudah cukup untukku. Semakin banyak orang yang mati ditanganku, maka akan semakin tinggi kehormatanku. Kehormatan? Aku tidak yakin masih memilikinya. Kehormatanku mungkin telah lama hilang bersama kematian seluruh keluargaku. Keluarga? Kalian bertanya apa aku peduli pada meraka. Pada mulanya memang aku merasa kehilangan. Tapi tentu saja perasaan itu tidak boleh berkembang. Tidak, rasa kehilangan membuatku lemah. Aku tahu itu, dan membuang perasaan itu jauh-jauh. Karena aku tidak mau menjadi lemah, perasaan itu haruslah ku buang.

Maka, jadilah aku yang sekarang ini. Ulquiorra Schiffer, seorang pembunuh bayaran yang tidak memiliki hati. Aku sangat terkenal dikalanganku. Aku sangat dihormati. Mungkin tidak, sebenarnya aku sangat ditakuti. Ketakutan mereka padaku adalah kekuatan bagiku. Mungkin tanpa ketakutan orang lain akan diriku, aku tidak akan menjadi sehebat ini. Hebat? Tentu saja aku orang yang hebat. Orang yang bisa membunuh dengan mudah tanpa ekspresi, tentulah bukan orang sembarangan, bukan?

"Sungguh membosankan," ucapku. Aku mengamati keadaan di sekitarku. Ada yang masih hidup selain aku. Pemuda itu masih berdiri tegak di ujung ruangan ini. "Aku akan menghabisimu," katanya. Aku mendekatinya, siap untuk menyelesaikan tugasku kali ini. Rambut orange pemuda itu diterpa udara yang bergerak. Kami sama-sama mengacungkan pedang. Saat jarak diantara kami semakin sempit. Dia mengayunkan pedangnya terlebih dahulu kearahku. Aku menangkisnya sekuat tenaga dengan Murcielago milikku. Sepertinya dia bukan seseorang yang biasa-biasa saja. Aku dapat merasakan kekuatan pada ayunan pedangnya. Sepertinya dia pemimpin pergerakan ini. Pergerakan yang sekarang hanya menyisakan dirinya yang masih hidup. Dan tentunya, aku akan menghabisi perlawanannya. Tanpa ku duga, dia mengayunkan pedangnya lagi. Reflekku kurang, bahu kiriku berhasil digores olehnya. Cukup sakit ternyata. Apa-apaan ini? Aku tidak boleh merasakan sakit, apalagi ditubuhku. Sudah lama sekali, tidak ada yang berhasil menggoresku dengan pedang mereka.

Aku tidak bisa membiarkan ini berlanjut. Aku akan serius menghadapi pemuda berambut orange dihadapanku ini. Kali ini, aku yang mengayunkan pedang. Dia menahan dengan segenap tenaganya. Tapi aku tidak puas sampai di situ. Aku kembali mengayunkan pedangku. Diapun melakukan hal yang sama. Pedang kami saling beradu. Beradu lagi, beradu lagi dan beradu lagi. Ting! Ting! Ting! Kira-kira seperti itulah bunyinya. Cukup lama kami beradu pedang. Lelah hinggap di tubuh kami secara bersamaan. Rasanya ingin sekali aku berhenti, sudah cukup lama kami beradu pedang.

Untuk kesekian kalinya aku mengayunkan pedangku. Lalu aku membuat pola yang berbeda kali ini. Pemuda itu tidak bisa mengantisipasi pergerakanku. Hujaman pedangku bersarang di perutnya. Sejenak wajahnya menampakkan rasa sakit. Untuk pertama kalinya aku menyeringai senang setelah sekian lama. Tentu saja karena pada akhirnya aku mengenainya. Perlahan ku putar Murcielago yang tertanam diperutnya. Ekspresi pada wajahnya semakin memperlihatkan rasa sakit yang tak tertahankan. Aku memutuskan untuk tidak langsung menghabisi nyawanya. Aku ingin bermain-main sebentar dengarnya. Melihat dan mengamati ekspresi yang ditunjukkan oleh pemuda orange ini. Sering kali terpikir oleh ku untuk memiliki ekspresinya itu. Tapi, untuk apa aku memilikinya.

Kali ini aku menekan pedangku lebih dalam lagi. Membuat lubang yang semakin menganga di perut pemuda itu. Ekspresinya saat ini, seperti menahan rasa sakit yang luar biasa. Rasanya aku ingin sekali tertawa saat ini.

Sepertinya, dia menyadari aku sedang lengah saat ini. Belum sempat aku membuat jarak dengannya. Dia menghunus perut bagian kiriku dengan pedangnya. Tidak dalam memang, karena aku sempat menjauhinya walau agak terlambat. Aku menatapnya marah. "Cukup bermain-mainnya!" teriakku pada pemuda itu. Dengan cepat aku mendekatinya lagi. Menghujamkan pedangku tepat dijantungnya. Dia meregang nyawa, itu sudah pasti. Tidak hanya itu. Aku menebas lehernya dengan pedangku ini, nyaris putus.

Matanya terbelalak walau dia telah kehilangan nyawanya. Aku menatapnya tanpa ekspresi. Entah kenapa aku malas mencicipi darahnya yang ada di pedangku. Bukan kebiasaanku memang, melewatkan darah lawan yang telah ku kalahkan. Aku mengambil sebuah sapu tangan seseorang yang tergeletak di lantai. Aku sedikit membungkuk, lalu mengambilnya. Ternyata hujaman pedang pemuda tadi menimbulkan rasa sakit disaat aku bergerak. Menurutku ini tidak parah, namun darahku terus mengalir meninggalkan tubuhku melalui lubang itu. Sapu tangan tadi aku gunakan untuk menghilangkan darah pada pedangku.

Perlahan aku keluar dari medan pertempuran. Sayup-sayup aku mendengar langkah kaki yang cukup banyak mendekat kearahku. Sepertinya bantuan untuk pemuda itu datang terlambat. Aku memutuskan untuk menjauh dan menekan lukaku agar tidak semakin banyak mengeluarkan darah. Aku akan menjauh. Setelah aku mengobati luka dan memulihkan tenagaku, barulah aku akan menghabisi mereka lagi.

End of Ulquiorra POV

Terlihat tetesan darah dari gedung tua di pinggiran kota Tokyo menuju ke hutan yang lebat. Semua yang berada di gedung itu memutuskan untuk mengikuti titik-titik cairan merah itu. Mencoba peruntungan untuk menemukan sang pemilik darah.

"Ayo semua. Kita teruskan pencarian. Ikuti darah itu. Kita harus mendapatkan orang yang telah membunuh adikku, Ichigo. Hidup ataupun mati!" teriak pemuda berambut dan bermata biru.

Semua pemuda di sana mengikuti pemuda berambut biru tersebut, memasuki hutan yang lebat dimana di salah satu sisi hutan Ulquiorra mencoba peruntungan untuk tidak tertangkap. Atau menahan diri untuk tidak membunuh mereka di hutan itu.

Cerita berlanjut!

Apa-apaan ini?

Fic yang baru?

Fic yang lain lum selesai.

Malah bikin fic baru lagi?

*Ulqui: cha… kenapa aku seperti itu?

*Grimm: Si kepala jeruk adik gue? Terus di bunuh ama si kelelawar? Author dodol.

*cha: iya, Ulqui sayang. Yang sabar ya….

Kenapa emangnya Grimm? Mau cha keluarin dari cerita ha?

*Grimm: huh…. Dasar author dodol.

*Ichigo: siapa juga yang mau punya kakak, kucing biru githu. Ga bgt deh. Aku mati pula? Cuma dikit lagi.

*cha: sabar ya Ichi…. Ichi di fic lain aja, cha banyakin. (kalo sempet)

*Orihime: aku mana?

*cha: Sabar, nanti ya….

Gomen

Review Please